Episode 15 – Penuhi Kebutuhan Emosi Diri
Melanjutkan bahasan episode sebelumnya, kita tidak bisa memberikan yang kita tidak miliki, bagaimana mungkin kita bisa memberikan cinta-kasih yang tulus pada orang lain kalau rasa cinta-kasih itu saja tidak kita miliki dalam diri kita? Ketika hal ini dipaksakan sekali pun, terjadilah fenomena dimana orang-orang akhirnya ‘berhutang rasa’, mereka memaksakan dirinya memberikan yang tidak mereka miliki pada orang lain, mereka semakin labil karenanya dan lebih rentan terkena penyakit psikis.
Fenomena dimana orang-orang harus ‘berbagi rasa yang tidak mereka miliki’ adalah salah satu penyebab utama di balik masalah perilaku yang muncul dalam pernikahan dan pengasuhan anak, suami atau istri berusaha memberikan rasa cinta pada pasangannya, padahal mereka sendiri tidak memiliki itu dalam dirinya, orang tua berupaya memberikan rasa cinta pada anaknya padahal mereka sendiri tidak memiliki itu dalam dirinya, sehingga mereka yang ‘tidak memiliki tapi harus memberikan’ itu memaksakan dirinya, membuat stamina psikisnya lemah, di kemudian hari hal ini menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri dan lingkungan dekatnya, ketika bom waktu ini meledak muncullah perilaku yang justru berkebalikan, malah jadi perilaku kasar, keras dan menyakiti.
Bisakah kebutuhan emosi yang hilang ini dipenuhi dalam diri? Jawabannya adalah: YA, bisa, dan berita baiknya adalah prosesnya bisa kita lakukan sendiri, dari diri kita sendiri, oleh diri kita sendiri dan untuk diri kita sendiri.
Seperti apa jelasnya?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kelimabelas Life Restoration Podcast berjudul ‘Penuhi Kebutuhan Emosi Diri’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Penuhi Kebutuhan Emosi Diri'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode lima belas.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, semoga Anda sekalian, seperti biasa, selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia, dimana pun Anda berada.
Berjumpa kembali di Life Restoration Podcast bersama saya, Alguskha Nalendra, di episode kelimabelas kali ini.
Memasuki bulan suci Ramadhan di episode kali ini, bulan yang dikenal penuh berisikan pesan untuk mengendalikan diri dari berbagai jenis godaan dan hawa-nafsu.
‘Kendali diri’? Agaknya hal yang cukup familiar bukan? Apalagi bahasan ini memang baru saja kita ulas di episode keempat belas sebelumnya.
Oh iya, bagi Anda yang belum mendengarkan episode keempat belas sebelumnya, saya persilakan untuk mendengarkan dulu episode itu, karena apa yang kita bahas di episode kali ini adalah lanjutan dari apa yang kita bahas di episode itu.
Di episode keempat belas sebelumnya, saya membahas bagaimana ‘kendali diri’ adalah kunci dari menjalani kehidupan yang efektif, siapa pun yang mampu mengendalikan diri secara ideal akan mampu memenuhi setiap tuntutan situasi yang sedang dialami di luar dirinya.
Sebagai manusia, wajar adanya untuk merasakan ‘ketidaknyamanan’ di situasi yang kita rasa ‘menantang’ atau tidak kita sukai, ketidaknyamanan ini bisa berupa emosi negatif, seperti kecemasan, ketakutan, kesedihan dan lain sebagainya.
Di satu sisi, ketidaknyamanan ini wajar untuk kita alami, tapi di sisi lain kita tentu tahu bahwa ketidaknyamanan itu sebenarnya ‘menggembosi’ kinerja kita dalam merespon situasi yang kita harus lalui dengan baik.
Ketidaknyamanan ketika menjalani situasi yang kita rasa menantang atau tidak kita sukai adalah tantangan yang jelas mempengaruhi diri kita, atau mempengaruhi cara kita mengendalikan diri. Sebagaimana sudah saya ulas di episode empat belas sebelumnya, disinilah kita diuji, jika kendali diri kita lebih kuat daripada tantangan maka kita akan bisa ‘mengalahkan’ tantangan itu, atau paling tidak: mengimbanginya, sehingga kita tetap bisa menampilkan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan tuntutan situasi.
