Episode 40 – Dahsyatnya Kekuatan Sebuah Kepercayaan
Kepercayaan adalah hal penting, yang juga menjadi sebuah daya dorong, yang bisa membantu seseorang mewujudkan pencapaian terbaiknya, semata karena energi dari kepercayaan yang dirasakannya mendukung potensinya untuk melakukan yang terbaik.
Membicarakan kepercayaan, akan ada dua sumber kepercayaan ini, yaitu kepercayaan yang bersumber dari pihak di luar diri kita dan kepercayaan yang bersumber dari diri sendiri, kombinasi keduanya kelak akan melahirkan tiga fenomena keterhubungan antara pihak di luar diri dengan diri kita sendiri, yang menentukan kadar potensi yang bisa dioptimalkan untuk mewujudkan pencapaian terbaik yang bisa kita dapatkan.
Seperti apa jelasnya keterhubungan dari semua ini? Bagaimana kepercayaan bisa menjadi sumber daya dorong yang dahsyat dalam mewujudkan pencapaian terbaik?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keempatpuluh Life Restoration Podcast berjudul ‘Dahsyatnya Kekuatan Sebuah Kepercayaan’’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Dahsyatnya Kekuatan Sebuah Kepercayaan''
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode empat puluh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para pendengar sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra.
Seperti biasa, pertama-tama, doa terbaik semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berlimpah dan bahagia.
Berjumpa kembali, di episode ke-40 kali ini, di Life Restoration Podcast.
Saya ingin mengawali bahasan kita di episode kali ini dengan sebuah kisah, bukan sebuah kisah baru memang, tapi tidak ada salahnya kita menggunakan kisah ini sebagai pembuka di episode podcast kita kali ini, yaitu kisah tentang Thomas Alva Edison.
Yah, Anda sendiri pastinya sudah cukup familiar dengan sosok yang satu ini lah ya.
Thomas Alva Edison dikenal sebagai salah satu pemikir dan penemu legendaris yang berkat temuannya, banyak sekali penemuan teknologi baru berkembang pesat di kemudian hari yang bisa kita nikmati sampai saat ini.
Tapi tahukah Anda, di balik kejeniusan Edison yang melegenda sampai saat ini, tersimpan sebuah ‘rahasia’ yang tidak banyak orang ketahui, rahasia inilah yang akan kita ungkap di kisah pembuka ini.
Alkisah, pada suatu hari Edison kecil pulang dari sekolah dan menghampiri ibunya yang sudah menantikan kepulangannya di rumah seperti biasa.
Edison kecil memberikan ibunya sepucuk surat dari gurunya. Ia sendiri tidak tahu isi surat itu dan hanya diberitahu untuk menyerahkan surat tersebut pada ibunya.
“Guruku bilang aku harus memberikan surat ini pada Ibu.” Demikian kira-kira ucap Edison kala itu pada ibunya di rumah sepulang sekolah.
Dengan rasa penasaran ibunya mengeluarkan surat itu dari amplopnya, membacanya perlahan dengan seksama…nampak matanya menelusuri huruf demi huruf di dalamnya, sampai tidak lama kemudian mata sang ibu mulai basah berlinang air mata…
Edison yang tidak tahu apa yang sedang terjadi hanya diam menunggu. Tidak lama ibunya membacakan isi surat itu pada anaknya sambil tersenyum, “Anak Anda sangat jenius, sekolah ini terlalu kecil untuknya. Kami kesulitan menemukan guru yang mampu mengajarnya. Kami serahkan ia kembali pada Anda untuk Anda ajari sendiri.”
Selepas membacanya ibu Edison menatap wajah anaknya sambil tersenyum dengan lebih penuh arti. Maka kemudian dimulailah hari-hari dimana Edison kecil belajar di rumah dengan diajari oleh ibunya sendiri.
Berpuluh-puluh tahun kemudian Thomas Alva Edison berkembang menjadi seorang jenius terkenal di masanya, banyak penemuan lahir dari pemikirannya, ia pun menjadi pemegang hak paten dari begitu banyak terobosan di bidang teknologi.
