Episode 14 – Kendali Diri dan Kebutuhan Emosi
Dalam layanan profesional yang saya jalankan, yang pada akhirnya membuat seseorang mencari pertolongan adalah karena mereka kesulitan mengendalikan dirinya di situasi spesifik yang mengharuskannya menampilkan respon idealnya, ketika di situasi spesifik dimana mereka seharusnya tenang namun malah gelisah contohnya, atau ragam situasi lainnya yang berhubungan dengan ‘krisis kendali diri’ ini.
Cara kita mengendalikan diri, mengelola perasaan, pemikiran dan perilaku kita akan sangat bergantung pada kadar energi yang kita miliki, atau tepatnya energi psikis. Namun disinilah kadar energi psikis ini justru tidak memadai karena satu dan lain hal, utamanya karena adanya kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi dalam diri, yang menjadikan diri kita ‘lapar’ dan ‘lemas’, yang berujung pada turunnya kemampuan kendali diri.
Bagaimana kebutuhan emosi ini mempengaruhi kendali diri? Bagaimana proses pengasuhan orangtua sangat menentukan pemenuhan kebutuhan emosi ini sejak kecil dan mempengaruhi cara seseorang menjalani kehidupan di masa dewasa?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keempatbelas Life Restoration Podcast berjudul ‘Kendali Diri dan Kebutuhan Emosi’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Kendali Diri dan Kebutuhan Emosi'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode empat belas.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, selamat berjumpa kembali, di episode keempat belas kali ini.
Seperti biasa, doa terbaik: semoga Anda sekalian selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Di episode kali ini saya ingin membahas satu hal yang berhubungan erat dengan apa yang saya jalani di profesi saya sebagai seorang konselor dan terapis, yaitu persoalan ‘ketidakmampuan mengendalikan diri’ yang berujung pada berbagai jenis permasalahan perilaku.
Begitulah, dalam profesi yang saya jalani dan layanan yang saya sediakan, saya membantu para klien yang datang dengan berbagai jenis persoalan, pada akhirnya segala persoalan yang para klien saya angkat akan selalu berujung pada satu hal: ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan diri untuk bisa menampilkan perilaku yang seharusnya di situasi yang mengharuskannya.
‘Kendali diri’ ini juga menjadi kata kunci, siapa pun yang mampu mengendalikan diri secara ideal akan mampu memenuhi setiap tuntutan situasi yang sedang dialami di luar dirinya.
Misalnya saja kita sedang berada dalam situasi yang penuh tekanan, seperti sedang ‘menjalani ujian’ misalnya, apa yang secara alami akan kita rasakan? Tentu akan ada perasaan ‘tertekan’, yang mungkin saja berujung menjadi ‘cemas’ atau ketidaknyamanan lainnya.
Di satu sisi, hal ini memang wajar untuk kita alami, tapi di sisi lain kita tentu tahu bahwa hal itu sebenarnya ‘menggembosi’ kinerja kita dalam berpikir dan melalui ujian, kita juga tahu bahwa kita seharusnya tenang, berpikir dengan tenang sehingga bisa mengerjakan ujian dengan baik.
Rasa cemas atau ketidaknyamanan dalam situasi ujian tadi adalah tantangan yang jelas mempengaruhi diri kita, atau mempengaruhi cara kita mengendalikan diri. Disinilah kita diuji, jika kendali diri kita lebih kuat daripada tantangan maka kita akan bisa ‘mengalahkan’ tantangan itu – atau paling tidak: mengimbanginya – sehingga kita tetap bisa menampilkan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan tuntutan situasi.
Tapi bagaimana jika kendali diri kita lebih lemah? Anda tentu sudah bisa menebaknya, tantangan itulah yang mengalahkan kita, sehingga kita jadi dikuasai oleh perasaan dan pemikiran yang malah melemahkan dan membuat kita tidak berdaya, kita tahu bahwa bukan itu respon yang seharusnya kita tampilkan, tapi apa daya kita seolah kehilangan kendali.
Hal ini berlaku bukan hanya pada rasa cemas saja, tapi juga termasuk pada berbagai jenis hal lainnya, seperti kemarahan berlebih, ketakutan berlebih, fobia, kebiasaan buruk, atau masalah respon perasaan dan perilaku negatif lainnya.
