Episode 23 – Menghadapi Orang Yang Menyebalkan – Part 1
Beberapa minggu ini terlibat memfasilitasi pelatihan di berbagai perusahaan seputar tema komunikasi, satu topik bahasan dan pertanyaan yang para peserta kerap lontarkan adalah ‘Bagaimana cara menghadapi orang yang menyebalkan’, hal ini tidak mengherankan karena di dunia kerja yang mereka hadapi orang-orang yang egois dan menyebabkan mereka kesal ini pasti selalu ada dan hal itu menyebabkan munculnya ketidaknyamanan dalam bekerja.
Kata ‘menyebalkan’ ini saja tentu sudah membuat risi pendengarnya, apalagi ketika ia muncul dalam bentuk perilaku yang menyebabkan ketidaknyamanan ketika berkomunikasi.
Seperti apa strategi menghadapi orang menyebalkan ini dalam berkomunikasi?
Simak ulasan bagian pertamanya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keduapuluhtiga Life Restoration Podcast berjudul ‘Menghadapi Orang Yang Menyebalkan – Part 1’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Menghadapi Orang Yang Menyebalkan - Part 1'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode dua puluh tiga.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, salam hangat dari Jakarta, semoga selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Yes, saya sedang berada di Jakarta saat ini, seperti beberapa minggu lalu ketika mengunggah podcast episode 20 sebelumnya yang berjudul ‘Pencapaian, Kebahagiaan dan Respon’.
Sama juga seperti beberapa minggu lalu, kali ini saya kembali terlibat di program pengembangan kepemimpinan dengan menggunakan pendekatan coaching di salah satu anak perusahaan BUMN, sebetulnya lebih tepatnya: meneruskan program selanjutnya, karena memang program ini merupakan program kedua dari tiga Angkatan yang rencananya saya bantu fasilitasi pembelajarannya.
Artinya, nanti akan ada masa dimana saya kembali mengunggah episode podcast saya dari Jakarta kembali, karena memang masih ada satu program lagi yang sejenis dengan program yang saya bawakan kali ini dan beberapa program lainnya yang menjadi program lanjutan.
Mungkin ada baiknya saya juga sedikit berkisah tentang hal ini ya, karena mungkin saja ada beberapa dari Anda yang belum familiar bagaimana mungkin saya juga bisa terlibat di program pengembangan SDM di perusahaan-perusahaan.
Kalau menceritakan dari awal mungkin akan panjang lah ya, lebih baik intinya saja. Begini, ada masa dalam karir saya dimana dulu saya mempelajari dan terlibat dalam program-program pengembangan SDM di berbagai perusahaan dan organisasi.
Wajar, awal menekuni profesi ini, saya juga belum tahu seperti apa proses menata karir di bisnis ini, ada begitu banyak hal dan informasi yang bertebaran di sekitar saya tentang beragam kalangan senior yang dengan jam terbangnya masing-masing, ada yang eksis sebagai motivator, ada yang eksis sebagai hipnoterapis, ada yang eksis sebagai coach dan ada juga yang eksis sebagai pembicara atau pelatih di perusahaan-perusahaan, pokoknya ada banyak jenisnya. Saya yang waktu itu masih polos tentu tidak paham tentang mekanisme karir dan profesi ini, yang jelas di mata saya waktu itu agaknya keren juga kalau bisa seperti mereka.
Alhasil berbagai hal saya jajaki dalam satu waktu secara bergantian, dari mulai mempelajari keahlian hipnoterapi sampai bisa menjadi hipnoterapis, juga mempelajari keahlian coaching sampai bisa menjadi seorang coach, bahkan mempelajari keahlian berbicara dan mengajar sampai bisa menjadi seorang trainer.
Apakah mudah? Jujur saja tentu tidak, ada banyak kisah kepedihan juga di dalamnya, tapi cerita lebih jauh tentang itu saya simpan untuk lain kesempatan ya, sekarang ini saya ingin fokus dulu ke cerita lanjutan tentang menjadi trainer ini.
