Bahaya di Balik Hipnoterapi Masal
Daftar Isi
Baru saja beberapa hari lalu sebuah pesan teks mendarat di kotak masuk saya dari salah seorang manajer di sebuah perusahaan ternama yang meminta kesediaan saya untuk memberikan sesi hipnoterapi kelompok pada sejumlah peserta di institusnya, baru saja saya menolak tawaran tersebut tiba-tiba hanya beberapa jam berselang sebuah pesan teks lainnya masuk juga di kotak masuk saya dan mengajukan permintaan yang sama, namun kali ini dari jenis organisasi dan bisnis yang berbeda.
Hal ini tak urung membuat saya mengerutkan kening, di satu sisi saya memahami bahwa situasi saat ini yang terasosasi dengan kondisi pandemi tentunya membuat banyak pihak merasa terganggu oleh problematika psikis yang sedemikian tidak stabilnya, entah itu karena kecemasan, ketakutan berlebih atau pun berbagai jenis masalah psikis lainnya, dimana hal ini juga menyebabkan banyak institusi ‘kelabakan’ karena terjadinya banyak kasus penurunan kinerja akibat kondisi psikis yang tidak karuan ini, namun di sisi lain saya termasuk hipnoterapis yang bersikukuh untuk tidak memberikan sesi hipnoterapi dalam format masal atau kelompok.
Hal ini bukanlah saya tetapkan tanpa alasan, melainkan justru karena sebagai hipnoterapis klinis pertimbangan akan faktor keamanan dan keselamatan klien adalah prioritas utama, dimana dalam pelaksanaan hipnoterapi kelompok – terutama dalam jumlah masal – adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dipastikan.
Lantas mengapa ada saja pihak yang meminta layanan ini? Tentunya fenomena ini tidak lepas dari ketidaktahuan banyak kalangan masyarakat tentang fenomena hipnosis dan hipnoterapi itu sendiri dari sudut pandang yang tepat, ditambah lagi ada saja pihak-pihak tertentu yang dalam banyak unggahannya di media sosial justru menunjukkan mereka sedang melakukan aksi yang nampak seperti sedang ‘menghipnotis’ satu kalangan secara masal, lalu menambahkan bumbu-bumbu pemasaran yang terdengar fantastis, alhasil masyarakat yang notabene awam dengan fenomena ini mengasumsikan bahwa hipnoterapi masal adalah solusi praktis untuk menciptakan ‘keajaiban instan’ pada kelompoknya, tanpa kedua kalangan ini (praktisi dan klien kelompok) sama-sama menyadari konsekwensi bahaya yang membayanginya.
Itulah kiranya alasan dibuatnya tulisan ini, untuk membangun kesadaran dan pemahaman kita semua akan pelaksanaan dan bahaya di balik hipnoterapi masal, agar menghindari kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, yang berpotensi mencoreng nama baik hipnosis-hipnoterapi di masyarakat.
Perlu diingat, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa hipnoterapi masal adalah hal yang salah atau menyudutkan pihak tertentu yang terasosiasi dengan hal ini, melainkan mengungkap bahaya di balik pelaksanaannya jika tidak memerhitungkan faktor-faktor penting yang berhubungan dengan keselamatan dan keamanan klien.
Mari kita mulai.
BAHAYA PERTAMA, KEAMANAN FISIK
Sekali lagi, keamanan dan keselamatan klien selalu harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan sesi hipnoterapi, kode etik di semua organisasi hipnosis-hipnoterapi di seluruh dunia selalu menegaskan hal ini sebagai poin utama dalam kode etiknya.
Artinya, pelaksanaan sesi hipnoterapi haruslah selalu dilaksanakan dengan memerhitungkan kondisi klien – termasuk kondisi fisik – yaitu: adakah kondisi fisik klien yang berpotensi membahayakan atau menghambatnya untuk menjalani sesi hipnoterapi.