Suatu waktu, Edison dewasa pulang ke rumah ibunya, yang sudah meninggal, ia berniat membereskan perabotan rumah lamanya, salah satunya yaitu meja kerja ibunya.
Di dalam sebuah laci, ia menemukan sepucuk surat dalam amplop, Edison dewasa mengenali amplop itu sebagai surat yang ibunya bacakan untuknya ketika ia kecil dulu, yang diberikan gurunya ketika ia pulang sekolah.
Dengan penuh rasa penasaran dibukanya surat itu, dengan terkejut dibacanya kalimat di dalamnya: “Anak Anda mengalami keterbelakangan dan tidak sanggup mengikuti kegiatan pembelajaran, kami tidak bisa menerimanya lagi di sekolah.”
Selepas membacanya Edison termenung dan menangis berjam-jam lamanya, ia baru menyadari sesuatu yang selama ini tidak diketahuinya. Ia kemudian menuliskan sebuah kalimat dalam buku hariannya: “Thomas Alva Edison…hanyalah seorang anak ‘terbelakang’ yang karena dibesarkan oleh seorang Ibu-pahlawan, bisa menjadi seorang jenius.”
Begitulah, bagi seorang Thomas Alva Edison kepercayaan dari ibunya menjadi sumber daya kekuatan yang sedemikian menguatkannya, yang mengubahnya dari seseorang yang dianggap ‘bodoh’ menjadi sosok ‘jenius yang melegenda’.
Yes: ‘dahsyatnya kekuatan dari sebuah kepercayaan’, itulah yang menjadi topik bahasan dari episode di podcast kali ini.
Oh iya, bahasan soal ‘kepercayaan’ ini berbeda dengan ‘keyakinan’ ya.
Kalau kita hanya telaah secara sekilas saja, memang keduanya terdengar seperti serupa, dan memang batasan di antara keduanya juga bisa jadi cukup tipis.
‘Percaya’ dan ‘yakin’, apa bedanya?
Nah, bahasan mendalam di balik penggunaan kata ‘percaya’ dan ‘yakin’ ini tidak saya bahas dulu lah ya, karena bisa jadi nanti menyangkut banyak aspek, mulai dari filosofi, etimologi dan lain sebagainya.
Intinya, saya menyederhanakannya menggunakan padanan katanya dalam Bahasa Inggris.
‘Trust’ dan ‘belief’, nah kali ini lebih sederhana kan.
Trust adalah yang saya maksudkan sebagai ‘kepercayaan’, termasuk dalam kisah Thomas Alva Edison tadi, sementara belief adalah yang saya maksudkan sebagai keyakinan, atau istilah yang lebih mendalamnya lagi yaitu ‘faith’, atau ‘iman’.
Sederhananya, trust atau kepercayaan berhubungan dengan yang kita yakini atas keberadaan sosok tertentu dalam hidup kita, sementara belief berhubungan dengan paradigma atau cara pandang kita dalam menjalani kehidupan.
Nah, lalu bagaimana kepercayaan ini bisa menjadi sesuatu kekuatan dahsyat yang ‘membangun’? Disinilah perlu kita sadari kekuatan dari kepercayaan ini dan hubungannya dengan kualitas kehidupan seseorang.
Agar lebih spesifik – saya ingin membatasi dulu lah ya – bahasan soal kepercayaan ini di episode kali ini saya batasi, khusus yang berhubungan dengan kualitas pencapaian dan kebahagiaan seseorang.
Bukan sebuah kebetulan juga saya mengangkat tema ini kali ini, seperti yang Anda mungkin sudah cukup banyak ketahui, apa yang saya bahas di podcast ini sebetulnya merupakan bahasan dari berbagai fenomena yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari, utamanya dari temuan ketika berinteraksi bersama para klien yang menjalani program coaching, konseling dan terapi bersama saya.
