Analisa Kompleksitas Masalah Dalam Hipnoterapi
Daftar Isi
Beberapa waktu lalu saya berjumpa dengan seorang kawan lama yang berdomisili di luar kota, di sela kunjungannya ke Bandung ia menyempatkan diri berkunjung ke kantor praktik hipnoterapi saya.
Meski tergolong berhubungan dekat, tetap saja kawan saya ini bukan seseorang yang familiar dengan hipnoterapi, pun dengan topik pembicaraan saya dengannya kebanyakan memang membicarakan berbagai hal di luar aktivitas saya sebagai hipnoterapis.
Namun lain dengan perjumpaan kali ini, apa yang dilihatnya di kantor praktik saya tak urung memicu pertanyaan darinya tentang hipnoterapi ini sendiri, seperti cara kerjanya, landasan pemikirannya, jenis permasalahan yang bisa dibantu diatasi dengan hipnoterapi, sampai ke berapa jumlah sesi yang pada umumnya klien jalani untuk mengatasi masalahnya dengan hipnoterapi.
Bagi saya pribadi, pertanyaan mengenai ‘jumlah sesi’ dari calon klien adalah pertanyaan sederhana yang di satu sisi harus dengan hati-hati saya jawab, hal ini karena kesalahan dalam menjawab pertanyaan ini – yang utamanya menyiratkan bahwa hipnoterapi bisa menjadi solusi instan dalam 1 sesi penanganan – bisa saja memberikan ‘angin surga’ bagi calon klien yang bisa langsung terbuai dan mengharapkan hal demikian terjadi pada mereka.
Apakah hal itu tidak mungkin terjadi? Sebaliknya, terdapat cukup banyak kasus dimana masalah klien saya terselesaikan dalam 1 – 2 sesi penanganan, namun di sisi lain terdapat juga beragam kasus lain yang mensyaratkan jumlah penanganan berjenjang, sampai-sampai beberapa klien dengan rutinnya memiliki jadwal temu tersendiri bersama saya setiap minggunya selama beberapa bulan lamanya.
Jadi, hal apa yang membedakan keduanya? Jawabannya sederhana: kompleksitas permasalahan.
Tidak ada permasalahan yang memiliki kompleksitas yang sama persis di antara satu dan lain klien, selalu ada keunikan tersendiri yang menjadikan setiap penanganan bersifat spesifik adanya. Bisa saja dua klien datang dengan membawa keluhan yang nampak serupa, namun ketika didalami lebih jauh ternyata keduanya terdiri dari kompleksitas yang berbeda – yang tentu saja mensyaratkan spesifikasi penanganan yang berbeda.
Tulisan ini dibuat sebagai media edukasi untuk memperjelas seperti apa kompleksitas masalah mempengaruhi desain penanganan, dengan membaca tulisan ini diharapkan Anda mendapatkan kejelasan yang lebih memadai tentang bagaimana program penanganan setiap orang bisa berbeda, tergantung kompleksitas masalah yang dialaminya.
Catatan: jika Anda seorang praktisi hipnoterapi yang membutuhkan referensi yang lebih lengkap mengenai ulasan ini, saya menuliskan hal ini secara lengkap dalam buku saya yang berjudul ‘Hypnotherapeutic Assessment, Diagnosis & Treatment Plan’, Anda bisa mendapatkan buku tersebut dengan klik di sini, termasuk mengunduh free sample dari buku itu untuk mendapatkan gambaran lebih detail tentang isinya.
ANALISA KOMPLEKSITAS MASALAH
Analisa kompleksitas masalah dilakukan di fase awal klien menemui hipnoterapis dimana dalam proses ini klien mengemukakan kondisinya dan mengungkapkan apa yang dirasanya sebagai gangguan.
Awal saya memfasilitasi sesi ini bersama klien, saya biasanya membuka percakapan dengan perkenalan singkat, menjalin keakraban (rapport) dan memulai sesi dengan menjelaskan pentingnya sesi konseling sebagai landasan bagi hipnoterapis untuk memahami kejelasan akan permasalahan serta situasi yang klien hadapi, semakin banyak informasi yang sekiranya berhubungan dengan situasi yang klien hadapi maka semakin efektif pengolahan data dari sesi konseling ini.
