Cara Mengasah Keahlian Hipnoterapi
Hari Jumat minggu kemarin menjadi hari terakhir dari program pembelajaran tatap muka ‘Resource Therapy Clinical Level Qualification’ yang merupakan program pembelajaran dengan standar resmi Resource Therapy International (RTI), yang mengajarkan Resource Therapy & Counselling (RTC) dengan kurikulum resmi Prof. Gordon Emmerson, Ph.D.
Banyak kisah menarik bermunculan sepanjang proses pembelajaran, dimana para kisah itu nantinya bisa Anda temukan di dinding media sosial saya nantinya.
Namun untuk saat ini, satu kisah menarik yang ingin saya bagikan – utamanya karena ia berhubungan dengan pembelajaran hipnoterapi – yaitu kisah ketika saya menjawab pertanyaan dari beberapa peserta yang mempertanyakan bagaimana bisa saya mengeksekusi berbagai teknik dalam RTC dengan begitu luwes.
Hal ini menjadi sebuah pertanyaan tersendiri, karena pelaksanaan teknik RTC sangat berbasis teknik percakapan (conversational), yang menjadikan praktisi yang mengeksekusi pelaksanaannya haruslah fasih dalam mengemas proses terapi dalam bentuk percakapan, proses komunikasi antara Terapis dan personality-parts dalam diri klien harus berlangsung dengan luwes agar personality-parts bisa terlibat (engaged) penuh dalam proses terapi dan menjadikan prosesnya berjalan lancar.
Saya pribadi tidak menganggap diri saya demikian dan bahkan tidak menyadari hal itu, namun hal itu karena saya tidak bisa melihat dan menilai secara objektif apa yang saya sendiri lakukan, baru ketika mendapatkan pandangan dari orang lainlah saya lebih memahami rekam-jejak pembelajaran dan praktik saya sendiri, termasuk meninjau ulang cara belajar saya sejak awal dulu, untuk bisa sampai ke titik yang lebih baik seperti sekarang ini.
Tulisan ini dibuat untuk membagikan pengalaman pribadi saya dalam mempelajari berbagai pemahaman dan teori psikoterapi untuk kemudian diintegrasikan sampai menjadi sebuah keahlian praktika.
SELAYANG PANDANG RTC DAN PENTINGNYA KELUWESAN
Sekedar catatan, bagi Anda yang belum familiar, RTC merupakan teknik terapi berbasis Psikodinamika yang meyakini bahwa sistem kesadaran manusia tersusun atas bagian-bagian (parts) kepribadian (personality), atau biasa disebut sebagai personality-parts.
Di balik setiap perasaan, pemikiran, perilaku dan bahkan kondisi fisik yang kita tampilkan, selalu ada personality-parts yang aktif menampilkan semua itu, ketika personality-parts yang aktif ini mengalami permasalahan, maka bermasalah jugalah perasaan, pemikiran, perilaku dan bahkan kondisi fisik yang seseorang tampilkan.
Banyak proses terapi berjalan berlarut-larut karena proses penanganan dilakukan bukan pada personality-parts yang melatari permasalahan seseorang, disinilah RTC menjadi salah satu teknik terapi yang efektif karena sebagai Terapis kita menujukan penanganan pada personality-parts yang benar-benar berperan di balik permasalahan seseorang, ketika personality-parts ini tersembuhkan maka tersembuhkan juga permasalahan yang orang ini tadinya alami.
RTC sendiri merupakan pengembangan evolusioner dari teknik terapi pendahulunya yang bernama Ego State Therapy (EST).
Catatan: untuk mengetahui lebih jauh tentang personality-parts silakan temukan bahasannya di artikel ‘Mengenal Bagian-Bagian Kepribadian Diri (Personality Parts)‘ , sementara untuk mengetahui lebih jauh tentang RTC silakan temukan bahasannya di artikel ‘Selayang Pandang Resource Therapy‘, kumpulan tulisan tentang RTC juga bisa Anda temukan dengan klik di sini.
