Episode 34 – Harga Sebuah Kesungguhan
Mengikuti topik pembicaraan terkini bersama para peserta pelatihan, tercetuslah tema bahasan tentang ‘kesungguhan’ dan ‘ketertarikan’, bagaimana bersungguh-sungguh sejatinya berbeda dengan sekedar tertarik.
Ketertarikan membawa kita mencoba menekuni suatu bidang tertentu, tapi kesungguhanlah yang membuat kita bertahan dan bertumbuh di bidang itu.
Kesungguhan menjadi modal dasar yang membuat seseorang berani menetapkan tujuan besar dan mengkonversi energi yang besar dari kesungguhan itu menjadi aksi yang sepadan besarnya dengan harga perjuangan yang harus dibayar untuk mewujudkan tujuan besar tersebut menjadi nyata.
Namun demikian ada harga yang harus dibayar dari sebuah kesungguhan.
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketigapuluhempat Life Restoration Podcast berjudul ‘Harga Sebuah Kesungguhan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Harga Sebuah Kesungguhan'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tiga puluh empat.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam kondisi sehat, berlimpah dan bahagia, seperti biasa tentunya.
Kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di episode ke-34 Life Restoration Podcast yang membersamai Anda sebagai inspirasi rutin mingguan di setiap hari Kamis.
Yaah…maksudnya episodenya diunggah di hari Kamis di Youtube Channel saya: ‘Alguskha Nalendra’, mengenai Anda ingin mendengarkannya di hari apa ya bebas-bebas saja lah ya he…he…
Baiklah, mari memulai bahasan di podcast kita kali ini.
Seperti biasa, saya lebih suka menyoroti temuan-temuan sehari-hari dan menjadikannya tema untuk dibahas sebagai episode di podcast ini, selain memudahkan dalam memilih topiknya, juga menjadikan bahasannya relevan dengan tren yang sedang saya temukan berlangsung di sekitar saya.
2 hari yang lalu saya mengunggah sebuah status di media sosial saya, tepatnya di akun Instagram saya: @alguskha, yang berhubungan dengan ‘kesungguhan’.
Kalau Anda belum mengikuti Instagram saya, silakan follow juga ya, sekalian mengunjungi dan melihat langsung seperti apa narasi yang saya letakkan di status itu.
Intinya adalah, ada sebuah pertanyaan yang muncul dari salah seorang peserta ‘2 in 1 Professional Training & Mentoring’ yang sedang saya adakan saat ini, tentang bagaimana caranya bertumbuh di profesi ini, maksudnya profesi sebagai coach, counsellor dan hipnoterapis ini.
Oh iya, agar Anda juga familiar, saya sedikit cerita dulu lah tentang apa yang dimaksud program ‘2 in 1 Professional Training & Mentoring’ ini.
Jadi begini…program ini merupakan sebuah pembelajaran dan pembimbingan dimana saya melatih dan mementori para peserta yang ingin menjadi praktisi profesional di bidang coaching, konseling dan terapi ini, dari awal, sampai mereka – diharapkan – nantinya siap berpraktik secara mandiri menjalankan peran profesinya.
Saya mengalami sendiri lah ya bagaimana suka-dukanya meniti karir di profesi ini sejak 10 tahun lalu, tidak mudah lho.
Profesi ini juga kan bukan profesi umum, jadi belajar, berpraktik dan mengembangkan karirnya pun tidak mudah, saya mengalami sendiri masa-masa kebingungan dimana untuk belajar dan berpraktik ini sulit sekali menemukan pembimbing yang siap mendampingi dan memberikan saran profesional, agar kita bisa lebih efektif dalam berpraktik dan menjalankan profesi.
Puji syukur…tahun demi tahun saya lalui, jatuh-bangun saya alami, suka dan duka juga sudah dijalani habis-habisan dan sampailah ke titik ini.
Saya tidak berani mengatakan ini adalah titik terbaik dari semua proses yang sudah saya lalui, karena perjalanan juga masih panjang lagi, tapi paling tidak titik sekarang ini sudah jaaauuh lebih baik dibandingkan situasi di titik awal ketika memulai dulu.
Nah, kembali ke pertanyaan dari peserta tadi, rupanya peserta ini adalah salah seorang yang sudah cukup lama berada di lingkar pertemanan saya di media sosial, dan ia sudah cukup lama mengamati jejak perjalanan saya – yang menurutnya terus bertumbuh dari waktu ke waktu, seperti yang saya juga sempat ceritakan tadi – sementara banyak praktisi lain yang mungkin hilang-timbul silih berganti.