Ketika klien datang dengan kondisi fisik yang berpotensi terganggu oleh reaksi emosional berlebih – seperti sakit jantung misalnya – maka jelas hipnoterapis harus memerhitungkan kondisi ini. Sesi hipnoterapi yang melibatkan prosesi hipnoanalisis akan sangat banyak bersinggungan dengan munculnya reaksi emosional berlebih, dimana jika klien memiliki kondisi fisik yang bisa memburuk karena munculnya reaksi emosional berlebih maka hal ini tentu akan menjadi masalah tersendiri. Termasuk juga masalah-masalah fisik lain yang berhubungan dengan postur fisik, yang dikhawatirkan terganggu oleh pelaksanaan sesi hipnoterapi yang mengharuskan klien berada di postur tertentu dalam jangka waktu yang relatif lama.
Ngomong-ngomong, bahasan satu ini pernah saya tuliskan secara lebih spesifik dalam artikel ‘Assessment 3P Sebelum Memulai Sesi Hipnoterapi’, silakan membaca juga artikel tersebut jika Anda belum sempat memperdalam bahasan tentang topik yang satu ini.
Lantas apa hubungannya dengan bahaya di balik sesi hipnoterapi masal?
Begini, sesi hipnoterapi masal sering kali dilakukan pada audiens dalam jumlah banyak, sering kali pengundang sendiri tidak memberikan informasi yang mendetail tentang kondisi peserta, yang kebanyakan memicu pengundang mengundang praktisi untuk memberikan hipnoterapi masal biasanya terbagi atas tiga kebutuhan:
- Meminta praktisi untuk memberikan sesi hipnosis – motivasi pada kelompoknya, biasanya sehubungan dengan permasalahan kinerja atau produktivitas yang belum ideal, biasanya hal ini dijadikan acara ‘selingan’ di suatu acara organisasi, seperti Rakor, Raker dll.
- Meminta praktisi untuk memberikan sesi hipnosis sebagai ajang renungan, membersihkan ‘hati’ dari berbagai ganjalan emosional yang menghambat, biasanya hal ini berhubungan dengan acara bertemakan religius, sama seperti sebelumnya, biasanya hal ini dijadikan acara ‘selingan’ di suatu acara lain yang lebih utama.
- Meminta praktisi untuk memberikan sesi terapi pada kelompok tertentu dengan isu spesifik yang sama, misalnya terapi masal untuk berhenti merokok, atau terapi masal untuk keperluan spesifik lain dimana setiap peserta memiliki permasalahan yang sama yang ingin diatasi melalui sesi terapi masal ini, yang satu ini biasanya cukup terencana dan cukup spesifik bahasannya.
Terlepas dari apa pun kebutuhan pengundang, pertanyaannya adalah: bagaimana memastikan kondisi fisik audiens sepenuhnya aman untuk menjalani sesi hipnoterapi masal ini, terutama jika ada stimulus yang membangkitkan reaksi emosional berlebih pada audiens yang justru memiliki permasalahan fisik tadi, namun tidak diketahui?
Dalam berbagai sesi hipnoterapi masal, saya mendengar beberapa praktisi menggunakan stimulus yang bersifat memancing reaksi emosi negatif, seperti memberikan sugesti yang memancing tangisan kesedihan atau kemarahan peserta, dimana emosi yang muncul sebagai reaksi dari stimulus ini bisa cukup ‘ekspresif’ dan ‘meluap-luap’, akan sangat berbahaya jika di tengah-tengah pelaksanaan sesi hipnoterapi masal ini tiba-tiba ada di antara audiens yang ‘tumbang’ karena kondisi fisiknya bermasalah karena reaksi emosional itu, hal ini saja bisa berpotensi menyebabkan kepanikan di antara audiens yang lain, yang bisa jadi malah menjadi sugesti negatif pada diri mereka, hal ini lantas menjadi ‘bola salju’ yang membuat sugesti negatif itu menjadi nyata dalam diri mereka, bahwa mereka bisa mengalami hal yang sama.
Terus terang saja, jika sampai terjadi masalah ini akan menjadi isu sensitif yang mencoreng bukan hanya nama praktisi yang memfasilitasi prosesnya, namun juga keseluruhan hipnoterapis dan keilmuan hipnoterapi secara umum!
