Episode 12 – 7 Topeng Kehidupan Perusak Kebahagiaan
Dari banyak bahasan seminar yang saya bawakan, satu bahasan yang selalu menempati posisi sendiri di benak para peserta adalah topik tentang ‘Topeng Kehidupan Perusak Kebahagiaan’, entah kenapa banyak peserta merasa bahasan ini relevan dengan situasi yang mereka alami.
Pernah saya mendapatkan pertanyaan: “Bagaimana cara mengenali diri kita yang sebenarnya?” Jawaban saya sederhana, mulailah dulu dengan mengenali diri kita yang bukan sebenarnya, kenalilah dulu topeng-topeng yang membentuk komposisi diri kita, yang mana topeng fungsional yang memang diperlukan untuk menjalani kehidupan bermasyarakat dan yang mana yang disfungsional dan merusak sendi-sendi kebahagiaan kita.
Apa saja 7 topeng kehidupan perusak kebahagiaan ini?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keduabelas Life Restoration Podcast berjudul ‘7 Topeng Kehidupan Perusak Kebahagiaan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast '7 Topeng Kehidupan Perusak Kebahagiaan'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode dua belas.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, seperti biasa, semoga Anda sekalian selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Berjumpa kembali di episode kedua belas kali ini, memasuki akhir bulan ketiga di tahun 2021.
Sebagaimana Anda sudah mulai lebih terbiasa, jadwal tayang Life Restoration Podcast saya adalah setiap hari Kamis pagi. Mengingat sekarang memasuki episode kedua belas maka tentu sudah dua belas minggu berlalu, kurang lebih sekitar tiga bulanan lah ya.
Akhir-akhir ini beberapa pesan bermasukkan ke kotak masuk media sosial saya dan meminta saya membahas lebih jauh tema-tema yang berhubungan dengan ‘mengenal diri’, bukan sebatas mengenali potensi diri seperti yang banyak dibahas di berbagai acara yang mengungkap bakat dan minat, tapi mengenali diri kita yang sebenarnya, diri kita yang tersimpan di balik berbagai lapisan pikiran dan perasaan, baik yang kita sadari atau pun yang kita tidak sadari.
Apa maksudnya ‘diri kita yang sebenarnya, yang tersimpan di berbagai lapisan pikiran dan perasaan’?
Begini, salah satu hal yang sering saya jelaskan pada para klien dan peserta pelatihan yang saya bawakan yaitu bahwa untuk bisa mengenali diri kita yang sebenarnya, pertama-tama kita harus bisa dulu mengenali lapisan demi lapisan pikiran dan perasaan yang mewarnai diri kita.
Manusia itu kompleks, di balik berbagai lapisan pemikiran dan perasaan yang mengisi diri kita tersimpan berbagai jenis lapisan lain yang lebih dalam yang bisa jadi menunjukkan sisi lain diri kita yang berkebalikan dari apa yang kita pikirkan dan rasakan di permukaan.
Mari mengambil contoh yang paling sederhana, yaitu ‘kemarahan’, di lapisan permukaan emosi kemarahan ini nampak sebagai emosi yang agresif dan bahkan akti, betul? Yang saya maksudkan aktif, yaitu ditujukan keluar dalam bentuk ekspresi yang seolah ‘siap menyerang’.
Tapi tahukah Anda, bahwa di balik emosi kemarahan yang kita tujukan pada dunia luar, sebenarnya sering kali tersimpan penyesalan yang kita tujukan pada diri kita sendiri?
Begini, sebut saja seseorang menghina Anda di depan umum dimana Anda tidak berdaya untuk membalas hinaannya, selepas kejadian itu Anda pun memendam kemarahan dan kebencian pada orang itu.
Di lapisan permukaan, kita bisa menyimpulkan bahwa kemarahan itu kita tujukan pada orang yang menghina kita, betul? Hal itu memang benar adanya, namun sebatas di permukaan, jika kita masuk ke kedalaman yang lebih dalam akan kita sadari bahwa bukan hinaan orang itu yang membuat kita marah, melainkan ketidakberdayaan kita untuk menghadapi hinaan itulah yang membuat kita marah, jika ketika kejadian berlangsung kita bisa membalas hinaan itu dengan tidak kalah sengitnya bisa jadi kemarahan itu tidak akan sempat tertanam, karena kita bisa melampiaskan yang kita ingin lampiaskan, masuk akal?
Lebih jauh lagi, bersama lapisan ketidakberdayaan itu masih tersimpan lagi lapisan yang lebih dalam, yaitu penyesalan. Penyesalan ini bisa berhubungan dengan penyesalan kenapa bisa-bisanya kita membiarkan kejadian itu terjadi, bisa juga penyesalan ini berhubungan dengan kenapa kita tidak melakukan sesuatu untuk mencegahnya terjadi.