Itu betul, profesi ‘membantu sesama’ ini menjadi suatu bidang yang unik, yang menarik ketertarikan orang banyak untuk ikut menjadi bagian dari profesi ini, ada yang tertarik karena memang dasarnya terpanggil untuk membantu sesama, ada yang tertarik karena memang melihat potensi bisnis dan karirnya, dan banyak lagi lah ya.
Tapi ada satu fenomena yang cukup menarik, yaitu: yang tertarik banyak, dan yang berguguran juga banyak.
Yes, percaya atau tidak percaya dari tahun ke tahun ada ratusan – dan bahkan mungkin ribuan – orang yang ingin mencoba terjun ke profesi ini, dan di setiap tahunnya juga banyak orang yang membatalkan niatnya masuk ke profesi ini.
Bahkan para rekan belajar ‘satu angkatan’ di jaman saya dulu juga sama, banyak yang bertumbangan dan entah kemana.
Ada di antara mereka yang dulu memang sekedar ‘iseng’ dan ‘coba-coba’, akhirnya ya wajar saja kalau memang mereka tidak teru bertahan di profesi ini, jangankan bertumbuh lah, bertahan saja tidak.
Tapi ada banyak juga yang sebenarnya bersungguh-sungguh ketika awal ingin menekuni profesi ini, mereka belajar dengan semangat dan kesungguhan yang luar biasa, bahkan ada yang menggebu-gebu sekali dulunya.
Dulunya? Ya begitulah, karena mereka juga sekarang entah kemana, makanya saya katakan ‘dulunya’.
Jadi, apa yang sebenarnya membedakan – atau mungkin tepatnya – menjadikan seseorang bisa bertahan di profesi ini? Sebetulnya bukan hanya di profesi ini, tapi di segala bidang kehidupan.
Ya, tidak perlu hanya fokus ke profesi ini, mari amati berbagai profesi yang menjadi ‘cita-cita’ untuk dijalani banyak orang, hal yang sama berlaku pastinya.
Sebagai makhluk sosial, sudah lumrah bagi kita sebagai manusia untuk memiliki cita-cita yang nantinya melambangkan peran sosial yang kita jalani di kehidupan ini, baik untuk sekedar menghidupi diri, atau pun nantinya menjadi sebuah aktualisasi diri.
Di masa kecil dan remaja yang kita lalui, kita mengamati ada banyak peran sosial yang membentuk tatan masyarakat kita saat ini, semua dengan peran dan potensinya masing-masing, di masa-masa ini juga kita mulai secara alami memiliki ketertarikan pada bidang tertentu untuk kita jalani nantinya sebagai sebuah peran sosial atau pun pekerjaan, sambil juga mendapatkan ‘arahan’ untuk nantinya menjalani bidang-bidang tertentu, arahan ini bisa dari orangtua, keluarga, atau lingkungan.
Intinya, kita lalu mempertimbangkan dan memutuskan ingin menjalani peran apa di masa depan kita nantinya, sebagai sebuah pekerjaan atau profesi, ada juga yang bahkan tidak terlalu mempertimbangkan peran ini, yang penting bisa kerja dan bertahan hidup cukup lah.
Mari terus terang saja, di masa lalu ketika membuat keputusan untuk menjalani sebuah peran profesi di masa depan, atau ketika mengambil sebuah peluang pekerjaan, tidak semua dari kita tahu dengan jelas seperti apa peran itu akan dijalani nantinya.
Bisa saja ketika dijalani ternyata hal ini malah terasa menyiksa, berlawanan dengan prinsip yang mereka yakini, hal ini yang menjadikan beberapa orang mengalami kegelisahan ketika menjalani pekerjaannya dan mempertimbangkan untuk mulai berganti karir.
Nah, profesi ini, yang saya tekuni ini, yaitu profesi coach, counsellor dan/atau terapis, atau saya biasa menyebutnya ‘fasilitator perubahan’, termasuk ke dalam profesi yang sering kali justru dilirik oleh orang-orang yang baru menyadari di kemudian waktu bahwa mereka sebenarnya memiliki ketertarikan pada profesi ini.
Mengenai ketertarikan ini muncul dari mana bisa beda-beda, ada yang muncul karena memang ternyata inilah ketertarikan sejatinya, mereka suka pada bidang-bidang yang menjadikan mereka berinteraksi dan membantu sesama.