Beberapa waktu ini, saya cukup banyak menemukan kasus yang berhubungan dengan rendahnya kualitas pencapaian karena rendahnya kualitas kepercayaan dalam kehidupan seseorang, dimana kepercayaan ini berhubungan dengan dua hal: ‘kepercayaan orang lain atas diri seseorang’, dan satu yang lebih dalam, yaitu ‘kepercayaannya atas dirinya sendiri’.
‘Kepercayaan orang lain atas diri seseorang’ maksudnya begini, ada beberapa klien saya yang merasa sulit menciptakan pencapaian yang berkualitas karena mereka ‘merasa tidak didukung’ oleh orang-orang dekatnya.
Seorang suami yang menjalankan bisnis atau usaha tapi merasa tidak didukung oleh istrinya misalnya, atau seorang anak yang menjalani bidang tertentu tapi merasa tidak didukung oleh orangtuanya, atau apa pun contoh lainnya, intinya sama, yaitu seseorang yang menekuni bidang tertentu tapi merasa tidak didukung oleh orang-orang yang dukungannya ia perlukan secara emosional.
Kenapa dukungan ini identik dengan kepercayaan? Ya jelas saja, karena memang kita baru bisa mendukung seseorang kalau kita memang percaya padanya, betul?
Kepercayaan dan dukungan membawa kekuatan tersendiri yang tidak main-main.
Pertama-tama, mari kita membahasnya dari sudut pandang ‘energi’ terlebih dahulu.
Ingat bahwa apa yang kita pikirkan dan fokuskan akan membentuk sebuah medan dan gelombang energi yang sesuai dengan apa yang dipikirkannya, lalu memancarkannya ke arah atau objek yang kita fokuskan.
Ketika kita sedemikian merasa percaya dan mendukung seseorang, maka gelombang energi dari pemikiran yang percaya dan mendukung itu akan memadat dan tertuju pada orang yang kita percayai dan dukung itu.
Nah, sudah bisa mengira-ngiranya sejauh ini? Yes, kekuatan energi dari pemikiran yang percaya dan mendukung inilah yang menjadi energi tambahan, yang menambah daya seseorang yang didukung oleh energi ini.
Tapi disini menariknya, kita tidak boleh lupa bahwa kita juga menghasilkan pemikiran percaya dan mendukung ini dari dalam diri kita sendiri.
Artinya begini, cara kita percaya dan mendukung diri kita sendiri juga akan menentukan berapa banyak energi yang kita hasilkan untuk menjadi daya dorong pribadi yang bisa menghasilkan pencapaian tertentu.
Nah, disini juga sering kali muncul beberapa fenomena menarik.
Pertama, adanya orang-orang yang mungkin saja ‘tidak didukung oleh lingkungan atau orang dekatnya di bidang yang ditekuninya, tapi mereka tetap bisa menghasilkan pencapaian yang berkualitas’ di bidang yang ditekuninya itu.
Sampai sejauh ini mari sadari, dari mana energi yang menghasilkan daya dorong yang membantunya menghasilkan pencapaian berkualitas itu bermula?
Yes, energi itu muncul dari dalam dirinya sendiri, karena orang-orang ini memang memiliki kepercayaan yang mumpuni atas dirinya sendiri.
Fenomena kedua, adanya ‘orang-orang yang mungkin saja didukung oleh lingkungan atau orang dekatnya di bidang yang ditekuninya, tapi mereka justru terjebak di level pencapaian yang itu-itu saja’.
Kali ini dengan menggunakan pemahaman tadi kira-kira apa yang mungkin terjadi?
Yes…yes…Anda tentu sudah bisa mengira-ngiranya, yaitu kepercayaan diri mereka sendiri yang rendah atas dirinya sendiri, yang menjadikan seberapa besar pun dukungan dari luar, menjadi tidak bisa bekerja dengan optimal karena mereka sendiri yang menyabotase sistem energi yang seharusnya menjadi daya dorong dalam diri mereka.