BAHAYA KEDUA, CITRA HIPNOSIS ITU SENDIRI
Apa yang dimaksud ‘citra dari hipnosis’? Sebagaimana yang Anda ketahui, belum semua pemahaman masyarakat tentang hipnosis benar adanya, masih banyak yang beranggapan bahwa hipnosis melibatkan fenomena mistis, magis dan klenik. Namun bukan hanya itu, ada juga kalangan yang beranggapan bahwa hipnosis hanya fenomena ‘bohongan’, mereka tidak percaya pada fenomena ini dan menganggapnya hanya main-main semata.
Sekarang mari bayangkan dua skenario yang mungkin terjadi dalam hipnoterapi masal:
Skenario pertama, praktisi melakukan aksi yang menunjukkan fenomena seperti magis, mistis dan klenik, seperti menunjukkan raut wajah yang misterius, pura-pura merapal mantra, atau aksi sejenis lainnya, lalu audiens yang mendapat sugesti itu tiba-tiba bereaksi seperti kehilangan kendali dan menunjukkan respon negatif, mereka yang tidak mengetahui duduk perkara di balik semua ini lantas menyimpulkan bahwa hipnosis adalah ‘kuasa gelap’ dan mereka jadi takut pada fenomena hipnosis, mereka sendiri jadi menghindari hipnosis meski di kemudian hari mereka mengalami permasalahan yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan baik oleh hipnoterapi karena mereka menganggap hipnosis adalah fenomena yang menakutkan, atau bahkan yang lebih buruk lagi, mereka menyebarkan anggapan mereka pada kalangan dekatnya tentang imej hipnosis yang dinilainya ‘gelap’, alhasil sia-sialah upaya kita untuk mengedukasi masyarakat tentang keilmuan hipnosis yang tepat karena mereka sudah terlanjur menutup diri akibat mendengar kabar negatif yang didengarnya lebih dahulu.
Skenario kedua, praktisi melakukan aksi yang seolah membuat peserta ‘terhipnosis’ (menutup mata, berbaring dan rileks), pertanyaannya: seberapa yakin semua peserta yang bersikap seperti ‘terhipnosis’ itu benar-benar memasuki kondisi hipnosis secara memadai?
Catatan: untuk memahami seluk-beluk kondisi hipnosis ini silakan membaca artikel ‘Mengenali Fenomena Trance & Kedalamannya’ jika Anda belum sempat memahaminya secara khusus.
Dengan pengkondisian yang minim, ditambah waktu yang terbatas, besar kemungkinan justru lebih banyak yang tidak masuk ke kondisi hipnosis yang memadai untuk bisa merasa yakin bahwa mereka sudah memasuki kondisi hipnosis, alhasil mereka hanya ‘pura-pura’ mengikuti arahan praktisi, “Yang penting ikuti saja sampai acaranya selesai, toh tidak ada ruginya”, demikian batin mereka mungkin berkata, bahkan bisa saja beberapa di antara mereka malah asyik tertidur sepanjang jalannya acara.
Setelah mereka mengikuti hal tersebut, apa yang muncul di benak mereka? Ya, rasa tidak percaya pada hipnosis karena menganggap tidak ada dampak apa pun yang mereka rasakan, mereka lantas menganggap remeh hipnosis dan jadi menghindari hipnosis meski di kemudian hari mereka mengalami permasalahan yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan baik oleh hipnoterapi karena mereka menganggap hipnosis adalah sebatas fenomena ‘bohongan’.
BAHAYA KETIGA, KEAMANAN PSIKIS
Yang satu ini tentu tidak kalah pentingnya, yaitu keamanan psikis klien, yang berhubungan dengan pemikiran dan perasaannya.
Lain praktisi, lain juga cara mereka memfasilitasi apa yang mereka sebut sebagai ‘hipnoterapi masal’, ada yang hanya menggunakan sugesti saja untuk memberikan afirmasi positif pada pendengarnya, ada juga yang kelak menggunakan stimulus untuk mengakses emosi negatif dalam diri pendengar dan meminta mereka meluapkannya agar mereka tidak lagi terganggu oleh emosi negatif itu.
