Coaching dan Terapi – Kapten dan Kapal
Dalam sebuah perbincangan dengan beberapa rekan sejawat beberapa waktu lalu, ada yang bertanya kenapa saya yang dikenal sebagai Coach juga melibatkan proses terapi – terutama yang berhubungan dengan pembenahan pikiran bawah sadar – di program coaching yang saya fasilitasi, dan begitu juga sebaliknya, yaitu melibatkan kerangka coaching di proses terapi yang saya fasilitasi.
Jawaban saya di perbincangan itulah yang diilustrasikan dalam metafora “kapten dan kapal” yang menjadi judul dari tulisan ini.
Seberapa cakap pun seorang kapten kapal, ia akan terus-terusan terkendala dalam perjalanannya menyusuri lautan luas jika kapal yang dikendarainya bermasalah, entah itu karena kerusakan, atau karena beban berlebih yang tidak seharusnya.
Namun begitu juga seberapa baik pun kondisi kapal, tidak akan membawa manfaat signifikan dalam perjalanan, dan bahkan berpotensi berkali-kali mengalami “salah jalan” yang membuahkan kesulitan tersendiri, jika kapten yang mengemudikannya tidak cakap menentukan arah dan membuat keputusan.
Kapten dalam ilustrasi itu mewakili Pikiran Sadar (PS) dan kapal dalam ilustrasi itu mewakili Pikiran Bawah Sadar (PBS), dimana keduanya saling mempengaruhi satu sama lain.
Berlatarbelakang sebagai Hipnoterapis, saya sadar betul kekuatan dari PBS yang dalam dunia hipnoterapi dikenal memegang 90% peranan di balik pemikiran, perasaan dan perilaku, hal inilah yang menjadikan ia diilustrasikan sebagai kapal, yang ukurannya berkali-kali lipat ukuran sang kapten.
Ketika kapal ini mengalami kerusakan, baik dalam bentuk trauma atau luka batin, atau pun menanggung beban muatan berlebih yang tidak seharusnya dalam bentuk stres, maka jalannya kapal ini akan bersifat disfungsional, disinilah proses terapi dilakukan untuk memperbaiki kerusakan pada kapal atau menguras beban berlebih yang tidak seharusnya.
Namun demikian, pengalaman saya memfasilitasi berbagai sesi perubahan klien juga menyadarkan saya bahwa kerap kali permasalahan yang mereka alami, atau ketidakmampuan mereka untuk keluar dari permasalahannya justru disebabkan oleh kurangnya kejelasan (clarity) mereka sendiri atas situasi yang mereka alami, adanya ketidakjelasan atas konsekwensi di balik keputusan dan tindakan yang mereka lakukan, atau tidak lakukan.
Bayangkan sebuah kapal yang megah dan memiliki sumber daya yang luar biasa tapi dikemudikan oleh kapten yang pandir. Meski kapal itu megah dan tidak kurang satu apa pun pada awalnya, pada akhirnya kecerobohan dan keputusan yang bermasalah dari si kaptenlah yang berulang kali akan membawa kapal itu ke zona pelayaran yang tidak seharusnya dan pada akhirnya menimbulkan banyak kerusakan.
Ketika saya membantu klien yang datang dengan masalah yang kompleks di sekitarnya, baik itu berupa hubungan atau lingkungan yang toxic, atau berupa kerumitan dalam karir dan bisnis (dalam buku saya yang berjudul “Hypnotherapeutic Assessment, Diagnosis & Treatment Plan” [2019] situasi ini saya sebut sebagai “Combat Zone“), saya tidak serta-merta memfasilitasi sesi terapi untuk penyelesaian instan atas masalah emosi mereka, karena bukan itu yang mereka butuhkan.
Yang saya lakukan adalah membangun kejelasan dan kesadaran (awareness) klien atas yang terjadi di sekitarnya, menyadari apa saja pemikiran, pilihan dan keputusan mereka yang turut berdampak menjadikan kompleksitas situasi itu terjadi.
Memang ada kalanya saya membantu mereka untuk “menguras” dulu beban emosi yang membuat mereka disfungsional saat itu, yang sampai-sampai berpikir rasional pun tidak mampu, tapi lagi-lagi setelahnya tahapan membangun kesadaran atas situasi tadilah yang akan kembali saya bangun.
Hal ini karena tanpa terbangunnya kesadaran itu, bukan tidak mungkin meski mereka lepas dari masalah lamanya tapi mereka akan kembali terkena masalah lain yang meski hadir dalam kemasan berbeda, sebenarnya mengandung esensi yang sama.