Dari segi bisnis, memang menjadi pembicara atau trainer adalah salah satu hal yang menarik dan lebih potensial, karena berurusan dengan perusahaan atau organisasi, yang tentu saja sistem bisnisnya pun memberikan pemasukan yang tergolong oke, akhirnya saya pun dulu mencurahkan waktu, tenaga dan biaya ekstra agar bisa menguasai keahlian ini sampai bisa menjadi seorang trainer, yang juga terlibat di banyak program pengembangan SDM di berbagai perusahaan.
Asyik? Pastinya, tapi tunggu dulu, tidak semata-mata mudah begitu saja pastinya, di satu sisi saya mulai terlibat di banyak program pelatihan di perusahaan-perusahaan ini. Saya memang menikmatinya, karena pada dasarnya saya memang suka mengajar, tapi di sisi lain urusan keahlian saya yang lain jadi agak-agak ‘menggantung’, yaitu hipnoterapi dan coaching, nah bingung lah jadinya, karena semua aktivitas itu saya kerjakan dalam satu waktu, mempraktikkan hipnoterapi iya, mempraktikkan coaching iya, mengajar di perusahaan juga iya, padahal ketiga hal itu berbeda kompleksitasnya, nah mulailah rasa bingung muncul, karena di satu sisi keahlian saya jadi terlatih di setiap bidang itu, tapi di sisi lain kedalaman keahlian itu untuk terlatih jadi agak berkurang pastinya, karena energinya tersebar ke beberapa titik, bukan ke satu titik spesifik.
Sekian lama merenungkan, saya akhirnya membuat keputusan yang cukup besar, meskipun bisnis pelatihan di perusahaan memberikan potensi yang lumayan menyenangkan tapi tetap saja panggilan hati saya ada di dunia restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang cukup identik dengan sesi coaching dan terapi individu, akhirnya saya pun memutuskan lebih fokus ke dunia restorasi kehidupan ini, yang membuat saya mengurangi intensitas program pelatihan di perusahaan dan lebih fokus memperdalam keahlian coaching dan terapi yang saya kuasai.
Saya tidak berhenti total dari program pelatihan di perusahaan, karena masih ada beberapa tema pelatihan yang bagi saya masih dirasa menyenangkan untuk saya bawakan, salah satunya yaitu tema coaching, seperti yang saya sedang bawakan di salah satu anak perusahaan BUMN ini, tema lain yang masih saya dengan senang hati bawakan di perusahaan tentunya adalah berbagai tema yang berhubungan dengan kesadaran dan transformasi diri, termasuk yang berhubungan dengan kecerdasan emosional, karena ini sama saja saya membawakan tema-tema yang saya sukai bagi publik secara umum tapi bedanya dibawakan di perusahaan, saya masih menikmati alur informasi yang saya bagikan karena para peserta secara tidak langsung menjadi klien saya di acara seperti itu, di luar tema itu saya lebih memilih memfokuskan aktivitas saya pada kegiatan coaching, terapi dan berbagi pembelajaran seputar tema-tema tersebut.
Nah, karena adanya keahlian memfasilitasi pelatihan inilah saya ada kalanya masih terlibat di program-program pembelajaran di perusahaan-perusahaan, utamanya di Jakarta, karena lebih banyak bisnis pelatihan bergerak di kota ini, seperti sekarang ini.
Membicarakan coaching maka kita membicarakan komunikasi, dimana komunikasi ini berarti membicarakan interaksi dan hubungan kita dengan orang lain. Nah, tema ini tentu menjadi tema yang menarik. Dimana-mana saya membawakan tema yang berhubungan dengan komunikasi ini pastinya selalu ada kisah menarik ditemukan, salah satunya yaitu maraknya pertanyaan-pertanyaan dari para peserta pelatihan yang mengeluhkan dan bertanya bagaimana caranya ‘menghadapi para pribadi menyebalkan’.
He…he…terdengar agak negatif memang kesannya dengan menyatakan kalimat itu, tapi apa boleh buat, untuk bahasan kali ini kalimat itu yang saya angkat sebagai istilah yang mewakili lah ya.
Oke, pertama-tama, mohon disadari dulu bahwa kata ‘menyebalkan’ yang saya gunakan disini bukan saya maksudkan untuk melabeli seseorang secara negatif, tapi meminjam istilah umum untuk menggambarkan sikap seseorang yang tidak kita sukai, atau ‘sebal’.