Ada juga yang tertarik karena melihat potensi bisnisnya, atau bisa juga bahkan yang cukup absurd: ingin jadi orang terkenal nantinya, ya kita tidak bicara salah dan benar lah di episode ini, kita fokus pada intinya, bahwa ada begitu banyak yang ingin masuk profesi ini.
Tapi sama juga dengan profesi lain, ada begitu banyak profesi lain yang juga menjadi alternatif pilihan orang-orang untuk ditekuni di kemudian waktu, ada yang – apa pun karir yang ditekuninya sebelumnya, entah itu pekerjaan kantoran, ekskutif, atau apa pun – lantas ternyata di kemudian hari malah inginnya menekuni pekerjaan yang bertolak belakang atau tidak berhubungan dengan aktivitas sebelumnya, misalnya ingin jadi artis, seniman, pengusaha kuliner, pengusaha otomotif, atau apa pun itu, yang kalau diamati bisa begitu berbeda dengan bidang sebelumnya.
Apa pun profesi yang sedang kita bicarakan sebagai pilihan peran ini, ada satu fenomena yang sama tadi, yaitu adanya mereka yang memutuskan untuk memasuki profesi tertentu dan kemudian ‘hilang’…’hilang’ ini bisa mereka kembali ke pekerjaan lamanya, atau bisa juga memang ‘hilang entah kemana’, ada juga yang memang terus bertahan dan bertumbuh di bidang yang ditekuninya itu, sampai menjadi tokoh penting di bidang itu.
Kembali ke bahasan ‘kesungguhan’ tadi, sejauh mana kesungguhan ini benar-benar menjadi faktor utama yang menentukan seseorang bertahan dan bertumbuh atau malah ‘gugur’ dan hilang entah kemana? Saya pribadi akan menyatakannya sebagai faktor utama.
Ada juga yang terkadang menyoroti ‘keberuntungan’ sebagai faktor lain, yah saya no comment lah, yang satu ini meski pun bisa saja benar – katakanlah benar – tetap saja sulit untuk dipelajari, diduplikasi, lain orang bisa lain lagi nanti analisa setiap faktor dalam variabelnya, jadi lebih baik kita kupas tema yang bisa kita pelajari dan duplikasi.
Di balik sebuah kesungguhan, tersimpan sebuah muatan energi yang besar, yang menjadikan kita lebih siaga untuk siap menghadapi tantangan.
Kesungguhan berbeda dengan ‘ketertarikan’, mereka yang sekedar tertarik memang akan sama-sama meletakkan atensi dan energinya pada bidang yang mereka sukai, tapi energi yang mereka letakkan hanya akan bertahan selama bidang itu masih layak mereka sukai, sesuai standar kenyamanan yang mereka sukai, ketika ada hal-hal yang mereka rasa berlawanan dengan standar kenyamanan yang mereka anut maka mereka akan mulai mengurangi atensi dan energinya pada bidang itu, sampai lama-lama mereka akan mulai mempertimbangkan untuk meninggalkannya.
Berbeda dengan kesungguhan, energi yang ada di dalam kesungguhan sangatlah besar, ketika ada hal-hal yang dirasa berlawanan dengan standar kenyamanan maka bukannya mengurangi atensi energinya, mereka justru akan memperkuat atensinya pada bidang yang mereka tekuni yang semakin membuat energi mereka semakin menguat.
Kesungguhan menjadi modal dasar dalam apa pun bidang profesi yang kita tekuni, dari kesungguhan inilah kita juga memiliki pijakan untuk menetapkan tujuan besar di bidang yang kita tekuni, tujuan yang juga menjadi visi, suatu arah-perjalanan yang kita tahu menjadi sebuah arah perjuangan untuk dituju.
Nah…tunggu dulu, kesungguhan memang jadi modal dasar dalam menetapkan tujuan besar, tapi perlu kita sadari bahwa ketertarikan juga sama, mereka yang punya ketertarikan juga ada yang punya tujuan besar di bidang yang ditekuninya.
Jadi dimana bedanya? Jawabannya yaitu ‘aksi’
Mereka yang memiliki kesungguhan akan mampu mengkonversi energinya menjadi aksi. Artinya, dengan besarnya tujuannya, tersimpan aksi nyata yang besar menyertainya.