Salah satu hal yang membedakan RTC dengan EST adalah konteks penggunaan kondisi hipnosis.
Dalam EST kondisi hipnosis digunakan secara formal melalui teknik induksi hipnosis, yang menjadikan terapis harus memandu dulu klien memasuki kondisi hipnosis secara formal sebelum nantinya proses terapi dilakukan.
Sementara itu dalam RTC kondisi hipnosis diciptakan melalui serangkaian teknik percakapan yang bersifat mengarahkan atensi klien ke sebuah kondisi hipnosis; dengan kata lain proses menciptakan kondisi hipnosis dalam RTC bukan dilakukan dengan teknik induksi formal, melainkan dilakukan secara percakapan (conversational).
Di satu sisi, tidak diperlukannya teknik induksi menjadikan RTC lebih praktis dilakukan dan bisa dipelajari oleh siapa pun yang bahkan belum pernah mempelajari hipnosis (berbeda dengan EST yang mengharuskan praktisinya untuk mampu menciptakan kondisi hipnosis secara formal, yang berarti praktisi EST harus – setidaknya – mempelajari dan mampu mempraktikkan hipnosis secara formal), namun di sisi lain hal ini memberikan tantangan tersendiri, karena hal ini menjadikan praktisi RTC harus secara luwes mampu mempraktikkan teknik terapi berbasis percakapan.
Keseluruhan proses terapi dalam RTC dilakukan dengan personality-parts dalam diri seseorang, dimana setiap personality-parts memiliki karakter spesifiknya masing-masing, dimulai dari usia, cara berkomunikasi dan detail spesifik lainnya, hal ini mengharuskan seorang praktisi RTC bukan hanya mampu berkomunikasi dalam bentuk percakapan secara efektif, tapi juga memadupadankan gaya komunikasinya dengan personality-parts yang sedang aktif berkomunikasi.
Dalam proses terapi berbasis personality-parts, penting untuk memastikan bahwa proses terapi dilakukan pada personality-parts yang bermasalah, disini juga muncul tantangan berikutnya, yaitu ada kalanya personality-parts yang sedang aktif sebenarnya sudah tidak aktif dan digantikan oleh personality-parts lain yang berbicara dengan kita, tidak disadarinya hal ini oleh Terapis akan berimbas pada tidak tepatnya penanganan, karena penanganan ditujukan pada personality-parts lain yang tidak seharusnya menjalani penanganan.
Selain harus mampu membaca keaktifan personality-parts (personality-parts mana yang sedang aktif dan apa saja tanda adanya personality-parts lain aktif menggantikannya), keahlian utama yang hendaknya dimiliki para praktisi RTC adalah keahlian menjaga agar personality-parts ini aktif secara penuh, dimana salah satu cara memastikan personality-parts ini bisa aktif secara penuh adalah dengan mampu menjaga proses komunikasi dengan personality-parts ini dengan kaidah yang tepat, yang bisa menjaga agar ia tetap aktif.
Apa kiranya kaidah yang tepat, yang bisa menjaga personality-parts ini tetap aktif secara penuh? Yaitu dengan memadupadankan keluwesan berkomunikasi kita dengan karakter dari setiap personality-parts yang aktif, jika keluwesan berkomunikasi ini tepat maka personality-parts akan merasa senang berkomunikasi dengan kita dan mereka akan aktif secara penuh dengan baik.
Keluwesan? Ya, pada akhirnya lagi-lagi modal utama mempraktikkan psikoterapi berjenis talking-therapy adalah keluwesan, utamanya: keluwesan dalam bernarasi.
Bagaimana cara melatih keluwesan inilah yang ingin saya bagikan di artikel ini.
CARA MELATIH KELUWESAN BERNARASI DALAM HIPNOTERAPI
“Bisa karena biasa”, petikan kalimat itu kiranya akan menjadi modal penting untuk kita mengadaptasi rangkaian tips dan trik yang saya ingin bagikan di artikel ini.
