Episode 56 – Memaklumi dan Menyikapi Konflik
Kalau ditanya “Apakah kita menyukai konflik?” besar kemungkinan jawabannya adalah “Tidak”, sayangnya – dalam realitanya – konflik adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, siap atau tidak siap dan suka tidak suka akan selalu ada saja situasi dimana kita dihadapkan dengan konflik, baik dengan diri sendiri atau pun dengan sesama.
Tidak ada yang salah dengan konflik, bahkan dalam konteks positif boleh dikatakan konflik adalah cikal-bakal dari pertumbuhan, yang menjadikan konflik negatif adalah cara konflik itu diekspresikan dan dampak yang dihasilkannya.
Ketika memahami esensi dari konflik yang sehat dan memahami cara mengekspresikannya dengan sehat, justru terbukalah peluang untuk menciptakan lebih banyak inovasi, kreativitas dan terobosan.
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kelimapuluhenam Life Restoration Podcast berjudul ‘Memaklumi dan Menyikapi Konflik’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Memaklumi dan Menyikapi Konflik '
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode lima puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa di Life Restoration Podcast, bersama saya seperti biasa tentunya, Alguskha Nalendra.
Tidak lupa, doa terbaik untuk Anda sekalian, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia selalu, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Membuka bahasan di episode kali ini, saya juga ingin menghaturkan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya pada Anda sekalian yang telah dengan setia menemani perjalanan channel-channel media sosial tempat saya berbagi, menjadikannya memiliki warna tersendiri, baik itu di Spotify Channel saya, Life Restoration Podcast, dan juga Youtube Channel saya, Alguskha Nalendra.
Saya senang sekali mendapati interaksi yang terjalin di dalam setiap channel itu begitu bermakna, terutama di Youtube Channel, dimana para penyimak channel Youtube saya bisa ikut berinteraksi di kolom komentar yang ada di setiap video, dimana interaksi itu sendiri menjadi satu pembelajaran tersendiri bagi saya, ada yang bertanya, ada yang memberikan masukan, ada yang mengajukan topik atau konten tertentu untuk saya bahas, bahkan ada yang meminta jadwal konsultasi he…he…
Yah, macam-macamlah isi dari interaksi yang ada di situ, tapi yang jelas, saya bersyukur dan berterima kasih sekali, karena dari interaksi itu juga saya terus mendapatkan inspirasi, yang kemudian saya tuangkan ke dalam konten-konten berikutnya, jadi ‘benar-benar hidup’-lah istilahnya.
Terima kasih juga pada Anda yang senantiasa menyambut berbagai program baru yang saya luncurkan, seperti akhir-akhir ini ketika saya mulai meluncurkan serial live streaming dimana saya hadir dan menyapa para audiens lebih dekat di setiap Senin malam, ada saja para follower setia yang selalu siap hadir dan membersamai saya di sesi itu, menjadikan sesi interaksi itu hangat dan bermakna.
Karena kan beda ya interaksi yang terjalin antara live streaming dan konten biasa, kalau di konten biasa interaksinya terjadi ketika kontennya sudah diunggah, dan pastinya ada jarak antara pesan dari audiens dengan respon saya, nah kalau di live streaming itu real time, jadi audiens berinteraksi dengan saya secara langsung, dan isi dari pesan-pesan audiens pun bisa langsung saya respon di sesi itu juga.
Oke baiklah, memasuki episode ke-56 kali ini, seperti biasa tentunya, sudah ada satu tema yang akan diangkat sebagai topik bahasan di episode kali ini, dimana tema bahasan kali ini akan mengangkat tema yang cukup berbeda dari biasanya, karena ia menyoroti satu hal yang mungkin kita tidak sukai, yaitu: ‘konflik’.
Yes, bukan tanpa sebab saya mengangkat tema ini kali ini, di satu sisi fenomena ini menjadi satu hal yang sering mewarnai tema dari sesi coaching, konseling atau terapi yang saya fasiitasi pada para klien, di sisi lain, melalui tema bahasan ini saya ingin mengajak Anda untuk membahas satu tema yang sebenarnya agak bersifat spiritual.
Yah, jarang-jarang kan saya menyoroti tema yang agak bersifat spiritual, sekali-sekali boleh lah ya he…he…
Tapi jangan salah juga, tema bahasan yang bersifat spiritual ini bukan berarti kita membicarakan hal-hal yang terlalu ‘tinggi’ dan membahas tentang kehidupan setelah kematian, bukan…bukan begitu.
