Episode 26 – Berdamai Dengan Kekecewaan
Satu tahun lebih sudah kita berjuang di masa-masa yang sarat keterbatasan, ketidakpastian dan mungkin juga bahkan kekecewaan, yaitu masa-masa pandemi COVID-19 ini.
Seberapa nyaman rasanya menanggung kekecewaan? Tidak perlu ditanya pun Anda pasti sudah bisa menebak jawabannya, diibaratkan berjalan dengan memikul beban, kekecewaan ini bisa sedemikian menghambat gerakan langkah kaki dalam meniti masa depan.
Semoga saja Audio Podcast ini membantu, sehingga di tengah-tengah banyaknya situasi tidak terduga dan penuh keterbatasan yang sering berujung kekecewaan ini kita lebih bisa melepaskan lebih banyak hal-hal yang tidak sepatutnya membebani kita dan lebih lapang karenanya.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keduapuluhenam Life Restoration Podcast berjudul ‘Berdamai Dengan Kekecewaan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Berdamai Dengan Kekecewaan'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode dua puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia, seperti biasa tentunya.
Kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, episode ke-26 kali ini.
Satu tahun lebih sudah kita berjuang di masa-masa yang sarat keterbatasan, ketidakpastian dan mungkin juga bahkan kekecewaan, yaitu masa-masa pandemi COVID-19 ini.
Ya, saya tidak ingin menutup mata dari kenyataan bahwa hari demi hari ada saja kabar-kabar tidak terduga yang bermunculan, mulai dari berita yang membawa harapan dan semangat, sampai ke berita duka yang tidak disangka-sangka.
Kekecewaan adalah salah satu perasaan yang banyak secara tersirat saya dapati bermunculan di dinding media sosial. Saya membagi kekecewaan ini menjadi dua: pertama, kekecewaan karena kita kehilangan yang pernah kita miliki dan kedua yaitu kekecewaan karena kehilangan yang belum pernah kita miliki.
Kehilangan yang pernah kita miliki ini bisa berlaku untuk banyak hal, dari mulai kehilangan pekerjaan, kehilangan aset, dan bahkan yang lebih membekas: kehilangan sosok-sosok yang kita cintai.
Amati saja dinding media sosial Anda, berapa banyak berita-berita kehilangan yang berujung kekecewaan bermunculan di sana sini, saya sendiri sampai sering kali menahan diri membuka media sosial karena tidak kuat menahan arus informasi yang tidak terkendali, yang di dalamnya bermunculan berbagai berita kehilangan dan kekecewaan ini dengan sedemikian intensnya.
Bagaimana dengan kehilangan yang belum pernah kita miliki? Yang satu ini agak aneh kan, bagaimana bisa dimiliki saja belum tapi sudah kehilangan? Yang saya maksudkan disini sebenarnya tepatnya adalah ‘kehilangan peluang mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki’.
Sebagai manusia kita adalah gudangnya keinginan, betul?
Pastinya…namanya manusia tentu tidak lepas dari yang kita kenal sebagai ‘kehendak’.
Kekuatan dari kehendak ini juga yang menjadikan kita membuat perencanaan untuk bisa mewujudkan yang kita kehendaki itu. Lebih jauh lagi, dalam proses membuat perencanan ini kita mengerahkan daya cipta kita sebaik mungkin, ada rasa dan logika di dalamnya, yang membuat kita tahu mana kehendak yang realistis untuk diwujudkan dan kemudian menjadi perencanaan, lalu yang mana yang baru sekedar angan-angan.
Sisi rasa atau emosi kita bisa saja melanglang buana ke berbagai pelosok imajinasi dalam diri kita, membayangkan segala kemungkinan tanpa batas dan kenikmatan dari keberhasilan mewujudkan yang kita kehendaki, tapi sisi logis kita tahu kejelasan dari kemampuan dan kemungkinan kita untuk mewujudkan yang kita kehendaki itu, hal ini yang membuat kita memilih dan memilah kehendak yang mana yang kita kemudian fokuskan untuk benar-benar wujudkan, semakin matang yang kita rencanakan dan semakin realistis hal itu bisa terwujud, maka terciptalah satu hal yang kita kenal baik, yaitu: ‘harapan’.
