Episode 29 – Keajaiban di Balik Berkorban Perasaan
Bersamaan dengan hari raya Idul Adha yang baru saja berlalu 2 hari lalu, tema berkorban menjadi satu hal yang cukup menghiasi tema komunikasi di berbagai ruang publik.
Sehubungan dengan proses ‘berkorban’, cukup bisa kita dapati bahwa salah satu tema candaan yang banyak dilontarkan sehubungan dengan proses ini adalah tema tentang ‘berkorban perasaan’.
Uniknya, meski sering dijadikan tema candaan, dalam kenyataannya hal itu benar-benar ada.
Ya, jika dihubungkan dengan kualitas pencapaian, berkorban perasaan adalah satu proses yang sebenarnya membawa keajaiban pada sebuah kualitas pencapaian, karena ia adalah proses yang berhubungan langsung dengan 3 hukum semesta.
Jadi, bagaimana berkorban perasaan ini bisa mendatangkan keajaiban? Seperti apa ulasan lengkapnya?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keduapuluhsembilan Life Restoration Podcast berjudul ‘Keajaiban di Balik Berkorban Perasaan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Keajaiban di Balik Berkorban Perasaan'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode dua puluh sembilan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, seperti biasa, doa terbaik untuk Anda sekalian: semoga selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia.
Sebelum kita memulai episode podcast kali ini pertama-tama saya ingin terlebih dahulu mengucapkan “Selamat merayakan hari raya Idul Adha bagi para sahabat Muslim yang merayakannya”, tidak lupa teriring doa terbaik semoga semua ibadah qurban yang sudah dilakukan menjadi sebuah tabungan kebaikan yang mengisi rekening energi Anda sekalian.
Rekening energi? Agaknya, sudah lama juga ya kita tidak membicarakan tema yang satu ini. Berhubung waktunya juga bertepatan dengan hari raya Idul Adha yang baru saja berlalu, dimana perayaan hari raya ini – sebagaimana sudah kita ketahui bersama – identik dengan proses qurban, yang secara tidak langsung juga berhubungan dengan kata ‘berkorban’, baiknya mari kita ulas kembali tema tentang rekening energi ini, terutama kali ini mari kita hubungkan bahasannya dengan proses ‘berkorban’, akan menarik pastinya.
Mari kita mulai saja…
Beberapa hari lalu, sebelum hari raya, saya mendengar pembicaraan salah seorang rekan yang sedang berbicara melalui telepon dengan temannya di ujung sana. Sambil berbicara banyak hal terdengar tema pembicaraan mereka juga turut mengulas tentang rencana perayaan hari raya. Masih sambil bercanda ringan, terdengar ungkapan bercanda yang menarik bagi saya, yaitu tentang ‘berkorban perasaan’.
Saya tidak terlalu ingat detail pembicaraan mereka, tapi intinya di pembicaraan mereka terselip satu ungkapan yang kurang lebih bertemakan ‘berkorban perasaan’ ini.
Kenapa bagi saya hal itu menarik? Karena meski sekedar menjadi selipan candaan di tengah-tengah pembicaraan, sebenarnya fenomena itu benar-benar ada dan menjadi satu cara mengakselerasi kualitas pencapaian dalam kaidah ‘hukum semesta’, utamanya yaitu ‘hukum ketertarikan’ dan ‘hukum pertukaran’.
Bagi Anda yang masih ingat, ‘hukum ketertarikan’ dan ‘hukum pertukaran’ adalah dua dari tiga hukum semesta yang pernah saya bahas di episode kedua podcast saya dulu, bersama dengan satu hukum lainnya, yaitu ‘hukum getaran’.
Jika Anda belum familiar dengan bahasan hukum semesta pada umumnya – dan bahasan hukum ketertarikan serta pertukaran pada khususnya – saya menyarankan Anda untuk mendengarkan terlebih dahulu bahasan tentang kedua hal ini di episode kedua podcast saya.
Seperti biasa, saya juga tidak bosan-bosannya mengingatkan Anda untuk mendengarkan episode-episode lain di podcast saya, agar semakin memahami berbagai tema bahasan seputar restorasi kehidupan yang sering kali saya ulas.
Ada sekitar 28 episode podcast lainnya yang sudah saya unggah sebelumnya, juga berbagai inspirasi pendek lain dan yang terakhir yaitu serial video Life Restoration yang menghadirkan saya secara visual dalam bentuk video, mengulas materi yang sedang saya ulas di setiap episodenya.