Sedikit kilas balik, saya pun masih teringat pada masa-masa awal belajar dan berpraktik dulu dimana untuk melakukan satu jenis teknik saja groginya bukan main, ketika proses terapi sudah mulai berjalan pun grogi itu semakin menjadi-jadi karena ia bercampur dengan kebingungan.
Ya, jika sekarang ada saja orang-orang yang menilai saya luwes dalam bernarasi dan mempraktikkan berbagai teknik terapi, tidak demikian adanya dulu, saya pun pernah bergelut dan bergulat dengan kebuntuan yang tidak berkesudahan dalam mempelajari teknik terapi, terutama teknik terapi yang melibatkan interaksi aktif antara klien dan Terapis (beberapa teknik terapi lain bisa saja tidak mensyaratkan interaksi aktif antara klien dan Terapis; teknik terapi berbasis sugesti langsung [direct suggestion] dalam hipnoterapi contohnya, mensyaratkan klien untuk berada dalam posisi yang hanya menerima dan memproses sugesti, tanpa harus berinteraksi secara interaktif dengan hipnoterapisnya).
Lalu bagaimana saya mulai memecah kebuntuan itu? Saya memformulasikannya dalam tiga langkah.
Pertama, pahami esensi dari setiap proses dan teknik terapi yang kita fasilitasi. Jangan larut dengan serta-merta melatih kemampuan bernarasi tapi pada akhirnya keahlian bernarasi itu tidak sejalan dengan esensi dari proses dan teknik terapi yang kita fasilitasi.
Dalam RTC contohnya, terdapat rangkaian teknik penanganan yang dikodifikasi dalam bentuk RT Actions 1 – 15, dimana setiap RT Action ini memiliki esensinya masing-masing, jika kita tidak memahami esensi dari setiap RT Action ini maka bisa saja nantinya kita luwes dalam mempraktikkan keahlian bernarasi tapi isi dari narasi itu salah atau tidak memenuhi esensi dari tahapan penanganan yang dimaksudkan.
Pun demikian dalam hipnoterapi, terdapat rangkaian teknik dengan esensinya masing-masing, sebut saja Age Regression. Informed Child Technique, Gestalt, Forgiveness dan banyak lagi, setiap teknik ini memiliki esensi tersendiri, pahami dulu esensi dari tekniknya agar nantinya narasi yang kita kembangkan tepat-guna sesuai dengan peruntukkannya.
Kedua, belajarlah mengembangkan narasi sendiri, dengan cara berbicara sendiri, mensimulasikan prosesi terapi yang – pura-puranya – sedang berjalan.
Ya, mungkin terdengar konyol, tapi – percaya atau tidak – itulah yang saya lakukan dulu (dan bahkan sampai sekarang), di sela waktu luang yang saya miliki – ketika sedang mengemudi sendirian misalnya – maka saya akan mulai melakukan simulasi dialog itu.
Catatan: setiap orang memiliki kebiasaan tersendiri, bukan berarti Anda juga harus melatihnya dalam kondisi ‘mengemudi’. Saya pribadi memiliki kebiasaan ketika mengemudi sendirian saya perlu mengaktifkan pikiran saya agar tidak bengong dan tidak produktif begitu saja, maka proses ‘berbicara sendiri’ ini menjadi satu ‘hiburan produktif’ bagi saya, saya justru jadi semakin siaga dan hal itu tidak mengurangi konsentrasi saya dalam mengemudi sama sekali. Jika Anda bukan termasuk yang biasa dengan hal ini, jangan melakukannya sambal mengemudi, pilih saja aktivitas lain yang Anda rasa aman dan nyaman.
