Active Listening Dalam Konseling
Daftar Isi
“Bagaimana memberikan arahan pada klien agar lebih mengefektifkan proses perubahan yang mereka jalani?”
Pertanyaan itu termasuk ke dalam pertanyaan yang cukup sering diajukan mereka yang awal-awal mempelajari berbagai keilmuan konseling dan terapi psikologis.
Tidak bisa dipungkiri, peran sebagai “seseorang yang sedang dimintai bantuan oleh mereka yang membutuhkan” menyiratkan kesan bahwa seolah para Konselor dan Terapis ini berada di posisi yang “lebih tinggi” dan oleh karenanya mereka menjadi pihak yang memberikan arahan, atau bahkan instruksi, agar klien bisa berubah, lepas dari masalah lamanya dan memasuki kondisi barunya yang lebih ideal.
Apakah demikian adanya? Satu dasawarsa menekuni bidang profesi ini, saya mendapati bahwa bukan itu yang berlangsung.
Ya, bukan keahlian Konselor atau Terapis untuk memberikan arahan yang menjadi kunci penting di balik perubahan klien, melainkan justru kemampuan untuk mendengarkan.
Tulisan ini dibuat untuk menekankan pentingnya keahlian mendengarkan untuk dimiliki seorang Terapis atau Konselor, agar kita semua bisa fokus pada hal yang mendasar yang memegang peranan penting di balik sebuah proses konseling.
MENDENGARKAN = MEMINIMALISIR ASUMSI
Tuhan memberikan kita dua telinga dan satu mulut, tidakkah itu secara filosofis menjadi sebuah penegas penting bahwa kita perlu lebih banyak mendengar daripada berbicara?
Meskipun hanya secara filosofi, dalam dunia konseling dan terapi keahlian mendengarkan ini memegang peranan yang sangat penting, jika Anda melihat kurikulum pembelajaran dan standar kompetensi dari berbagai institusi yang mengajarkan keahlian konseling dan terapi ini di berbagai negara, Anda akan mendapati bahwa keahlian mendengarkan ini selalu memiliki porsi tersendiri yang sedemikian intensnya, sampai-sampai sikap dan keahlian dalam mendengarkan ini bisa sedemikian dinilai dan menjadi kunci penting yang menentukan seseorang dinyatakan layak menjadi Konselor atau tidak.
Tapi kenapa mendengarkan? Kenapa tidak memberikan arahan saja? Bukankah klien datang dengan sebuah permasalahan yang Konselor pada umumnya sudah kuasai seluk-beluknya? Tinggal berikan arahan saja bukankah seharusnya perubahan itu bisa terjadi dengan lebih cepat?
Sayangnya, tidak begitu adanya, berbeda dengan tubuh fisik yang bisa dilihat oleh mata telanjang dan bisa diukur secara lebih pasti, yang berlangsung dalam mental-emosional seseorang tidak bisa dilihat oleh mata telanjang dan tidak bisa diukur secara pasti begitu saja.
Ketika seorang klien datang dengan segenap permasalahan, yang terjadi sebenarnya adalah bukan ia datang dengan permasalahan, melainkan ia datang dengan asumsi atas permasalahannya.
Demikianlah, sedemikian tidak terlihatnya mental-emosional seseorang dan sedemikian berlapisnya yang terjadi di dalamnya, maka sangat kecil kemungkinan untuk seseorang tahu pasti apa yang sedang berlangsung dalam dirinya, hal ini yang kemudian dikenal sebagai titik buta atau blind spot.
Begitu juga Konselor, ketika klien datang dengan asumsi atas permasalahannya, maka Konselor pun memiliki asumsi sendiri atas permasalahan klien, yang menjadikan begitu banyak asumsi kali ini bertebaran di sana-sini di sepanjang sesi yang klien jalani.