Tapi bagaimana jika kendali diri kita lebih lemah? Yes, tantangan itulah yang mengalahkan kita, sehingga kita jadi dikuasai oleh perasaan dan pemikiran yang malah melemahkan dan membuat kita tidak berdaya, kita tahu bahwa bukan itu respon yang seharusnya kita tampilkan, tapi apa daya kita seolah kehilangan kendali, kita berada di suatu situasi yang mengharuskan kita menampilkan respon perasaan, pemikiran atau perilaku tertentu agar bisa melaluinya dengan baik, tapi yang terjadi adalah kita malah tidak berdaya, tidak bisa mengendalikan diri untuk bisa menampilkan respon yang seharusnya, karena ‘kalah’ oleh desakan perasaan dan pemikiran yang tidak bisa kita kendalikan di situasi itu.
Disinilah kendali diri menjadi kunci, siapa memiliki kendali diri yang memadai untuk merespon tantangan atau situasi di luar dirinya, maka mereka akan menjalani kehidupan yang lebih terkendali.
Seperti juga sudah saya jelaskan di episode empat belas, ilustrasi yang saya gunakan untuk menjelaskan mekanisme kendali diri ini yaitu ‘energi’.
Kadar energi yang kita miliki sejalan dengan kendali diri yang kita miliki, semakin besar kadar energi yang kita punya dalam diri kita maka semakin baik kendali diri dalam merespon situasi di luar diri kita dengan respon ideal yang seharusnya, begitu juga sebaliknya, semakin kecil kadar energi yang kita punya dalam diri kita maka semakin sulit juga kita merespon situasi di luar diri kita dengan respon ideal yang seharusnya.
Perumpamaan sederhana yang saya selalu gunakan adalah seseorang yang belum makan lalu diminta melakukan aktivitas berat, apa yang menurut Anda akan terjadi? Yes, kewalahan pastinya, energi dalam dirinya tidak mencukupi untuknya melakukan aktivitas berat itu, cara orang itu melakukan aktivitas berat itu akan terhambat oleh tidak memadainya energi dalam dirnya, sehingga ia tidak bisa melakukannya dengan baik.
Itu baru kalau ‘belum makan’, sekarang bagaimana kalau ‘kurang gizi’? Bayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya kekurangan gizi, seperti apa kondisi fisiknya? Sudah pasti kondisi ini menjadikan dirinya tidak memiliki energi yang memadai, jangankan untuk menjalani aktivitas berat, untuk menjalani aktivitas sehari-hari saja mungkin sudah akan sulit sekali jadinya.
Ilustrasi ‘makan’, ‘gizi’ dan ‘kemampuan menjalankan aktivitas’ tadi adalah gambaran sederhana dari bagaimana terpenuhinya ‘energi fisik’ mempengaruhi kita untuk menjalankan aktivitas fisik, karena kadar energi fisik yang kita miliki mempengaruhi cara kita mengendalikan diri dalam menampilkan aktivitas fisik.
Begitu juga jika kita hubungkan dengan psikis, kendali diri ini dilambangkan dengan cara kita mengendalikan respon perasaan, pemikiran dan perilaku diri kita.
Tadi ada perumpamaan ketika kita belum makan maka kita sulit beraktivitas berat, dalam hubungannya dengan psikis, ini yang terjadi ketika kita belum siap atau sedang dalam mode berpikir yang tidak tepat – sedang bad mood karena baru mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan misalnya, ketika akan melakukan aktivitas berikutnya kita jadi tidak siap dan tidak mampu menampilkan respon yang seharusnya, karena kita tidak siap, sama seperti ketika belum makan.
Sementara perumpamaan ‘kurang gizi’ berhubungan dengan tidak tersedianya stok gizi atau energi yang memadai karena sepanjang hidup memang gizi itu kurang atau tidak didapat sebagaimana seharusnya.
Dalam hubungannya dengan psikis, ‘kebutuhan gizi’ ini sudah saya bahas di episode sebelumnya, kita padankan sebagai ‘kebutuhan emosi’.
Kita semua memiliki dua jenis kebutuhan: kebutuhan fisik yang menentukan kadar energi fisik, dan kebutuhan emosi yang menentukan kadar energi psikis.
Ketika kebutuhan ini terpenuhi dengan baik maka memadai juga kemampuan kita untuk menjalankan aktivitas yang mensyaratkan energi fisik atau energi psikis dengan jumlah tertentu, ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka wajar jika kita menjadi tidak mampu menjalankan aktivitas yang memerlukan energi fisik atau psikis itu, karena memang kadar energi itu tidak kita miliki.