Begini, seperti yang berkali-kali saya tegaskan di episode lain di podcast ini, tidak ada yang gratis di dunia ini, semua punya nilai pertukaran untuk ‘ditebus’.
Begitu juga tujuan yang besar, memiliki nilai pertukarannya sendiri untuk ditebus.
Semakin besar sebuah tujuan maka jelas semakin besar juga tantangannya, semakin besar juga perjuangan untuk meraihnya, maka…semakin besar juga energi yang diperlukan untuk bisa memperjuangkan sampai tujuan besar itu bisa tercipta.
Mereka yang sekedar tertarik tidak memiliki jumlah energi yang besar ini, maka jangan heran ketika tujuan besar itu sudah dibuat mereka tidak melakukan aksi nyata yang besar untuk mewujudkannya menjadi nyata.
Tapi hanya karena seseorang memiliki kesungguhan, bukan berarti ‘stok energi’ yang besar itu otomatis akan memudahkannya meraih tujuan besar yang ditetapkannya. Ada harga yang harus dibayar untuk sebuah kesungguhan, yaitu kegigihan atau ketabahan.
Dengan bersungguh-sungguhnya kita ingin mencapai sebuah tujuan besar, maka saat itu juga semesta akan menguji kadar kesungguhan ini, selain untuk melembutkan energinya, juga untuk menyiapkan mental kita menjadi lebih matang.
Diibaratkan ‘kasar’ dan ‘halus’, energi di balik sebuah kesungguhan di tahap awal adalah energi yang masih bersifat kasar, kalau energi kasar ini langsung – karena sebuah keberuntungan misalnya – mewujud menjadi sebuah pencapaian yang besar tadi, maka perlu diantisipasi juga ketika mencapainya orangnya justru malah jadi lupa diri, karena karakter dari energi kesungguhan itu masihlah kasar.
Tapi itulah kasih-sayang Tuhan, diberikan-Nya berbagai ujian untuk memurnikan dan melembutkan dulu karakter energi itu, sehingga yang semula kasar menjadi lebih halus dan matang.
Ujian ini bervariasi, ada yang mudah dan ada yang menantang, tapi esensinya sama, membangun sikap mental kita dalam berjuang, memunculkan rasa hormat dan penghargaan kita pada bidang yang kita tekuni dan proses untuk mencapainya, sehingga ketika mencapainya kita bisa menunjukkan rasa syukur dan mengekspresikan rasa syukur itu dengan tindakan yang lebih membawa kebaikan bagi sesama.
Harga yang harus dibayar bersama kesungguhan itulah yang tidak semua orang bisa terima, apa lagi mereka yang hanya sekedar ‘tertarik’, atau lebih parah lagi: iseng.
Tujuan besar dan aksi besar, dibarengi dengan tantangan besar, apakah mudah? Tentu tidak, ilustrasinya sama dengan mereka yang ingin melakukan body building dan memiliki target yang besar untuk memiliki bentuk tubuh yang terlatih dan ideal, disini mereka haruslah menunjukkan kesungguhannya dalam bentuk latihan fisik dan angkat beban yang tidaklah mudah, akan ada rasa ‘sakit’ yang harus mereka tanggung.
Rasa sakit ini sebenarnya adalah rasa sakit yang ‘menumbuhkan’, betul?
Di balik rasa sakit ini ada struktur otot lama yang harus kita urai dulu, sebelum ia membentuk jalinan struktur otot baru.
Meski ia ‘menumbuhkan’, tetap saja rasanya sakit, disinilah mereka yang tidak bersungguh-sungguh akan mulai merasakan ketidaknyamanan dan memutuskan untuk ‘mundur perlahan’, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti.
Tapi lain dengan mereka yang sungguh-sungguh, rasa sakit itu diterimanya sebagai sebuah ‘konsekwensi perjuangan’, ketika lelah mereka beristirahat, bukan berhenti.
Mereka siap berdamai dengan rasa sakit itu dan menjadikannya sebuah ‘kenikmatan’ tersendiri, yang mereka bisa maknai secara pribadi.
Ketika pada akhirnya mereka bisa melalui rasa sakit itu, bukan berarti rasa sakit itu hilang, mereka hanya sudah menjadi lebih kuat untuk menerima dan berdamai dengan rasa sakit itu, ketika mereka tiba di ujung pencapaian besarnya, memiliki bentuk tubuh yang ideal dan sehat, maka mereka tiba dengan membawa sebuah perenungan mendalam atas jejak perjalanannya, mereka lebih bisa menghargai yang mereka sudah mereka dapatkan dan tidak rela mengorbankan itu hanya demi kenyamanan sesaat.
