“Arsitek” dan “Tukang” Dalam Hipnoterapi
Daftar Isi
Ketika membangun sebuah gedung, ada dua peran esensial yang diperlukan agar gedung itu terbangun dengan baik, yaitu “arsitek” dan “tukang”.
Tanpa peran arsitek, akan sulit mendesain rancang-bangun gedung yang memenuhi standar keamanan, fungsi dan estetika yang baik, namun tanpa adanya tukang maka rancang-bangun itu hanya akan menjadi sebuah perencanaan semata tanpa ada yang membuatnya.
Sama halnya dengan praktik hipnoterapi profesional, mensyaratkan keberadaan dari dua peran itu, yaitu peran “arsitek” dan “tukang”.
Namun seperti apa kiranya kejelasan dari peran arsitek dan tukang ini dalam praktik hipnoterapi, terutama kalau dihubungkan dengan keahlian yang terasosiasi dengan kedua peran itu?
Tulisan di artikel kali ini ditujukan untuk mengajak kita memahami pentingnya penguasaan atas kedua peran itu, agar mampu memfasilitasi layanan yang profesional.
ARSITEK VS TUKANG
Apa yang muncul di pikiran Anda ketika mendengar kata “arsitek” dan “tukang”? Adakah kesan seolah salah satu lebih tinggi dari yang lainnya?
Jika demikian adanya, maka hal ini yang pertama-tama perlu kita luruskan dulu.
Dalam membangun sebuah gedung, akan ada dua peran yang esensial dimana keduanya saling melengkapi satu sama lain.
“Arsitek” adalah peran yang menentukan rancang-bangun sebuah gedung, sementara “tukang” adalah mereka yang melaksanaan pengerjaan rancang-bangun itu sampai apa yang semula hanya berupa sebuah rencana itu “mewujud” menjadi sebuah gedung yang sebenarnya.
Tanpa adanya arsitek, secara fungsional para tukang bisa menjalankan tugasnya melakukan hal-hal teknis yang ditujukan untuk membangun sebuah gedung, tapi merupakan perkara berbeda nantinya apakah gedung itu dibuat sesuai dengan prinsip hukum dan keamanan lingkungan, berfungsi sebagaimana nilai-nilai yang diperuntukkan ketika membangunnya, serta terjaga estetikanya.
Begitu juga tanpa adanya tukang, para arsitek bisa menetapkan rancang-bangun yang berkualitas, tapi tidak ada yang akan mengerjakan pelaksanaannya, maka rancang-bangun itu hanya akan menjadi sebuah wacana dan rencana mangkrak tanpa kejelasan pelaksanaan.
Kedua peran di atas adalah peran yang bagi saya terasosiasi dengan keahlian konseptual (arsitektur) dan teknikal (pertukangan), tidak ada satu yang lebih tinggi dari yang lainnya, karena kedua keahlian ini saling melengkapi adanya.
Begitu juga dalam hipnoterapi, kedua keahlian ini diperlukan dan bahkan saling melengkapi satu sama lain.
ARSITEK DAN TUKANG DALAM HIPNOTERAPI
Kalau begitu, dimana letak peran arsitek dan tukang ini dalam hipnoterapi?
Untuk menjawabnya, kita perlu memahami dulu keberadaan keahlian yang melekat pada kedua peran itu.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, keahlian yang melekat pada peran arsitek dalam tulisan ini adalah peran konseptual, sementara keahlian yang melekat pada peran tukang dalam tulisan ini adalah peran teknikal.
Dalam hipnoterapi keberadaan dari kedua keahlian ini bisa kita pada amati pada keahlian melakukan proses hipnoterapi (teknikal) dan keahlian menganalisa kompleksitas kasus dan merancang desain penanganan (konseptual).
Namun berbeda dengan keberadaan peran arsitek dan tukang yang kerap kali dimainkan oleh individu yang berbeda, dalam praktik hipnoterapi profesional kedua peran ini haruslah dimiliki oleh seorang hipnoterapis agar bisa menghadirkan layanan yang berkualitas.
Seseorang mungkin bisa saja fasih dalam melakukan berbagai teknik hipnoterapi, tapi jika ia tidak memiliki keahlian menganalisa kompleksitas kasus dan merancang desain penanganan yang baik maka selalu ada kemungkinan teknik hipnoterapi yang diterapkannya tidak menjadi solusi bagi klien untuk memecahkan kerumitan situasi yang dialaminya, belum lagi kalau-kalau ternyata ada pelanggaran kode etik yang tidak disadarinya.