Jika praktisi yang memfasilitasi proses ini hanya menggunakan cara memberikan sugesti positif maka hal ini tidak akan terlalu memberi dampak berlebih, namun jika praktisi yang memfasilitasi prosesnya justru menggunakan cara mengakses emosi negatif dalam diri pendengarnya maka potensi bahaya besar sangat mungkin terjadi.
Seperti apa? Begini, seperti sudah dibahas sebelumnya di atas tadi kebanyakan sesi ‘hipnoterapi masal’ diadakan sebagai agenda ‘selingan’, sering kali prosesi ini dilakukan pada peserta dalam jumlah banyak namun dalam waktu yang terbatas.
Munculnya reaksi emosi negatif sebagai bentuk akibat teraksesnya memori negatif dalam diri disebut sebagai ‘abreaksi’ (dalam Bahasa Inggris: abreaction, yang diambil dari ‘abnormal-reaction’ atau ‘reaksi tidak wajar’) dalam hipnoterapi, dimana hal ini bisa terjadi dalam bentuk menangis, berteriak, dan bahkan melakukan gerakan fisik yang cukup agresif, jika praktisi yang memfasilitasi proses mengakses emosi negatif ini mendapati pesertanya mengalami abreaksi namun ia sendiri tidak menguasai cara mengatasi abreaksi maka hal ini akan menjadi ‘petaka’, peserta yang mengalami abreaksi bisa mencelakakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya dengan reaksi emosi negatifnya tersebut.
Bahkan kalau pun sang praktisi menguasai teknik mengatasi abreaksi, faktor kendala lain yang tidak boleh dianggap remeh adalah bisa jadi yang mengalami abreaksi adalah beberapa orang sekaligus, jika hal ini terjadi dan situasi berjalan di luar kendali maka bisa dipastikan hal ini akan menjadi tinta merah besar dalam dunia hipnoterapi.
Sekali abreaksi terjadi, proses penanganan harus dilakukan sampai tuntas, jika abreaksi terjadi dan penyelesaian tidak dilakukan maka masalah yang berhubungan dengan abreaksi itu jadi ‘menggantung’, hal ini sangat berpotensi menimbulkan gangguan psikis yang tidaklah ringan di kemudian hari, jika diumpamakan hal ini tak ubahnya seperti kita sedang ‘membedah’ seseorang untuk mengetahui penyakit dalam diriya, namun selepas penyakitnya terlihat lantas hanya dibiarkan dan bahkan tidak ‘dijahit ulang’ lukanya.
Bagaimana jika praktisi yang memfasilitasi prosesnya tidak meniatkan untuk mengakses ekspresi emosi negatif dan hanya fokus pada sugesti positif saja, bukankah seharusnya aman? Secara sederhana mungkin demikian, namun dalam praktiknya tidak sesederhana itu.
Pikiran bawah sadar menyadari betul pentingnya pelepasan masalah dalam diri kita, tidak bisa dipungkiri dalam diri setiap orang pasti ada berbagai jenis permasalahan yang dibawanya sejak kecil dulu sampai sekarang ini, permasalahan itu ada yang sedemikian mengganggu sampai menjadi masalah di kemudian hari dan ada juga yang tidak mengganggu, hanya sekedar dorman (tidur panjang).
Apa pun itu, pikiran bawah sadar pada dasarnya tidak ‘betah’ menyimpan masalah, ia selalu ingin kita melepaskan masalah-masalah yang ada dalam diri kita, namun persoalannya adalah: ia tidak bisa melakukannya sendirian, ia perlu bantuan dari orang lain yang ia percaya.
Jika praktisi yang tampil di depan para peserta menampilkan diri sebagai sosok kharismatik yang membuat pikiran bawah sadar peserta percaya dan ‘terpanggil’, maka jangan heran jika muncul abreaksi dalam diri peserta, meski tidak ada stimulus yang diniatkan untuk mengakses emosi negatif sekali pun, hal ini karena abreaksi itu menjadi bentuk upaya ‘meminta tolong’ dari pikiran bawah sadar yang merasa ada orang yang dipercayanya bisa membantunya untuk melepaskan masalah dari dalam diri.