Intinya adalah kita berada di suatu situasi yang mengharuskan kita menampilkan respon perasaan, pemikiran atau perilaku tertentu agar bisa melaluinya dengan baik, tapi yang terjadi adalah kita malah tidak berdaya, tidak bisa mengendalikan diri untuk bisa menampilkan respon yang seharusnya, karena kalah oleh desakan perasaan dan pemikiran yang tidak bisa kita kendalikan di situasi itu.
‘Kendali diri’, suatu kata yang sebenarnya menjadi kunci dari menjalani hidup yang ideal, siapa bisa mengendalikan diri dengan penuh kesadaran dalam mengimbangi tuntutan situasi di luar dirinya, maka merekalah yang bisa menjalani hidup dengan baik.
Pertanyaannya adalah, apakah hal ini merupakan hal yang mudah? Tentu tidak, akan selalu ada saja situasi dimana kita sulit mengendalikan diri dalam melaluinya, hal ini manusiawi adanya, yang kita fokuskan di episode kali ini adalah memahami penyebabnya, sehingga kita bisa meminimalisir dan bahkan mengantisipasinya.
Seperti Anda mungkin sudah cukup terbiasa mendengarkan penjelasan saya, saya sering kali menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan sebuah dasar pemahaman tertentu, begitu juga kali ini, saya akan menggunakan sebuah perumpamaan dalam menjelaskan mekanisme kendali diri ini.
Hal pertama yang saya ingin angkat dalam bahasan kendali diri ini yaitu ‘energi’.
Sederhananya begini, kadar energi yang kita miliki berbanding lurus dengan kendali diri yang kita miliki, semakin besar kadar energi yang kita punya dalam diri kita maka kita akan lebih memiliki kendali diri dalam merespon situasi di luar diri kita dengan respon ideal yang seharusnya, begitu juga sebaliknya, semakin kecil kadar energi yang kita punya dalam diri kita maka semakin sulit juga kita merespon situasi di luar diri kita dengan respon ideal yang seharusnya.
Sejauh ini bisa dipahami? Sederhana bukan?
Nah, sekarang waktunya kita menggunakan sebuah perumpamaan untuk memahami mekanisme kendali diri ini.
Bayangkan diri Anda belum makan lalu Anda harus melakukan aktivitas berat, apa yang menurut Anda akan terjadi? Yes, kewalahan pastinya, energi dalam diri Anda tidaklah memadai untuk melakukan aktivitas berat itu, cara Anda melakukan aktivitas berat itu akan terhambat oleh tidak memadainya energi dalam diri Anda, sehingga Anda pun tidak bisa melakukannya dengan baik.
Itu baru kalau ‘belum makan’, sekarang bagaimana kalau bahkan ‘kurang gizi’? Bayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya kekurangan gizi, seperti apa kondisi fisiknya? Sudah pasti ada kelemahan-kelemahan yang menjadikan dirinya tidak memiliki energi yang memadai, jangankan untuk menjalani aktivitas berat, untuk menjalani aktivitas sehari-hari saja mungkin sudah akan sulit sekali jadinya.
Nah, itu adalah gambaran sederhana dari bagaimana kurangnya kebutuhan fisik mempengaruhi kita untuk menjalankan aktivitas fisik, karena energi fisik yang kita miliki tidak memadai untuk membantu kita menjalankan aktivitas itu.
Lalu apa hubungannya dengan kendali diri? Sabar dulu, ingat bahwa kendali diri bersumber dari energi, semakin besar energi yang kita miliki maka semakin mudah kita mengendalikan diri. Kendali diri dalam perumpamaan tadi adalah cara kita beraktivitas fisik, jika kebutuhan fisik kita terpenuhi dengan baik maka akan lebih mudah kita beraktivitas fisik karena stok energi fisik dalam diri kita pun memadai untuk kita melakukannya.