Namun begitu juga sebaliknya, seseorang mungkin saja fasih dalam menganalisa kompleksitas kasus dan merancang desain penangananan, tapi jika ia tidak mampu mempraktikkan teknik hipnoterapi dengan baik sesuai dengan kebutuhan yang dipersyaratkan dalam desain penanganan tersebut, maka tetap saja tidak ada resolusi nyata yang bisa dihadirkannya.
MANA MENDAHULUI MANA DALAM PENGUASAANNYA?
Jika demikian, pertanyaan pentingnya adalah mana mendahului mana yang hendaknya dipelajari dalam hipnoterapi?
Hal ini yang mungkin tidak akan bisa dijawab begitu saja, karena lain format pembelajaran hipnoterapi dan lain instruktur yang mengajarkannya maka lain juga kebijakan mereka dalam menekankan kompetensi yang akan dibangun dalam pembelajaran yang difasilitasinya.
Bagi saya, bukan soal mana mendahului mana, namun mana yang sedang diperlukan untuk dipahami sesuai dengan tingkat pembelajaran yang seseorang lalui.
Apa yang dibahas dalam tulisan ini tidak mewakili penjelasan yang paling benar sehubungan hal ini, melainkan sudut pandang saya pribadi, yang secara tidak langsung menggambarkan kebijakan saya dalam memfasilitasi pembelajaran hipnoterapi.
Di fase awal, bagi saya penting bagi seorang pembelajar hipnoterapi untuk memahami terlebih dahulu kewenangannya dalam mempraktikkan hipnoterapi, hal ini sudah termasuk ke dalam sebagian dari keahlian konseptual yang penting untuk dikuasai, untuk menghindarkan pembelajar ini dari potensi malpraktik atau pelanggaran kode etik dalam mempraktikkan hipnoterapi kelak.
Selepas memahami cakupan kewenangan dan kode etik, barulah pembelajar hipnoterapi ini bisa melanjutkan pembelajaran ke level yang cukup teknikal, yaitu mendalami berbagai prinsip dan teknik hipnoterapi.
Akan ada sesi praktik dalam pembelajaran hipnoterapi, baik pada sesama rekan pembelajar, atau pun pada subjek yang sedang diposisikan sebagai klien di luar kelas, tanpa adanya pemahaman yang benar tentang kode etik bisa ada saja kemungkinan sesi praktik ini berjalan dengan menyalahi aturan yang seharusnya, semata karena pembelajarnya tidak tahu bahwa yang ia lakukan menyalahi aturan yang ada.
Dalam pembelajaran prinsip dan teknik hipnoterapi, penting bagi seorang pembelajar untuk benar-benar menguasai seluk-beluk berbagai teknik terapi secara fundamental, dari mulai pelaksanaannya, peruntukkannya, sampai ke kebijakan preventif yang diperlukan dalam memfasilitasinya.
Pembelajaran prinsip dan teknik ini yang tidak akan berlangsung sebentar, hal ini karena ada begitu banyak yang harus dipelajari sehubungan dengan hipnoterapi yang beririsan dengan keilmuan Psikologi, Psikiatri dan kesehatan, belum lagi memahami peririsan dari berbagai modalitas Psikoterapi dengan hipnoterapi.
Lain mahzab (aliran) lain juga cara pandang dalam memfasilitasi proses terapi, apa yang dilakukan dalam hipnoterapi berbasis perilaku-kognitif (Cognitive-Behevioral Hypnotherapy) yang melibatkan proses rekontruksi kognitif, akan berbeda dengan hipnoterapi berbasis Psikodonamika (Psychodynamic Hypnotherapy) yang banyak melibatkan proses rekontruksi berbasis hipnoanalisis, lain juga dengan apa yang dilakukan dalam hipnoterapi transpersonal yang melibatkan rekontruksi simbolis.
JADI ARSITEK MERANGKAP TUKANG DALAM HIPNOTERAPI
Seiring dikuasainya berbagai prinsip dan teknik hipnoterapi, idealnya seseorang pembelajar sudah mulai mendapatkan predikat baru menjadi seorang praktisi (seseorang yang mempraktikkan) hipnoterapi, di titik ini juga biasanya ia sudah memahami langkah-langkah pelaksanaan teknik terapi untuk penanaganan berbagai jenis kasus.
Disini juga hendaknya praktisi hipnoterapi kembali memperdalam keahlian konseptualnya, yaitu keahlian menganalisa kasus dan merancang desain penanganan.
Bukan tanpa alasan saya mengatakan hal ini, dalam praktik hipnoterapi profesional – setidaknya yang saya fasilitasi selama sepuluh tahun terakhir ini – tidak semua klien akan datang dengan kondisi permasalahan yang “siap ditangani” begitu saja.