Membicarakan kebutuhan fisik, maka hal ini berhubungan dengan gizi secara fisik, yang kita peroleh dari makanan, sinar matahari, oksigen dan hal lainnya yang bersifat fisik, sementara kebutuhan emosi, adalah terpenuhinya pengalaman yang bersifat emosional.
Setiap pengalaman yang bersifat emosional yang kita alami akan memberikan dampak bagi diri kita, jika dampak dari pengalaman emosional ini bersifat positif maka terbentuk jugalah energi psikis yang positif, jika dampak dari pengalaman emosional ini bersifat negatif maka terbentuk jugalah energi psikis yang negatif.
Dikatakan sebagai ‘energi psikis negatif’, terjadi karena dua hal: pertama, karena tidak terpenuhinya kebutuhan emosi yang diperlukan, yang menjadikan kita ‘lemah’ dan tidak memiliki energi psikis yang berkualitas untuk mengendalikan respon perasaan, pikiran dan perilaku kita. Kedua, karena kita mengalami trauma yang melukai kesehatan psikis kita, yang menjadikan kita tidak bisa merespon situasi tertentu dengan wajar, karena ada luka yang menjadikan kita disfungsional karenanya.
Bahasan mengenai trauma atau luka batin sudah pernah saya ulas di episode-episode terdahulu yang membahas tentang luka batin, jika Anda belum sempat mendengarnya silakan mendengarkan dulu episode-episode sebelumnya itu.
Ngomong-ngomong, kalau Anda bukan termasuk yang suka mendengarkan suatu bahasan dengan terlalu lama, atau punya keterbatasan waktu untuk mendengarkan isi episode yang saya muat di podcast saya, Anda juga bisa menyimak isi podcast itu dalam bentuk tulisan, yang saya muat di website saya.
Di website saya, di halaman ‘Resources’, Anda bisa menemukan sub-halaman ‘Audio Podcast’, di dalamnya Anda bisa menemukan kumpulan podcast saya, yang berisikan transkrip setiap episodenya dalam bentuk tulisan, kalau Anda lebih suka membaca daripada mendengarkan, atau terburu-buru dan perlu langsung menemukan isi bahasan yang Anda cari, atau tidak kondusif untuk mendengarkan dengan tenang, maka transkrip di setiap episode itu akan cocok untuk menemani Anda memahami isi podcast saya.
Kembali ke bahasan tentang kebutuhan emosi, sebagai manusia kita memiliki lima kebutuhan emosi dasar yang jika terpenuhi akan membantu kita memiliki energi psikis yang memadai, yang menjadikan kita lebih mampu memegang kendali atas respon pemikiran, perasaan dan perilaku kita.
Meski dibutuhkan sepanjang waktu, kebutuhan emosi ini utamanya diperlukan sewaktu kecil. Persis seperti ilustrasi tumbuh-kembang fisik anak sampai dewasa, jika kebutuhan gizi di waktu kecil tidak terpenuhi maka hal ini jelas akan mempengaruhi cara kita bertumbuh dewasa dan menjalankan aktivitas fisik.
Masa tumbuh-kembang seorang anak dari kecil – bahkan dari sejak dalam kandungan – sampai ia remaja – sekitar usia 14 tahunan – adalah usia yang paling penting untuk pemenuhan kebutuhan emosi ini.
Saya sering mengumpamakan periode ini seperti periode pengisian ‘aki mobil’, bagian dari mobil yang menghasilkan listrik yang nantinya menghidupi jalannya mobil.
Di awal kita akan menggunakan aki mobil, pertama-tama aki mobil ini haruslah diisi dulu sampai penuh, baru sesudahnya ketika aki mobil ini dipasang dia akan mengisi sendiri, sampai mobil itu menggunakan daya listrik dari aki mobil, daya listrik yang digunakan itu akan mengisi kembali aki mobil itu, menjadikannya bekerja mandiri.
Jika kebutuhan emosi ini dipenuhi dengan baik dari kecil sampai usia tertentu – sekitar usia 14 tahun – maka setelah melewati usia itu seseorang akan mampu mengatur penggunaan energi psikisnya dengan baik dan mengisi sendiri kebutuhan emosinya dengan lebih mandiri, tidak terlalu bergantung pada orang lain atau lingkungan di luar dirinya.
Saya menyebut kebutuhan emosi ini sebagai ‘nutrisi emosi dasar’, yang dibagi atas lima jenis kebutuhan emosi, yaitu kebutuhan emosi akan rasa ‘aman’, rasa ‘dicintai’ atau ‘diterima’, rasa ‘dipahami’, rasa ‘diakui’ atau rasa ‘dihargai’ atau rasa ‘mampu’ dan rasa ‘punya kendali’.
