Episode 36 – Polemik di Balik ‘Menjadi Diri Sendiri’
Kita tidak asing dengan kalimat ‘jadi diri sendiri’, pertanyaannya adalah seperti apa yang dimaksud sebagai ‘jadi diri sendiri’ ini?
Apakah ‘menjadi diri sendiri’ ini berarti bisa bebas melakukan apa pun yang kita ingin lakukan seenaknya?
Tidak…tentu tidak sedangkal itu, satu kata kunci yang saya pribadi bagi saya mewakili istilah ‘menjadi diri sendiri’ ini adalah ‘selaras’.
Selaras yang seperti apa? Bagaimana semua itu terhubung dalam satu rangkaian diri yang disebut ‘citra diri’, ‘konsep diri’ dan ‘jati diri’?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketigapuluhenam Life Restoration Podcast berjudul ‘Polemik di Balik ‘Menjadi Diri Sendiri’’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Polemik di Balik 'Menjadi Diri Sendiri''
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tiga puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam keadaan sehat, berlimpah dan bahagia, seperti biasa tentunya.
Berjumpa kembali bersama saya, Alguskha Nalendra di Life Restoration Podcast, di episode ke-36 kali ini.
Seperti biasa, di setiap episode di podcast ini saya lebih suka menyoroti berbagai fenomena yang umum ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikannya sebuah topik inspirasi untuk diulas.
Begitu juga di episode kali ini, di podcast hari ini saya tergerak ingin membahas sebuah fenomena yang berhubungan dengan kalimat “Jadilah diri sendiri”.
Seberapa sering Anda mendengar kalimat itu? Kalimat yang bernada kurang lebih ‘jadi diri sendiri’ ini? Yah…saya yakin cukup sering karena kalimat ini memang cukup sering mewarnai dunia pengembangan diri dan dunia motivasi dimana pun.
Entah kenapa, saya mendapati kalimat ‘jadi diri sendiri’ ini adalah sebuah kalimat yang terdengar menyenangkan, banyak orang yang menyukainya, bahkan menjadikannya sebuah kalimat inspiratif yang mereka suarakan di banyak kesempatan.
Tapi di sisi lain ketika saya bertanya lebih jauh, “Jadi diri sendiri yang bagaimana?” pada umumnya muncullah respon yang agak ‘macet’, tidak selancar tadi ketika di awal menyatakan ‘jadi diri sendiri’ ini dengan begitu lantang.
Jawaban yang akhirnya cukup sering muncul adalah “Ya, pokoknya jadi diri sendiri aja, lakukan yang kita mau.”
Lha, kalau seperti itu bukan ‘jadi diri sendiri’ namanya, tapi ‘jadi diri yang seenaknya’.
Kemudian muncullah bantahan, “Ya tidak juga, kalau tidak merugikan orang lain kan tidak apa-apa.”
Ya…ada benarnya sih memang, tapi apa iya yang disebut ‘jadi diri sendiri’ ini adalah sebatas ‘melakukan yang kita mau selama tidak merugikan orang lain’?
Saya tidak berani mengatakan itu salah, tapi agaknya kok terdengarnya ‘dangkal’ sekali ‘menjadi diri sendiri’ ini, kalau hanya diartikan seperti itu?
Jadi, seperti apa yang disebut ‘menjadi diri sendiri’ ini? Itu yang memang ingin saya angkat di ulasan di episode podcast kali ini.
Nah, tapi tunggu dulu, perlu saya ingatkan bahwa lain orang bisa lain lho ya cara memaknai ‘menjadi diri sendiri ini’, maka terlepas dari apa pandangan orang-orang tentang ‘menjadi diri sendiri’ ini, yang saya bahas di episode di podcast ini adalah apa yang menjadi cara pandang saya pribadi, tidak mewakili pandangan secara umum.
Hal ini akan kurang lebih sejalan dengan judul episode podcast kali ini, yaitu ‘Polemik di Balik Menjadi Diri Sendiri’.
Polemik adalah frasa yang mewakili sebuah situasi yang kurang lebih diartikan sebagai ‘pertentangan’ atau ‘perdebatan’.