Bahkan mereka tidak segan menginspirasi orang di sekitarnya, semata karena mereka merasakan manfaat dan juga kebanggaan dari perjuangan yang mereka lalui.
Begitu juga di balik bidang apa pun yang kita tekuni, dengan berani menetapkan tujuan besar dan berani melakukan aksi besarlah kita benar-benar membuktikan kesungguhan kita, rasa sakit yang kita alami itulah yang menjadi sebuah harga yang harus dibayar untuk membuktikan sebuah kesungguhan.
Masalahnya adalah tidak semua orang siap menahan konsekwensi dari rasa sakit ini, sehingga yang semula tujuan besar tadi berubah menjadi ‘khayalan’ besar.
Rasa sakit ini kalau kita terjemahkan dalam perjuangan di bidang yang kita tekuni yaitu ‘pengorbanan’…pengorbanan waktu, tenaga dan biaya, semua hal yang harus kita lepaskan dan ‘relakan’ sebagai sebuah harga yang harus dibayar dalam perjuangan saat ini.
Ada juga mereka yang memang bersungguh-sungguh tapi tetap tidak berkutat kemana-mana di bidang yang ditekuninya, mereka terus bertahan tapi tidak bertumbuh, ini adalah contoh dari mereka yang bergelut dengan kebingungan, biasanya mereka yang mengalami ini merasa bingung tentang apa yang harus mereka lakukan di perjuangan yang ditekuninya.
Mereka bersungguh-sungguh dan memang energinya besar, tapi energi yang besar ini ‘macet’, tidak bergerak kemana pun, karena memang ia tidak tahu kemana harus menuju.
Kalau ini yang terjadi maka saatnya mereka yang mengalami ini merendahkan hati dan membuka diri untuk kembali belajar, jangan-jangan selama ini mereka memiliki titik buta atau blind spot yang mereka tidak sadari, yang menjadikan banyak tindakan mereka tidak efektif karenanya, atau tidak ada arah yang jelas karenanya.
Lagi-lagi ada rasa sakit yang harus dipikul di sini bukan? Yaitu rasa sakit untuk kembali belajar dan membuka diri.
Bagi beberapa orang hal ini tidak mudah lho, mereka sudah berada di sebuah bidang dan sudah cukup konsisten beraktivitas di bidang itu, lalu mereka harus kembali ‘belajar’.
Bagi beberapa orang, hal ini bisa cukup mencoreng ego mereka, dengan bersedia merendahkan ego itulah mereka sedang memikul rasa sakit yang menumbuhkan dan memperhalus energi mereka.
Kalau pun mereka tidak bermasalah dengan ego, tetap saja masih ada potensi rasa sakit dari lelahnya belajar yang harus mereka tanggung.
Jadi, harga dari sebuah kesungguhan adalah ‘rasa sakit’, tapi bukan rasa sakit yang negatif, melainkan rasa sakit yang positif, yang membangun dan menumbuhkan.
Akhir kata, kalau Anda adalah seseorang yang sedang menyiapkan diri untuk bersungguh-sungguh di bidang yang Anda tekuni, maka perbesarlah energi kesungguhan itu dari sekarang, persiapkan diri untuk berani menetapkan tujuan besar dan berani bertindak besar, juga berani menahan desakan rasa sakit yang tak kalah besarnya yang menjadi harga dari perjuangan besar yang kita lalui.
Ingat, bahwa sakit hanyalah ‘makna’, ia bisa menjadi negatif bisa menjadi positif, yang perlu kita lakukan adalah memaknainya sebagai hal positif dengan cara menjadikannya sebuah ‘keseruan’ tersendiri, sehingga dari ‘kesakitan’ menjadi ‘keseruan’, hal inilah yang akan membantu kita untuk lebih bisa menikmati perjuangan dengan dinamis.
Nikmati perjuangan kita, buktikan kesungguhan kita, temukan para rekan yang satu frekwensi, tidak harus di bidang yang kita tekuni, tapi bisa juga di bidang lain, yang penting mereka merepresentasikan sikap mental yang sama, yang melambangkan kesiapan untuk membayar harga dari sebuah kesungguhan, bersama merekalah kita bisa berbagi kisah dan semangat untuk sama-sama menjadi pejuang yang tangguh.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.