Kalau tadi kita membicarakan kendali diri ini sebagai cara kita menampilkan aktivitas fisik, begitu juga jika kita hubungkan dengan psikis, kendali diri ini dilambangkan dengan cara kita mengendalikan respon perasaan, pemikiran dan perilaku diri kita, untuk bisa menampilkan respon perasaan, pemikiran dan perilaku yang ideal, yang seharusnya, sesuai dengan tuntutan situasi yang kita sedang lalui.
Tadi ada perumpamaan ketika kita belum makan maka kita sulit beraktivitas berat, dalam hubungannya dengan psikis, ini yang terjadi ketika kita belum siap atau sedang dalam mode berpikir yang tidak tepat – sedang bad mood karena baru mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan misalnya, ketika akan melakukan aktivitas berikutnya kita jadi tidak siap dan tidak mampu menampilkan respon yang seharusnya, semata karena kita tidak siap, sama seperti ketika belum makan.
Dalam kondisi siap, bisa jadi kita seharusnya tidak terlalu banyak terkendala oleh situasi yang kita alami tadi, hanya saja ketidaksiapan itu yang menjadikan prosesnya bermasalah.
Lain dengan yang ‘kurang gizi’ tadi, yang satu ini siap atau tidak siap tetap saja kendala utamanya terletak pada tidak tersedianya stok gizi atau energi yang memadai karena sepanjang hidup memang gizi itu kurang atau tidak didapat sebagaimana seharusnya, upaya perbaikan kondisi yang satu ini tentu akan jauh berbeda, ‘perbaikan gizi’ harus dilakukan dulu di awal sebelum nantinya menyiapkan diri untuk menjalani aktivitas-aktivitas berat yang memang disiapkan untuk itu.
Dalam hubungannya dengan psikis, apa maksud dari ‘kebutuhan gizi’ ini?
Sama saja, yaitu yang kita perlukan secara psikis, atau bahasa sederhana yang sering saya gunakan adalah ‘kebutuhan emosi’.
Kita semua memiliki dua jenis kebutuhan: kebutuhan fisik dan kebutuhan emosi, ketika kebutuhan ini terpenuhi dengan baik maka memadai juga kemampuan kita untuk menjalankan aktivitas yang mensyaratkan energi fisik atau energi psikis dengan jumlah tertentu, ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka wajar jika kita menjadi tidak mampu menjalankan aktivitas yang memerlukan energi fisik atau psikis itu, karena memang energi itu tidak kita miliki.
Membicarakan kebutuhan fisik, jelas berhubungan dengan gizi secara fisik, yang kita peroleh dari makanan, sinar matahari dan hal lainnya yang bersifat fisik.
Lain dengan kebutuhan emosi, semua ini berupa pengalaman yang bersifat emosional.
Sebagai manusia kita memiliki lima kebutuhan emosi dasar yang jika terpenuhi menjadikan kita lebih mampu memegang kendali atas respon pemikiran, perasaan dan perilaku kita.
Meski kita butuhkan sepanjang waktu, kebutuhan emosi ini utamanya kita perlukan sewaktu kecil. Persis seperti ilustrasi tumbuh-kembang anak sampai dewasa, jika kebutuhan gizinya di waktu kecil tidak terpenuhi maka hal ini jelas akan mempengaruhi caranya bertumbuh dewasa dan menjalankan segala aktivitasnya.
Apa saja kebutuhan emosi ini? Saya menyebutnya ‘nutrisi emosi dasar’, yaitu kebutuhan emosi akan rasa ‘aman’, rasa ‘dicintai’ atau ‘diterima’, rasa ‘dipahami’, rasa ‘diakui’, rasa ‘dihargai’ atau rasa ‘mampu’ dan rasa ‘punya kendali’.
Jika kebutuhan nutrisi emosi dasar ini terpenuhi dengan baik maka sehat juga energi psikis dalam diri seseorang, yang akan membantunya untuk lebih punya kendali diri yang baik dalam mengelola pemikiran, perasaan dan perilakunya.
Tapi jika kebutuhan nutrisi emosi dasar ini tidak terpenuhi, akan muncul gejala ‘ketidakmampuan’ yang membuat seseorang sulit menjalankan aktivitasnya, dalam versi yang lebih ekstrim, si orang yang kurang nutrisi ini bisa saja melakukan hal-hal negatif yang dirasanya bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang tidak dimilikinya itu, agar ia bisa merasa lebih memiliki kendali diri.
