Episode 10 – 3 Golongan Bermasalah Yang Paling Sulit Lepas Dari Masalahnya
Sebagai manusia kita memiliki naluri alami untuk ‘tidak betah’ mengalami permasalahan, hal ini juga yang memacu kita untuk berpikir dan bertindak, mengupayakan solusi untuk bisa lepas dari masalah, makin besar masalah yang dialami, makin besar juga pemikiran dan upaya dituangkan untuk bisa lepas dari masalah.
Namun demikian ada 3 jenis golongan manusia bermasalah yang justru paling sulit untuk lepas dari masalahnya, terlepas dari seberapa besar masalah yang dialaminya, bahkan mereka justru mendatangkan masalah pada orang di sekitarnya.
Apa saja 3 golongan ini? Bagaimana mengenali ciri-cirinya? Bagaimana menyikapinya?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kesepuluh Life Restoration Podcast berjudul ‘3 Golongan Bermasalah Yang Paling Sulit Lepas Dari Masalahnya ’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast '3 Golongan Bermasalah Yang Paling Sulit Lepas Dari Masalahnya '
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode sepuluh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, seperti biasa: doa terbaik untuk Anda, semoga Anda sekalian selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Berjumpa kembali di episode kesepuluh kali ini.
Bagi Anda yang sudah mengikuti episode demi episode podcast ini tentu sudah menyadari bahwa beberapa episode podcast ini dibuat dengan melanjutkan bahasan dari apa yang sudah dibahas di episode sebelumnya.
Memang demikian adanya, saya mencoba memecah isi bahasan setiap episode agar tidak terlalu banyak juga yang dibahas dalam setiap episodenya, lebih baik sedikit namun efektif dan menjadi manfaat, daripada terlalu banyak yang dibahas tapi tidak ada yang berbekas, betul?
Begitu juga apa yang akan diulas di episode kali ini, melanjutkan ulasan di episode kesembilan sebelumnya yang berjudul ‘‘Melampaui’ Masalah dan Naik Kelas Kehidupan’.
Inti dari episode kesembilan kemarin adalah bahwa sebagai manusia kita ingin bisa menjalani kehidupan yang tenang dan berbahagia, jauh dari masalah, tapi sebagai manusia juga fitrah kita memang akan selalu berhadapan dengan masalah untuk kita ‘lampaui’ dan nantinya naik kelas kehidupan.
Di episode kesembilan kemarin juga saya sudah membagikan ‘lima langkah melampaui masalah dan naik kelas kehidupan’ ini. Bagi Anda yang belum menyimak episode kesembilan sebelumnya, saya sarankan silakan menyimak dulu episode tersebut agar bisa memahami apa yang dibahas di episode kali ini dengan lebih utuh.
Kali ini saya ingin mengulas sesuatu yang berbeda, sebagai manusia kita tentu tidak menyukai keberadaan dari masalah, begitu ada masalah terjadi maka kita akan melakukan segala daya dan upaya menyelesaikannya agar masalah itu segera berlalu dan kita bisa kembali menjalani kehidupan yang tenang.
Begitu juga dalam praktik profesional yang saya jalankan, para klien memesan layanan saya karena mereka memerlukan solusi untuk bisa ‘melampaui’ masalahnya.
Masalah yang mereka bawa bisa beragam adanya, bisa masalah yang berupa ketidaknyamanan emosional, seperti ketakutan, kecemasan, kesedihan dan lain sebagainya. Bisa juga kompleksitas kehidupan yang menyita atensi mereka sedemikian rupa, seperti masalah dalam bisnis, keluarga, pekerjaan dan lain sebagainya.
Meski kelihatan berbeda, tapi semua itu memiliki esensi yang sama, yaitu menjadikan mereka jauh dari kondisi ideal yang mereka harapkan. Masih ingat di episode sebelumnya saya mengartikan masalah sebagai ‘segala-sesuatu yang menjauhkan kita dari kondisi ideal yang kita harapkan’? Begitu juga semakin masalah itu membuat kita semakin jauh dari kondisi ideal yang kita harapkan, maka semakin besar kadar masalah itu.
Semakin besar kadar sebuah masalah, semakin tidak nyaman kehidupan yang seseorang jalani, maka – logikanya – semakin kuat keinginan mereka untuk bisa segera lepas dari masalahnya, betul?