Ada kalanya klien datang bukan dengan sebuah “permasalahan untuk dipecahkan”, melainkan “asumsi atas apa yang dianggapnya sebagai permasalahan”.
Terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya, disinilah kepekaan dan kecermatan seorang hipnoterapis menjadi esensial adanya untuk mengenalinya, karena kesalahan dalam menetapkan sasaran penanganan akan berdampak pada kesalahan dalam menciptakan hasil akhir yang sesuai dengan harapan, disini jugalah seorang hipnoterapis hendaknya memiliki wawasan yang luas tentang berbagai hal yang bisa membantunya menganalisa kasus dengan lebih menyeluruh.
Ketika seorang klien datang dengan kondisi kedukaan berlebih (grief) misalnya, seorang hipnoterapis hendaknya memahami seluk-beluk di balik sebuah kedukaan sebelum memfasiltasi penanganan, untuk mengenali apakah masalah klien merupakan “kedukaan wajar” yang sebatas melibatkan kesedihan (sadness) atau “kedukaan yang membebani”, yang melibatkan rasa bersalah (guilt) dan rasa malu hati (shame), karena jalannya desain penanganan untuk kedua jenis kedukaan itu akan berbeda adanya nanti.
Artinya, seorang hipnoterapis haruslah bisa mengidentifikasi faktor-faktor yang membentuk sebuah permasalahan dalam diri klien, ia haruslah bisa memilah mana faktor yang murni berasal dari dalam diri klien, yang murni mensyaratkan penanganan yang kita fasilitasi, dan mana yang berasal dari luar, yang akan mensyaratkan klien untuk ikut mengambil tindakan untuk menyelesaikannya.
Ketika seorang klien datang dengan keluhan “kemarahan berlebih” misalnya, hipnoterapis hendaknya cermat untuk mengenali apakah kasus kemarahan berlebih klien murni bersumber dari sebuah kebiasaan lama (coping mechanism) masa lalu yang kemudian menjadi operating system dalam dirinya, atau apakah kemarahan itu melibatkan muatan trauma atau luka yang ingin ditekannya (defense mechanism).
Tidak hanya itu, hipnoterapis juga hendaknya mengidentifikasi faktor-faktor eksternal yang bisa menjadi stresor tersendiri yang mengaktifkan kemarahan tersebut, karena lain situasi lain juga kerumitan faktor yang membentuk sebuah kemarahan.
Seseorang yang mengalami kemarahan berlebih ketika mendengar suara bentakan misalnya, akan memiliki faktor pembentuk kemarahan yang berbeda dengan orang lainnya yang mengalami kemarahan berlebih karena ia tinggal di lingkungan yang penuh dengan stresor, seperti misalnya tinggal bersama mertua atau keluarga pasangan yang berperilaku toxic, atau bahkan bekerja di lingkungan yang penuh dengan stresor.
Dalam hal ini hipnoterapis perlu memahami faktor eksternal mana yang perlu dipecahkan dalam bentuk klien mengambil tindakan nyata di luar dirinya karena hipnoterapis menyadari situasi itu perlu dipecahkan agar tidak menimbulkan situasi berlarut-larut, jika hal ini terjadi maka tentu jalannya desain penanganan akan mensyaratkan penyesuaian.
Membersamai perjalanan beragam klien dengan beragam kasus dan kompleksitas, saya mendapati bahwa penting adanya bagi seorang hipnoterapis untuk memiliki keahlian menganalisa kasus secara mendalam dan mengurainya secara komprehensif dengan cara yang “membangun”, atau turut mengajak klien menyadari dan memahami kompleksitasnya, termasuk juga mengedukasi klien secara konstruktif agar mereka lebih bijak dalam menyikapi permasalahan, membuat keputusan dan mengambil tindakan, termasuk bersikap kolaboratif dalam menjalani penanganan yang dilaluinya bersama hipnoterapi.
Tidak kalah pentingnya, keahlian konseptual dalam praktik hipnoterapi akan juga melibatkan keahlian “mengawal” bisnis yang kita jalankan, dari mulai menempatkan diri sebagai hipnoterapis, sampai ke proses penerimaan klien, penanganannya, pendampingannya, penyudahannya, sampai ke tindak lanjut pasca penanganan, keseluruhan alur inilah yang ketika tidak dipahami dengan baik berpotensi membuat seorang hipnoterapis mungkin mampu “melakukan hipnoterapi”, tapi belum tentu mampu “menjalankan bisnis hipnoterapi”.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.