Ketika kebutuhan nutrisi emosi dasar ini terpenuhi dengan baik sejak kecil maka sehat juga energi psikis dalam diri seseorang, yang akan membantunya untuk lebih punya kendali diri yang lebih baik dalam mengelola pemikiran, perasaan dan perilakunya di masa dewasa.
Tapi jika kebutuhan nutrisi emosi dasar ini tidak terpenuhi, akan muncul gejala ‘ketidakmampuan’ yang membuat seseorang sulit menjalankan aktivitasnya.
Dalam versi yang lebih ekstrim, si orang yang kurang nutrisi ini bisa saja melakukan hal-hal negatif yang dirasanya bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang tidak dimilikinya itu, agar ia bisa merasa lebih memiliki kendali diri.
Di episode sebelumnya saya sudah membahas mekanisme dari pemenuhan nutrisi emosi dasar ini dan dampaknya jika hal ini tidak terpenuhi, dalam tiga bagian: pertama, penjelasan tentang kebutuhan emosi yang diperlukan dan stimulus yang diperlukan yang bisa memenuhi kebutuhan emosi itu. Kedua, penjelasan tentang seperti apa dampaknya jika kebutuhan emosi itu tidak terpenuhi, dalam bentuk ‘ketidakmampuan’, hal apa yang jadinya tidak mampu dilakukan dengan baik karena nutrisi yang diperlukan tidak ada dalam diri, saya menyebutnya ‘wujud pasif’. Dan ketiga, penjelasan tentang seperti apa bentuk perilaku yang terjadi ketika seseorang yang tidak memiliki nutrisi emosi itu berusaha memenuhi nutrisi emosi itu, yang biasanya muncul dalam bentuk perilaku negatif, agar ia merasa punya kendali, saya menyebutnya ‘wujud eksesif’.
Wujud pasif dan wujud eksesif adalah dua kutub dampak, ‘pasif’ adalah dampak jika kebutuhan emosi itu tidak terpenuhi, yang muncul dalam bentuk ketidakmampuan, ‘eksesif’ adalah dampak yang muncul dalam bentuk perilaku berlebihan yang dilakukan, yang dirasa memenuhi kebutuhan emosi yang hilang itu, agar seseorang merasa punya kendali, meski sebenarnya hal itu tidaklah menyembuhkan.
Sekali lagi, bahasan tentang semua itu sudah saya bahas di episode sebelumnya, kalau Anda belum sempat mendengarkannya atau sudah agak lupa, saya menyarankan Anda untuk menyimak ulang sebentar episode sebelumnya, bisa dengan mendengarkannya atau membaca transkripnya saja, yang penting segarkan kembali pemahaman Anda, karena pemahaman itu penting sekali untuk pijakan dari bahasan kita di episode kali ini.
Di episode kali ini saya akan langsung saja fokus membahas bagaimana memenuhi kebutuhan emosi yang hilang itu, terutama di masa kini.
Seperti tadi sudah saya sebutkan, kebanyakan kebutuhan emosi dalam diri kita tidak terpenuhi di masa kecil, hal ini sangat wajar dan memang alami, sesempurna apa pun orang tua mencoba memberikan pengasuhan terbaik, ada saja potensi luka atau potensi dimana kita merasa ada kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi, bukan karena orang tua kita bermaksud jahat, tapi karena kepolosan, keterbatasan dan ketidaktahuan kita.
Masalahnya adalah: kebutuhan emosi itu hilang di waktu kecil, sementara pengaruhnya sudah terlanjur mempengaruhi kita sampai kita dewasa.
Bagaimana mengganti ‘nutrisi emosi’ yang hilang di waktu kecil itu? Apakah hal ini mungkin dilakukan?
Jawabannya adalah: YA, sangat mungkin, dan berita baiknya adalah prosesnya bisa kita lakukan sendiri, dari diri kita sendiri, oleh diri kita sendiri dan untuk diri kita sendiri.
Menarik bukan? Mari kita mulai saja.
Begini, esensi pertama yang kita perlu sadari adalah semua kebutuhan emosi yang kita perlukan tadi, seperti rasa aman, rasa dicintai, rasa dipahami, rasa diakui dan pegang kendali, sebenarnya bukanlah sesuatu yang harus selalu dipenuhi oleh orang lain di luar diri kita, melainkan justru kita penuhi oleh, dari dan untuk diri kita sendiri, atau dengan kata lain: sesuatu yang kita berikan pada diri kita sendiri.