Dengan kata lain, penyesalan kita sering kali berhubungan dengan apa yang kita anggap sebagai kebodohan, keterbatasan atau ketidaktahuan kita di peristiwa masa lalu yang tanpa bisa dicegah akhirnya menyakiti kita.
Lihat, bagaimana di balik satu emosi kemarahan saja bisa tersimpan begitu banyak lapisan lain yang tidak kalah rumitnya!
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena sebagai manusia kita memiliki keterbatasan untuk mengenali dan menerima yang kita rasakan seutuhnya, terutama jika hal itu kita rasa menyakiti kita dengan sedemikian pedihnya, maka di situasi itu kita lalu mengembangkan sebuah mekanisme pertahanan untuk menutupi perasaan sakit yang sebenarnya itu dengan perasaan atau perilaku lain yang lebih bisa menghibur kepedihan itu.
‘Me…nu…tu…pi’ yang sebenarnya? Bukankah hal ini sama saja dengan mengenakan ‘topeng’?
Betul sekali, saya memang sering kali menyebutnya sebagai ‘topeng kehidupan’, berbagai jenis lapisan pertahanan yang kita kembangkan untuk menutupi rasa sakit yang sebenarnya di dalam diri kita.
Itulah kenapa saya mengatakan bahwa awal dari mengenal diri dimulai dari mengenali dulu lapisan pikiran dan perasaan dalam diri kita, karena setiap kali mengenali lapisan itu dan masuk ke lapisan lain yang lebih dalam kita sebenarnya sedang ‘menelanjangi’ diri kita sendiri, kita mengenali lapisan demi lapisan topeng yang kita kenakan dan melepaskannya, semakin kita masuk lebih dalam maka semakin kita dekat dengan diri kita yang sebenarnya, yang tersimpan di balik lapisan topeng itu.
‘Topeng kehidupan’, mendengarnya saja sudah tidak nyaman, betul? Apalagi kalau saya semakin memperjelasnya dengan ‘topeng kehidupan perusak kebahaagiaan’, waw…makin tidak nyaman lagi tentunya.
Tapi karena hal ini penting dan memang menjadi judul dari episode kali ini, mari kita bahas dan pahami isinya, siap?
Untuk memahami esensi dari topeng kehidupan, pertama-tama kita harus memahami dulu hakikat diri sebagai manusia, dimana sebagai manusia kita tidaklah menyukai rasa sakit, baik itu secara fisik atau pun psikis.
Ya, rasa sakit adalah sebuah ‘ancaman’ yang merusak naluri alami diri kita yang mengharapkan ketenangan dan kebahaagiaan, maka itu rasa sakit adalah sesuatu yang kita hindari, jangan sampai kita rasakan.
Tapi dalam kenyataannya, bisakah sebagai manusia kita hidup terbebas dari rasa sakit?
Sudah tentu tidak bisa, betul? Apalagi yang berhubungan dengan ‘hati’, atau dengan kata lain ‘sakit hati’, ‘luka batin’ adalah contohnya.
Ngomong-ngomong, saya sudah pernah mengulas lika-liku luka batin di salah satu episode terdahulu di podcast saya, termasuk cara melepaskannya, jika Anda belum sempat mendengarkannya maka saya sarankan Anda mendengarkannya juga nanti, untuk semakin melengkapi wawasan Anda tentang lika-liku diri kita sebagai manusia.
Kembali ke bahasan sebelumnya tentang rasa sakit, sebagai manusia hidup tentu tidak selalu sejalan dengan yang kita harapkan, ada kalanya kita mengalami berbagai pengalaman tidak menyenangkan, yang meninggalkan ‘bekas’ atau luka batin tadi.
Ketika kita mengalami luka, pada umumnya kita tidak tahu cara menyembuhkan luka itu, alhasil luka itu terus membekas dalam batin kita, mengoyak diri kita di dalam sana dan menjadikannya merasa ‘buruk’.
Disinilah sering kali terjadi konflik, diri kita yang mengalami luka merasa sakit dan ingin mencurahkan rasa sakitnya, namun sering kali kita sulit mengekspresikan semua itu, bisa karena berbagai hal, bisa karena tidak tahu caranya, atau takut mengungkapkannya, atau merasa tabu mengungkapkannya, misalnya saja karena takut dibilang cengeng, lebay dan lain sebagainya, yang membuat kita lalu menghindari rasa sakit itu, agar jangan sampai terasa keberadaannya.