Baiklah, cukup untuk pengantar singkatnya, mari kita mulai saja mengulas fenomena ‘berkorban perasaan’ ini dan bagaimana ia bisa menjadi media mengakselerasi kualitas pencapaian yang ada di hukum semesta.
Awal mula ulasan ini pastilah lagi-lagi harus mengulas dasar hukum semesta, namun kali ini kita akan bahas secara singkat saja ya, karena ini sudah menjadi bahasan lama di episode podcast saya terdahulu.
Mari kita mulai dari hukum semesta pertama, yatu ‘hukum vibrasi’ atau ‘hukum getaran’.
Hukum ini mengacu kepada bahwa segala-sesuatu di alam raya ini terdiri dari energi, segala-sesuatu di alam ini jika diurai akan berakhir di strukturnya yang terkecil, yaitu energi, begitu juga keseluruhan makhluk hidup di alam ini, termasuk diri kita terdiri dari energi.
Sebagian dari energi yang membentuk diri kita memadat dengan sedemikian rupa sampai membentuk apa yang kita kenal sebagai tubuh fisik dengan segala organ penyusunnya, sementara sebagian dari energi yang membentuk diri kita tidak membentuk tubuh fisik, melainkan membentuk medan energi yang tidak bisa kita lihat secara fisik, kita mengenalnya sebagai aura.
Pusat dari pergerakan energi diri kita berpusat dari pikiran kita, apa yang kita pikirkan membentuk sebuah medan energi, yang frekwensinya sesuai dengan yang kita pikirkan.
Berikutnya, medan energi yang terbentuk, yang awalnya hanya bermula dari yang kita pikirkan dalam diri ini kemudian memancar keluar diri kita dan beresonansi dengan berbagai frekwensi energi lain di luar diri kita.
Disinilah terjadi hukum kedua, yaitu ‘hukum atraksi’ atau ketertarikan, dimana jenis medan energi yang kita pancarkan beresonansi dengan medan energi lain yang frekwesinya sejenis dan mendekatkannya dalam hidup kita, sederhananya: apa yang kita pikirkan maka itulah yang kita ‘dekatkan’ atau hadirkan dalam kehidupan kita.
Hal inilah yang kelak diajarkan di berbagai pelatihan dan seminar pengembangan diri yang berfokus pada kekuatan pikiran, mengajarkan pesertanya untuk berpikir positif, memfokuskan atensinya pada hal yang mereka ingin capai secara spesifik, agar medan energi dari keinginan itu terpancar keluar dan beresonansi dengan hal yang dituju dan mendatangkan-mengadirkannya dalam hidup.
Yang dimaksud ‘menarik’ atau ‘mendatangkan’ ini tentu bukan maksudnya ‘menarik secara fisik’ sampai objek itu melayang secara fisik mendekati kita, melainkan membentuk medan energi spesifik yang beresonansi dengan lingkungan sekitar secara bertahap sampai suatu titik dimana medan energi spesifik ini membentuk pola kejadian yang memungkinkan objek yang kita inginkan itu untuk hadir dalam hidup kita, fenomena ini sering kali disebut juga ‘synchronicity’.
Kalau kita hubungkan dengan bahasan ‘berkorban perasaan’ yang menjadi tema episode kali ini dan bagaimana ia menjadi media mengakselerasi kualitas pencapaian, yang perlu kita sadari yaitu yang saya bahas di podcast kelima dulu, bahwa sering kali medan energi itu tidaklah terpancar keluar dengan baik karena sistem energi dalam diri kita macet, terkunci oleh keberadaan luka batin yang terbentuk akibat peristiwa masa lalu yang belum terselesaikan sampai ke masa kini.
Ketika seseorang mengalami luka batin atau trauma, terciptalah emosi negatif, dimana hal ini diibaratkan sebagai ‘energi yang terkunci’ dalam diri kita. Energi yang terkunci ini akan berpengaruh terhadap daya pancar medan energi kita, getaran energi yang seharusnya terpancar maksimal dan beresonansi dengan hukum ketertarikan untuk menarik hal yang kita harapkan menjadi tidak maksimal karena sebagian energinya terkunci.
