Bagaimana Tahu Sudah Sembuh Dari Luka Batin?
Ada kisah menarik di beberapa program pelatihan goal setting di awal Januari 2024 ini.
Ya, awal tahun menjadi satu momen dimana banyak perusahaan mengadakan pelatihan pembukaan tahun yang biasanya disertai nuansa “goal setting“.
Sesuai dengan namanya, goal (tujuan) setting (pengaturan) merupakan aktivitas dimana para peserta yang terlibat di dalamnya menetapkan arah tujuan dan target pencapaian yang mereka ingin wujudkan selama satu atau beberapa periode tertentu.
Di pelatihan yang saya fasilitasi, saya tidak mengarahkan peserta untuk menetapkan besaran tertentu sebagai targetnya, karena hal itu lebih bersifat teknis dan mengikuti sistem bisnis yang mereka jalankan. Lain perusahaan maka lain juga sistem yang ditetapkan, maka saya tidak masuk terlalu dalam ke aspek yang satu ini.
Yang saya lakukan adalah memaparkan prinsip goal setting efektif sesuai cara kerja pikiran, terutama pikiran bawah sadar, sebagai “mesin penggerak” yang berperan lebih dominan menggerakkan kita mencapai goal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Barulah nantinya berdasarkan pemahaman itu para peserta menetapkan target pencapaian mereka sendiri sesuai sistem bisnis yang mereka jalankan.
Meski terdengar mendasar, banyak orang yang ternyata belum memahami prinsip penting di balik goal setting yang efektif. Alhasil dari tahun ke tahun mereka mengulang pola yang sama, yaitu menetapkan target – yang sering kali spektakuler – di awal tahun dengan energi dan motivasi yang luar biasa, hanya untuk mendapati dari waktu ke waktu energi dan motivasi itu mulai meredup, terutama ketika berbagai hambatan mulai muncul di sepanjang perjalanan, sampai lama-lama di akhir tahun energi itu habis dan tidak banyak target pencapaian signifikan yang benar-benar terwujud.
Ada kalanya hal ini sedemikian seringnya terjadi sampai-sampai tanpa disadari mereka jadi antipati sendiri dengan targetnya, meski mereka ikut menetapkan target di awal tahun di acara goal setting yang mereka ikuti, jauh di hati kecilnya mereka sebenarnya sudah terlanjur ragu dengan yang mereka tetapkan itu, sampai lama-lama bisnis yang mereka jalankan tidak lagi terasa menyenangkan dan bahkan menyiksa adanya.
Terdapat beberapa prinsip penting yang menjadikan sebuah goal setting berkualitas, prinsip yang sama juga yang ketika dijaga akan menjadikan aksi-pergerakan mewujudkan goal itu efektif adanya. Salah satu dari beberapa prinsip yang saya kerap paparkan di program yang saya fasilitasi adalah pentingnya menyadari dan menetralisir keberadaan “mental block” yang menghambat kita untuk bergerak mewujudkan goal yang kita tetapkan.
Lagi-lagi sesuai dengan namanya, mental block (hambatan mental) adalah jenis hambatan yang bersumber dari program mental dimana ia menghambat (blocking) kita untuk bergerak maju menuju pencapaian yang kita impikan. Karena ia bersumber dari mental, maka ia menjadi perkara yang tidak terlihat, yang pada akhirnya menyabotase kesuksesan, saya menyebutnya “sabotase tidak kasat mata”.
Terdapat dua jenis mental block. Pertama, yaitu mental block berupa “keraguan” atau “penolakan”. Yang satu ini sering kali muncul dalam bentuk rasa ragu, rasa tidak layak, atau rasa tidak pantas mewujudkan yang ingin dicapai, ada sebuah “penolakan”dari dalam diri untuk mencapai target yang ditetapkan. Ilustrasi yang mewakili mental block ini adalah “mobil yang digas sambil direm tangan”, di satu sisi ada tujuan yang membuat mobil ini digas, tapi di sisi lain ada rem yang menahan mobil ini untuk bergerak maju dengan baik.