Mari kita mulai bahas satu-persatu, seperti apa mekanisme dari pemenuhan nutrisi emosi dasar ini dan dampaknya jika hal ini tidak terpenuhi.
Cara saya menjelaskan pemenuhan nutrisi emosi ini akan saya bagi menjadi tiga: pertama, saya akan menjelaskan kebutuhan emosi yang diperlukan dan stimulus yang diperlukan yang bisa memenuhi kebutuhan emosi itu. Kedua, saya akan menjelaskan seperti apa dampaknya jika kebutuhan emosi itu tidak terpenuhi, dalam bentuk ‘ketidakmampuan’, hal apa yang jadinya tidak mampu dilakukan dengan baik karena nutrisi yang diperlukan tidak ada dalam diri, saya menyebutnya ‘wujud pasif’. Dan ketiga, saya akan menjelaskan seperti apa bentuk perilaku yang terjadi ketika seseorang yang tidak memiliki nutrisi emosi itu berusaha memenuhi nutrisi emosi itu, yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku negatif, agar ia merasa punya kendali, saya menyebutnya ‘wujud eksesif’.
Wujud pasif dan wujud eksesif adalah dua kutub dampak, ‘pasif’ adalah dampak jika kebutuhan emosi itu tidak terpenuhi, yang muncul dalam bentuk ketidakmampuan, ‘eksesif’ adalah dampak yang muncul dalam bentuk perilaku berlebihan yang dilakukan, yang dirasa memenuhi kebutuhan emosi yang hilang itu, agar seseorang merasa punya kendali, meski sebenarnya hal itu tidaklah menyembuhkan.
Mari kita mulai saja, dengan kebutuhan emosi pertama, yaitu kebutuhan akan rasa ‘aman’.
Rasa aman adalah kebutuhan yang paling dasar sekali, ketika kita masih kecil, rasa aman ini bisa kita dapatkan dari lingkungan yang tenang, tidak berisikan suara keras yang bernuansa ancaman, seperti bentakan, konflik, atau bahkan kekerasan.
Ketika seseorang di masa kecilnya banyak mengalami nuansa ancaman yang menakutkannya, seperti sering mendengar bentakan, konflik, atau melihat dan mendengar kekerasan yang mengancam, maka rasa aman ini jelas tidak terpenuhi kebutuhannya dalam dirinya, dengan kata lain: ia dipenuhi rasa takut.
Ingat, ketika sebuah kebutuhan tidak terpenuhi akan ada dua dampak: dampak pasif yang muncul dalam bentuk ketidakberdayaan dan dampak eksesif yang muncul dalam bentuk perilaku berlebihan untuk memenuhi kebutuhan emosi yang hilang itu.
Ketika seseorang kehilangan rasa aman dalam dirinya, maka wujud pasif dari kehilangan rasa aman ini akan muncul dalam bentuk perilaku yang mudah merasa ketakutan, ia tidak mampu mengendalikan ketakutannya dengan baik, takut membuat keputusan, takut pada ketidakpastian, dan takut pada berbagai hal yang mungkin tidak seharusnya ditakutinya.
Wujud eksesif dari mereka yang kehilangan rasa aman adalah perilaku yang ‘mengancam lingkungan’, misalnya mereka yang melakukan bullying atau sering menindas dan mengancam sesama di lingkungannya, hal itu dilakukan karena mereka ingin merasa aman dan rasa aman itu baru dirasakan jika mereka bisa membuat lingkungannya takut pada mereka lebih dulu, sehingga tidak mengganggu mereka dan membuat mereka merasa tidak aman nantinya.
Berikutnya, yaitu kebutuhan emosi untuk ‘dicintai’ atau ‘diterima’, bahasan ini melanjutkan bahasan sebelumnya ya.
Rasa dicintai atau diterima diperoleh dari perasaan disayang, ketika kecil hal ini bisa muncul dalam bentuk stimulus pelukan hangat, atau ekspresi sayang lainnya yang ketika dilakukan bisa terasa kehangatannya.