Di tahap ini saya biasanya menyerahkan ‘kendali percakapan’ pada klien, memberikan mereka lebih banyak ruang untuk menceritakan apa pun yang bisa menjelaskan situasinya. Berdasar pengumpulan informasi atas ‘tema kasus’ dan spesifikasi masalah yang klien alami, analisa pertama yang saya utamakan adalah analisa atas kompleksitas situasi permasalahan klien, sebagaimana bisa dilihat di bawah ini, di ‘Kuadran Diagnosis Kompleksitas Permasalahan Klien’, yang diambil dari buku ‘Hypnotherapeutic Assessment, Diagnosis & Treatment Plan’.
Kuadran di atas menggambarkan dua komponen penting yang saling mempengaruhi dalam kehidupan seseorang, saya menyebutnya sebagai Impuls Emosi dan Kompleksitas Tantangan.
Impuls Emosi mengacu kepada respon emosional seseorang dalam menyikapi stimulus di luar dirinya secara negatif, berbagai emosi yang dilabeli sebagai ‘emosi negatif’ diwakili oleh Impuls Emosi di skala yang tinggi (ditandai dengan tanda ‘>’).
Semakin tinggi Impuls Emosi (ditandai dengan tanda ‘>’), semakin tidak efektif seseorang merespon stimulus spesifik di luar dirinya, atau semakin rendah kendali dirinya. Sementara itu, semakin rendah Impuls Emosi (ditandai dengan tanda ‘<’) maka semakin rendah intensitas emosi negatif yang menguasai dirinya, semakin tinggi juga tingkat kemampuan pengendalian dirinya.
Kompleksitas Tantangan mengacu kepada berbagai hal di luar diri klien yang menyita stamina psikis dirinya, semakin tinggi Kompleksitas Tantangan ini (ditandai dengan tanda ‘>’), semakin tinggi kompleksitas situasi di luar diri seseorang, makin banyak hal yang berpotensi menyita stamina psikisnya sehubungan dengan masalah yang dihadapinya, sehingga semakin rendah stamina psikis dalam dirinya. Sementara itu, semakin rendah Kompleksitas Tantangan (ditandai dengan tanda ‘<’) maka semakin minim kompeleksitas situasi di luar dirinya sehubungan dengan masalah yang dihadapinya yang berpotensi menyita stamina psikisnya, sehingga semakin tinggi stamina psikis yang dimilikinya.
Keterhubungan dari komponen Impuls Emosi dan Kompleksitas Tantangan, sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, dapat dipetakan sebagai berikut:
Impuls Emosi < & Kompleksitas Tantangan < (Normal Zone)
Situasi dimana Impuls Emosi Rendah dan Kompleksitas Tantangan pun rendah, dengan kata lain kendali diri tinggi dan stamina psikis pun tinggi, zona ini adalah zona yang menjadi tujuan utama dari proses penanganan klien. Dengan kata lain, tugas hipnoterapis adalah mengembalikan klien ke zona ini.
Impuls Emosi < & Kompleksitas Tantangan > (Chess Zone)
Situasi dimana klien memiliki kendali diri yang cukup tinggi, tidak mudah terbawa emosi karena Kompleksitas Tantangan di luar dirinya, namun dirinya terjebak di dalam hidup yang penuh ‘kerumitan’ karena berbagai persoalan yang membutuhkan tindakan penyelesaian taktis.
Saya menggambarkan zona ini sebagai zona catur (chess) karena seorang pemain catur dihadapkan dengan kerumitan permainan yang harus ia selesaikan di luar dirinya, namun ia tidak berada di dalam kondisi emosional yang meluap-luap, stamina psikis dirinya diarahkan untuk memikirkan langkah yang harus diambil agar bisa menyelesaikan permainannya seefektif mungkin.
Dalam kasus nyata permasalahan klien, situasi ini digambarkan oleh klien yang datang dengan berbagai kompleksitas permasalahan di berbagai aspek kehidupan, seperti hubungan yang bermasalah, bisnis yang bermasalah, tekanan pekerjaan dan sejenisnya.