Kedua, yaitu mental block berupa “kebocoran batin”, ada rongrongan emosi negatif masa lalu yang belum terselesaikan, yang membocori energi kita di masa kini, seperti dendam, kesedihan, penyesalan, kemarahan, dan lain sebagainya. Ilustrasi yang mewakili mental block ini adalah “mobil yang mesinnya bocor kompresinya”, di satu sisi mesinnya menyala, tapi di sisi lain tarikannya “kosong”, ada banyak kebocoran yang membuat banyak tekanan energi di dalam mesin terbuang sia-sia sehingga mobil tidak bisa bergerak maju dengan efektif.
Bergantung dari durasi yang tersedia di program yang saya fasilitasi, berbeda juga kedalaman penggalian mental block ini. Karena kebanyakan pelatihan yang diminta adalah berdurasi satu sampai dua hari, maka fokus penanganan mental block ini tentu perlu mendapatkan prioritas yang jelas.
Penanganan mental block jenis pertama akan memakan waktu lebih lama, karena hal ini mensyaratkan para peserta untuk lebih dulu mengenal cara kerja pikiran bawah sadar secara lebih spesifik. Mereka juga perlu belajar terlebih dahulu bagaimana berkomunikasi dengan pikiran bawah sadar secara efektif agar mental block itu bisa disadari keberadaannya, baru kemudian mereka belajar langkah-langkah menetralisirnya.
Atas alasan itulah untuk program berdurasi singkat saya lebih sering mengajak peserta membereskan mental block yang lebih mudah mereka sadari keberadaannya, yaitu mental block jenis kedua, yaitu “kebocoran batin” yang bersumber dari luka masa lalu yang belum terselesaikan.
Kembali ke awal cerita, selalu ada kisah menarik sehubungan dengan tema yang satu ini. Fenomena ini diwakili oleh apa yang menjadi judul dari tulisan ini, yaitu “Bagaimana tahu sudah benar-benar sembuh dari luka batin?”
Fenomena ini biasanya muncul dalam bentuk “reaksi yang bertolak belakang”.
Seperti apa lebih jelasnya? Mari mengambil contoh yang terjadi di beberapa kelas kemarin.
Di sistematika pelatihan yang saya bawakan, materi yang membahas mental block kebocoran batin ini terbagi di dua sesi berbeda, sesi teori dan sesi praktik, dimana terdapat waktu jeda di antara kedua sesi ini.
Ketika sesi teori dimana saya membahas tentang lika-lika mental block dan luka batin, ada saja peserta yang “terpanggil” untuk berkisah bagaimana mereka adalah sosok yang pernah terluka batinnya karena disakiti oleh peristiwa atau sosok tertentu di masa lalunya, namun dengan gaya bijak juga mereka akan berkisah bahwa mereka sudah berdamai dengan luka itu dan sudah sembuh dari luka itu.
Mendengar hal itu, tidak jarang intuisi saya tergelitik untuk mencari tahu lebih jauh, maka pertanyaan tadi itulah yang saya ajukan, yaitu “Bagaimana tahu sudah benar-benar sembuh dari luka itu?”
Disinilah berbagai jawaban yang menyiratkan “kegagalpahaman” sering kali muncul, ada yang mengatakan bahwa hal itu “sudah mereka lupakan”, ada juga yang menceritakan mereka sudah “mengubur itu jauh-jauh dalam batinnya”.
Tanpa bermaksud menghakimi, dari pengalaman selama ini memfasilitasi proses terapi, konseling dan coaching, selalu ada respon tidak terlihat yang tidak bisa ditutupi, yaitu bahasa tubuh dan ekspresi. Disinilah meski mulut mereka berkata “sudah sembuh”, ada ekspresi yang tidak mereka sadari yang sebenarnya menyiratkan bahwa luka itu masihlah jelas belum sembuh adanya.
Terlebih lagi yang dialami mereka yang sebatas mengatakan bahwa hal itu sudah mereka “lupakan” atau “kubur jauh-jauh”. Dengan mengatakan kedua hal itu saja sudah jelas menyiratkan bahwa luka itu masihlah belum sembuh, hanya saja mereka memilih untuk menciptakan “pelarian” tersendiri dengan cara “mengkarantina lukanya” agar luka itu tidak mengganggu mereka dalam batinnya. Masalahnya adalah, luka itu masih ada, dan tetap saja akan merongrongi dari dalam diri, karena ia tidak pernah terekspresikan secara sehat.