Fenomena pertama dan kedua tadi seharusnya sudah bisa menjadi penegas penting dari isi pesan utama di episode podcast kita kali ini, yaitu betapa pentingnya untuk bisa percaya pada diri kita sendiri, meski mungkin saja lingkungan kita tidak memercayai kita, hal ini karena mesin utama penghasil energi daya dorong untuk menciptakan kualitas pencapaian haruslah berada dalam diri kita sendiri.
Nah, kali ini fenomena yang mungkin bisa dikategorikan cukup unik, yaitu ‘orang-orang yang didukung tapi merasa tidak didukung’…he…he…
Lho, memangnya ada orang-orang seperti ini?
Aadaaaa…
Saya tidak sedang mendramatisir sesuatu lho ya, memang itu kenyataan yang saya temukan dalam praktik yang saya jalankan.
Satu contoh nyatanya saya temukan dalam kasus yang saya bantu tangani beberapa minggu lalu, seorang pria yang mengeluhkan kondisi pencapaiannya yang dirasanya buntu di bisnis yang dijalaninya.
Pria ini merasa ia menemui banyak jalan buntu karena ia tidak didukung oleh istri dan keluarganya, ia merasa ada banyak rencana dan keputusannya yang selalu dibantah oleh istri dan orang-orang dekatnya.
Sampai sini terlihat betul bahwa ia tidak didukung oleh orang dekatnya kan?
Tunggu dulu, ceritanya belum selesai sampai di sini. Pria ini mengetahui saya dari sebuah seminar yang diikutinya bersama pasangannya beberapa waktu lalu, sehingga bukan sebuah kebetulan kalau istrinya juga mengetahui saya.
Singkat cerita, saya meminta ijin agar bisa berkomunikasi dengan istrinya dan mengumpulkan informasi lebih lanjut, dan memang pria ini pun mengijinkan.
Maka terjadilah pengumpulan informasi lanjutan antara saya dengan istri dari pria ini, yang ternyata memberikan warna baru pada suasana yang berlangsung!
Dari pembicaraan saya bersama istrinya, didapatilah temuan yang tidak kalah serunya, pasangannya mengatakan hal yang berlawanan, betapa ia dan keluarganya selalu mendukung bisnis yang dijalankan si pria ini, istrinya ini menceritakan berbagai bukti dan peristiwa, yang memang menunjukkan fakta tidak terbantahkan bahwa ia dan keluarganya mendukung yang dijalani oleh si pria ini.
Lantas dari mana perasaan ‘tidak didukung’ ini bermula? Saya pun melakukan cross checking atau pemeriksaan silang antara kedua pihak.
Selidik punya selidik, ternyata setiap kali pria ini mengutarakan pemikiran dan rencananya, istri dan keluarganya akan meminta informasi lebih lanjut dan bahkan ‘menguji’ rencananya itu dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan kritis yang dimaksudkan agar pria ini tidak membuat keputusan konyol yang bisa mencelakakan bisnisnya.
Pertanyaan-pertanyaan kritis itulah yang dimaknai oleh si pria sebagai bentuk ‘penolakan’ dan ia pun merasa ‘tidak didukung’, padahal bukan begitu yang dimaksudkan oleh si istri dan keluarganya, mereka justru sayang dan mendukung si pria, mereka tidak ingin si pria ini sampai merugi karena keputusan yang tidak cermat.
Lho…lho…lho, kalau begitu masalahnya dimana? Yang pertama, sudah pasti adanya ketidakjelasan proses komunikasi, atau perbedaan cara berkomunikasi, yang menjadikan dukungan agar berpikir cermat ini dimaknai sebagai penolakan.
Yang kedua, dan yang paling menjadi jawaban, yaitu karena adanya permasalahan dari si pria ini sendiri, yang menjadikannya terlalu sensitif berlebih, sebenarnya bukan orang lain yang tidak mendukung atau ragu padanya, ia sendirilah yang ragu dan tidak mendukung dirinya sendiri, ia tidak memiliki cukup kepercayaan pada dirinya sendiri bahwa ia mampu dan siap menunaikan yang direncanakannya, sehingga ketika ada orang lain yang sekedar ingin ‘memastikan’ saja ia bisa langsung panik dan merasa tidak didukung.