Bisa saja seseorang menjalani kehidupan yang aman dan tenang, jauh dari suara berisik atau ancaman apa pun, tapi saja ia tidak pernah mendapatkan kehangatan kasih sayang ini, karena orangtuanya terlalu sibuk bekerja misalnya.
Ketika rasa dicintai atau diterima ini hilang, seorang anak merasa keberadaan dirinya adalah keberadaan yang tidak berharga, tertolak atau tidak diinginkan.
Wujud pasif dari kehilangan kebutuhan emosi ini yaitu dalam bentuk perasaan minder dalam bergaul, merasa asing, kecil dan tidak layak tampil, karena pada dasarnya mereka merasa dirinya adalah keberadaan yang tidak berharga dan tidak diinginkan oleh siapa pun.
Sementara itu wujud eksesif dari kehilangan kebutuhan emosi ini bisa muncul dalam bentuk perilaku yang selalu ingin diterima oleh lingkungan, alhasil muncullah perilaku yang tidak bisa berkata tidak atau people pleaser, rela melakukan apa pun, diperalat sekali pun, demi merasa diri diterima oleh lingkungan, atau merasa memiliki seseorang di dekatnya, karena hal itu memenuhi kebutuhan emosi yang dulu hilang dalam dirinya.
Nah, seru bukan? Mari kita lanjutkan ke yang ketiga, yaitu kebutuhan merasa ‘dipahami’.
Kebutuhan dipahami dipenuhi dengan perasaan ‘didengarkan’ dan dimaklumi.
Seperti sebelumnya, bisa saja seorang anak merasa aman dan dicintai, tapi belum tentu ia merasa dipahami.
Dalam perkembangan tumbuh kembang seorang anak, ia akan makin kritis, banyak hal akan dicoba untuk dilakukannya, apa yang dilakukannya ini belum tentu semuanya berupa hal yang bisa diterima lingkungan, akan tiba waktunya lingkungan – terutama orang tua –memarahi si anak karena dianggap melakukan sesuatu yang buruk.
Ketika dimarahi, apa respon alami kita? Kita tentu ingin menjelaskan bukan tentang yang terjadi? Nah, ketika menjelaskan inilah tidak semua orang tua bisa mendengarkan dengan baik, ada kalanya beberapa orang tua merasa ‘tidak mau tahu’, ketika anak menjelaskan mereka bersikeras bahwa si anak salah dan malah mengatakan “Anak kecil tahu apa, pokoknya dengerin”, dimana hal ini membuat si anak merasa dirinya tidak dipahami.
Wujud pasif dari hilangnya rasa dipahami ini membuat seseorang kelak menjadi orang yang ‘diam’ dan menutup diri, ia tidak mau menceritakan apa yang dirasakan atau dialaminya, karena ia terlanjur merasa “Percuma, selama ini juga setiap menjelaskan kan selalu salah, lebih baik diam saja sudah.”
Sementara wujud eksesif dari perilaku ini muncul dalam bentuk perilaku yang inginnya selalu dipahami oleh orang lain, kalimat-kalimat seperti “Kamu harusnya ngerti dong,” menjadi kalimat yang sering diucapkan orang-orang ini, karena dengan orang lain memahami mereka hal ini memenuhi kebutuhan emosi yang hilang dalam dirinya, yaitu merasa dipahami, ironisnya mereka sering menjadi orang yang ingin dipahami tapi sulit memahami orang lain, karena fokusnya mereka adalah memenuhi kebutuhan emosi dalam diri mereka yang selama ini hilang.
Mari lanjut ke yang keempat, yaitu kebutuhan emosi merasa ‘dihargai’ atau rasa ‘mampu’.
Yang satu ini cukup sederhana, kita mendapatkan kebutuhan ini dengan mendapatkan penghargaan atau pujian atas hal-hal positif yang kita miliki atau lakukan.
Ada kalanya beberapa orang tua atau lingkungan sulit memberikan hal ini pada anaknya, sebagus apa pun anaknya melakukan atau menampilkan sesuatu, ada saja yang kurang, ada saja yang harus dikritik dalam diri si anak, atau dibanding-bandingkan dengan orang lain, sehingga si anak merasa ‘ada yang salah’ dengan dirinya, bahwa dirinya tidak becus dan tidak mampu melakukan sesuatu yang berharga.