Memang frasa itu sengaja saya gunakan, karena ya tadi itu, bahasan tentang ‘menjadi diri sendiri’ ini saja sudah bisa menjadi bahan perdebatan sendiri, karena memang lain orang bisa lain cara memaknainya, Anda yang mendengarkan audio podcast ini pun bisa saja tidak setuju atau menentang yang saya bicarakan dan itu memang menjadi sesuatu yang sah-sah saja, namanya juga bertumbuh mematangkan diri tentu kita harus terbiasa menyikapi perbedaan pendapat secara bijak, mampu memberdayakannya untuk memandang sebuah persoalan dengan cara pandang yang berbeda, sampai kita mendapatkan kesimpulan pribadi yang kelak lebih membawa manfaat, bagi diri kita dan orang di sekitar kita.
Di sisi lain, kalau pun Anda ternyata sepakat tentang tema ‘menjadi diri sendiri’ ini sesuai bahasan isi episode podcast ini, tetap saja akan terjadi polemik berikutnya, yaitu ketika kita memulai proses menjadi diri sendiri ini; karena kita akan mengalami polemik berikutnya, polemik dimana kita kesulitan memulai proses ‘menjadi diri sendiri’ ini, karena bisa jadi kita sendiri sudah tidak mengenal diri kita, tidak lagi bisa membedakan mana diri kita yang otentik dan diri kita yang merupakan hasil bentukan lingkungan.
Ngomong-ngomong, tidak terasa ternyata saya malah sudah masuk ke topik bahasan tentang ‘menjadi diri sendiri’ ini di kalimat tadi.Tapi ya sudahlah, daripada berpanjang lebar lagi di pendahuluan, kita langsung saja masuk ke inti bahasan kita, dimulai dari apa yang saya pribadi maksudkan sebagai ‘menjadi diri sendiri’ ini.
Bagi saya, penjelasan yang mewakili menjadi diri sendiri ini terwakili oleh sebuah kalimat ‘selaras antara citra diri, konsep diri dan jati diri’.
Apa maksudnya? Tenang dulu, memang itu akan kita bahas sekarang.
Membicarakan ‘diri’, tentu kita pertama-tama perlu mendefinisikan ‘diri’ yang mana yang sedang kita bicarakan ini, apakah ‘diri’ yang orang-orang kenal di luar sana, atau ‘diri’ yang kita yakini, ataukah ‘diri’ kita yang murni apa adanya, diri sejati sebenarnya?
Bahasan tentang ‘diri’ ini juga sering kali diwakili oleh tiga hal yang sempat saya sebutkan tadi: citra diri, konsep diri, dan jati diri.
Mari kita mulai bahas dari citra diri dulu.
Dari namanya saja agaknya sudah cukup jelas lah ya, ada kata ‘citra’ di sana, yang identik dengan ‘pencitraan’.
Tunggu dulu, meski terdengar negatif, karena pernah digunakan dalam dunia perpolitikan di Indonesia, kata ‘pencitraan’ disini sebenarnya tidak mengacu pada hal negatif.
Sederhananya, ‘citra’ adalah apa yang kita perlihatkan dan yang dilihat oleh orang lain, jadi kata ‘citra diri’ mengacu kepada sisi diri kita yang kita perlihatkan dan memang sisi itu yang dilihat orang lain, menjadi sebuah identitas keberadaan kita dalam bergaul bersama lingkungan sekitar kita, dengan citra diri itulah kita dikenal.
Kurang lebihnya beginilah…ketika orang-orang membicarakan Anda, sifat Anda, kebiasaan Anda, sikap Anda, karakter Anda, atau apa pun, yang mewakili cara pandang yang cukup kolektif dari lingkungan atas diri Anda, maka itulah citra diri Anda, sisi diri Anda yang Anda tampakkan pada lingkungan luar di sekitar Anda.
Di kadar tertentu, ‘citra’ yang kemudian dikemas sebagai ‘pencitraan’ ini juga bisa berkembang menjadi sesuatu yang ‘disengaja’ dan bahkan ‘diciptakan’, terutama dalam dunia bisnis atau perpolitikan.