Uniknya, dari pengalaman praktik profesional yang saya jalankan, terlepas dari seberapa besar pun masalah yang dialami dan seberapa tidak nyaman pun dampak yang dihasilkannya, ada tiga golongan orang-orang yang tidak akan pernah bisa terbebas dari masalahnya.
Ya, Anda tidak salah dengar, tiga golongan orang-orang ini adalah orang-orang yang ketika dihadapkan dengan masalah tidak akan bisa lepas dari masalahnya, selama mereka tidak keluar dari kondisi yang menyebabkan mereka termasuk ke dalam tiga golongan ini maka selama itu juga mereka tidak akan bisa lepas dari permasalahannya.
Tiga jenis orang ini ada di sekitar kita dan tiga jenis orang ini juga yang sering kali menyebabkan lingkungannya turut terkena masalah karena ulah mereka.
Saya biasa menyebutnya dengan istilah ‘seburuk-buruk mereka yang bermasalah, ada tiga golongan yang paling bermasalah’, nah tiga golongan inilah yang tadi saya maksudkan.
Apa saja tiga golongan ini? Bagaimana mengenalinya agar kita tidak terseret-seret urusan bersama mereka? Atau syukur-syukur kita bisa menyadarkan mereka agar keluar dari kondisinya? Mari kita mulai membahasnya.
Yang pertama, adalah mereka yang bermasalah tapi tidak sadar dirinya bermasalah.
Apa maksudnya? Begini, selalu ada orang yang merasa dirinya adalah korban dari lingkungan yang dianggapnya adalah lingkungan yang bermasalah, ia terus menyoroti perilaku orang di sekitarnya yang dirasanya bermasalah, padahal ketika ditanya pada orang-orang di sekitarnya justru ialah yang sebenarnya menjadi sumber masalah dalam lingkungan itu dengan segala perilakunya yang egois, seenaknya sendiri dan tidak mau memahami orang lain, sehingga lingkungan itu menjadi ‘macet’ dan tidak berkembang.
Nah, ironis bukan? Mereka menglaim bahwa dirinya adalah korban dari lingkungan yang bermasalah tapi tidak menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya menjadi sumber masalah dalam lingkungan itu!
Ciri-ciri yang khas dari orang-orang di golongan ini yaitu biasanya bersikap seenaknya, merasa benar sendiri dan orang lainlah yang salah, ingin dipahami tapi tidak ingin memahami sesama. Jangankan berubah, mau sadar saja tidak!
Apakah bisa dikatakan egois? Bisa saja demikian.
Saya sering menemukan fenomena ini pada orangtua yang mengeluhkan perilaku anaknya yang dianggap tidak sejalan dengan harapan mereka, namun ketika dikonfirmasi lebih jauh mereka sendiri ternyata belumlah menjalankan perannya sebagai orangtua dengan baik, masih ada begitu banyak kelalaian dan perilaku yang tidak seharusnya dilakukan, yang justru mereka lakukan dan mereka tidak mau introspeksi diri, yang ada mereka malah bersikeras menyalahkan anak yang dianggapnya tidak bisa memenuhi harapan mereka.
Ingin kondisi ideal tapi tidak ingin berusaha, tidak ingin berubah dan inginnya orang lainlah yang harus berubah mengikuti harapan mereka, itulah kalimat yang mewakili orang-orang di golongan ini.
Apa yang saya lakukan jika bertemu dengan orang jenis ini yang ingin menjadi klien? Pertama-tama saya akan dengan baik-baik memohon ijin untuk menjelaskan kompleksitas situasi yang mereka hadapi, apa peran mereka di dalam permasalahan yang dihadapinya.
Jika mereka bisa menerima dan ‘tersadarkan’ maka barulah saya menyepakati jenis bantuan yang bisa saya berikan untuk menyikapi permasalahannya dan apa peran-serta mereka yang harus dilakukan untuk turut menyikapi permasalahan.
Tapi jika di tahap ini saja mereka sudah ‘ngeyel’ dan malah bersikeras bahwa orang lainlah yang harus berubah demi memenuhi harapan mereka maka saya akan jelas dan tegas menolak atau menyatakan ketidakmampuan saya membantu mereka, karena percuma saja, jika dibantu dan tidak terselesaikan pun mereka akan selalu mencari orang untuk disalahkan demi menghindarkan diri menjadi ‘orang yang salah’ dalam situasinya.