Simulasi dialog ini bukan dialog ‘dalam hati’, tapi benar-benar diucapkan secara verbal, terucap oleh mulut dan terdengar oleh telinga (itulah kenapa saya melakukannya ketika mengemudi sendirian, kalau mengemudi bersama orang lain bisa jadi aneh he…he…), hal ini untuk melatih ‘otot mulut’ atau ‘otot berbicara’ agar terbiasa menyuarakan itu – menterjemahkan pemikiran dari otak ke mulut – secara verbal.
Keahlian melakukan terapi berbasis pembicaraan tidak bisa dilakukan hanya dengan berimajinasi atau dalam hati, keahlian ini – seperti olahraga – merupakan keahlian teknis, yang kita latih dalam jam berlatih maka itulah yang akan kita tampilkan dalam situasi nyatanya, mereka yang tidak pernah melatih dirinya dalam bernarasi ini pasti akan kebingungan atau belepotan ketika tiba waktunya mempraktikkannya, semata karena keahlian ini tidak terbangun secara teknis dalam diri mereka.
Memang kita bisa melatih ini dari sesi praktik bersama klien, tapi berapa banyak sesi praktik yang harus kita ‘korbankan’ dengan keahlian narasi yang mungkin saja tidak efektif, yang padahal jika keahlian ini sudah kita latih sejak awal akan lebih mengefektifkan jalannya proses terapi bersama klien?
Maka itulah saya terus melatih keahlian dan kebiasaan bernarasi ini sampai sekarang, karena saya paham betul jika keahlian ini tidak dilatih maka ia akan tumpul dan tidak terbangun.
Lagipula, percayalah: seluas dan sejauh apa pun proses terapi berjalan, konteks pembicaraannya akan ‘itu-itu saja’ atau ‘itu-itu lagi’, maka semakin keahlian bernarasi ini terlatih dijamin akan semakin tajam dan semakin kuat keahlian ini terbangun bersama klien (semakin percaya diri dan semakin terbangun juga otoritas atau kesan profesional kita di mata klien).
Masih sehubungan dengan simulasi dialog ini, yang saya lakukan benar-benar menyuarakan itu seperti berbicara dengan klien asli, dengan intonasinya, penggunaan tata-bahasanya dan berbagai detail lainnya, bahkan saya membayangkan klien merespon dialog itu dengan bermacam-macam respon, yang menjadikan saya juga melatih diri saya berdialog dengan bermacam-macam respon, semua itulah yang membantu proses berlatih saya selama ini.
Ketiga, belajar dari role-model, yang dimaksud role-model ini bukan sebatas Anda tahu dan kenal, tapi role-model dimana Anda belajar dan menyaksikannya mendemonstrasikan berbagai teknik yang Anda pelajari – dan akan praktikkan nantinya – langsung di depan Anda.
Ketika belajar bersama Prof. Gordon Emmerson, Ph.D saya benar-benar menikmati sekali setiap momen pembelajaran dimana di setiap harinya beliau benar-benar mendemonstrasikan teknik yang diajarkan dengan betul-betul nyata sebagaimana adanya, beliau benar-benar menunjukkan aplikasi dari teknik yang diajarkan dari awal sampai selesai, dengan narasi yang terlatih dan benar-benar luwes, bahkan ketika menghadapi berbagai situasi tidak terduga.
Ketika mengamati beliau jugalah saya mendapati bahwa di berbagai prosesnya, narasi yang digunakan tetaplah sama, namun luwesnya beliau yang menjadikan narasi itu ‘bertenaga’, bahkan ketika menghadapi hal yang ‘tidak biasa’, hal ini juga yang menjadikan saya menyadari betapa beliau sudah benar-benar matang dalam melatih dan mempraktikkan berbagai keahlian narasinya sebaik mungkin, sampai menghasilkan dampak therapeutic yang berkualitas konsisten.
Dalam program pembelajaran yang saya fasilitasi, saya sendiri benar-benar memastikan setiap teknik yang diajarkan didemonstrasikan di depan peserta, hal ini untuk membuat para peserta juga mendapatkan contoh nyata seperti apa praktiknya ketika teknik itu dilakukan dalam sesi terapi nyata.