Wujud sederhananya adalah bagaimana orang-orang yang bergerak di balik ‘pencitraan’ ini meletakkan atensinya pada sebuah objek, bisa berupa produk (kalau dalam bisnis), atau berupa seseorang (kalau dalam dunia politik), yang kemudian dikemas sedemikian rupa agar objek ini tercitrakan dengan imej tertentu oleh masyarakat.
Ketika apa yang dicitrakan itu sejalan dengan harapan dari para tokoh yang bergerak di bidang pencitraan ini, maka bisa kita katakan bahwa proses pencitraan itu sukses.
Misalnya saja dalam dunia bisnis, para ‘pencitra’ ini…ya sebut saja begitu lah ya he..hee… para ‘pencitra’ ini mendesain dan mengemas sebuah produk agar bisa dianggap ekslusif oleh masyarakat, mereka kemudian mengemasnya secara mendetail, dari mulai kemasan, cara pengiklanan, dan banyak lagi detail lainnya, sampai kemudian pesan itu sampai di masyarakat dan diterima, kalau ternyata memang benar itu terjadi, masyarakat kemudian terpengaruh dan akhirnya menafsirkan produk itu sebagai produk ekslusif maka pencitraan itu bisa kita katakan berhasil, dalam dunia bisnis kita biasa menyebutnya branding.
Nah, itu kuncinya, citra diri adalah sebuah ‘pesan’ yang kita sampaikan pada lingkungan sekitar tentang siapa diri kita.
Citra diri ini bisa sesuatu yang kita ciptakan dengan sengaja, bisa juga sesuatu yang tidak kita ciptakan, tapi melekat pada diri kita karena memang itu tercermin dalam perilaku kita sehari-hari tanpa kita sadari, sampai itu menjadi sebuah identitas yang orang lain lekatkan atas diri kita.
Citra diri yang dimunculkan dengan sengaja, atau diciptakan, bisa diibaratkan seperti ‘topeng’ atau ‘kostum’, ia menjadi sebuah cara kita menghadirkan diri kita di lingkungan kita dimana kita dengan sengaja memposisikan diri sesuai dengan imej yang kita ingin bangun agar lingkungan sekitar memandang kita dengan imej yang kita ciptakan itu.
Apakah itu baik atau buruk? Tunggu dulu, itu akan kita bahas nanti setelah kita masuk ke bahasan konsep diri dan jati diri.
Kalau begitu, waktunya kita masuk ke bahasan tentang konsep diri sekarang. Berbeda dengan citra diri yang menjadi sebuah cara bagi orang lain untuk melihat kita, atau menjadi cara pandang orang lain atas diri kita sendiri, konsep diri adalah cara kita memandang diri kita sendiri.
Konsep diri menjadi sebuah cara pandang kita atas seperti apa kita sejujurnya, dengan kata lain: apa yang kita yakini tentang diri kita sendiri.
Sampai sini saja kita sudah bisa mengira-ngira bahwa akan ada kemungkinan konflik di antara citra diri dan konsep diri ini.
Bisa saja seseorang dipandang oleh lingkungannya sebagai seseorang yang pintar, pandai, berbakat, menarik, atau apa pun pandangan positif lainnya, belum tentu ia meyakini hal yang sama atas dirinya sendiri. Bisa saja ia malah justru memandang dirinya sebagai seseorang yang bodoh, tidak berbakat, tidak menarik, atau apa pun, yang berkebalikan dari cara pandang lingkungan yang positif tadi.
Konsep diri terbentuk dari pengalaman tumbuh kembang masa kecil, kalau Anda pernah mendengarkan episode 14 podcast saya yang berjudul ‘Kendali Diri dan Kebutuhan Emosi’, maka di episode itu saya sebetulnya sedang mengulas konsep diri ini, tapi dengan cara pandang yang agak lain dari episode kali ini.
Kebutuhan emosi adalah energi psikis yang membentuk dan mempengaruhi kualitas konsep diri seseorang.
Ketika seseorang mengalami fase tumbuh kembang yang memenuhi kebutuhan emosi dirinya secara berimbang, maka konsep dirinya terbentuk dengan baik, ia bisa memandang dirinya dengan baik dan meyakini hal-hal yang positif ats dirinya.