Berikutnya, golongan kedua dari mereka yang bermasalah dan tidak akan bisa lepas dari masalahnya, yaitu: mereka yang bermasalah tapi menikmati masalahnya.
Menikmati masalah? Gila apa? Memang ada orang seperti itu? Begitu sebagian orang mungkin berpikir.
Tenang dulu, orang seperti itu memang ada dan mereka tidaklah gila, mereka hanya tidak sadar akan kondisinya, karena sedemikian menikmatinya.
Begini saja, pernahkah Anda melihat orang yang hobinya adalah curhat kesana-kemari mengisahkan masalahnya? Anehnya, selalu ada saja kisah penderitaan baru yang mereka bawa setiap waktunya.
Inilah salah satu ciri dari mereka yang bermasalah tapi menikmati masalahnya.
Mereka mengobral begitu banyak kisah penderitaan pada orang-orang yang mereka temui tapi sebenarnya mereka tidak mencari solusi, mereka hanya ingin dikasihani dan dipandang sebagai pribadi yang malang.
Sering kali orang-orang jenis ini ketika diberikan solusi hanya sebatas mengiyakan tapi tidak melakukan yang disampaikan pada mereka, atau mereka justru malah marah dan mengatakan “Kamu tidak tahu yang aku rasakan!”
Mengapa demikian? Karena sekali lagi, mereka memang tidak mencari solusi, mereka sedang mencari ‘panggung’ untuk bisa menempatkan dirinya sebagai orang yang malang di ‘panggung penderitaan’-nya, yang ingin mereka dapatkan adalah pembenaran dan simpati dari pendengarnya, jika pendengarnya mengiyakan dan menunjukkan simpati maka disitulah mereka puas, tapi jika pendengarnya tidak memperdulikan kisah penderitaannya dan malah memberikan solusi maka mereka akan merasa ‘ada yang kurang’, mereka tidak mendapatkan ‘panggung peran penderita’ yang mereka inginkan, bukan itu yang mereka cari, maka mereka akan sekedar mengiyakan tapi tidak menjalankan apa yang diberikan, atau malah marah karena merasa tidak dipahami.
Amati saja social media sekarang ini, seberapa sering Anda melihat orang-orang yang menuliskan sumpah-serapahnya di statusnya pada orang yang dianggap bermasalah dengannya? Anehnya, jika dilihat lebih jauh orang-orang yang bermasalah dengannya itu sebenarnya tidak ada di jaringan pertemanannya, jadi untuk siapa pesan itu ditujukan, sampai ke pihak yang berkepentingan saja tidak?
Memang mereka tidak menujukan sumpah-serapah itu pada orang yang dianggap bermasalah dengan mereka, mereka hanya mencari perhatian dari orang-orang yang melihat statusnya, ketika ada yang melihat dan bertanya “Kenapa?” atau “Ada apa?” maka saat itulah mereka semakin berhasil menarik perhatian orang-orang dan mendapatkan ‘pembenaran’ di posisinya bahwa mereka adalah sosok yang malang dan menjadi korban dari situasinya.
Berhadapan dengan orang-orang seperti ini membutuhkan kesadaran ekstra untuk bisa mengetahui apakah mereka memang ‘sudah sedemikian parahnya’ berada di kondisinya.
Mengapa saya katakan ‘sudah sedemikian parahnya’? Karena sebagai manusia wajar adanya jika kita memiliki kebutuhan untuk bercerita pada orang lain ketika ada masalah, hal ini sangat manusiawi adanya.
Ketika ada seseorang yang bercerita pada kita mengenai masalahnya, belum tentu ia termasuk ke dalam golongan kedua ini, bisa jadi memang ia membutuhkan pertolongan, karena saat itu beban emosi yang dirasakannya sudah sedemikian menumpuk, maka saat itu wajar dan sangat baik adanya kita memberikan pertolongan dengan menjadi pendengar yang baik, syukur-syukur jika kita memiliki kemampuan untuk membantu membereskan masalahnya.