Tapi faktanya rasa sakit itu tetap ada, ia tetap membekas dalam diri kita, hal ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan, akumulasi dari rasa sakit ini sendiri bisa membuat diri kita merasa ‘kotor’ dan ‘malu’, bayangkan saja seolah-olah diri kita sedang berkumpul dengan banyak orang yang berpenampilan wajar, tapi diri kita adalah sosok yang kotor dan kusam, seperti apa rasanya berada bersama mereka? Bisa jadi ada rasa minder dan malu, betul?
Inilah yang terjadi pada diri mereka yang mengalami banyak luka sepanjang hidupnya, mereka merasa ada banyak luka yang ‘menempel’ pada mereka, yang membuat mereka terlihat ‘jelek’ tidak sebagus yang lain.
Padahal orang lain juga memiliki lukanya masing-masing, hanya saja hal itu tidak kita sadari karena sedemikian tidak nyamannya kita dengan akumulasi rasa sakit yang kita rasakan sendiri, yang membuat diri kita merasa ‘risi’, maka itulah kita lalu menutupi rasa sakit itu dengan suatu mekanisme tertentu agar kita tidak merasakan rasa sakit itu lagi, mekanisme inilah yang saya sebut sebagai ‘topeng’ tadi.
Topeng ini kita gunakan untuk meredam rasa sakit dalam diri agar tidak perlu kita rasakan, juga untuk membuat diri kita merasa ‘layak’ bergaul dengan dunia luar di kehidupan yang kita jalani, maka itulah topeng ini saya sebut sebagai ‘topeng kehidupan’.
Sampai sejauh ini mari pahami dulu apa saja yang sudah kita bahas, intinya yaitu bahwa sebagai manusia kita tidak suka dengan rasa sakit, hal itu membuat kita tidak nyaman dan merasa ‘tidak layak’ bergaul, namun faktanya adalah rasa sakit tidak terhindarkan dalam kehidupan yang kita jalani, dimana rasa sakit itu bisa berbekas dan membuat kita semakin merasa tidak nyaman dan tidak layak, maka kita lantas mengenakan topeng kehidupan untuk menghindari desakan rasa sakit itu.
Apa dampak dari mengenakan topeng kehidupan ini? Satu yang pasti, ia merusak kebahagiaan kita, karena sebaik dan sebagus apa pun topeng, tetap saja ia bukan diri kita yang sebenarnya, kita terpaksa mengenakannya karena tidak nyaman dengan diri kita yang sebenarnya yang terluka di balik topeng itu.
Tunggu dulu, apakah topeng ini selalu sepenuhnya buruk? Tidak juga, dalam kehidupan bermasyarakat yang kita jalani, kita tetap memerlukan topeng, tapi hanya sekedarnya, untuk bisa bersosialisasi dengan baik, mengikuti tata-cara dan aturan yang ada meski kita tidak sepenuhnya sukai, sebagai bentuk penghargaan terhadap lingkungan, juga agar kita bisa diterima oleh lingkungan. Suka tidak suka, topeng masih diperlukan sebagai bentuk formal kita dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini tidaklah salah.
Menjadi salah jika kita menggunakannya berlebihan, dan bahkan berlindung di balik topeng itu untuk menutupi apa yang kita rasa sebagai kekurangan dan rasa sakit diri kita.
Setiap topeng memiliki maksud peruntukkan, ia dikenakan untuk menutupi luka tertentu dalam diri kita.
Nah, apa saja 7 topeng kehidupan ini beserta luka yang diwakilinya? Mari kita mulai membahasnya.
Topeng pertama, yaitu ‘topeng penghiburan diri’ atau istilah lainnya ‘topeng kebijaksanaan’, bentuk sederhana dari topeng ini yaitu ketika seseorang berharap-harap atas suatu hal tapi kemudian tidak mendapatkannya ia lalu menghibur diri secara bijak, berkata: “Ya sudah, mungkin belum jodohnya.”
Topeng penghiburan diri biasa bermula dari keraguan atas diri sendiri, meski di mulut ia berkata bijak, yang terjadi sebenarnya dalam dirinya adalah ia menyimpan luka atas berbagai kegagalan atau ketidakmampuannya mencapai sesuatu berkali-kali, sehingga ketika dihadapkan lagi dengan peluang, sebenarnya dalam hatinya ia sudah ragu atas kemampuan dirinya, namun ia tidak suka mengakui keraguannya, maka ia lebih memilih berlindung di balik kalimat yang nampak bijaksana dan menghibur.