Tokoh besar dunia Psikologi, Sigmund Freud, konon pernah mengatakan “Emosi yang tidak terekspresikan tidak akan pernah hilang, mereka terkubur hidup-hidup dan akan hadir kembali dalam wujudnya yang lebih buruk.” Disinilah “wujud yang lebih buruk” dari luka itu kerap kali hadir dalam diri banyak orang dalam bentuk “sabotase kesuksesan”, ada sabotase tidak kasat mata yang membuat berbagai tujuan pencapaian berulang kali gagal mereka wujudkan.
Dan benar saja, memasuki sesi praktik “reaksi yang bertolak belakang” itu muncul. Di salah satu tahapan memulihkan luka batin yang saya fasilitasi, terdapat tahapan dimana para peserta perlu mengakses dulu memori berisikan luka yang mereka alami, untuk melihat seperti apa reaksi dari memori dan luka itu pada diri mereka. Disinilah mereka yang mengatakan “sudah berdamai “ itu justru bisa menjadi orang-orang yang malah resisten melakukannya. Di satu sisi mereka bilang “sudah berdamai”, di sisi lain ada reaksi yang bertolak belakang yang muncul, yang resisten untuk mengakui bahwa luka itu masih ada dan masih menyakiti mereka.
“Saya tidak mau hal yang sudah saya lupakan atau kubur jauh-jauh itu harus ‘dikorek-korek’ lagi.” Demikian reaksi penolakan itu seolah berbunyi.
Disinilah saya menegaskan bahwa luka itu belum sembuh adanya.
Kenapa demikian? Karena esensi sembuh yang sebenarnya ada pada “kelegaan” sejati dalam kehadiran memori itu secara penuh. Tidak ada resistensi atau penyangkalan apa pun di sana, tidak ada yang kita lupakan, tidak ada yang kita kubur. Semua yang pernah melukai itu tetap kita ingat adanya dengan jelas, namun kita merasa lapang, lega dan lepas, tidak ada beban apa pun. Dengan kata lain kita tetap mengingat hal yang pernah melukai kita tersebut namun hal itu tidak lagi mempengaruhi kita secara negatif dalam bentuk apa pun.
Melupakan atau mengubur jauh-jauh kenangan yang dianggap menyakitkan bukanlah solusi. Di permukaan memang hal itu nampak seperti menenangkan, tapi di kedalaman gejolak luka itu masihlah jelas nyata adanya, ia merongrong dalam diam dan membocori energi psikis kita, menyabotase potensi kita untuk bergerak maju dengan baik ke masa depan.
Saya mendapati bahwa mereka yang benar-benar “sudah sembuh” justru tidak pernah menghambur-hamburkan cerita bahwa mereka sudah sembuh dari lukanya pada banyak orang. Mereka menikmati kelegaannya dengan tenang tanpa harus menegaskannya pada siapa pun. Mereka yang paling sering menghamburkan cerita bahwa mereka sudah melupakan atau mengubur jauh-jauh itulah yang sering kali justru belum sembuh, klaim itu mereka suarakan untuk meyakinkan mereka sendiri bahwa mereka “baik-baik saja”, sehingga mereka tidak perlu lagi mengingat hal yang mereka rasa menyakitkan itu.
Maka, sekali lagi, “Bagaimana tahu sudah benar-benar sembuh dari luka batin?”
Jawabannya jauh dari kata “lupa” atau “sudah dikubur jauh-jauh”, melainkan justru “tetap ingat dengan jelas, namun merasa lega dan tanpa beban apa pun ketika memikirkannya”. Tahap tertinggi dari penyembuhan ini bahkan ada pada “kasih” (compassion), yaitu munculnya rasa kasih-an pada mereka yang pernah menyakiti, muncul sebuah kesadaran dan bahkan aksi nyata untuk mendoakan berbagai jenis kebaikan pada mereka yang dirasa pernah menyakiti.
Kalau begitu, apa kesimpulan dari tulisan ini? Bagaimana tahu bahwa sudah benar-benar sembuh dari luka batin? Mari memahami salah satu bentuk praktik sederhananya dengan menggunakan satu contoh kejadian yang dirasa pernah melukai.
Pertama, ingat-ingat kejadian yang pernah melukai itu. Hadirkan ingatan atas kejadian itu sejelas mungkin.