Sederhananya begini, apa yang tidak kita miliki akan menjadi sesuatu yang kita ‘cari’.
Ketika kita tidak memiliki rasa aman, kita akan mencari rasa aman itu, ketika kita tidak memiliki rasa cinta maka kita akan mencari rasa cinta itu, begitu juga berbagai jenis perasaan lainnya, apa yang tidak kita punya akan kita cari untuk kita penuhi, karena itulah yang membuat kita merasa lebih punya kendali. Dalam bahasan episode sebelumnya saya menyebut hal ini sebagai ‘wujud eksesif’, dimana masing-masing kebutuhan emosi yang hilang akan memunculkan perilaku eksesif ini, dengan cirinya masing-masing.
Bukankah hal ini wajar adanya? Yes, di satu sisi hal ini memang manusiawi, tapi di sisi lain hal ini juga bisa menunculkan ketidakseimbangan psikis, yang menjadikan kita mulai ‘menuntut’, kita menginginkan orang di luar diri kita, atau lingkungan, untuk bisa memberikan kebutuhan emosi itu pada diri kita, sampai-sampai kita bisa begitu bergantung pada orang lain untuk memberikan kebutuhan emosi itu pada diri kita dan tidak mampu menjalani kehidupan dengan mandiri tanpa adanya orang yang bisa memberikan kebutuhan emosi itu, sayangnya lagi: hal ini sering kali tidak berkesudahan dan bisa membutakan.
Contohnya saja mereka yang tidak memiliki rasa cinta dalam dirinya, tanpa kesadaran yang tepat akan menghabiskan hidupnya untuk mencari rasa cinta itu dari luar dirinya, mereka tidak bisa bertahan hidup tanpa adanya orang yang bisa memberikan rasa cinta itu pada mereka.
Ketika ada orang yang bisa memberikan rasa cinta itu, atau membuat mereka merasa dicintai, maka mereka menjadi ‘bergantung’ pada orang yang bisa membuat mereka merasa dicintai itu, bahkan kalau pun mereka harus diperalat sekali pun, hal ini juga yang sering menjadi cikal-bakal dari toxic-relationship.
Kita tidak bisa memberikan yang kita tidak miliki, bagaimana mungkin kita bisa memberikan cinta-kasih yang tulus pada orang lain kalau rasa cinta-kasih itu saja tidak kita miliki dalam diri kita? Ketika hal ini dipaksakan sekali pun, terjadilah fenomena dimana orang-orang akhirnya ‘berhutang rasa’, mereka memaksakan dirinya memberikan yang tidak mereka miliki pada orang lain, mereka semakin labil karenanya dan lebih rentan terkena penyakit psikis yang lebih parah.
Fenomena dimana orang-orang harus ‘berbagi rasa yang tidak mereka miliki’ adalah salah satu penyebab utama di balik masalah perilaku yang muncul dalam pernikahan dan pengasuhan anak, suami atau istri berusaha memberikan rasa cinta pada pasangannya, padahal mereka sendiri tidak memiliki itu dalam dirinya, orang tua berupaya memberikan rasa cinta pada anaknya padahal mereka sendiri tidak memiliki itu dalam dirinya, sehingga mereka yang ‘tidak memiliki tapi harus memberikan’ itu memaksakan dirinya, membuat stamina psikisnya lemah, di kemudian hari hal ini menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri dan lingkungan dekatnya, ketika bom waktu ini meledak muncullah perilaku yang justru berkebalikan, malah jadi perilaku kasar, keras dan menyakiti.
Mereka yang kehilangan rasa ‘diakui’ akan menghabiskan waktunya mencari pengakuan dari orang lain, karena itulah yang mereka tidak miliki, begitu juga kebutuhan emosi lain, menghasilkan perilaku yang membutuhkan pemenuhan emosi itu dari luar.
Memangnya mungkin memenuhi kebutuhan emosi itu untuk diri sendiri? Tidak ada yang tidak mungkin, justru hal inilah yang menjadikan kita pribadi yang mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan diri oleh diri sendiri, ketika diri kita sendiri penuh maka kita akan membagikan yang kita miliki itu pada orang lain dengan sendirinya, karena hal itu meluap dalam diri kita, kita tidak ‘berhutang rasa’, karena semua itu adalah hasil dari diri kita sendiri.