Mereka yang berada di Chess Zone bukan membutuhkan sesi terapi karena mereka memiliki kendali diri yang relatif stabil, melainkan proses berpikir kreatif yang berorientasi pada solusi agar ia bisa merumuskan aksi-tindakan yang akan membawa perubahan pada Kompleksitas Tantangannya, modalitas yang akan menormalkan klien di zona ini adalah coaching dan solution-focused counselling.
Impuls Emosi > & Kompleksitas Tantangan < (Thunder Zone)
Situasi dimana klien memiliki kendali diri yang rendah dalam menyikapi stimulus spesifik dari luar dirinya. Dikatakan sebagai ‘stimulus spesifik’ karena Kompleksitas Tantangan di zona ini rendah, klien bukan bergelut dengan kehidupan yang penuh tantangan, stamina psikis mereka sering kali tidak bermasalah, mereka hanya tidak memiliki kendali diri optimal dalam merespon suatu stimulus spesifik.
Saya menggambarkan zona ini sebagai zona halilintar (thunder) karena halilintar hanya muncul dalam sekejap mata namun ketika muncul ia memberikan efek mengejutkan yang bisa membuat kita hilang kendali untuk sesaat.
Dalam kasus nyata permasalahan klien, situasi ini digambarkan oleh klien yang datang dengan persoalan respon emosi spesifik, seperti fobia ketika dihadapkan dengan objek atau situasi tertentu, tidak bisa mengendalikan respon emosi ketika memikirkan kejadian masa lalu, merasa sakit hati pada sosok spesifik, atau berbagai jenis fenomena lain dimana ketika stimulus itu ada (stimulus eksternal) atau stimulus itu dipikirkan (stimulus internal) maka Impuls Emosi meningkat dan membuat klien hilang kendali diri, ketika stimulus itu berlalu maka klien kembali mendapatkan kendali dirinya.
Klien yang berada di Thunder Zone bisa mendapatkan resolusi dengan modalitas terapi yang dikhususkan untuk menormalkan emosi spesifik – yang membentuk respon dirinya – dalam waktu cepat, sesi hipnoterapi bisa langsung dilakukan untuk menormalkan kembali kondisi ini dengan cepat.
Impuls Emosi > & Kompleksitas Tantangan > (Combat Zone)
Saya menyebut zona ini dengan zona peperangan (combat), melihat dari namanya saja Anda mungkin sudah bisa menebak maksud dari pemilihan frasa ini.
Ya, mereka yang berada di zona ini tak ubahnya sedang terjebak di dalam ‘peperangan kehidupan’, mereka bergelut dengan Impuls Emosi yang tinggi (penuh ketegangan, kecemasan, kemarahan, ketakutan, dll) yang membuat kendali dirinya rendah, sambil dihadapkan dengan kompleksitas permasalahan di luar dirinya yang membuat stamina psikisnya pun rendah.
Ibarat lingkaran setan, mereka yang berada di zona ini perlu kendali diri untuk bisa merespon dan menyelesaikan persoalan yang ada di luar dirinya, tapi Impuls Emosinya tinggi karena dihantam oleh tingginya badai Kompleksitas Tantangan yang sedemikian menyedot stamina psikisnya, membuat kendali diri pun menjadi minim adanya.
Contoh dari situasi ini yaitu klien datang dalam kondisi emosi yang labil, penuh ketakutan, kemarahan dan emosi negatif lainnya, ketika dilakukan assessment ternyata kita mendapati klien sedang bergulat dengan konflik internal keluarga, permasalahan keuangan yang membuat stamina psikisnya rendah karena harus berpikir keras untuk ‘bertahan hidup’, mendengarnya saja mungkin Anda pun sudah bisa membayangkan getirnya situasinya.
Bergantung pada kadar keparahan Kompleksitas Tantangan dan Impuls Emosi, semakin tinggi tekanan kehidupan seseorang, semakin rendah daya nalarnya untuk membuat keputusan yang sehat, jika dibiarkan terus tidak tertutup kemungkinan situasi yang penuh tekanan ini menyebabkan klien melakukan tidakan nekat.