Mengapa energi terkunci dan mengapa luka batin terbentuk? Hal ini pun sudah saya bahas di episode terdahulu, yaitu karena ada harapan yang tidak sejalan dengan kenyataan, ada kejadian tidak menyenangkan yang berlawanan dengan kehendak kita. Kita punya harapan atas kondisi ideal yang seharusnya terjadi, tapi yang terjadi malah berlawanan dengan yang kita harapkan, akhirnya muncullah rasa kecewa.
Rekaman rasa kecewa inilah yang kemudian tersimpan di pikiran bawah sadar kita, dalam sistem energi kita.
Mari kita sadari satu hal penting di sini: rasa kecewa muncul karena ada sebuah kondisi yang kita rasa tidak berjalan sesuai harapan kita, peristiwanya sudah berlalu tapi tetap saja ingatan dan ego kita terbelengu pada peristiwa itu, ada kehendak yang tidak terpenuhi di peristiwa itu, yang masih kita bawa dalam sistem energi kita.
Mereka yang pernah dikecewakan misalnya, atau yang pernah mengalami sakit hati akibat peristiwa lainnya, ketika mengingat peristiwa itu lagi dan jujur pada diri sepenuh hati, tentu bisa menyadari bahwa ada rasa ganjalan dalam diri yang muncul, seolah ada berbagai pemikiran yang berkata dalam hati bahwa kalau bisa kembali ke peristiwa itu maka tentu akan menyikapinya dengan cara berbeda, entah melampiaskan, entah membalas atau entah apa pun itu, intinya: ada sebuah kehendak yang berkobar dalam diri, yang tidak bisa direlakan begitu saja karena tahu peristiwanya sudah berlalu, hanya kekecewaan dan penyesalannya yang tersisa.
Sudah mulai bisa menebak keterhubungannya dengan bahasan kita di episode kali ini? Ya, yang dimaksud berkorban perasaan adalah mengorbankan kehendak itu, melepaskan kehendak itu dan merelakan yang sudah berlalu, bahasa awamnya yaitu: mengikhlaskan.
Mengikhlaskan atau memaafkan – dengan sepenuh hati – adalah kunci dari ‘berkorban perasaan’, di dalamnya ada sebuah ego atau kehendak yang kita lepaskan atau relakan, yang ketika dilepaskan justru membuka kembali jalur energi yang terkunci dan melepaskan medan energi yang selama ini terkunci, menjadikan medan energi kita memancar kembali dalam kualitas terbaiknya, medan energi yang memancar dalam kualitas terbaik ini kemudian beresonansi dengan medan energi di luar diri kita yang sesuai dengan frekwensinya, alhasil hal-hal yang semula ‘macet’ sekarang menjadi lancar kembali.
Itulah mengapa kita sering mendengar istilah ‘keajaiban memaafkan’ atau ‘keajaiban mengikhlaskan’, berbagai kisah-kisah keajaiban yang banyak orang alami dalam hidupnya seiring mereka memaafkan dan mengikhlaskan berbagai luka yang mereka alami dalam kisah masa lalunya, ketika memaafkan dan melepaskan kehendak yang mengganjal, atau dengan kata lain: berkorban perasaan, maka saat itu energi yang terkunci turut terlepas dan menjadi daya pancar vibrasi yang lebih kuat, yang membuat fenomena hukum ketertarikan lebih mudah tercipta.
Tapi tidak hanya itu, masih ada kepingan lain yang tidak kalah menakjubkannya dari hukum semesta yang ikut meningkatkan kualitas pencapaian yang kita hasilkan, seiring dengan proses melepaskan atau berkorban perasaan tadi, yaitu hukum ketiga, hukum pertukaran.
Bagaimana cara sederhana memahami hukum pertukaran ini? Kita memulainya dengan memahami satu landasan pemikiran bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini, semua memiliki nilai tukarnya.
Mari gunakan sebuah ilustrasi untuk memahaminya, bayangkan kita datang ke sebuah bank yang kita tidak memiliki rekening di dalamnya, kita lalu menyatakan ingin mengambil uang sebesar 5 juta, apakah hal itu memungkinkan? Tentu tidak, karena kita tidak punya hak untuk melakukannya.
Skenario berikutnya, kita datang ke sebuah bank dimana kita memiliki rekening dengan saldo sebesar 2 juta, namun kita menyatakan ingin mengambil 5 juta, apakah itu memungkinkan? Sekali lagi, tentu tidak, karena nilai hak kita belumlah cukup untuk itu.