Satu lagi, yang dimaksud sikap orang yang menyebalkan atau tidak kita sukai ini bukan yang bersumber dari ketidaksukaan pribadi semata lho ya, karena kalau ketidaksukaan itu bersifat subjektif dan sulit dijelaskan sisi rasionalnya, maka jangan-jangan masalahnya terletak pada kita yang punya masalah pribadi dengan orangnya.
Yang saya maksudkan menyebalkan atau tidak disukai ini mengacu pada sikap orang-orang yang memang tidak disukai oleh lingkungan, karena memang sikap itu membawa kerugian pada sesama, ada orang-orang yang diresahkan oleh sikap mereka ini, entah karena sikap yang ketus, tidak memahami perasaan orang lain, tidak pedulian, atau bisa apa pun itu.
Sekarang yang namanya berinteraksi, apalagi di sebuah lingkungan, seperti organisasi atau perusahaan, pasti mengharuskan kita bertemu dengan orang-orang jenis ini, tidak bisa tidak, karena memang orang-orang seperti ini pasti selalu ada.
Kembali ke pertanyaan barusan ya: ‘bagaimana menghadapi para pribadi menyebalkan ini’.
Saya pribadi akan justru bertanya balik: mengapa harus dihadapi, kalau bisa dihindari ya hindari saja, lebih sehat kan bagi batin kita?
He…he…itu jawaban singkat versi nyeleneh lah ya, tapi memang ada benarnya, kalau bisa kita hindari maka sebaiknya hindari saja orang-orang seperti itu.
Tapi ya mari realistis saja kali ini, selalu ada titik dimana kita tidak bisa menghindari mereka, ada kalanya tuntutan situasi memang mengharuskan kita untuk berinteraksi bersama mereka, ini yang dimaksudkan ‘bagaimana menghadapi mereka’ tadi.
Kali ini jawabannya adalah ‘tergantung’, yaitu tergantung pada niat dan tujuan kita.
Maksudnya bagaimana? Begini, bagaimana kita mau menyikapi mereka kalau kita saja tidak tahu hasil akhir yang kita harapkan apa dari interaksi bersama mereka?
Hal ini tentu akan juga bergantung pada seperti apa situasi yang mengharuskan kita berinteraksi bersama mereka.
Mari kita mulai saja sedikit demi sedikit mulai mengulasnya ya.
Menghadapi orang yang kita anggap menyebalkan – kalau memang benar mereka menyebalkan lho ya – mensyaratkan kita untuk punya tingkat kesadaran dan kendali diri lebih tinggi dari mereka, lalu mampu mempertahankannya ketika bersama mereka, kalau tidak maka kita akan terseret ke level yang sama dan lama-lama kita malah jadi bersikap menyebalkan juga seperti mereka, tentu kita tidak mau kan?
Berikutnya, kita juga harus memiliki strategi menghadapi mereka, agar kita tidak dirugikan dan malah kita mungkin – syukur-syukur – bisa membantu mengubah mereka.
Yang dimaksud kesadaran ini adalah kemampuan untuk menyadari berbagai hal yang mengharuskan kita berinteraksi bersama mereka. Karena kita menyadari berbagai hal itu maka kita jadi tidak mudah terbawa dan lebih bisa mempertahankan kendali diri, tidak terpengaruh oleh sikap mereka, sementara strategi adalah cara kita menyikapi mereka agar kita tidak dirugikan oleh sikap mereka, sampai sini paham ya?
Apa saja kesadaran ini? Saya membagi kesadaran ini atas empat hal.
Pertama, yaitu menyadari ‘keharusan’ dan ‘keseringan’, artinya seberapa ‘harus’ dan ‘sering’ kita menghadapi orang-orang ini? Tidak bisa dipungkiri, ada kalanya kita memang harus menghadapi mereka karena tidak terhindarkan, karena memang situasi mengharuskan kita untuk itu dan menghindarinya akan menyebabkan dampak yang kita tidak inginkan.
Contohnya saja kalau mereka yang bersikap menyebalkan ini adalah atasan di kantor, teman kerja, saudara atau bahkan mungkin keluarga, yang jelas-jelas tidak bisa kita hindari.