Kedua, sadari reaksi dalam diri, ada reaksi emosional apa yang terpicu oleh memori kejadian itu. Bersama reaksi emosional itu sadari adakah sensasi fisik tertentu yang seolah terpicu oleh memori kejadian itu. Sadari adakah reaksi emosi atau sensasi fisik yang menyiratkan ketidaknyamanan ketika menghadirkan memori kejadian itu.
Ketiga, sadari suara batin dalam diri. Seperti apa suara batin dalam diri merespon memori itu. Adakah suara-suara yang terkesan mengomentari negatif atau seperti terpicu secara negatif oleh memori itu.
Jika di tahap dua dan tiga ini muncul reaksi tidak nyaman maka jelas luka itu belum sembuh adanya.
Bagaimana jika di tahap dua dan tiga ini benar-benar tidak ada reaksi ketidaknyamanan apa pun? Apakah itu berarti luka yang ada sudah sembuh?
Jawabannya adalah “bisa jadi”, tapi bisa juga “tidak”.
Demikianlah, beberapa orang ada kalanya melakukan langkah pertama, kedua dan ketiga tadi dengan kondisi mental yang salah, yaitu dengan adanya mental “gengsi” untuk mengakui bahwa diri masih terluka. Karena gengsi inilah akhirnya reaksi ketidaknyamanan yang sebenarnya – yang seharusnya terasa – jadi tidak terasa, tertutupi oleh desakan rasa gengsi tadi. Ini yang sebenarnya lebih bahaya, luka itu malah jadi semakin “tidak terdeteksi” dan merongrong dengan lebih tersembunyi.
Maka, lakukan proses di atas tadi dengan keterbukaan dan kejujuran hati, dengan kesiapan untuk mengakui bahwa kalau pun diri ini memang terluka atau masih membawa luka maka hal itu siap untuk kita akui dan terima dengan segala kerendahan hati setulus mungkin. Meski tidak enak rasanya, tapi hal ini menjadi pijakan awal untuk kesembuhan yang lebih hakiki di masa depan.
Tapi mari asumsikan bahwa sampai langkah ketiga tadi benar-benar tidak ada sedikit pun reaksi ketidaknyamanan apa pun yang muncul. Apakah bisa diasumsikan bahwa luka batin yang melekat pada kejadian itu sudah sembuh? Meski baiknya hal ini dipastikan langsung dengan teknik yang ditujukan untuk memeriksa kualitas perubahan di pikiran bawah sadar, untuk saat ini boleh kita asumsikan dulu bahwa luka itu sudah sembuh, atau paling tidak: netral.
Mari masuki tahap berikutnya kali ini, niatkan untuk mendoakan mereka yang terlibat di peristiwa itu, yang kita rasa pernah menyakiti kita. Doakan mereka segala kebaikan dan hal positif dalam hidupnya. Sadari adakah ganjalan kali ini kita rasakan yang menghalangi untuk mendoakan mereka. Jika ada, maka apa yang tadi kita persepsikan “netral” ternyata belum sepenuhnya netral. Tandanya kita masih perlu membebaskan lagi sisa ganjalan yang ada sampai kita merasakan betul rasa “kasih”-lah yang kemudian muncul menggantikan luka itu, itulah tanda kesembuhan sejati.
Dengan kata lain, kita bisa tahu bahwa diri kita sudah benar-benar sembuh dari luka batin yaitu ketika kita bisa mengingat kembali hal yang dulu pernah melukai, namun kali ini rasa kasih atau welas-asih yang tuluslah yang muncul sebagai reaksi atas memori itu.
Seperti yang kemudian diungkapkan salah satu peserta di akhir sesi praktik, “Saya baru sadar seperti ini rasanya rupanya ‘sembuh yang benar-benar sembuh’, beda sekali rasanya. Saya tetap ingat semuanya apa adanya, tapi rasanya ya lega saja, plong, nyaman, bahkan kasihan malahan pada mereka yang dulu menyakiti saya itu. Selama ini rupanya saya hanya berusaha melupakannya. Pantas beda sekali rasanya kali ini.” Nampak senyumnya terlihat cerah dengan ekspresi yang selaras dengan frasa “lega” yang dikatakannya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnosis-hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnosis-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnosis-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.