Tapi selalu ada masa dimana dalam pengalaman tumbuh kembang ini kita mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan, baik yang membuat kebutuhan emosi itu tidak terpenuhi, atau bahkan mengalami trauma, yang membuat konsep diri ini tidak terbentuk dengan baik, kita jadi memandang diri kita secara negatif.
Ketidakselarasan antara citra diri dan konsep diri sebenarnya adalah salah satu cikal-bakal dari berbagai masalah di kemudian hari.
Seseorang yang hidup dengan citra diri yang positif dari lingkungannya dan memang memiliki konsep diri yang positif dalam dirinya akan menjalani kehidupan yang ‘selaras’, ia bisa mensyukuri pandangan positif dari lingkungan di sekitarnya dan menjalani kehidupan dengan tenang, begitu juga yang dilakukannya akan mengekspresikan potensi terbaiknya yang bersumber dari konsep diri positifnya itu.
Sebaliknya, seseorang yang hidup dengan citra diri yang positif dari lingkungannya tapi memiliki konsep diri yang negatif dalam dirinya akan menjalani kehidupan yang terasa ‘berkonflik’, atau ‘menyiksa’, pandangan positif lingkungan atas dirinya menjadi sebuah ‘siksaan’, meski di luar ia merasa senang dan bangga, tapi ada sebuah kesadaran atau keyakinan yang seolah ‘berontak’ dalam dirinya, yang merasa bahwa apa yang lingkungan katakan tentang dirinya adalah ‘kebohongan’ yang harus disangkalnya, karena memang ia tidak merasa sebagus yang lingkungan katakan.
Dengan kata lain: lingkungan memandangnya sebagai sosok yang cakap dan berpotensi, tapi dirinya sendiri meyakini bahwa ia adalah sosok yang tidak berdaya dan tidak berbakat, apa-apa yang diterimanya hanyalah ‘kebetulan’, sehingga ia terlarut dalam sebuah perjalanan panjang untuk bisa membuktikan dirinya, pada dirinya sendiri, hal inilah yang nantinya bisa mewujud menjadi masalah-masalah perilaku atau berbagai masalah lainnya yang menyabotase kebahagiaan dan kualitas hidup seseorang.
Jadi sampai sini saja sudah ada satu petunjuk penting tentang ‘menjadi diri sendiri’ tadi ya, yaitu menjalani kehidupan yang selaras, antara citra diri dan konsep diri, yang kita yakini tentang diri kita sejalan dengan yang lingkungan pandang atas diri kita.
Tapi bukankah hal itu belum menjawab polemik ‘menjadi diri sendiri berarti melakukan apa pun yang kita mau selama itu tidak merugikan orang lain’?
Yes, memang belum, karena jawaban atas yang satu ini ada di bahasan tentang ‘jati diri’.
Kalau citra diri adalah cara orang lain memandang diri kita dan konsep diri adalah cara kita memandang diri kita sendiri, maka jati diri adalah cara alam semesta memposisikan diri kita di kehidupan yang kita jalani ini.
Nah…nah…agak berat agaknya ya sekarang yang satu ini, sudah mulai bahas-bahas ‘semesta’ segala he…he…
Sebetulnya tidak juga, kalau Anda sudah sering mendengarkan episode di podcast saya, saya sudah sering mengulas bahasan yang satu ini, yang saya sering sebut sebagai tema kelahiran atau tema kehidupan, saya bahkan sudah berkali-kali membahasnya di podcast ini, sebut saja di episode 3 dulu yang berjudul ‘Hari Kelahiran dan Tema Kehidupan’, lalu di episode 31 dan 32 yang membahas mengenai peran dan misi jiwa pun tema ini sudah saya ulas.
Untuk memahaminya dengan lebih mudah, Anda saya persilakan untuk mendengarkan ketiga episode itu ya, jadi Anda bisa mendengarkannya dengan lebih utuh dan mendapatkan pemahaman yang lebih jelas dan menyeluruh nantinya, kalau saya bahas ulang di episode ini takutnya menyita waktu yang membuat malahan durasi episode ini ‘membengkak’, padahal itu bisa kita minimalisir dengan mendengarkan ulasannya di episode lain.
Jadi sekali lagi, silakan menyempatkan diri untuk mendengarkan dulu semua episode itu kalau Anda rasa perlu, agar memudahkan Anda memahami isi bahasan tentang jati diri ini, kalau ternyata Anda belum sempat memahaminya dulu.