Mereka yang memiliki kesadaran diri yang ideal sekali pun selalu memerlukan waktu untuk mencurahkan beban emosinya di saat-saat tertentu, namun bedanya adalah ketika beban itu sudah tercurahkan mereka akan kembali ke kesadaran idealnya, mereka pun kembali fokus pada solusi, mereka siap menjalankan arahan positif yang diterimanya karena memang itulah yang mereka cari untuk bisa menyelesaikan masalahnya.
Beda ceritanya kalau yang mengisahkan masalahnya adalah pribadi berkesadaran rendah golongan kedua tadi, meskipun sudah mengisahkan beban emosinya mereka tidak lantas fokus pada solusi dan tidak bisa menerima arahan, karena memang bukan itu yang mereka cari, mendapatkan solusi dan masukkan justru merusak panggung penderitaan yang mereka sedang ciptakan untuk menempatkan dirinya sebagai sosok yang malang di kisah yang dialaminya.
Cukup mudah membedakan keduanya bukan? Pribadi berkesadaran tinggi akan fokus pada solusi dan siap melakukan tindakan nyata, terlepas dari seberapa banyak pun masalah yang dihadapinya ia selalu siap menerima masukkan untuk bisa menyelesaikan situasi yang dihadapinya.
Sementara pribadi berkesadaran rendah hanya akan fokus pada kisah kemalangan, mereka datang dengan berbagai kisah kemalangan berbeda tanpa kejelasan, apakah masalah sebelumnya sudah teratasi atau belum, setelah mendengar kisahnya pun kita menjadi ikut lelah karenanya.
Bagaimana menyikapi orang seperti ini? Sebetulnya semua kembali pada pilihan Anda, namun sadarilah satu hal: menghadapi orang seperti ini menyita energi psikis yang tidak sedikit. Jika Anda memang memiliki energi psikis yang banyak dan berlimpah dan ingin meluangkan waktu untuk mendengarkan kisah mereka silakan saja, namun jika tidak, lebih baik buat keputusan tegas, hal ini karena kita tidak bisa menolong orang yang tidak ingin menolong dirinya sendiri.
Jika bisa menghindari situasi dan orang seperti ini, hindari saja, namun kalau pun tidak bisa dan Anda terlanjur ‘terjebak’ berada di situasi tertentu bersama mereka, jadilah saja pendengar yang solutif, tunjukkan perhatian namun selalu arahkan mereka pada solusi secara tegas, lama-lama mereka akan jengah sendiri karena tidak mendapatkan yang diinginkannya bersama Anda dan lama-lama mereka akan berhenti sendiri mencari Anda.
Baiklah, waktunya mengulas golongan yang ketiga, yang satu ini adalah golongan yang unik, yaitu mereka yang bermasalah tapi bangga akan masalahnya.
Nah…nah…nah, lebih luar biasa lagi bukan? Bagaimana mungkin ada orang seperti ini?
Sekali lagi: ADA, manusia itu unik, begitu juga manusia unik yang jenis golongan seperti ini, ada dan memang bisa kita temukan juga di sekitar kita.
Golongan ketiga ini adalah golongan kedua yang sudah ‘berevolusi’, mereka cukup naik kelas dengan menjadi pribadi yang lebih tegar dan kuat dalam menghadapi masalahnya, namun tetap saja mereka tidak menjadi pribadi solutif, mereka masih memiliki hobi yang sama, yaitu mengisahkan masalahnya kemana-mana, bedanya adalah dalam mode yang lebih ‘tegar’, semata agar orang lain menilai mereka sebagai pribadi yang kuat dan tegar.
Golongan ketiga ini agak memprihatinkan, karena ada bonus tambahan yang menyertai mereka, yaitu sifat ‘sok tahu’ atau ‘sok bisa’, ketika diberikan solusi atau arahan mereka selalu menunjukkan kecenderungan bahwa mereka sudah menjalankan solusi yang diberikan, meski dalam kenyataannya belumlah demikian adanya.
Semua itu lagi-lagi untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pribadi ‘di atas rata-rata’ dengan tingkat permasalahan yang lebih tinggi di atas orang kebanyakan dan ternyata mereka kuat melaluinya.
Ketika golongan ketiga ini terlihat mencari solusi, sebenarnya mereka bukan sedang mencari solusi, mereka sekedar ingin menunjukkan pada orang lain bahwa masalah yang mereka alami sedemikian beratnya dan solusi yang diberikan tidak akan mampu mengatasi masalah mereka karena sedemikian beratnya.