Keahlian mendengarkan menjadi kunci untuk meminimalisir asumsi ini, memastikan kita mengupas lapisan demi lapisan asumsi ini, sampai ke inti yang menyimpan informasi sebenarnya atas yang berlangsung dalam diri klien.
Saat asumsi ini dikupas, bukan hanya Terapis, klien pun akan tersadarkan atas apa yang berlangsung dalam dirinya, hal ini yang sering kali memberikan “aha! moment” dan membantu jalannya proses perubahan lebih lanjut nantinya.
MENDENGARKAN = MEMPERJELAS
Setali tiga uang dengan bahasan sebelumnya, ketika asumsi atas permasalahan ini sudah lebih terungkap maka persoalan yang terjadi – dan yang melandasinya – akan lebih jelas terungkap.
“Ada asap maka ada api,” demikian sebuah kalimat ungkapan berbunyi, hal ini menandakan bahwa selalu ada sebab di balik sebuah akibat, begitu juga permasalahan yang dialami klien, terjadi karena ada sebuah sebab yang melandasinya.
Disinilah perbendaharaan pengetahuan seorang Konselor atas dasar keilmuan yang dipelajarinya memegang peranan penting untuk memperjelas hubungan sebab-akibat ini.
Terdapat ragam strategi konseling dan terapi, yang masing-masing berpijak pada akar dengan sejarahnya masing-masing, dimana setiap strategi ini akan memiliki paradigmanya masing-masing atas permasalahan klien.
Paradigma atau cara pandang atas cara pikiran bekerja (yang ditentukan oleh strategi konseling dan terapi yang digunakan) akan menentukan cara seorang Konselor memperjelas dan memetakan persoalan yang dialami kliennya, termasuk mengupayakan solusi bagi kliennya.
Lain paradigma yang digunakan dalam Konseling Psikodinamika, lain juga paradigma yang digunakan dalam Konseling Humanistik, lain juga paradigma yang digunakan dalam Konseling Perilaku-Kognitif, perbedaan paradigma ini akan melahirkan perbedaan juga pada cara pandang atas permasalahan klien dan melahirkan juga perbedaan pada bentuk solusi yang bisa diupayakan untuk membantu klien lepas dari masalah lamanya.
Setiap orang memiliki kecenderungan merespon yang berbeda atas dunia di luar dirinya, satu peristiwa yang sedemikian beratnya bagi seseorang bisa menjadi perkara ringan bagi orang lainnya, begitu juga satu peristiwa yang mungkin terkesan remeh bagi seseorang bisa menjadi pukulan besar bagi orang lainnya, hal inilah yang dibahas dalam berbagai paradigma konseling, lain paradigma yang digunakan maka lain juga strategi memetakan isi permasalahan ini.
Disinilah keahlian mendengarkan memberikan kita ruang untuk semakin mengetahui kondisi internal klien, semakin mengetahui hal-hal apa yang berlangsung dalam hidupnya dan dalam pikirannya, yang kemudian membentuk kemunculan masalah itu dalam dirnya, sesuai dengan paradigma dan strategi konseling yang digunakan untuk memfasilitasi penanganan masalah klien.
MENDENGARKAN = MENYEMBUHKAN
Anda tidak salah baca, mendengarkan itu menyembuhkan.
Yang sering kali terjadi adalah:
- Klien datang dengan berbagai kegelisahan atas yang terjadi dalam dirinya yang tidak bisa dipahaminya.
- Klien datang dengan berbagai penyangkalan atas yang berlangsung dalam dirinya.
- Klien datang dengan berbagai penghakiman lingkungan atas dirinya dan masalahnya.
Disinilah keahlian mendengarkan memberikan klien ruang untuk menyelami lapisan demi lapisan perasaan dalam dirinya, membantu mereka memahami kegelisahan yang selama ini tidak bisa dipahaminya.
Tapi bahkan meski ketika seseorang bisa memahami kegelisahan dalam dirinya, masih ada hal lain yang berpotensi membuatnya terpuruk, yaitu penyangkalan (denial) dan penghakiman (judgement).