Apakah setiap orang yang berkata seperti itu pasti mengenakan topeng ini? Belum tentu, bisa jadi juga memang karena mereka sudah berpasrah total karena sudah berupaya maksimal, ketika mereka berkata seperti itu, memang karena mereka sudah dalam mode pasrah terbaiknya.
Dengan kata lain, tolak ukurnya adalah perasaan dalam diri, inilah yang menantang, karena ia sulit dikenali begitu saja, kecuali kita sebenarnya jujur pada diri kita sendiri seutuhnya.
Topeng kedua, yaitu ‘topeng kekuatan’ atau istilah lainnya ‘topeng pengaruh’, yang satu ini biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang mengintimidasi lingkungan, bisa dalam bentuk perilaku kasar secara fisik untuk menunjukkan kekuatan, seperti bullying misalnya atau pun dalam bentuk pengaruh jabatan yang ingin menekan agar orang di sekitar tidak macam-macam.
Topeng kekuatan biasa muncul dari rasa takut, ada sebuah rasa takut yang kita pendam, rasa takut untuk dilukai oleh dunia luar, bisa karena trauma karena kejadian yang mengancam kita, sehingga kita memilih untuk menegaskan kekuatan kita pada dunia luar agar tidak ada yang mengganggu atau mengancam kita.
Topeng ketiga yaitu ‘topeng harta’ atau istilah lainnya ‘topeng kemasan’, yang satu ini biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang mendewakan harta atau kemasan untuk menilai orang lain, kemasan ini bisa berupa pangkat atau status sosial, segala-sesuatu yang membuat mereka merasa bernilai lebih tinggi dari orang lain.
Topeng harta atau kemasan biasa muncul dari perasaan rendah diri, merasa bahwa diri tidak sebagus orang lain, sehingga harus ada sesuatu yang mereka agungkan dan kedepankan agar kemasan itulah yang dinilai oleh orang lain dan membuat mereka tidak perlu mengakui rasa rendah dalam dirinya.
Topeng kemasan dan topeng kekuatan yang tadi sudah kita bahas, biasanya muncul dalam bentuk post-power syndrome, mereka yang dulunya memiliki jabatan lalu kehilangan jabatannya merasa down, merasa tidak berarti lagi, hal ini karena mereka dulu bergantung pada jabatan itu untuk merasa berarti, ketika mereka tidak lagi menjabat mereka merasa tidak lagi berarti dan frustrasi karenanya.
Topeng keempat, yaitu topeng spiritual atau topeng religi, yang satu ini biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang bertolakbelakang, di depan selalu membicarakan hal-hal suci, namun di belakang sebenarnya mengumbar nafsu.
Kita mungkin tidak asing mendengar kabar bagaimana tokoh-tokoh yang dianggap pemimpin di agama tertentu tiba-tiba terkena skandal yang sangat-sangat mencoreng nama mereka, mulai dari skandal keuangan, seksual dan lain sebagainya, dimana bukti-bukti yang mengungkap perilaku mereka tidak bisa lagi dibantah, mengapa hal ini bisa terjadi?
Jawabannya adalah karena ada banyak nafsu yang tidak terekspresikan dalam diri mereka, yang belum terselesaikan, entah masalah keuangan waktu kecil, atau masalah di masa puber yang belum terekspresikan, atau bisa masalah lainnya yang membuat mereka masih bernafsu, masih merasa penasaran ingin ‘mencicipi’ hal-hal yang mereka belum sempat cicipi dan puaskan, namun apa daya di satu titik kehidupan kondisi mereka memaksa mereka untuk harus mengedepankan citra religius, maka mereka pun menjalani kehidupan yang berkonflik, di satu sisi mereka harus menampilkan diri sebagai sosok suci, di sisi lain mereka punya nafsu tidak terbendung yang menguasai dirinya.
Berikutnya, yaitu ‘topeng popularitas’ atau ‘topeng kontroversi’, yang ini agaknya bisa kita temukan dengan lebih mudah di era digital sekarang ini, dimana orang-orang mencari cara untuk bisa populer demi mendapatkan perhatian orang-orang, jika mereka tidak bisa mendapatkannya dengan cara positif, maka mereka tidak segan membuat kontroversi negatif sekali pun.
Topeng popularitas biasanya bermula dari rasa kurang perhatian, ada kebutuhan yang bergelora untuk diperhatikan dan dibicarakan oleh orang banyak, utamanya karena dulunya kurang diperhatikan oleh lingkungannya.
Sayangnya, rasa ingin diperhatikan ini lalu berkembang menjadi tidak terkendali dan sedemikian membutakan, yang penting populer, bahkan dengan cara negatif pun tidak jadi masalah, yang penting diperhatikan dan dibicarakan, kasihan memang.