Dilematis bukan? Jika tidak menampilkan sosok yang bisa dipercaya maka apa pun yang dikatakan tidak akan didengar oleh peserta, namun jika menampilkan sosok yang sangat bisa dipercaya yang terjadi justru malah potensi abreaksi dari pikiran bawah sadar yang ingin meminta tolong untuk dibantu, sementara itu sebagaimana sudah dibahas tadi sekali abreaksi terjadi maka prosesnya harus difasilitasi sampai tuntas, di sisi lain waktu yang ada sangatlah terbatas dan sering kali situasi-kondisi pun tidaklah akan memungkinkan untuk melakukan penanganan secara memadai, jadi bagaimana? Anda sudah bisa menebak sendiri potensi kerumitan yang terjadi bukan?
SOLUSI HIPNOTERAPI KELOMPOK (ATAU MASAL)
Jadi apakah sesi hipnoterapi kelompok atau masal tidak mungkin dilakukan? Tidak juga, sebetulnya hal ini mungkin saja dilakukan, sekali lagi, yang kita perlukan adalah ‘pemahaman yang memadai’ tentang hal ini.
Perlu kita sadari, sesi hipnoterapi kelompok memiliki beberapa manfaat tersendiri yang memungkinkan kita membantu lebih dari satu orang dalam satu kali penanganan, namun ada tiga rambu yang jelas harus kita pahami dalam pelaksanaannya.
Rambu pertama, pahami esensinya.
Ada perbedaan antara terapi kelompok dan masal, sebagaimana Anda bisa tafsirkan secara otomatis, kata ‘masal’ sering kali mengacu pada ‘kerumunan’ dimana jumlah peserta yang hadir bisa banyak sekali jumlahnya. Sementara itu terapi kelompok tidak selalu harus berupa kerumunan, bahkan 3 – 4 orang sudah bisa dikategorikan sebagai terapi kelompok.
Format terapi kelompok masih efektif digunakan untuk kelompok dengan jumlah dimana interaksi masih bisa dilakukan secara interaktif satu sama lain dan praktisi yang memfasilitasi prosesnya bisa memberikan atensi penuh pada setiap peserta yang ada di dalamnya.
Namun lain dengan terapi masal, yang sering kali melibatkan kerumunan, yang satu ini sudah jelas sulit untuk melibatkan interaksi dan atensi penuh dari praktisi pada peserta yang mengikuti prosesnya.
Rambu kedua, luruskan persepsi dan niat terlebih dahulu.
Hindari melakukan hipnoterapi kelompok atau masal dengan niat ingin melakukan atraksi atau hal-hal yang fokus untuk memuaskan ego praktisi yang memfasilitasi prosesnya, yaitu ingin terlihat ‘keren’ atau ‘hebat’ di mata orang banyak, sampai-sampai melakukan tindakan-tindakan yang tidak perlu hanya demi memuaskan ego ini, tindakan yang tidak terencana dan ‘keluar jalur’ ini hanya akan mengaburkan manfaat dari proses terapi, atau yang terburuk bisa mendatangkan masalah nantinya.
Rambu ketiga, fokus pada perencanaan yang mengakomodir keselamatan dan keamanan klien.
‘Gagal untuk merencanakan berarti merencanakan untuk gagal’, demikian kalimat bijak berbunyi, hal ini sangat benar adanya dalam konteks terapi kelompok atau masal.
Penting bagi praktisi yang akan memfasilitasi terapi kelompok atau masal untuk mengetahui dengan jelas tujuan dari terapi yang akan difasilitasinya dan merencanakan langkah demi langkah penanganan sebaik mungkin dengan menyesuaikan diri dengan ketersediaan waktu dan sumber daya yang ada.
Bagaimana langkah-langkah menyiapkan terapi kelompok atau masal ini? Nantikan ulasannya di artikel berikutnya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Hipnoterapi? Memerlukan layanan terapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.