Nah, disini menariknya, jika harapan sudah ada, maka apa pun yang kita belum miliki secara nyata sebenarnya sudah mulai kita miliki, meski baru dalam pikiran kita.
Jadi yang saya maksudkan tadi belum kita miliki sebenarnya maksudnya belum kita miliki secara nyata, tapi secara rasa sebenarnya hal itu sudah kita miliki dalam pikiran kita, secara rasa kita sudah bisa merasakan peluang untuk mewujudkan hal itu jadi nyata sudah jelas adanya dan sudah siap kita jemput.
Faktanya adalah, tidak semua hal selalu berjalan sesuai harapan kita, betul? Ada saja faktor-faktor tidak terduga yang sangat mungkin membuat apa yang sudah kita harap-harap tadi itu buyar, salah satunya kondisi pandemi sekarang ini, dimana ada begitu banyak harapan dan perencanaan yang jadi berantakan karena begitu banyak hal tidak terduga terjadi dan kita tidak siap mengantisipasinya, alhasil perencanaan dan harapan yang sudah di depan mata itu haruslah kita relakan, kita belum sempat memilikinya tapi sudah harus merelakan kehilangannya, inilah yang saya maksud kekecewaan yang kedua tadi.
Seberapa nyaman rasanya menanggung kekecewaan? Tidak perlu ditanya pun Anda pasti sudah bisa menebak jawabannya lah ya, pastinya ya tidak nyaman, apalagi kalau kekecewaan ini berjalan berlarut-larut sampai menjadi kesedihan, kemarahan, penyesalan dan banyak lagi jenis emosi negatif lainnya, lebih amit-amit lagi kalau semua ini sampai membebani tubuh fisik dan membuat jadi sakit karenanya.
Dalam praktik coaching, konseling dan terapi profesional yang saya fasilitasi pada para klien saya pun sama, tema kekecewaan ini menjadi satu topik umum yang sudah tidak mengherankan lagi saya temukan di ruang praktik saya, ada begitu banyak orang yang menjalani hidup dengan dibebani kekecewaan ini sampai-sampai langkah mereka di masa kini sedemikian terganggu karena seolah memikul beban yang berat sepanjang hidupnya.
Bayangkan Anda membawa sekarung kecil tepung di punggung Anda, seperti apa rasanya membawa karung kecil itu? Mungkin saja ringan, tapi kalau setiap hari Anda bawa kemana-mana, ya lama-lama jadi beban juga itu, lama-lama bikin susah juga pastinya dan malah membuat munculnya masalah baru.
Karena jelas kekecewaan ini sangat membuat tidak nyaman, tentu lebih nyaman kalau kita bisa berdamai dengannya, betul? Yes, untuk itulah episode podcast ini saya unggah.
Semoga saja podcast ini membantu, sehingga di tengah-tengah banyaknya situasi tidak terduga dan penuh keterbatasan yang sering berujung kekecewaan ini kita lebih bisa melepaskan lebih banyak hal-hal yang tidak sepatutnya membebani kita dan lebih lapang karenanya, setuju?
Baiklah, mari kita mulai dulu dengan memahami dari mana kekecewaan bermula. Yang satu ini sebenarnya jawabannya sudah ada di bahasan tadi sebelumnya, yaitu ‘harapan’.
Kekecewaan adalah ‘ketika harapan tidak sejalan dengan kenyataan’, kita berharap yang kita miliki bisa terus kita miliki, dan kita berharap yang belum kita miliki secara nyata bisa kita miliki, ketika harapan itu tidak terpenuhi, kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang kita harapkan, bukankah kecewa menjadi respon yang wajar karenanya?