Penyangkalan menjadi sesuatu yang membuat seseorang semakin larut dengan masalahnya, ia paham yang terjadi tapi ia menyangkal yang terjadi itu karena dianggapnya aib dan sesuatu yang tidak pantas untuk diakui, apalagi kalau ternyata selama ini ia hidup di bawah penghakiman orang-orang di sekitarnya, yang membuatnya semakin tidak bisa mengakui yang sebenarnya ia rasakan.
Bergantung pada kecakapan Konselor, ketika seorang Konselor memiliki keahlian mendengarkan yang sedemikian mendalam dan menyentuh, sangat mungkin yang terjadi klien justru merasa aman untuk kemudian mengakui yang sebenarnya ia rasakan dalam dirinya, keluar dari mode penghakiman yang selama ini membelengunya. Ketika ia bisa jujur pada dirinya itulah ia mendapatkan resolusinya, karena ia bisa berdamai dengan peperangan dalam dirinya sendiri.
Sering kali yang terjadi dalam sesi konseling adalah saya betul-betul tidak banyak berucap, bahkan ada kalanya hanya sedikit mengajukan pertanyaan, semata karena saya empati saya merasakan bahwa klien sedang butuh didengarkan, sehinga baru dipersilakan saja mereka sudah memulai ceritanya dan langsung mengurai semuanya dengan sendirinya, sering kali dalam 1 jam perjumpaan konseling klienlah yang terus-menerus mengekspresikan yang berlangsung dalam dirinya.
Yang saya lakukan hanya mendengarkan, menunjukkan pemahaman, memberikan klien ruang untuk menjadi dirinya sendiri, menyelami apa yang berlangsung dalam dirinya, dan hal itu yang ternyata memberikan mereka ruang kesembuhan, saya mendapati betapa ketika mereka mendapatkan ruang untuk berekspresi sebagai dirinya sendiri dan bersentuhan dengan yang benar-benar dirasakannya dalam dirinya, ternyata regulasi emosi mereka membaik, desakan dari energi yang selama ini berbenturan karena banyaknya penyangkalan dan penghakiman ini memudar dan memberikan mereka ruang untuk menjadi dirinya yang lebih berdamai dengan segala-sesuatu dalam dirinya.
Tapi bukankah hal ini juga berpotensi menjadikan klien larut dengan pembicaraan yang melebar ke berbagai arah yang terlalu jauh, karena kita tidak mengarahkan mereka dalam pembicaraan yang sedang berlangsung ini?
Memang bisa saja demikian, tapi justru hal itulah yang kita sikapi dengan memahami kunci penting dari keahlian mendengarkan ini.
KUNCI PENTING MENDENGARKAN = ACTIVE LISTENING
Hanya mendengarkan – tanpa memahami dasar keahliannya – tidak serta-merta menjadikan proses mendengarkan ini membawa perubahan atau kesembuhan, hal ini menjadikan seorang Konselor atau Terapis hendaknya menguasai esensi dari keahlian mendengarkan ini, yang kerap disebut active listening, atau “mendengarkan aktif” dalam konseling.
Sudah ada banyak tulisan yang sudah memuat bahasan tentang active listening, maka artikel ini tidak akan memuat bahasan yang sudah banyak dibahas secara umum, melainkan membahas sudut pandang dan tips praktis yang saya gunakan dalam menguasai keahlian mendengarkan aktif ini.
Terdapat lima hal yang saya pribadi tekankan dalam keahlian mendengarkan aktif ini.
Pertama, miliki paradigma konseling dan terapi yang tepat, ingat bahwa keahlian mendengarkan ini nantinya akan memberikan kita informasi atas apa yang berlangsung dalam diri klien, tanpa paradigma yang tepat maka informasi ini tidak akan membawa muatan berarti, karena tidak ada dasar untuk menjejakkan muatan itu dan mendapatkan kesimpulan yang solid atas hubungan sebab-akibat yang terbentuk darinya.