Dalam hal ini katakanlah kita memang harus menghadapi mereka karena situasi memang mengharuskan untuk itu. Nah, disini kalau kita sudah cukup sadar bahwa kita memang memiliki keterbatasan pilihan untuk menghindari – karena memang harus bertemu mereka – maka paling tidak kita bisa ‘menerima’ dulu bahwa hal itu tidak terhindarkan, rasa penerimaan ini yang kelak harapannya membantu kita untuk lebih menyiapkan mental dengan lebih baik dalam menjalani waktu bersama mereka.
Lain kalau kita tidak harus bertemu mereka, yang ini jelas lebih ringan, karena kita tahu hal tidak menyenangkan itu bisa kita hindari.
Sama dengan seberapa ‘sering’ tadi, kalau kita sudah tahu seberapa sering kita memang harus bertemu mereka, maka tentu persiapan mental kita pun sudah akan lebih optimal dalam menempatkan diri bersama mereka.
Artinya kesadaran pertama ini lebih banyak berhubungan dengan cara kita dalam menyiapkan ketahanan mental, paling tidak karena kita sudah lebih siap maka seharusnya dampaknya tidak terlalu merugikan, karena sudah ‘teringankan’ lebih dulu oleh persiapan ini.
Masih satu paket dengan kesadaran pertama ini, lanjutannya adalah seberapa ‘dekat’ dan seberapa ‘berharap’ kita pada orang-orang yang menyebalkan ini?
Mengapa ‘dekat’ dan ‘berharap’ ini penting, karena biasanya semakin dekat kita dengan orang-orang ini – seperti keluarga misalnya – maka semakin besar harapan kita atas diri mereka, atas cara mereka memperlakukan kita.
Seperti sudah saya pernah ulas di berbagai episode sebelumnya, bukan perilaku orang lain yang sebenarnya melukai kita, tapi harapan kita atas cara mereka memperlakukan kita. Maka itulah semakin besar kita berharap bahwa mereka harus memperlakukan kita dengan standar tertentu maka pasti semakin besar juga tingkat kekecewaan dan rasa sakit yang kita alami.
Hal ini sering saya temukan ketika membantu orang-orang yang mengalami sakit hati berkepanjangan oleh perilaku orang dekatnya, entah keluarga misalnya, atau siapa pun itu, mereka sedemikian terluka karena merasa sudah melakukan berbagai hal yang sedemikian baik dan berdedikasinya tapi tidak juga diperlakukan dengan cara ideal yang mereka harapkan, mereka terus berharap-harap mendapatkan perlakuan ideal itu dari orang yang menyakiti mereka, tapi apa daya mereka yang bersikap menyebalkan itu tetap saja dengan perilaku menyebalkannya mengabaikan semua itu, maka semakin terlukalah orang-orang ini, lagi-lagi bukan perilaku mereka yang menyebalkan ini yang melukai orang-orang ini, tapi harapan mereka sendiri untuk diperlakukan dengan standar tertentulah yang melukai mereka.
Bukankah ini manusiawi? Iya, saya tidak mengatakan ini salah juga kan, saya hanya mengingatkan bahwa pasti ada dampaknya.
Yang perlu kita sadari adalah bahwa ‘berharap orang lain berubah mengikuti harapan kita’ akan memberikan siksaan berkepanjangan karena kita menggantungkan kebahagiaan kita pada perilaku orang lain, ketika kita tidak mengikuti harapan kita maka kita jadi kecewa karenanya, sekarang bagaimana kalau dibalik: harapan itulah yang kita lepaskan, kita tidak lagi berharap-harap mereka memperlakukan kita dengan standar apa pun, kita murni memahami dan menerima mereka apa adanya, akankah situasinya berbeda? Seharusnya iya, karena sekarang tidak ada lagi harapan yang terlanggar, tidak ada lagi luka karenanya.
Memangnya mudah memahami dan menerima apa adanya ini? Tenang dulu, hal ini justru tidak mudah, maka itulah menyadari hal ini akan membawa kita pada kesadaran ketiga dan keempat, yaitu ‘kesadaran emosional’ dan ‘kesadaran spiritual’.