Ya, saya sengaja menyoroti kata ‘wajar’ dalam kalimat saya tadi, karena bagi saya kecewa adalah suatu hal yang wajar dan manusiawi, rasa kecewa itu juga yang menjadikan kita manusia apa adanya. Kecewa ini menjadi tidak wajar dan bahkan ‘gangguan’, kalau ia sudah membebani dan mempengaruhi kita secara berlebih sampai-sampai kita tidak bisa beraktivitas normal karena terus dibayang-bayangi kekecewaan ini.
Sederhana saja, begini, coba saya tanya Anda: apakah putus cinta bikin kecewa? Biasanya ada saja yang akan mengatakan ‘jelas lah’, meski terdengar unik tapi saya tidak setuju putus cinta bikin kecewa, menurut saya yang bikin kecewa adalah ‘putus tapi masih cinta’. Nah, ini baru membuat kekecewaan yang menyakitkan he..heee.
Lho, maksudnya bagaimana? Ya kembali ke harapan tadi, kalau harapannya sudah tidak ada, sudah tidak cinta lagi, putus ya putus saja kan, orang memang sudah tidak ada harapan lagi kok, tapi masalahnya bisa jadi membesar kalau ternyata putusnya itu masih cinta, masih ada harap-harap untuk menjaga hubungan yang terjalin, ini baru bikin sakit hati: putus cinta karena terpaksa padahal masih berharap lanjut istilahnya.
Memahaminya sederhana kan ya? Kalau begitu kita lanjut ke bagian penting untuk berdamai dengan kekecewaan ini sekarang: bagaimana kita bisa berdamai dengan kekecewaan ini, tepatnya.
Saya membagi dan menyebutnya sebagai ‘5 langkah berdamai dengan kekecewaan’, mari kita mulai saja menyimaknya.
Pertama, jangan memandang kekecewaan sebagai hal negatif, jika Anda saja sejak awal sudah memandang kekecewaan sebagai hal negatif, maka ketika Anda kecewa Anda langsung memandang diri Anda sebagai pribadi negatif yang tidak sesuai harapan ideal, ya jadi makin kecewa lagi kan? Terjadilah ‘lingkaran setan’ tidak karuan jadinya,
Pandanglah kekecewaan sebagai hal yang menjadikan kita manusia normal.
Kita diberikan kehendak atau nafsu, tidak terpuaskannya kehendak atau nafsu ini akan berujung kekecewaan, itu satu hal yang alamiah, terasanya kekecewaan itu dalam diri kita juga yang menjadikan kita manusia seutuhnya dengan segala aspek perasaannya, kuncinya satu: kita tidak dibebani berlebih oleh kekecewaan ini sampai tahap tidak bisa menjalankan fungsi harian kita dengan baik karenanya.
Jika kita sudah berhasil memandang kekecewaan sebagai hal yang wajar adanya, maka fondasi pertama sudah paling tidak kita miliki.
Baru berikutnya yang kedua, sadari harapan. Ingat, kekecewaan selalu berhubungan dengan adanya harapan yang tidak terpenuhi. Maka di setiap kekecewaan yang kita alami mari pahami ada harapan apa yang tepatnya terlanggar yang membuat kita sedemikian kecewa karenanya, semakin kita kecewa maka pastinya semakin dalam level harapan yang terlanggar.
Ini tahapan yang paling menantang, mengenali isi harapan ini tidak selalu mudah karena di balik sebuah rasa kecewa sebenarnya tersimpan begitu banyak harapan, baik jangka pendek atau jangka panjang, yang kalau kita selami lebih jauh akan mengajak kita memahami mengapa kita bisa sedemikian kecewanya.
Misalnya saja kita kecewa karena tidak jadi pergi berlibur, agenda yang sudah kita rancang membawa keluarga berlibur harus dibatalkan karena pembatasan aktivitas bepergian, di level permukaan mungkin yang nampak adalah ‘kecewa karena tidak jadi pergi berlibur’, tapi bergantung pada tingkat kekecewaan yang kita rasakan maka bisa lain kedalaman level harapan yang kita miliki.