Beberapa waktu lalu saya membantu seorang klien yang datang dengan keluhan gejolak emosi yang tidak terkendali, yang biasa ia luapkan pada keluarganya di rumah.
Selidik punya selidik, gejolak emosi itu turut disebabkan oleh muatan stres di tempat kerja yang menumpuk karena ketidakmampuannya dalam mengelola pekerjaan.
Meski permasalahan gejolak emosi yang terluapkan pada keluarga menjadi prioritas, saya melihat ada potensi masalah yang sama akan kembali terulang jika isu pekerjaan yang dialaminya belum mendapatkan resolusi.
Hal ini yang menjadikan saya mengembangkan cakupan pembicaraan pada aspek pekerjaan di awal. Dalam pembicaraan itulah saya membangun kesadaran klien ini bahwa stres yang dialaminya yang berawal dari ketidakmampuannya mengelola pekerjaan, dan ketidakmampuan ini pastilah ada juga faktor-faktor yang menyebabkannya.
Dari eksplorasi inilah klien saya ini mendapatkan insight bahwa ketidakmampuan mengelola pekerjaan turut disebabkan oleh ketidakmampuannya menetapkan prioritas pekerjaan dan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi asertif dalam mengkomunikasikan pekerjaan.
Dengan kata lain, ada pilihan, keputusan dan tindakan yang bermasalah di tempat kerja yang berkontribusi menyebabkan terjadinya stres dan memunculkan gejolak emosi untuk diluapkan di rumah sebagai mekanisme pertahanan/defense mechanism. Hal inilah yang saya bangun dalam diri klien, agar ia nanti bisa membuat pilihan, keputusan dan tindakan yang lebih ekologis nantinya setelah penanganan.
Saya mendapati semakin klien mendapatkan kejelasan atas dirinya, atas situasinya, dan atas tindakan yang bisa membawa resolusi, semakin besar juga harapan positif dalam dirinya terbangun, yang akan menjadi daya dorong yang besar untuk membantu perubahannya.
Hal itulah yang terjadi pada klien saya tadi. Seiring terbangunnya kesadaran dalam dirinya, semakin mudah dan lancar proses terapi berjalan. Gejolak emosi yang dikatakannya “tidak terkendali” berbulan-bulan sebelumnya bisa mendapatkan resolusi dalam waktu yang justru relatif singkat.
Terbangunnya kesadaran ini juga yang membuat klien tidak segan meminta sesi lanjutan untuk menindaklanjuti perubahannya, bukan karena masalahnya berlarut-larut, tapi karena mereka melihat ada peluang dan daya ungkit untuk menciptakan perubahan yang lebih eksponensial atas situasi yang dihadapinya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara integral.
Kembali ke ilustrasi kapten dan kapal di awal tadi. Saya kerap mengatakan, kapal yang megah hendaknya diawaki oleh kapten yang cakap.
Tuhan telah memberikan kita karunia yang tidak terkira berupa PBS, di dalamnya tersimpan begitu banyak potensi luar biasa untuk diberdayakan. Karunia ini yang dilambangkan dengan kapal yang megah dan dahsyat.
Tapi Tuhan juga memberikan amanat pada kita yang menjadi kunci untuk memberdayakan potensi tersebut, yaitu “akal-pikiran”, yang dalam hal ini diwakili oleh PS. Bersama fungsi akal inilah tersimpan “titipan” kekuatan untuk memilih dan membuat keputusan, yang kemudian dikenal sebagai “kehendak bebas”. Amanat ini yang dilambangkan dengan posisi sebagai kapten.
Potensi yang luar biasa dalam diri kualitas pengoperasiannya ditentukan oleh kualitas kehendak bebas. Semakin kapten cakap membuat pilihan dan keputusan yang tepat, semakin efektif juga perjalanan sang kapal. Dengan kata lain, semakin akal-pikiran ini terlatih membuat pilihan dan keputusan yang bijak, semakin besar potensi perjalanan kehidupan yang dilalui pun semakin matang karenanya.
Kalau pun masalah tetap terjadi (dan akan selalu ada, karena itu bagian dari fitrah manusia), adanya kekuatan untuk memilih dan membuat keputusan efektif dan bijak ini akan menjadikan penyelesaiannya terjadi dengan lebih baik kali ini.
Coaching bertujuan membentuk kapten yang cakap dan terapi bertujuan memperbaiki permasalahan pada kapal.
Bukankah keduanya saling melengkapi?
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnosis-hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnosis-hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnosis-hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.