Kedua, miliki cara pandang yang netral, tempatkan diri sebagai pribadi yang tidak tahu apa-apa atas yang klien alami (know nothing state), miliki rasa penasaran yang membuat kita serius dan tulus mendengarkan, karena kita ingin tahu yang mereka alami dalam dirinya sejernih mungkin.
Meski mungkin terdengar filosofis: jauhkan diri dari rasa penghakiman.
Percayalah, adanya penghakiman ini akan terproyeksikan dalam bentuk tekanan suara, cara memandang dan cara kita bersikap atas diri klien, hal ini yang menjadikan klien semakin menutup diri dan jalan menuju kesembuhan pun semakin tertutup.
Ketiga, miliki keahlian melakukan positioning dan framing yang tepat, yang satu ini memang agak bersifat teknis, tapi demikianlah adanya, cara Anda memposisikan diri secara fisik (cara duduk, postur tubuh, gestur dll) akan menjadi salah satu kunci apakah klien merasa nyaman untuk berbicara dengan kita atau tidak, yang satu ini memang memerlukan praktik dan jam terbang, tapi semakin seseorang terlatih dengan keahlian yang satu ini hal ini akan sedemikian mengalir secara luwes dan alami.
Tanpa bermaksud menggeneralisir, dalam pelatihan yang saya adakan, dalam aktivitas praktik yang saya wajibkan untuk dilakukan oleh para peserta, hanya dengan melihat postur dan gestur mereka ketika berpraktik biasanya saya sudah cukup bisa menyimpulkan apakah peserta itu rutin dan aktif berpraktik atau tidak, karena hal yang satu ini memang tidak bisa dibuat-buat, ia melambangkan kedalaman dan kecakapan seseorang dalam menjalankan praktik hariannya.
Yang belum kita bahas di poin ketiga ini adalah keahlian framing.
Framing mengacu pada keahlian untuk membingkai pembicaraan, bagi yang pernah mengikuti kelas pembelajaran bersama saya akan menyadari bahwa aspek yang satu ini selalu saya tekankan dan bahkan memiliki porsi tersendiri dalam berbagai pembelajaran yang saya fasilitasi.
Saya mendapati bahwa sesi konseling yang berkualitas, tidak pernah lepas dari framing yang berkualitas, framing menjadi sebuah bingkai acuan yang menaungi jalannya proses konseling dan menentukan apa yang akan dan boleh terjadi dalam proses konseling.
Butuh waktu yang tidak sebentar dari awal berpraktik dulu sampai sekarang ini untuk saya sendiri menemukan kerangka-kerangka pembicaraan yang ternyata memegang peranan penting dalam proses konseling, ketika sudah ditemukan dan sudah teruji efektif maka sampai sekarang semua kerangka itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari semua proses konseling yang saya fasilitasi, semata karena saya sudah menyadari betul ketika framing itu hilang maka efektivitas dari proses konseling pun berkurang.
Framing yang berkualitas akan menghasilkan proses mendengarkan aktif yang menyembuhkan, karena hal ini menyiapkan klien untuk menjalani proses untuk didengarkan secara aktif dan menempatkan dirinya secara aktif juga untuk mengikuti jalannya proses itu, hal ini yang sebenarnya kelak membantu memberikan ruang kesembuhan tersendiri.
Keempat, miliki kepekaan dan keluwesan, keahlian mendengarkan bukan sesuatu yang bersifat eksak, ia sangat bersifat dinamis, kita perlu memiliki kepekaan untuk tahu kapan harus diam mendengarkan, kapan harus bertanya, kapan harus menginterupsi dan bahkan kapan harus menyudahi, ditambah lagi dengan postur dan bahasa tubuh yang luwes untuk menjadikan prosesnya terasa alami.