Kesadaran emosional berarti memahami sisi emosional dari orang-orang menyebalkan ini, saya sering kali mengumpamakan hal ini dengan teko, jika sebuah teko dituang dan mengeluarkan air maka jelas isinya air, jika ia dituang dan mengeluarkan kopi maka jelas isinya kopi, begitu juga perilaku seseorang, jika ia terus menebar kemarahan, kekecewaan dan kesulitan pada sesama, memang karena itulah yang memenuhi dirinya, saya mendapati bahwa mereka yang menebar luka dan menebar kesulitan pada sesama pastilah selalu mereka yang juga terluka dan banyak mengalami kesulitan hidup yang kemudian membelengu mereka dan mempengaruhi mereka memperlakukan orang lain dengan cara yang sama.
Memahami hal inilah yang paling tidak hendaknya menyadarkan kita bahwa meski mereka menyebalkan, bukan berarti kita harus marah pada mereka, karena mereka tidak kalah terlukanya dari kita, bahkan mungkin lebih parah, disinilah daripada marah kita hendaknya justru kasihan pada mereka.
Rasa kasihan ini juga yang akan berhubungan dengan kesadaran spiritual, dalam hal ini saya lebih suka menyatakannya sebagai ‘peran kehidupan’, saya tidak mengajak Anda menyetujui konsep tentang ‘kehidupan lampau’ atau past life kalau Anda termasuk yang tidak meyakininya, tapi seandainya kita menggunakan konsep past life ini dalam memandang mereka, bisa kita simpulkan bahwa mereka yang terluka dan menebar luka ini adalah mereka yang karena perilakunya di masa lalu memang melakukan tindakan-tindakan negatif yang mengharuskan mereka di kehidupan kali ini menebusnya dengan menjadi ‘korban perasaan’, mereka harus memendam begitu banyak kekecewaan di masa kini yang membuat mereka tersiksa dan sebagai gantinya mereka meluapkan itu pada dunia di luar dirinya.
Kalau Anda bukan termasuk yang meyakini past life pun tidak masalah, cukup pandang mereka sebagai orang-orang ‘terpilih’ yang diharuskan mengalami ujian atau cobaan kekecewaan ini dan tidak kuat memendamnya, sampai-sampai mereka harus mengekspresikan kekecewaan ini pada sesama.
Terlepas dari apa pun yang Anda yakini, saya ingin mengajak Anda menyadari satu hakikat jiwa, yaitu bahwa setiap jiwa terlahir suci dan penuh cinta-kasih, karena setiap jiwa adalah murni, simbol kemurnian Sang Illahi. Peran kehidupan merekalah yang mengharuskan mereka menjalani kekecewaan itu dan menebar kekecewaan pada dunia luar, yang berujung kebencian, kasihani mereka, karena sungguh jiwa mereka yang murni itu pun sebenarnya tidak kuat menahan siksaan itu, jangan malah jadi membenci mereka karena mereka pun sedang terjebak dengan semua itu.
Kesadaran dalam hal ini berhubungan dengan ‘kesiapan mental’, bagaimana kalau mental kita sudah lebih siap maka harapannya ketahanan psikis kita pun lebih stabil ketika berada di situasi yang mengharuskan kita berhadapan dengan perilaku menyebalkannya mereka.
Waktunya membicarakan strategi, seperti apa kita bisa mengembangkan strategi mengembangkan cara berinteraksi yang efektif untuk menghadapi orang seperti mereka?
Strategi ini saya bagi menjadi dua, yaitu strategi mengarahkan fokus dan strategi menyikapi mereka.
Mari mulai dari yang pertama, yaitu strategi mengarahkan fokus kendali.
Begini, fokus kendali kita akan menentukan cara kita menyikapi persoalan. Maka itulah hal ini yang pertama-tama perlu kita kawal adalah fokus kendali ini.
Pada dasarnya terdapat dua jenis fokus kendali, yaitu fokus pada yang bisa kita kendalikan dan fokus pada yang tidak bisa kita kendalikan.
Fokus pada perilaku orang yang menyebalkan adalah fokus yang salah karena di sini kita fokus pada hal yang tidak bisa kita kendalikan.
Tentu saja, namanya perilaku orang lain, tentu berada dalam jangkauan kehendak bebasnya, hal ini merupakan area prerogatif dirinya dan tidak bisa kita kendalikan.