Inilah yang dimaksudkan ‘mereka yang didukung tapi tidak merasa didukung’, memang awal mula masalahnya terletak pada keraguan mereka atas diri mereka sendiri.
Jadi apa kesimpulan penting dari episode kita kali ini? Saya ingin mengerucutkannya pada tiga kesimpulan saja ya.
Pertama, yang terpenting tetap saja adalah kepercayaan kita atas diri kita sendiri, selama kita tidak memiliki hal ini maka sebesar apa pun dukungan dan kepercayaan dari orang di luar-sekitar kita tidak akan berarti banyak jadinya, karena kita akan terus menyabotase dukungan itu dari dalam diri kita sendiri.
Selalu ada situasi dimana mungkin saja apa yang kita jalani tidak didukung oleh orang di sekitar kita, bisa karena faktor apa pun, disinilah waktunya kita introspeksi diri dan merenungkan hal yang kita jalani ini, merenungkan dan menyadari apa yang membuatnya tidak didukung oleh orang-orang disekitar kita.
Kita juga perlu realistis tentunya, jangan sampai hanya karena kita bermodalkan kepercayaan diri lalu melakukan berbagai tindakan konyol yang merugikan diri kita.
Kalau memang dengan segala pertimbangan yang ada, apa yang kita yakini itu memang nyata bisa membawa kebaikan, tapi hal itu belum dipercaya atau didukung oleh orang dekat kita – karena faktor apa pun – maka waktunya kita meneguhkan diri, memperkuat mental-spiritual kita untuk percaya pada diri kita sendiri dan memberikan kepercayaan dan dukungan terbaik untuk diri kita sendiri agar ia menjadi daya dorong yang memaksimalkan potensi pencapaian kita.
Jika kita sudah bisa memenuhi tahap pertama tadi, yaitu mendukung dan memercayai diri sendiri sebaik mungkin, maka waktunya kita juga memasuki kesimpulan kedua, yaitu memaksimalkan energi daya dorong pencapaian ini, yaitu dengan memaksimalkan proses komunikasi kita bersama orang di sekitar kita, agar mereka juga bisa memberikan kepercayaan dan dukungannya, karena sekali lagi: bentuk kepercayaan dan dukungan mereka akan menjadi energi pendorong yang luar biasa untuk mendukung kualitas pencapaian kita.
Kalau pun memang kepercayaan dan dukungan itu belum kita dapatkan, memang kepercayaan dan dukungan kita terhadap diri sendiri akan tetap menjadi kunci utamanya, tapi kalau memungkinkan untuk juga memperkuat diri dengan adanya kepercayaan dan dukungan dari luar, kenapa tidak, betul?
Yang terakhir, yaitu yang ketiga: kalau kita mendapati ada orang dekat yang memang sedang memperjuangkan yang ditekuninya dan kita melihat hal itu bisa membawa kebaikan untuknya, maka berikan dan nyatakan kepercayaan dan dukungan kita, baik dengan ucapan atau pun perbuatan agar hal itu diketahuinya dan dirasanya menjadi energi pendorong yang membantunya mewujudkan pencapaian terbaiknya.
Kalau kita merasa hal yang ditekuninya berpotensi membawa kerugian, maka perbaiki cara kita berkomunikasi dan mengingatkannya agar kita tetap bisa memberikan kepercayaan dan dukungan yang bisa menghindarkannya dari kerugian, tapi dengan cara yang tepat, yang tidak mengecilkan semangatnya, melainkan memperbesar kewaspadaannya agar ia juga bisa mewujudkan pencapaian terbaiknya dengan tetap merasa dipercaya dan didukung.
Nah, itulah kiranya bahasan kita di episode kali ini, betapa dahsyat kekuatan dari sebuah kepercayaan bukan? Mari memercayai dan mendukung diri kita sendiri, sambil juga memercayai dan mendukung orang dekat kita, agar semakin banyak pencapaian terbaik bisa terwujud sebagai hasil dari dukungan dan kepercayaan ini.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.