Beberapa orang bisa merespon pembatalan agenda ini dengan ringan, bisa jadi karena memang seringan itu juga harapan mereka atas agenda ini, tapi lain lagi kalau Anda adalah seseorang yang sudah memimpikan sekali liburan ke tempat yang Anda tuju itu, Anda sudah membayangkan betapa bahagianya bisa berada di sana bersama keluarga yang sangat Anda sayangi, sudah membayangkan senyum ceria dan bahagia mereka ketika ada disana bersama Anda, dan lebih jauh lagi, intinya semua bayangan keindahan itu sudah hadir dalam pikiran, yang satu ini ketika ternyata tidak terwujud tentu berbeda level kekecewaannya.
Maka itulah jangan mudah menganggap remeh kekecewaan yang orang lain alami, bisa saja bagi Anda kekecewaan mereka itu kekecewaan yang remeh, tapi siapa yang tahu kalau di balik kekecewaan yang mereka rasakan sebenarnya tersimpan harapan yang sedemikian mendalam, yang ternyata terlanggar dan membekas.
Tadi contoh yang kita pakai adalah kekecewaan karena pembatalan agenda berlibur, bagaimana kalau sekarang kita ganti contoh itu dengan berbagai macam kekecewaan lain yang beragam, entah itu karena kekecewaan kehilangan peluang, tidak jadi melaksanakan berbagai agenda besar, kehilangan orang yang disayangi, atau banyak lagi jenis lainnya, bukankah bisa kita sadari bahwa di setiap kekecewaan yang kita alami selalu ada kedalaman harapan yang beragam, semakin dalam kedalaman harapannya maka semakin besar rasa kecewanya.
Lanjut ke tahap ketiga, jangan menyalahkan siapa pun, bahkan tidak perlu menyalahkan diri Anda sendiri atas kekecewaan ini. Memang betul bahwa sumber dari kekecewaan adalah harapan kita sendiri, tapi bukan berarti kita harus menyalahkan diri karenanya, ingat langkah pertama sebelumnya: sadari bahwa kecewa itu manusiawi, itu melambangkan kita adalah manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya, maka tidak ada yang perlu kita sombongkan di dunia ini, betapa kekecewaan kecil saja bisa membuat diri kita ini rapuh dan terganggu karenanya.
Cukup pahami saja bahwa semua ini adalah soal mengenali yang kita rasakan, mengenali harapan yang kita miliki. Ya, di tengah momen kekecewaan itu selalu miliki satu mode kesadaran yang kita tujukan untuk mengenali lika-liku harapan dalam diri kita, betapa tanpa menyalahkan siapa pun dan bahkan tanpa menyalahkan diri kita sendiri kita sadar bahwa semua ini adalah bagian dari proses memanusiakan diri kita sebagai manusia apa adanya.
Langkah ketiga ini cukup berhubungan dengan langkah berikutnya, yaitu langkah keempat, yang ini mungkin terdengar agak filosofis, tapi ini justru penting, yaitu sadari bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Di balik segala-sesuatu yang kita anggap kekecewaan pasti selalu ada alasannya mengapa itu harus terjadi, yang satu ini bisa saja Anda hubungkan dengan prinsip rekening energi yang sudah sempat saya bahas di episode kedua bulan Januari lalu, Anda boleh menyebutnya sebagai ‘penebusan karma’, ‘pencucian dosa’, atau apa pun itu, intinya sadari bahwa di balik kekecewaan yang kita rasakan pastinya ada sesuatu yang ‘terbersihkan’ dalam diri kita, yang penting adalah kita bisa berdamai dengan perasaan kecewa itu tanpa menyalahkan siapa pun atau menyalahkan diri kita sendiri, karena jika ada proses menyalahkan di dalamnya maka proses ‘penebusan’ ini tidak akan berjalan ideal, malah jadinya ada hal negatif baru di dalamnya sebagai hasil dari menyalahkan ini.