Justru saya lebih suka menyoroti bahasan spiritual ini sebagai suatu cara berpikir yang bisa kita gunakan untuk menjalani hidup, bukan sekedar menjalaninya, tapi menjadikannya kehidupan terbaik yang layak kita dapatkan, kehidupan dimana kita bisa menjalaninya dengan penuh syukur, dan berbagi dampak-manfaat positif pada lingkungan dimana kita berada.
Namanya juga spiritual, ada kata ‘spirit‘ di dalamnya, yang bisa kita artikan sebagai ‘energi’ atau ‘jiwa’, maka saya memaknai bahasan spiritual ini sebagai bahasan yang menyoroti jenis-jenis pengalaman yang jiwa kita perlu lalui dalam kehidupan ini, agar proses pematangannya terlengkapi dan jiwa ini siap berevolusi ke tingkat kehidupan yang lebih tinggi, salah satunya yaitu yang akan kita ulas di episode kali ini, yaitu ‘pengalaman jiwa dalam melalui konflik’.
Siap untuk membahasnya kan ya? Kalau begitu mari kita mulai saja.
Sebagai manusia, kita tentu tidak menyukai yang namanya konflik, betul? Ya ada juga sih beberapa orang yang menyukai konflik, hobinya cari ribut melulu…he..he…
Tapi bukan begitu juga kok, mereka yang konon sering cari ribut ini pun sebenarnya bisa jadi tidak suka dengan keributan dan konflik yang dihasilkannya, hanya saja mereka sulit mengendalikan diri atau terjebak di suasana yang dilematis, sehingga konflik pun tidak terelakkan karenanya, tapi kalau ditanya apakah mereka suka dengan konflik, ya bisa jadi jawabannya adalah ‘tidak’.
Secara mendasar saja deh, Anda sendiri kalau ditanya apakah menyukai konflik, sangat mungkin jawabannya adalah ‘tidak’, tapi ya namanya juga menjalani kehidupan, yang namanya konflik atau potensi konflik ini selalu ada kan?
Kenapa bisa begitu? Sederhana, karena konflik adalah bagian dari fitrahnya kehidupan, atau bagian dari naluri alami makhluk hidup, terutama kita sebagai manusia, bahkan peradaban dimana kita hidup saat ini pun berkembang karena adanya konflik.
Kok bisa? Tenang dulu, ini akan kita bahas pelan-pelan, tapi ya paling tidak kita perlu pahami dulu yang dimaksud konflik ini apa dan kenapa ia bisa menjadi sebuah naluri alami bagi kita sebagai manusia.
Tergantung dari cara kita memandangnya, arti dari konflik ini bisa beragam pastinya, saya sendiri memaknainya sebagai ‘perbedaan kepentingan’, dimana ada satu kepentingan yang berlawanan dengan satu atau lebih kepentingan lainnya.
Nah, itu saja arti sederhana dari konflik bagi saya, tidak terlalu menyeramkan kan? Memang tidak.
Apakah itu sesuatu yang wajar dan kita sering alami? Tentu saja kan.
Dan memang demikian adanya, dimulai dari dalam diri saja dulu, atau internal, bukan tidak mungkin terjadi konflik internal kan? Konflik antara satu sisi pemikiran dengan pertimbangannya sendiri, dengan satu sisi pemikiran lain yang punya pertimbangan lainnya, seperti ‘beli atau tidak’, ‘sekarang atau nanti’, ‘lakukan atau jangan’, dan banyak lagi lah contoh lainnya, intinya ada satu pertimbangan dalam diri kita, yang mewakili satu kepentingan, yang berkonflik dengan pertimbangan lainnya, yang mewakili kepentingan lain dalam diri kita, biasanya konflik internal ini terjadi antara sisi logis dan sisi emosional dalam diri kita, sisi emosional kita punya satu dorongan dan sisi logis kita punya satu pertimbangan.
Dalam kehidupan sehari-hari di luar diri kita, atau eksternal, juga demikian kan, ketika kita menjalani kehidupan pun begitu, tidak semua perilaku orang di sekitar kita setujui kan, ada perilaku atau nilai-nilai tertentu yang tidak kita setujui pastinya, itu juga merupakan bagian dari konflik antara kepentingan kita dengan kepentingan orang lain, bedanya konflik ini nantinya ada yang terekspresikan, baik itu menjadi perbedaan pendapat secara terbuka atau bahkan keributan, ada juga yang tidak terekspresikan karena hanya dipendam dalam hati.
Kalau kita tinjau lebih mendalam, sebenarnya ‘konflik sebagai perbedaan kepentingan ini’ juga yang menjadikan peradaban ini berkembang, yang dimulai dari diri kita sendiri.