Kebijakan saya untuk penanganan klien di zona ini adalah untuk sesegera mungkin ‘memindahkan’ zonanya terlebih dahulu dimana hal ini bisa dilakukan dengan menurunkan Impuls Emosinya, melalui prosesi terapi yang ditujukan untuk menetralisir emosi tidak produktif yang menggerogoti diri klien dan meningkatkan kembali kendali dirinya, atau menurunkan Kompleksitas Tantangan dengan merumuskan aksi-tindakan strategis yang klien perlu lakukan untuk membawa lebih banyak perubahan dalam hidupnya, baru proses normalisasi kelak dilakukan dari zona baru yang sudah klien masuki.
Bagaimana kita tahu yang mana yang perlu dilakukan? Hal-hal ini hanya bisa diketahui jika kita sudah mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas kompleksitas permasalahan klien dan mengurai ‘benang kusut’ yang membentuk permasalahan dirinya, ‘simpul benang kusut’ inilah yang bisa jadi Impuls Emosi atau Kompleksitas Tantangan, yang ketika disikapi akan berkontribusi memindahkan zona klien.
Perpindahan zona bagi klien yang berada dalam Combat Zone sangatlah penting, selain menghindari kemungkinan terjadinya gangguan traumatik pasca-stres (post-traumatic stress disorder/PTSD) nantinya, juga untuk mengembalikan klien ke zona yang lebih kondusif untuknya mendapatkan resolusi atas kompleksitasnya.
Dalam Kompleksitas Tantangan dan Impuls Emosi yang tinggi, proses terapi yang fokus untuk mengintervensi Impuls Emosi – yang membuat klien tidak punya kendali yang ideal dalam situasinya – akan membantu menurunkan Impuls Emosi dan menaikkan tingkat kendali diri klien, sehingga ia bisa berpindah ke Chess Zone dimana di zona ini klien lebih membutuhkan resolusi berupa aksi dan tindakan yang bisa membawa perubahan dimana coaching dan solution focused counselling menjadi sarananya.
Sementara itu proses coaching dan solution focused counselling yang ditujukan untuk menurunkan Kompleksitas Tantangan melalui aksi-tindakan nyata akan mengurangi tekanan eksternal yang mengembalikan stamina psikis klien, meski emosinya masih belum sepenuhnya terkendali, namun paling tidak tekanan dari luar diri yang menyedot atensinya bisa berkurang, di titik ini klien bisa menjalani sesi terapi yang ditujukan untuk menetralisir Impuls Emosinya agar berangsur kembali ke zona normal.
Namun demikian, tidak semua klien yang datang dalam Combat Zone terjebak dalam peperangan kehidupan yang sedemikian parah, layaknya perang pun ada perang besar dan kecil, keberadaan Kompleksitas Tantangan yang tinggi di zona ini tidak hanya diwakili oleh kompleksitas badai kehidupan yang pasti penuh kerumitan, namun juga situasi dimana klien terjebak dalam sebuah situasi yang mereka tidak sukai dimana ‘ketidaksukaan’ mereka pada situasi tersebut terakumulasi dengan ‘keterpaksaan’ untuk tetap harus berada di situasi itu.
Contoh kasus yang mewakili fenomena ini adalah ketika klien memiliki keluhan emosi negatif pada orang tertentu yang dirasanya memperlakukannya dengan tidak menyenangkan, dimana dalam kesehariannya klien masih harus bertemu dengan orang tersebut.
Situasi ini termasuk ke dalam Combat Zone, karena klien memiliki Impuls Emosi dalam diri yang tinggi pada keberadaan orang tersebut, tapi terdapat kriteria khusus yang menjadikan orang tersebut Kompleksitas Tantangan, yaitu ‘keterpaksaan’ dan ‘tidak adanya pilihan atau kemungkinan’ untuk bisa menghindari atau menjauhi orang tersebut.
Catatan: jika klien tidak harus bertemu lagi atau orang tersebut sudah tidak ada, maka situasi ini termasuk ke dalam Thunder Zone, karena akumulasi emosi klien ada dalam pikirannya sendiri dan hanya bereaksi ketika klien bertemu/memikirkan orang tersebut.