Nah, masuk ke langkah terakhir, yaitu bagaimana berdamai total dengan semua ini, pastikan keempat fondasi sebelumnya tadi sudah Anda pahami dan Anda benar-benar jalankan ketika akan melakukan langkah kelima ini, yaitu rasakan kecewanya, terima bahwa itu adalah hal yang wajar, sadari kedalaman harapan yang menyebabkan rasa kecewa itu muncul lalu jangan salahkan siapa pun, nah berikutnya di langkah kelima ini yaitu ijinkan dan ambil hikmahnya!
Maksudnya ‘ijinkan’ itu bagaimana? Begini, sering kali ketika rasa kecewa itu muncul kita mencoba menghibur diri dan menolaknya, dengan coba menekannya, hal ini sama saja dengan kita mencoba menahan asap yang mengepul dari sebuah kuali dengan cara menutupnya, asapnya memang tidak mengepul keluar tapi bukan berarti ia hilang, ia justru bergolak dalam kuali dan terakumulasi siap keluar dengan tekanan yang lebih besar nantinya.
Daripada harus seperti itu, ijinkan saja, posisikan diri Anda di satu posisi yang santai, rileks, fokus dan tenang dari segi waktu dan tempat, rasakan kecewa itu muncul lalu ijinkan saja kecewa itu Anda rasakan penuh, tapi sambil menjaga keempat langkah sebelumnya tadi, ketika kecewa ini terasa pastikan Anda selalu berada dalam mode ‘pegang kendali’ untuk menghayati dan mengalirkan kekecewaan itu melalui ekspresi atau tarikan dan hembusan napas Anda.
Anda boleh saja menangis sesenggukan atau berbisik mengekspresikan kekecewaan Anda, tapi lakukan dengan lembut, bukan dengan meraung-raung tidak karuan, proses dimana Anda menahan desakan dari dalam dengan jujur dan mengalirkannya melalui ekspresi lembut inilah yang akan ‘menjinakkan’ energi destruktif dari kekecewaan itu dan bahkan menjadikan mental Anda lebih kuat nantinya, dalam psikoterapi kita menyebutnya sebagai ‘ego strengthening’ atau penguatan mental.
Tenang saja, tidak ada ekspresi kekecewaan yang tidak akan habis, ingat bahwa kekecewaan intinya adalah bentuk energi-emosi yang terkunci, ketika kita mengalirkannya sampai ia habis keluar maka sistem energi kita pun normal kembali, ini yang orang-orang katakan sembuh dari kekecewaan atau berdamai dengan kekecewaan, ada kalanya proses mengijinkan atau mengalirkan ini bisa terjadi dalam satu kali proses pelaksanaan, bisa juga harus dilakukan berkali-kali karena akumulasi energinya banyak terkunci, ketahui saja batasan Anda, kalau sistem tubuh fisik dan psikis Anda tidak memadai untuk meneruskan maka sudahi dulu prosesnya, dan lanjutkan di kesempatan lain.
Lama-lama gejolak ekspresi itu akan mereda, ini ibaratnya kuali penuh asap sudah habis mengeluarkan asapnya, tekanannya sudah kosong, maka ia sudah lebih dingin untuk meneruskan prosesnya.
Penutup yang masih berhubungan dengan langkah terakhir ini sederhana sekali, jika gejolak ekspresi itu sudah mereda, maka cukup tutup prosesnya dengan mengambil hikmah pembelajaran dari peristiwa yang Anda rasa mengecewakan, apa hal yang harus Anda lakukan atau antisipasi dengan lebih baik nantinya agar tidak perlu mengalami hal yang sama, bagaimana Anda harus mengelola tingkat harapan dalam diri agar tidak terlalu kecewa berlebih nantinya, gunakan pembelajaran dan mental yang lebih kuat hasil dari proses mengijinkan ini sebagai bekal berdamai dengan kekecewaan.
Baiklah, sekian untuk episode kali ini, sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.