Maksudnya bagaimana? Begini, kalau kita melihat ke diri kita sendiri saja dulu, dari waktu ke waktu selalu ada pemikiran baru yang muncul untuk meningkatkan kualitas hidup kita kan? Kita ingin berkembang dan menjalani hidup yang lebih baik dari waktu ke waktu, oleh karena itu muncullah berbagai keinginan dalam hidup kita, ketika keinginan ini muncul bisa jadi ada sebuah pengorbanan yang harus kita lakukan, disinilah konflik bisa muncul, yang kemudian memunculkan kesadaran baru, kreativitas dan perubahan.
Misalnya saja, seiring karir berkembang mulai muncul pemikiran ingin bisa menikmati hidup yang lebih berkualitas, muncullah pemikiran ingin mencari tempat tinggal baru yang lebih nyaman, ketika muncul pemikiran ini kita sadar bahwa ada pengorbanan yang harus kita lakukan kan, yaitu mengeluarkan uang ekstra agar kenyamanan baru ini bisa kita dapatkan, disini juga bisa jadi muncul pertimbangan lain: jangan dulu, lebih baik uangnya dipakai untuk keperluan lain, atau disimpan saja dulu, siapa tahu nanti ada apa-apa.
Nah, di sini mulai muncul perbedaan kepentingan kan, antara kepentingan baru dalam diri kita ingin meningkatkan kualitas hidup, dengan kepentingan lama yang tidak siap dengan perubahan dan pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperolehnya, kalau sudah begini bagaimana? Disinilah muncul konflik dalam diri, ingin mencapai hal baru dengan mengorbankan kenyamanan lama, atau mempertahankan hal lama tapi harus mengorbankan kepentingan baru.
Apa pun itu, dari sini muncullah sebuah kesadaran baru, kesadaran untuk siap menempuh konsekwensi perubahan demi mencapai pembaharuan, atau kesadaran untuk siap mengorbankan keinginan dan menerima yang dijalani apa adanya, dari kesadaran ini muncullah perubahan cara pandang dalam memandang kehidupan, terjadilah pematangan jiwa, inilah yang saya sebut evolusi diri atau evolusi jiwa.
Begitu juga dalam konflik atau perbedaan kepentingan antara kita dengan pihak di luar diri kita, hal ini saja sudah menggambarkan ada dua atau lebih cara pandang yang berbeda dalam menyikapi sebuah fenomena, satu pihak punya pemikirannya sendiri dan satu pihak lainnya punya pemikirannya sendiri, di sini kita tidak berbicara benar atau salah, kita berbicara tentang bagaimana apa yang dilihat oleh satu pihak belum tentu dilihat oleh pihak lainnya dan yang tidak dilihat oleh satu pihak bisa jadi justru dilihat oleh pihak lainnya.
Bisa jadi konflik atau perbedaan kepentingan atau perbedaan cara pandang ini hanya dipendam dalam hati, bisa juga perbedaan cara pandang ini kemudian diekspresikan, ketika perbedaan cara pandang ini diekspresikan oleh satu pihak maka muncullah ekspresi lain dari pihak lainnya, disini terjadi ekspresi dari masing-masing pihak kan, ekspresi ini memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik ini untuk bisa melihat yang sebelumnya tidak dilihatnya atau tidak disadarinya, dari sini muncullah peluang untuk lahirnya kesadaran baru antar keduanya, yang bisa lebih menjembatani kesepahaman antara kedua belah pihak, bisa jadi juga muncullah inovasi baru.
Bukannya perbedaan kepentingan ini bisa melahirkan keributan? Tunggu dulu, konflik dan keributan adalah dua perkara berbeda, konflik adalah perbedaan cara pandang, sementara keributan adalah konflik yang diekspresikan dengan cara yang destruktif.
Perbedaan kepentingan atau cara pandang itu perlu, karena hal ini memungkinkan kita untuk secara kolektif menyadari hal-hal yang tidak kita sadari tapi disadari pihak lainnya, makanya ada istilah ‘kalau dalam sebuah organisasi orang-orang di dalamnya selalu saling setuju dalam segala hal, berarti hanya satu orang yang benar-benar berpikir di dalamnya’.
Iya dong, satu orang berpikir, atau mengemukakan ide, yang lain pokoknya tidak punya perbedaan cara pandang – selalu sama dan setuju – kalau begini kreativitas lama-lama mati, kesiagaan kendor, tidak ada yang melihat sisi lemah dari ide yang dikemukakan itu, tidak ada yang waspada, ketika tahu-tahu muncul masalah di kemudian hari barulah sama-sama bingung sendiri.