Dalam dunia terapi dan konseling, hal ini sering kita temukan pada diri klien yang sudah melakukan ‘safari terapi’ kemana-mana tapi tidak menemukan solusi, dalam hal ini sering kali yang terjadi adalah mereka sudah mencari solusi ke para ahli yang kompeten di bidangnya dan mereka sudah mendapatkan solusi itu, namun pola pikir merekalah yang menghalangi mereka untuk menjalankan solusi itu, karena sekali lagi, bukan itu yang mereka cari.
Perjalanan mereka menemui banyak praktisi sebenarnya hanya untuk membuktikan bahwa masalah mereka sedemikian beratnya, sampai para praktisi yang ahli dengan kaliber yang luar biasa pun tidak mampu membantu mengatasi masalah mereka.
Dengan kata lain: mereka tidak mencari solusi, mereka sedang ingin membuktikan bahwa mereka ‘tidak bisa dibantu’, lagi-lagi untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka adalah pribadi yang kuat, lebih kuat dari orang kebanyakan.
Masalahnya adalah: semakin lama orang di golongan ketiga ini terjebak dengan masalahnya mereka akan semakin terjebak di kondisi yang memprihatinkan, mereka mungkin tidak suka masalah, tapi masalah jadi menyukai mereka!
Ingat kembali bahasan di episode kedua dulu tentang ‘hukum semesta’, bagaimana apa yang kita pikirkan akan beresonansi dengan hal yang sejenis dan menariknya dalam hidup kita? Mereka yang dalam pikirannya hanyalah mencari ‘pengakuan atas kuatnya mereka dalam menghadapi masalah’ akan menarik lebih banyak masalah dalam hidupnya karena itulah yang mereka pancarkan dalam hidupnya.
Lalu bagaimana menyikapi pribadi golongan ketiga ini? Dibandingkan dengan dua golongan sebelumnya, golongan ketiga ini masihlah lebih baik, paling tidak mereka memiliki daya tahan untuk menghadapi masalahnya, mereka hanya terjebak di ego yang memerlukan pengakuan bahwa mereka adalah ‘pribadi kuat’.
Mereka yang berada di golongan ketiga ini masih bisa ‘diselamatkan’ dengan cara ‘diberi makan’ egonya, yaitu alih-alih memberikan solusi justru pancing mereka dengan pertanyaan dan stimulus yang membuat mereka merasa menemukan solusinya dari dalam diri mereka sendiri.
Karena mereka dasarnya mencari pengakuan, ketika mereka merasa menemukan solusinya dari dalam diri mereka sendiri maka mereka jadi bisa mengakui dirinya sendiri, ini sudah akan lebih memberikan mereka perkembangan dibandingkan hanya mencari-cari alasan untuk meyakinkan diri bahwa mereka kuat menghadapi masalah, kita memfasilitasi perubahan cara berpikir dari yang ‘kuat menghadapi masalah’, menjadi yang ‘kuat menyelesaikan masalah’.
Coba kita hubungkan isi episode kali ini dengan bahasan di episode sebelumnya, jelas bukan bahwa untuk bisa ‘melampaui masalah dan naik kelas kehidupan’ kita memerlukan pola pikir yang tepat? Pola pikir yang tepat inilah yang salah satunya mengacu kepada pola pikir yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan ini.
Mari renungkan ke diri kita sendiri, adakah salah satu atau lebih kebiasaan kita yang termasuk ke dalam salah satu dari tiga golongan itu? Adakah salah satu atau lebih kebiasaan orang di sekitar kita yang termasuk ke dalam tiga golongan itu?
Jika kita termasuk ke dalamnya, maka cepat-cepatlah tingkatkan kesadaran, lakukan perubahan pola pikir agar kita keluar dari golongan tersebut.
Jika orang di sekitar kita termasuk ke dalamnya, maka cepat-cepat jugalah tingkatkan kesadaran, putuskan apakah kita akan memilih meladeni mereka atau menghindari mereka, jika tidak memungkinkan untuk menghindari mereka dan kita harus meladeni mereka, maka pastikan kita memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi agar tidak terseret ke dalam zona mereka.
Akhir kata, selalu jaga kesadaran dan kewaspadaan, seperti yang dikatakan leluhur Nusantara kita dulu: eling lan waspada!
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.