Skenario lain lagi, kita memiliki rekening di sebuah bank sebesar 5 juta, kita lalu datang untuk menarik uang sebesar 2 juta, apakah memungkinkan? Tentu, karena kita punya hak dan kita memiliki kepantasan untuk mengklaim hak itu, bahkan setelah diambil pun masih ada sisanya yang bisa kita manfatkan di lain waktu.
Ilustrasi itu mewakili sebuah konsep yang disebut dengan ‘rekening energi’.
Ingat sebagaimana sudah dibahas sejak tadi bahwa kita adalah ‘makhluk energi’, segala keseluruhan diri kita adalah energi, yang juga perlu kita sadari adalah bahwa segala perbuatan atau pemikiran yang kita lakukan juga memiliki nilai atau bobot energinya masing-masing.
Sekarang mari bayangkan bahwa kita semua memiliki rekening energi dimana rekening ini berisikan segala bobot energi hasil dari pemikiran atau perbuatan kita. Ketika kita melakukan perbuatan positif atau berpikir positif maka rekening ini terisi dengan saldo energi positif, sementara ketika kita melakukan keburukan atau berpikir negatif maka rekening ini terisi dengan energi negatif.
Hukum kekekalan energi berbunyi bahwa ‘energi tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan, ia hanya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya’, demikian juga saldo energi dalam rekening energi kita, ia akan berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya, saldo energi positif akan berubah bentuk menjadi segala kebaikan dalam hidup, seperti keinginan yang tercapai atau pertolongan ketika ada musibah, sementara saldo energi negatif akan berubah menjadi berbagai jenis keburukan atau kehilangan, kita biasa menyebutnya sebagai ‘kesialan’ atau ‘musibah’.
Apa yang kita lakukan, itulah yang kita dapatkan, konsep ini boleh disebut dengan nama apa pun, bisa disebut ‘sebab-akibat’, bisa juga disebut ‘tabur-tuai’, bisa juga ‘karma’, apa pun namanya, intinya apa yang kita dapatkan adalah hasil dari yang kita lakukan.
Ketika kita melakukan segala kebaikan dengan ikhlas – tanpa terlontar keluhan – maka saat itu rekening energi ini sedang terisi dengan energi positif, tabungan energi positif inilah yang siap dicairkan dalam berbagai bentuk, apakah itu keinginan yang terkabul atau pertolongan di kala musibah, atau dimudahkan dan dicukupkan dalam berbagai keperluan.
Bagaimana kalau ada keluhan di dalamnya? Ini yang kita sebut ‘tidak ikhlas’, ini yang akhirnya membuat saldo rekening energi yang terisi tidak penuh, karena ada keluhan yang menyabotase terisinya saldo rekening energi tadi.
Dengan kata lain, salah satu kepingan pelengkap dalam hukum semesta yang perlu kita ingat dan kita jaga adalah kita juga perlu menjaga sikap dan perilaku kita dalam menjalani kehidupan, bukan hanya mementingkan diri sendiri namun tetap menebar kebaikan bagi sesama – dengan tulus – agar ia menjadi saldo energi positif dalam rekening energi kita.
Saldo energi positif dalam rekening energi inilah yang kelak kita gunakan untuk ‘membeli’ atau ‘menukar’ keinginan yang kita harapkan.
Maka, jika kita merasa kualitas medan energi kita sudah sedemikian baiknya, namun yang kita harapkan tak kunjung terwujud, maka bisa jadi ada faktor yang hilang, yaitu nilai energi yang kita miliki belumlah memadai untuk ‘membeli’ pertukaran atas hal tersebut.
Lagi-lagi kita hubungkan dengan fenomena ‘berkorban perasaan’, dimana kira-kira hukum pertukaran ini berperan?
Sederhananya begini, untuk bisa ‘membeli’ yang kita inginkan, maka kita haruslah memiliki saldo rekening energi yang memadai untuk bisa menukarnya. Jika kita renungkan lebih dalam, terisinya saldo rekening energi selalu berhubungan dengan sesuatu yang kita ‘lepaskan’ atau ‘berikan’ keluar diri kita.