Tapi lain cerita ketika satu orang punya ide atau pemikiran, lalu ada pihak lain yang tidak setuju karena punya cara pandang lain, bisa karena melihat ada hal yang dianggapnya tidak benar, tidak baik, atau berpotensi menyusahkan nantinya, perbedaan cara pandang ini lalu diekspresikan dan dikomunikasikan dengan baik antara kedua belah pihak, sekarang pihak pertama yang tadi menyampaikan sudut pandang jadi ikut menyadari hal yang mungkn tidak dilihatnya kan, atau bisa juga pihak kedua yang tadi tidak setuju sekarang jadi memahami yang tadinya tidak dilihatnya karena ketidaksetujuannya dijawab oleh pihak pertama dengan penjelasan yang penjelasannya menyadarkannya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya sebelumnya.
Kesimpulannya, konflik adalah bagian dari naluri alami manusia, dan merupakan hal biasa, tanpa adanya konflik tidak ada kesadaran baru, tidak ada pemahaman baru, tidak ada inovasi dan evolusi, yang membuat konflik itu nanti menjadi tidak menyenangkan bukan konflik itu sendiri, tapi cara konflik itu diekspresikan dan apa dampak yang dihasilkannya.
Mari melihat negara kita tercinta, Indonesia, terdiri dari berbagai suku, budaya dan cara pandang, apakah dulu kemerdekaan kita dapatkan hanya dengan selalu saling setuju satu sama lain? Tidak kan, bahkan dalam perjuangan untuk mewujudkan visi yang sama saja – yaitu kemerdekaan – sudah ada cara pandang yang berbeda, cara pandang yang berbeda ini lahir dari pengalaman yang berbeda juga, tapi tujuannya sama, memberikan yang terbaik untuk negara ini, masing-masing cara pandang mengangkat hal yang dianggapnya baik dan menyoroti hal-hal yang dianggapnya berpotensi membawa keburukan, semata agar – dari sudut pandangnya masing-masing – di kemudian hari tidak ada hal buruk yang terjadi pada negara ini.
Potensi konflik sendiri selalu ada dalam setiap aspek kehidupan di lingkungan mana pun kita berada, ia sudah menjadi naluri alami kita untuk bertahan hidup. Bahkan sejak masa pembuahan dalam rahim ibu kita saja dulu konflik ini sudah terjadi, jutaan sel sperma berkonflik untuk menjadi yang pertama menembus sel telur, ketika satu sperma sudah berhasil menembus sel telur maka sperma lain gugur, bukankah di sini saja sudah terlihat bahwa naluri alami untuk bertahan hidup atau mempertahankan eksistensi diri ini sudah ada sejak dulu?
Uniknya adalah: semakin besar kita merasa punya kekuatan atau daya, semakin besar potensi konflik yang diekspresikan, semakin kecil kita merasa punya kekuatan maka semakin kecil juga potensi konflik yang diekspresikan, terutama dengan cara negatif.
Masa-masa awal karir saya bekerja dulu dihabiskan di perantauan, di luar negeri khususnya. Bukan kebetulan juga sepanjang saya bekerja, di tempat-tempat dimana saya bekerja itu bangsa Indonesia cukup menjadi minoritas, atau sedikit jumlahnya.
Namanya minoritas, kecenderungannya tentu menjalin kedekatan atau merapatkan barisan satu sama lain kan? Disinilah muncul keunikan tadi.
Saya mengamati betul, bagaimana ketika kita menjadi minoritas dengan kendali rendah, potensi konflik yang terekspresikan itu kecil, kita lebih mudah memaklumi satu sama lain.
Kenapa demikian? Karena saat itu ada potensi ancaman yang lebih besar, yaitu dari kalangan yang kita anggap di kubu yang tidak sepaham dengan kita, sementara itu kendali kita masih rendah, maka itulah kita menjalin kekuatan untuk menghadapi ‘musuh bersama’, potensi konflik kita arahkan ke kubu lain di luar kubu kita.
Tapi lain cerita ketika yang semula minoritas ini mulai membesar, mulai lebih punya kendali, mulai lebih punya ego, konfllik yang terekspresikan dengan cara negatif justru muncul di dalam kubu ini sendiri, konfliknya pindah, dari luar diri ke dalam diri, sama-sama tetap ada konflik, bedanya subjek dan objek konfliknya beda, dari sana mulailah muncul ‘geng-gengan‘, mulailah muncul perpecahan.
Yah, itu pengalaman saya sih, saya tidak tahu dengan Anda, tapi saya pribadi mendapati hal itu terjadi dimana-mana, ketika kita sedang menjadi kelompok dengan kendali rendah maka ekspresi konflik negatif menjadi rendah juga, ketika kita sedang menjadi kelompok dengan kendali tinggi maka ekspresi konflik negatif menjadi tinggi juga.