Wujud pasif dari tidak terpenuhinya kebutuhan ini yaitu seseorang yang merasa ‘tidak mampu’, ia memilih untuk menolak atau melewatkan peluang besar yang ada di depannya karena ia merasa tidak mampu, bentuk yang lebih ringan dari wujud pasif ini yaitu perasaan ragu pada kemampuan diri, merasa apa yang dimiliki tidak memadai atau tidak cukup bagus dibandingkan orang lain.
Bagaimana dengan wujud eksesif dari tidak terpenuhinya kebutuhan emosi ini? Hal ini akan muncul dalam bentuk perilaku yang ambisius dan kompetitif, sulit menerima kekalahan, prestasi dan kemenangan menjadi satu hal yang harus selalu ada, hal ini karena dengan menang dan berprestasi inilah dirinya merasa ‘mampu’ dan berharga.
Ada kalanya juga perilaku ini muncul dalam bentuk sulit menerima kelebihan orang lain, ketika melihat ada orang lain yang dirasa lebih jago atau lebih pandai maka muncul rasa tidak suka, yang lantas berujung pada melakukan tindakan tidak terpuji untuk menjelekkan orang lain yang dirasanya lebih superior, karena ia harus selalu merasa mampu dan lebih mampu dibandingkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan yang hilang dalam dirinya.
Yang terakhir kali ini yaitu perasaan ‘punya kendali’, yang satu ini berhubungan dengan adanya rasa bahwa ‘saya bisa membuat keputusan’ atau ‘saya punya ruang untuk membuat keputusan’.
Rasa ‘punya kendali’ diperoleh dari stimulus yang memungkinkan kita untuk bisa membuat keputusan sendiri, dimana hal ini tidak selalu mudah untuk didapat. Beberapa orang tua atau lingkungan bisa sedemikian otoriter mengatur seseorang sewaktu kecil, orang ini hampir tidak pernah membuat keputusan apa pun sejak kecil, ia harus terus mengikuti keputusan yang sudah dibuatkan oleh lingkungannya tanpa bisa membantah atau menyuarakan keinginannya.
Alhasil, wujud pasif dari hilangnya rasa kendali ini yaitu seseorang tidak berani atau tidak tahu cara membuat keputusan besar, karena selama ini ia tidak pernah membuat keputusan besar, semua keputusan besar dalam hidupnya sudah ditentukan oleh orang lain dan ia tidak merasa punya kendali atas hidupnya, ketika waktunya diberi kendali untuk membuat keputusan besar maka ia takut dan tidak tahu cara menggunakannya.
Wujud eksesif dari hilangnya rasa kendali muncul dalam bentuk perilaku otoriter yang ‘control freak’, semua di lingkungan harus selalu dalam kendali orang ini, bossy dan inginnya mengendalikan lingkungan sampai hal terkecil sekali pun, karena itulah yang memenuhi kebutuhan emosi ‘punya kendali’ yang hilang dalam dirinya.
Nah..seru bukan? Bagaimana cara seseorang menampilkan perilaku dan responnya sangat bergantung pada kemampuannya mengendalikan diri, dimana kemampuan mengendalikan diri ini bergantung pada kadar energi yang dimiliki seseorang dalam dirinya. Kadar energi yang dimiliki seseorang ini kelak ternyata bergantung pada terpenuhi atau tidaknya nutrisi emosi dalam dirinya, jika nutrisi emosi dalam dirinya memadai maka memadai juga kadar energinya dan ia lebih bisa mengendalikan respon dirinya kelak.
Lalu bagaimana memenuhi kebutuhan emosi yang hilang ini di masa kini, sehingga kita lebih bisa punya kendali diri yang lebih baik atas respon perasaan, pikiran dan perilaku kita? Pemahaman ini tentunya akan mengajak kita untuk memahami cara memperbaiki dan memenuhi nutrisi emosi dalam diri kita.
Tapi mengingat durasi episode ini saja sudah cukup lama sejauh ini, maka bahasan itu akan kita kupas di episode berikutnya, oke?
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.