Maka itulah saya sering kali mengatakan lupakan ‘take and give’, karena prinsip itu tidak sejalan dengan hukum pertukaran, tapi lakukanlah ‘give and get’, karena dengan memberi sebetulnya otomatis hukum semesta akan berjalan dengan sendirinya mendatangkan yang kita layak dapatkan.
Di dalam sebuah luka, bersama kekecewaan atas sebuah peristiwa, sebenarnya tersimpan juga sesuatu yang mengunci pertukaran kita di dalamnya, yaitu ketidakmampuan kita ‘memberi’, atau ‘melepas’, atau lebih tepatnya: ketidakmampuan kita dalam ‘memberi maaf’ atau memberikan kerelaan.
Kalau memberi atau melepaskan saja tidak bisa, maka bagaimana mungkin kita bisa menerima atau mendapatkan. Sementara itu, dalam sebuah proses ‘berkorban’, selalu ada yang kita lepaskan, berikan atau persembahkan, betul?
Lihat saja dalam ibadah qurban di hari raya kemarin, ada sesuatu yang diberikan atau dipersembahkan – dalam bentuk hewan qurban -, betul?
Terlepas dari yang terlihat di level fisik bahwa yang diberikan atau dipersembahkan adalah benda atau tepatnya: hewan, esensi dari qurban itu sendiri bukan terletak pada bendanya, tapi pada keikhlasan hati untuk melepaskan sesuatu yang kita pernah miliki.
Mereka yang ber-qurban membeli hewan qurban dengan hasil yang mereka miliki, hasil dari perjuangan mereka, berupa harta, yang kemudian mewujud menjadi hewan qurban, hal itu kemudian dipersembahkan atau dilepaskan, sehingga tidak lagi menjadi milik mereka.
Bukankah hal yang sama terjadi pada perasaan? Kita ‘membeli’ luka dengan ego atau kehendak kita sampai luka itu menjadi milik kita, menjadi bagian dari diri kita.
Ingatlah bahwa yang melukai kita bukan peristiwanya tapi kehendak atau ego dan harapan kita yang melekat pada peristiwa itu, jika bersama luka kita tersimpan juga ego yang menyertainya, maka melepaskan luka artinya melepaskan ego yang menyertai luka itu, artinya ‘berkorban perasaan’ sama dengan ‘berkorban ego’.
Maka itulah berkorban perasaan sama dengan melepaskan atau menukarkan ego kita untuk bisa berdamai dengan kehidupan, untuk menerima segala ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala-sesuatu yang sudah terjadi dalam hidup kita, maka melakukan hal ini sama dengan melakukan pertukaran energi, pertukaran ini tidaklah kecil, semakin besar kemelekatan kita pada luka itu atau para peristiwa itu maka semakin besar-besaran juga pertukaran energi yang kita lakukan dengan semesta, maka jangan heran kalau semakin besar juga kualitas pencapaian yang bisa saja terjadi karenanya.
Bagaimana kalau sudah berkorban perasaan masih belum banyak perubahan terjadi karenanya? Tenang saja, seperti sudah saya bahas di episode podcast terdahulu, semesta ini adil, tidak akan ada sesuatu yang berjalan dengan tidak adil, kalau kita sudah berkorban perasaan sedemikian besarnya tapi belum banyak perubahan terjadi maka sadari saja dua kemungkinan: pertama, yang kita korbankan itu masih digunakan untuk menebus kesalahan lama yang pernah kita lakukan, istilah sederhananya: menebus karma, karena jangan-jangan kita sendiri punya banyak rekening energi negatif atas perbuatan masa lalu yang masih harus kita tebus dulu di masa kini, sehingga pertukaran besar itu belum cukup menebus semuaya.
Atau yang kedua, saldo dari pertukaran energi itu masih ‘ditabung’ untuk nanti dicairkan sekaligus di masa depan, atau bahkan mungkin sudah dari sekarang, dalam bentuk dihindarkan dari musibah, yang seharusnya mengalami musibah besar tanpa disadari dihindarkan dari musibah itu sehingga tidak perlu mengalami kepahitan yang lebih besar.
Intinya yaitu tenang saja, tidak perlu khawatir, alam semesta ini adil, apa yang kita lepaskan atau tukarkan maka itulah yang akan kembali pada kita.
Nah…ternyata…berkorban perasaan itu tidak buruk bukan? Ia menjadi pembuka jalan bagi begitu banyak peluang masa depan dalam hidup kita.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.