Saya menyadari betul, demonstrasi teknik yang benar-benar riil (nyata) adalah kunci penting yang membuat para peserta bisa mendapatkan contoh praktik, untuk nantinya mereka bumikan sendiri sesuai dengan gaya mereka, sampai menghasilkan keluwesan khas mereka sendiri, tanpa adanya demonstrasi nyata besar kemungkinan yang dipelajari hanya akan berakhir sebagai wacana.
Dengan kata lain, hal ini juga menegaskan sebuah pesan penting: pastikan belajar dari instruktur yang memang benar-benar mempraktikkan yang diajarkannya! Salah satu tandanya adalah ia memang benar-benar mampu mendemonstrasikan yang diajarkannya dari awal sampai selesai, tidak hanya teori tapi tidak jelas praktiknya seperti apa.
Masih sehubungan dengan prinsip melatih keahlian narasi ini, perlu kita sadari juga bahwa terdapat pola hubungan sebab-akibat di antara narasi yang kita ucapkan dan bagaimana klien merespon, artinya di balik keahlian narasi yang kita bangun, kita juga harus tahu seperti apa dampak dari kalimat itu bagi klien.
Narasi yang ada dalam setiap tahapan RTC didesain oleh Prof. Gordon Emmerson, Ph.D dengan perhitungan yang presisi, setiap kalimatnya memiliki maksud dan tujuan yang khas, yang menjadikan pengucapan kalimat itu akan menimbulkan respon therapeutic spesifik dalam diri klien, namun demikian beda lagi ceritanya ketika kalimat itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, dampak therapeutic yang muncul akan mengalami penyesuaian, yang membuat saya sendiri harus menatanya ulang ke dalam format kalimat yang dimaksudkan untuk menimblkan dampak therapeutic yang sama, itulah kenapa saya katakan di poin pertama untuk memahami dengan baik esensi dari proses terapi yang kita fasilitasi, dengan berdasarkan esensi itulah saya menata ulang pola kalimat yang ada dalam Bahasa Indonesia agar tetap menghasilkan dampak therapeutic yang tepat.
Sebagai praktisi dan instruktur Neuro-Linguistic Programming (NLP), analisa struktur bahasa atau kalimat merupakan salah satu topik yang saya sukai, saya menggemari sekali studi bagaimana manusia merespon kalimat atau bahasa (linguistic), tahunan melatih hal ini juga yang membuat saya cukup memiliki kesukaan tersendiri dalam menganalisa dampak dari sebuah kalimat dalam proses komunikasi, salah satunya yaitu: terapi.
Tidak bisa dipungkiri, dalam proses terapi sendiri ada kalanya kesalahan pengucapan narasi dari Terapis berdampak pada jalannya terapi, terutama jika kita berhubungan dengan personality-parts yang mungkin saja mengartikan maksud kita dengan cara yang salah (karena narasi yang salah) dan kemudian berdampak pada dampak therapeutic yang salah juga.
Disinilah saya pribadi mensyaratkan para pembelajar RTC di bawah pembelajaran saya untuk mendokumentasikan hasil praktiknya dalam bentuk tertulis dan rekaman audio, semua ini agar saya bisa ikut mencermati seperti apa narasi yang mereka gunakan dan bagaimana itu mempengaruhi dampak therapeutic dalam proses terapi, nantinya dari proses itu saya bisa ikut memberikan feedback bagaimana mereka sebaiknya memperbaiki atau meningkatkan kemampuan bernarasinya itu.
Nah, seperti itulah tiga langkah melancarkan keluwesan dalam hipnoterapi, siap untuk lebih melancarkannya kali ini?
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi, Resource Therapy, konseling atau coaching? Memerlukan layanan hipnoterapi, Resource Therapy, konseling atau coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi, Resource Therapy, konseling atau coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.