Berita baiknya adalah, meski tidak bisa dikendalikan, hal ini masih bisa kita pengaruhi, yaitu denga fokus pada apa yang bisa kita kendalikan, yaitu sikap kita sendiri.
Daripada menghabiskan waktu dan tenaga mengarahkan fokus kendali pada meratap dan berharap-harap sikap mereka berubah, lebih baik arahkan fokus kendali kita pada sikap kita, yaitu mengubah sikap kita dalam berinteraksi dengan mereka, baik itu pada cara kita berinteraksi dengan merekan, atau pada cara kita dalam memaknai perilaku mereka, karena kedua hal itu adalah yang bisa kita kendalikan karena ada dalam diri kita.
Hukum sebab-akibat selalu ada, kalau pun sikap seseorang memang kita rasa menyebalkan pada kita, perlu kita sadari bahwa jangan-jangan ada juga sikap kita yang menyebabkan mereka bersikap begitu pada kita, karena kita selama ini selalu diam misalnya, tidak bisa menyuarakan itu dengan cara yang benar agar mereka berubah, atau paling tidak: introspeksi diri dan berpikir.
Jangan-jangan ada sikap kita yang berpola, yang membuat kita merasa tidak berdaya atau terlanjur malas, sehingga memilih untuk terus mengalah dan membiarkan, sampai-sampai lama-lama pola itu menjadi berterusan dan jadi kebiasaan, kalau memang hal itu ada maka waktunya kita mengarahkan fokus kendali kita untuk mengubah pola-pola yang membentuk semua itu, yaitu mengubah sikap kita agar nantinya sikap mereka turut berubah.
Hal ini tentu akan berhubungan dengan cara berkomunikasi, kita perlu belajar cara berkomunikasi yang asertif agar bisa menyampaikan pesan ini dengan baik, saya menyebutnya pesan ‘perubahan sikap’, dimana perubahan sikap ini dimaksudkan sebagai pesan langsung bahwa kita ingin mengubah pola interaksi bersama mereka.
Oke kita lanjut ke bahasan terakhir, yaitu strategi menyikapi mereka, seperti apa bahasan ini kita ulas?
Pertama-tama, lagi-lagi berhubungan dengan persiapan, namun kali ini dengan adanya niat di dalamnya. Perlu kita sadari bahwa kalau kita memang sudah meniatkan sepenuh hati maka kita harus siap dengan kemungkinan yang terburuk, ketika kita meniatkan diri mengubah fokus kendali dan mengubah sikap, bukan tidak mungkin ‘gesekan’ terjadi, yang menyebabkan nuansa konflik tercipta.
Disinilah kita harus siap sepenuh hati untuk menahan ketidaknyamanan ketika gesekan itu muncul di interaksi kita bersama mereka, hal ini wajar karena ada pola lama yang berubah, ada standar kenyamanan mereka yang terusik, yang menyebabkan mereka ‘berontak’, disinilah kita perlu siap dan fokus-konsisten pada perubahan sikap ini, bahwa kita memang sepenuh hati meniatkan diri mengubah sikap agar sikap mereka ikut berubah, kalau mereka berusaha mengembalikan keadaan ke kondisi semula maka kita harus juga punya kekuatan untuk memepertahankan perubahan ini sampai justru merekalah yang mengalah dan berubah.
Cara ini tidak kita lakukan dengan cara yang keras, saya tadi sudah menyebutkan ada kata kunci ‘asertif’, inilah yang sebenarnya menjadi kunci utamanya.
Nah, bagaimana cara berkomunikasi asertif ini itulah yang justru menjadi bahasan utamanya, karena bukan sembarang asertif, tapi asertif yang peka pada kebutuhan emosi mereka dan mampu menyikapi kebutuhan emosi itu sampai-sampai mereka bisa tergerak nantinya dan berubah karenanya? Disinilah komunikasi yang ‘menggerakkan’ mereka kita mainkan.
Seperti apa cara berkomunikasi yang diharapkan bisa ‘menggerakkan’ para pribadi menyebalkan ini dan mengubah perilaku mereka atas diri kita? Berhubung akan cukup panjang, kita ulas yang satu ini di episode tersendiri nanti ya.
Oke, sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.