Topeng keenam yaitu ‘topeng prestasi’ atau ‘topeng kompetisi’, yang satu ini biasanya muncul dalam bentuk perilaku yang sedemikian mencari pengakuan dan kemenangan, mereka sulit menerima kekalahan atau ketertinggalan, mereka harus selalu berada di paling depan dan kalau perlu melakukan cara-cara tidak terpuji demi memastikan mereka tidak tertinggal oleh orang lain.
Ada kalanya topeng prestasi atau kompetisi ini ‘diwariskan’ oleh orangtua pada anaknya, karena orangtua merasa diri mereka sedemikian superior sehingga anak harus seperti mereka, mereka akhirnya menekan anaknya untuk selalu berprestasi di berbagai bidang dan membuat mereka kehilangan masa-masa bahagianya demi mengejar prestasi.
Topeng prestasi atau kompetisi ini biasanya muncul dari rasa ‘kurangnya pengakuan’ karena sedemikian merasa ‘rendah’ dibandingkan orang lain, maka rasa rendah ini coba ditutupi dengan prestasi di aspek lain, sehingga prestasi inilah yang menjadi sesuatu yang dikedepankan, pemiliknya pun bergantung pada keberadaan prestasi, karena tanpa reputasi ia merasa dirinya tidak berharga, maka ia mati-matian mencari cara agar ia selalu berprestasi.
Lagi-lagi, bukan berarti semua sikap kompetitif itu jelek, di kadar yang tepat ia membuat kita memiliki keinginan untuk maju tentunya, namun di kadar yang tidak tepat seperti topeng ini ia membuat kita terbutakan oleh ambisi buta yang tidak berkesudahan.
Bagaimana mengenalinya? Sederhana sekali, yaitu amati saja respon ketika mengalami kekalahan dan amati respon ketika mengejar prestasi, jika ketika mengalami kekalahan responnya sedemikian emosional dan ketika mengejar prestasi sedemikian bernafsu maka itulah indikasi adanya topeng yang satu ini.
Topeng ketujuh dan terakhir, yaitu ‘topeng seksual’ atau tepatnya ‘topeng daya tarik’, yang satu ini biasanya berhubungan sekali dengan penampilan fisik, para pemilik topeng ini sangat menggantungkan arti keberadaan dirinya pada penampilan fisiknya, mereka tidak segan mengeluarkan waktu, tenaga dan biaya untuk selalu mendewakan penampilan fisiknya secara berlebihan.
Lagi-lagi kita perlu bijak, bukan berarti semua perilaku yang mengutamakan fisik itu jelek dan melambangkan topeng ini. Secara normatif kita tentu tetap perlu menjaga penampilan dalam menjalani kehidupan sosial, itu adalah hal yang wajar, maka tidak ada yang salah dengan bersolek, berhias atau menjaga penampilan.
Menjadi topeng yang membutakan ketika itu semua menyita waktu, tenaga dan biaya yang tidak sepantasnya dan menjadi acuan dalam menilai orang lain, memandang rendah pada orang lain yang penampilannya sekedarnya.
Topeng seksual atau daya tarik biasanya bermula dari rasa tidak percaya diri pada keberadaan diri sendiri, sehingga penampilan dan daya tarik seksual menjadi senjata untuk menutupi rasa tidak percaya diri tersebut, sedemikian terbutakannya oleh topeng ini sampai-sampai banyak sekali daya dan upaya berlebih yang tidak wajar dilakukan demi mendewakan hal ini dan bahkan sampai menjadi acuan dalam menilai dan menghakimi sesama.
Bagaimana, unik bukan? Semua topeng yang kita bahas tadi bukan dimaksudkan sebagai ajang menggeneralisir bahwa semua itu buruk. Ingat, di kadar yang tepat semua itu memiliki manfaat bagi kita untuk menampilkan citra diri yang tepat dalam menjalankan peran sosial kita, semua itu menjadi masalah ketika ia muncul dalam mode berlebih dan membutakan kita, kita menjadi sedemikian bergantung pada topeng itu dan merasa tidak berarti tanpa adanya topeng-topeng itu.
Seberapa buruk kualitas hidup kita di bawah bayang-bayang topeng itu? Anda tentu bisa menebaknya, kita jadi bergantung pada semua topeng itu dan kehilangan rasa layak, kita baru merasa bahagia dan layak ketika topeng itu ada, ketika topeng itu tidak ada maka rasa resah dan gelisahlah yang malah muncul.
Ngomong-ngomong, bagaimana menyikapi topeng-topeng itu? Yang satu ini akan perlu bahasan tersendiri, agaknya akan kita kupas lebih jauh di episode berikutnya.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.