Kasus yang sering dijumpai, yang menggambarkan hal ini adalah ketika seseorang datang dengan emosi negatif yang besar atas perlakuan menyakitkan, yang dilakukan orang dekatnya.
Persoalannya adalah, klien ini bisa menjalani terapi dan melepas emosi negatif yang melekat pada orang dekatnya, namun tetap saja ia pada akhirnya masih harus kembali menemui mereka, yang tetap saja belum berubah, masih dengan perilaku lamanya.
Khusus untuk situasi ini, yang biasa saya lakukan adalah dua hal, pertama yaitu membangun kesadaran klien atas situasinya, dimana mereka harus menyadari bahwa yang berubah melalui sesi terapi ini adalah diri mereka dan bukan orang lain, yang mereka harapkan bisa berubah perlakuannya atas diri mereka.
Kedua, beranjak dari pemahaman dan kesadaran itu baru saya mengajak klien menyadari solusi yang paling realistis baginya agar situasi di luar dirinya yang belum berubah itu tidak membebaninya berlarut-larut. Solusi itu bisa dalam bentuk tindakan, dimana klien perlu menjaga jarak dengan mereka – jika hal itu mungkin – atau klien harus menyiapkan sikap mentalnya untuk bisa memaknai perilaku tidak menyenangkan mereka secara lebih sehat.
Mengapa saya cetak miring kalimat ‘jika hal itu mungkin’ di atas tadi? Karena dalam kenyataannya, tidak semua situasi bisa disikapi dengan ‘menjauh’. Kasus ini dialami seorang klien saya yang sakit hati atas perlakuan ibunya yang dirasanya kasar padanya, namun ia sendiri tidak bisa menjauh dan meninggalkan ibunya karena ia pun tahu ibunya tidak bisa hidup sendiri, kesehatannya tidak mumpuni untuk itu. Ia pun mengalami polemik internal, jika ia tetap tinggal bersama ibunya maka ucapan kasar ibunya akan terus menyakiti dirinya, namun bagaimana pun ia tidak bisa meninggalkan ibunya karena tahu ibunya tidak bisa hidup sendiri.
Dalam situasi tersebut saya tidak memberinya saran dan nasihat, karena klien haruslah membuat keputusan yang bisa menengahi situasi ini berdasarkan nilai-nilai yang penting baginya, keahlian coaching dengan tetap menjaga netralitas pun menjadi kunci penting dalam proses ini.
Ketika pada akhirnya klien tersebut memutuskan untuk terus tinggal bersama ibunya, ia memutuskan hal tersebut berdasarkan nilai pribadinya secara matang dan sadar bahwa penanganannya nanti akan melibatkan tiga tahapan penting: pertama, untuk bisa menetralisir akumulasi emosi negatif dalam dirinya yang bersumber dari perlakuan ibunya dari masa lalu sampai sekarang, proses ini diharapkan memindahkan dirinya ke Chess Zone.
Kedua, untuk bisa menyiapkan diri dengan kesiapan mental dan emosional yang prima untuk menerima perlakuan ibunya yang memang belum berubah, karena ia sadar yang menjalani proses penanganan adalah dirinya dan bukan ibunya, ibunya sendiri belum berubah. Yang saya lakukan untuk semakin menyiapkan respon mental-emosionalnya adalah membangun kesadarannnya bahwa mereka yang memperlakukan sesama dengan kasar sejatinya adalah korban dari masa lalunya yang juga penuh kekasaran, sehingga tak seharusnya kita menyikapi mereka dengan rasa marah – melainkan rasa kasihan – karena mereka masihlah menjadi korban dari masa lalunya dan belum bisa beranjak hidup di masa kini.
Dengan adanya kesadaran ini, respon mental-emosional klien memang sudah lebih tenang dalam menyikapi perlakuan kasar dari ibunya, yang memang belum berubah, namun prosesnya tidaklah selesai sampai di sini, masih ada tahap ketiga, yaitu membangun aksi dan tindakan klien yang efektif dan taktis agar perubahan yang sudah dilaluinya bisa berdampak dan membangun sikap asertif yang bisa mempengaruhi ibunya untuk mengubah perilakunya.