Baiklah, kita lanjutkan ya. Intinya, jati diri mewakili peran keberadaan kita di alam semesta ini, bukan sebatas yang kita yakini tentang diri kita secara sadar dan tidak sadar, tapi itulah yang menjadi ‘cetak biru’ dari peran keberadaan kita di dunia ini.
Bersama hari kelahiran kita, tersimpan algoritma spesifik yang mempengaruhi potensi diri kita, kelebihan kita, karakter alami yang kita bawa, dan banyak lagi karakter lain yang disertakan untuk kita ‘bawa’ bersama hari kelahiran ini.
Yang satu ini tidak mudah untuk dipahami begitu saj, kalau citra diri dan konsep diri bisa kita ketahui melalui sesi perenungan dan bahkan konseling, mengetahui jati diri ini tidak bisa dilakukan begitu saja, karena ada dasar keilmuan yang harus diketahui dulu pakemnya secara tepat, barulah ia akan terungkap dengan baik.
Berbagai keilmuan yang mengulas waktu kelahiran, sebut saja ‘weton’ kalau di Jawa, atau kalau secara umum kita sebut sebagai astrologi dan numerologi adalah jenis-jenis keilmuan yang secara spesifik ditujukan untuk menganalisa peran keberadaan ini.
‘Menjadi diri sendiri yang berarti melakukan apa pun yang kita mau selama itu tidak merugikan orang lain’ cukup mewakili keselarasan antara citra diri dan konsep diri, dan tidak ada yang salah dengan itu, tapi kalimat itu belum mewakili keselarasan dengan jati diri.
Bersama jati diri kita, tersimpan peran dan misi jiwa, sesuatu yang kita perlu tunaikan dalam kehidupan ini, itulah yang menjadi bekal potensi kita dalam menjalani kehidupan.
Artinya, bukan sekedar ‘cari aman’ dengan tidak merugikan orang lain, selaras jati diri justru menyadari peran keberadaan kita di dunia ini dan mencari tahu ada manfaat apa yang perlu kita kontribusikan pada dunia di sekitar kita bersama peran ini.
Dengan kata lain, menjadi diri sendiri versi saya adalah dengan menyelaraskan jati diri, konsep diri dan citra diri ini. Dimulai dari menyadari jati diri terlebih dahulu, menyadari peran dan misi jiwa yang perlu kita tunaikan untuk melengkapi perjalanan kita di kehidupan ini.
Berikutnya, waktunya kita menyadari, adakah konsep diri yang tidak sejalan dengan jati diri itu, atau adakah konsep diri negatif yang melekat atas diri kita, segala hal yang membuat kita ragu atau tidak meyakini diri kita sendiri, jika ada maka konsep diri ini yang perlu kita perbaiki atau selaraskan, agar potensi alami yang menyertai jati diri kita bisa terekspresikan dengan baik di level yang tepat.
Bagaimana dengan citra diri? Sebenarnya kalau jati diri dan konsep diri sudah selaras, citra diri menjadi satu ruang yang bisa Anda kreasikan sendiri, karena ini berhubungan dengan banyak hal yang bersifat strategis dalam hidup kita, seperti apa karir yang kita tekuni, seperti apa lingkungan yang kita tinggali dan banyak lagi, yang kelak kalau jati diri dan konsep diri sudah selaras maka citra diri ini bisa Anda kreasikan dengan berbagai pilihan yang memudahkan Anda untuk menjalani kehidupan yang selaras dengan peran dan misi jiwa Anda.
Akhir kata, ‘menjadi diri sendiri’ dalam uraian podcast kita kali ini adalah “Selaras citra diri, konsep diri dan jati diri: menjadi pribadi yang memposisikan diri dengan citra diri yang tepat di lingkungan, sejalan dengan peran dan misi jiwa kita, sejalan dengan maksud strategis yang kita tetapkan untuk mewujudkan peran dan misi jiwa itu, didukung dengan konsep diri yang positif, untuk membantu kita mengekspresikan potensi terbaik diri kita”.
Bagaimana dengan Anda? Apa definisi ‘menjadi diri sendiri’ versi Anda?
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.