Ingat saja ini: mereka yang tidak mampu memberi rasa aman pada dirinya akan terus mencari rasa aman di luar dirinya, mereka yang tidak mampu mencintai dirinya akan terus mencari cinta dari luar dirinya, mereka yang tidak mampu memahami dirinya akan terus mencari rasa dipahami oleh orang di luar dirinya, mereka yang tidak mampu mengakui dirinya akan terus mencari pengakuan dari orang di luar dirinya.
Jadi bagaimana kita memberikan atau memenuhi semua kebutuhan emosi itu pada diri kita sendiri?
Caranya sederhana, yaitu dengan meluangkan waktu untuk diri kita sendiri, saya menyebutnya ‘waktu intim dengan diri sendiri’.
Luangkan waktu setiap harinya dimana di waktu itu Anda bisa sepenuhnya sendiri, ambil waktu yang Anda rasa nyaman dan Anda bisa menikmati momen kesendirian dengan tenang, sehabis beribadah malam misalnya, lalu tutup mata dan berikan pelukan hangat pada diri Anda sendiri.
Sambil memberikan pelukan hangat itu mulailah berkata-kata pada diri Anda sendiri, tujukan semua kata-kata yang Anda tujukan pada diri sendiri, yang mengandung rasa aman, dicintai, dipahami, diakui dan kendali. Jangan menahan diri atau gengsi dalam melakukan hal ini, curahkan saja semua ekspresi hangat itu pada diri Anda, jangan merasa ‘lebay’ atau ‘aneh’, semakin Anda all out semakin bagus hasilnya, itulah kenapa saya menyarankan Anda melakukan ini di waktu yang Anda bisa bebas menikmati kesendirian dengan tenang.
Mungkin terdengarnya aneh, tapi percayalah, semakin sering Anda lakukan hal ini akan membangun dan memberikan kekuatan dalam diri, sebuah kekuatan yang mandiri, karena Anda menciptakannya dalam diri sendiri, bukan dari orang lain.
Hal ini bukanlah menjadi suatu hal instan, Anda harus melatihnya bertahap dan rutin, sama seperti Anda mengganti gizi yang hilang sewaktu kecil dengan asupan baru yang lebih sehat di masa dewasa, tentu perlu waktu agar asupan sehat di masa dewasa ini bisa mengganti kebutuhan gizi yang hilang dulu, sampai tubuh kita mulai menemukan mode stabilnya.
Sekali lagi, luangkan waktu spesial untuk diri Anda, kalau Anda saja tidak bisa mengistimewakan diri Anda, bagaimana mungkin Anda berhak berharap orang lain mengistimewakan Anda? Sederhana kan? Di waktu spesial inilah curahkan segala rasa dan perilaku yang Anda tujukan pada diri Anda sendiri yang bisa memberi Anda kehangatan, Anda tidak perlu merasa canggung atau kikuk, ini hanya antara Anda dan diri Anda kan?
Anda boleh bersikap puitis, hangat, dan bahkan dramatis, yang penting ciptakan ketulusan dalam melakukan prosesnya, jaga kondisi hati Anda sehangat dan setulus mungkin, bayangkan segala keindahan dan hal positif yang menghangatkan ketika Anda melakukan prosesnya, ingat berikan yang terbaik untuk diri Anda, itulah cara agar kehidupan pun memberikan yang terbaik untuk Anda.
Berapa lama proses ini harus dilakukan? Saya menyarankan Anda meluangkan waktu selama 20 menit berkualitas setiap harinya untuk melakukan ini, saya menyebutnya ‘self-fulfillment’, upaya memenuhi diri dengan yang kita butuhkan, bukan sekedar 20 menit, namun 20 menit paling berharga yang bisa Anda curahkan pada diri Anda di setiap harinya.
Sampai kapan proses ini dilakukan? Well, ini pilihan, tapi saya menyarankan jadikan hal ini bagian dari keseharian Anda, dalam bentuk kebiasaan hal ini serupa dengan mengkonsumsi vitamin atau asupan lain yang akan membangun ketahanan tubuh kita dengan lebih baik dan menjaganya dari virus, lebih bagus juga ketahanan diri kita dalam mengendalikan respon perasaan, pemikiran dan perilaku sehari-hari kita dalam menyikapi tantangan atau ketidaknyamanan.
Sudah siap untuk memenuhi kebutuhan emosi diri Anda dari diri Anda sendiri, oleh diri Anda sendiri dan untuk diri Anda sendiri?
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.