Kepekaan dan keluwesan ini bukan sesuatu yang bisa diperoleh secara instan, dan bahkan tidak bisa dipelajari hanya secara teori melalui buku, ia menjadi sebuah keahlian motorik, tidak ubahnya seperti keahlian berenang, hanya bisa terasah dengan semakin seringnya ia dilatih dan dibiasakan, sampai kita menemukan hal-hal yang sedemikian khas, yang kemudian semakin kita jaga dan lama-lama membentuk sebuah kebiasaan atau keahlian yang mengalir.
Memang satu keahlian penting dalam mendengarkan ini adalah memberikan klien ruang, dimana di ruang itulah ia kemudian memproses berbagai hal dalam dirinya dan bisa selangkah lebih maju atas perubahannya, tapi yang tidak boleh kita lupakan juga bahwa kita tidak bisa memberikan ruang yang kemudian tidak bisa digunakan secara memadai untuk perubahan, maka kita tidak semata memberikan ruang bagi klien, melainkan menciptakan ruang itu terlebih dahulu untuk kemudian diberikan pada klien, untuk mereka gunakan sebagai alat bantu kesembuhannya, hal ini yang menjadikan seorang Konselor juge berposisi sebagai fasilitator perubahan, karena kita menciptakan fasilitas untuk menperoleh kesembuhan itu untuk klien, namun tetap saja pada akhirnya klien memiliki perannya sendiri untuk mendayagunakan fasilitas itu sebaik mungkin, disinilah tugas kita adalah menciptakan ruang itu sebaik mungkin terlebih dahulu, karena disitulah tanggung jawab moral kita terletak.
Yang dimaksud ruang ini adalah suasana, pembicaraan, atau segala sesuatu apa pun sampai ke detail terkecil yang bisa menstimulus klien untuk terlibat dalam proses perubahannya dan termotivasi untuk mendayagunakan ruang itu guna memperoleh kesembuhannya.
Disini juga kepekaan dan keluwesan ini lagi-lagi memegang peranan, karena ruang yang kita berikan pada klien ini haruslah ruang yang tercipta dengan ketiga poin sebelumnya tadi: (1) berpijak pada paradigma yang jelas, (2) cara pandang yang netral dan tanpa penghakiman, serta (3) keahlian positioning dan framing yang tepat.
Kelima, miliki keahlian menyajikan itu semua sebagai sebuah pembelajaran.
Begini, sebuah pembicaraan hanya akan menjadi pembicaraan, dan tidak akan menjadi kesembuhan, jika tidak ada makna untuk dipetik dan hikmah untuk dipelajari.
Maka seorang Konselor haruslah memiliki keahlian untuk mampu mengawal jalannya pembicaraan dan memberikan stimulus agar setiap informasi yang sudah terangkat dalam pembicaraan bisa menjadi sebuah informasi penuh makna yang membuat klien merenung dan mendapatkan hikmah darinya.
Tanpa adanya keahlian ini, maka seorang Konselor akan mendapati bahwa kliennya menceritakan begitu banyak hal – dan bahkan bisa dengan penuh ekspresi, sampai menangis, emosional dan katarsis – dan klien sendiri merasa ia sudah menceritakan begitu banyak hal, tapi tidak banyak perubahan berarti terjadi darinya, karena semua informasi itu hanya menjadi informasi yang berserakan tanpa makna produktif apa pun.
Demikian kiranya bahasan penting sehubungan dengan keahlian mendengarkan aktif ini, semoga memberikan pandangan tersendiri bagi kita untuk bisa menempatkan diri sebagai seorang pendengar yang baik, yang mampu memunculkan hasil terbaik dari aktivitas mendengarkan yang kita fasilitasi pada klien dan menjadikan semua itu ruang kesembuhan yang bermakna bagi klien.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi, konseling atau coaching? Memerlukan layanan hipnoterapi, konseling atau coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi, konseling atau coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.