Sampai selesai penanganan pun saya tidak pernah berjumpa dengan ibu klien. Yang saya lakukan hanya mengajak klien untuk fokus pada apa yang bisa ia kendalikan dalam sikapnya sehari-hari, mengefektifkan sikap asertifnya agar semua itu bisa mempengaruhi ibunya untuk perlahan tapi pasti turut berubah, ini adalah proses menggeser Chess Zone memasuki zona normal.
Bisa kita dapati sebuah pesan penting yang sangat esensial dalam pemaparan awal ini yaitu bahwa segala jenis perubahan yang bisa kita fasilitasi adalah perubahan yang bermula dari diri klien, maknanya klien bisa saja berada di zona Thunder Zone dimana faktor perubahan mereka sederhana karena sekali respon mereka bisa berubah melalui sesi terapi maka mereka sudah kembali ke zona normalnya, namun bisa juga klien berada di Combat Zone dimana meski mereka sudah berubah sekali pun tetap saja lingkungan sekitarnya menjadi tantangan tersendiri baginya, jika ini yang terjadi selalu ingat dengan jelas bahwa tugas kita tetaplah memfasilitasi perubahan pada diri klien, kita tidak akan bisa serta-merta mengubah stimulus di luar diri klien, karena itu di luar kendali kita, yang kita bisa lakukan adalah memfasilitasi klien agar ia bisa merumuskan respon mental-emosional dan tindakan yang taktis untuk menyikapi stimulus di luar dirinya dengan lebih efektif.
DESAIN PENANGANAN SESUAI KOMPLEKSITAS MASALAH
Apa yang muncul di pikiran Anda selepas membaca uraian di atas? Lain permasalahan lain kebutuhan penanganan bukan?
Betul sekali, itulah yang menjadikan pentingnya analisa yang memadai atas sebuah kompleksitas permasalahan. Jika klien datang dengan keluhan kecemasan, fobia atau pun emosi negatif spesifik lain yang muncul karena stimulus spesifik (kondisi Thunder Zone) maka hipnoterapi bisa langsung dilakukan, karena memang itulah yang klien butuhkan, dalam hal ini jumlah sesi yang singkat (1 – 2 sesi) masih mungkin untuk dilakukan – meski bisa saja jumlah sesi ini berkembang ketika didapati ternyata akar masalah yang ditemukan dalam sesi hipnoterapi pun cukup rumit untuk dineteralisir dalam waktu singkat.
Namun lain cerita ketika seorang klien datang dengan keluhan emosi negatif tertentu – yang cukup banyak – yang turut disebabkan oleh banyaknya stimulus masalah di luar dirinya, meski ia menjalani hipnoterapi sekali pun – yang berdampak pada selesainya masalah emosi negatif dalam dirinya – tetap saja para stimulus penyebab permasalahan itu masih mengelilinginya dan lagi-lagi menyita energi psikisnya, disinilah tindakan ‘pendampingan’ menjadi penting dimana dalam program ini klien mendapatkan dukungan serta penguatan mental dari hipnoterapis yang juga menjalankan peran sebagai coach, selain untuk memelihara stamina psikisnya karena ia memiliki seseorang untuk bercerita dan mengungkapkan ganjalannya sebelum ganjalan itu ‘bermutasi’ menjadi gangguan yang lebih parah, juga sebagai mitra berpikir kreatif yang bisa memberikan stimulus pada klien untuk merumuskan strategi-tindakan yang lebih solutif, yang bisa berkontribusi meredakan Kompleksitas Tantangan di luar dirinya.
Proses pendampingan jelas mensyaratkan waktu yang lebih berproses, hal ini karena tolak ukur untuk menyudahi prosesnya adalah perbaikan kondisi yang klien alami, ketika klien merasa sudah lebih stabil dan mandiri maka saat itu pendampingan mulai bisa disudahi, bisa berapa kali sesi berlangsung? Sekali lagi, bergantung pada kompleksitas masalah dan kemajuan klien dalam menyelesaikan kompleksitas tersebut.
Bagaimana menurut Anda? Sudah lebih jelas kali ini tentang pentingnya analisa masalah yang tepat untuk membantu mendesain program penanganan yang tepat?
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.