Seperti saya katakan tadi, konflik menjadi naluri alami manusia, cuma perkara objeknya saja sekarang. Lihat bangsa kita deh, kalau lagi ada ‘musuh bersama’, atau ancaman dari luar, yang dianggap menghina atau merendahkan, baru kita merapatkan barisan, sama-sama menghadapi ancaman dari luar itu, tapi kalau sudah tidak ada ancaman dari luar mulai deh sibuk ribut sendiri satu sama lain, betul tidak? He…he…
Episode podcast ini juga sengaja saya tujukan sebagai pengingat untuk kita semua dalam konteks kebangsaan, yuk sadar kita ini bangsa yang kuat dengan sumber daya alam yang melimpah, kita ini bangsa yang kalau diserang dari luar secara terbuka maka akan sia-sia, akan terlalu banyak kerusakan dari pihak penyerang yang mereka juga mungkin akan enggan menanggungnya, maka daripada harus menanggung konsekwensi itu – mereka tahu betul naluri alami manusia ini – dibikin konfliklah kita satu sama lain, agar kita ribut sendiri satu sama lain lalu mereka bisa masuk lewat ‘jalan belakang’ untuk menguras sumber daya alam bangsa ini.
Jadi yuk kita sadar, mari kita lebih eling lan waspada, salah satunya yaitu dengan mampu menyikapi konflik ini dengan lebih bijak.
Nah, mari kita bahas bagaimana cara menyikapi konflik ini dengan lebih bijak, saya sendiri merangkum cara menyikapi konflik dengan bijak ini dalam lima langkah.
Pertama, sadari bahwa konflik adalah hal alami, menghindari konflik berarti menghindari pertumbuhan.
Sudah saya bahas tadi ya, arti konflik menurut saya adalah perbedaan kepentingan atau cara pandang, konflik menjadi naluri alami manusia sebagai makhluk hidup untuk bisa menjadikan kualitas hidupnya lebih baik dari waktu ke waktu.
Dari konflik muncullah kesadaran, pemahaman dan perubahan, ada kreativitas dan evolusi yang lahir dari konflik, maka itu menghindari konflik sama saja dengan menghindari pertumbuhan.
Kedua, sadari bahwa yang menjadikan konflik berdampak negatif adalah ekspresi yang negatif dari pihak-pihak yang berkonflik itu sendiri.
Sudah jelas ya, konflik hanya perbedaan cara pandang, itu hal yang manusiawi, yang menjadikan perbedaan cara pandang itu bermasalah adalah ketika cara pandang itu diekspresikan dengan cara yang negatif, ditumpangi emosi negatif, dan adanya ego keserakahan, yang membuat konflik itu ditujukan untuk ‘mematikan’ pihak yang berkonflik dengan kita, agar kita jadi satu-satunya pihak yang memegang kendali dan bisa memuaskan nafsu kepentingan kita.
Ketiga, fokus pada maksud positif dan pemahaman.
Maksudnya bagaimana? Sederhana juga, namanya orang berkonflik kan berarti ada perbecaan cara pandang, nah di balik perbedaan cara pandang ini berarti ada perbedaan pemahaman kan?
Sadari bahwa tidak setuju beda dengan tidak suka, adanya pihak yang berkonflik dengan kita itu bukan berarti mereka tidak menyukai kita, mereka hanya tidak setuju dengan yang kita yakini. Mengenai ketidaksukaan itu lain soal, itu sudah berhubungan dengan pengalaman subjektif pribadi yang melibatkan ego dan emosi.
Karena mereka punya cara pandang sendiri, bukankah lebih baik cara pandang itu kita pahami? Harapannya dengan memahami cara pandang itu kita jadi lebih bisa melengkapi cara pandang kita dan mengantisipasi hal-hal yang tadinya tidak kita antisipasi.
Cara pandang mereka yang berbeda itu pastilah didasari oleh maksud positif, untuk mempertahankan eksistensi dan kepentingan, yang berarti ada kepedulian di sana, yang berarti juga ada rasa takut di sana, takut mengalami hal-hal yang bisa mengancam keberlangsungan eksistensi tadi, maka daripada mengutuki mereka sebagai pribadi negatif, justru belajarlah untuk bisa memahami maksud positif mereka untuk bisa menjaga keberlangsungan dirinya.
Bagaimana dengan adanya ego dan berbagai hal lain yang membuat kepentingan mereka sebenarnya didasari nafsu? Itu lain soal, yang menjadikan kepentingan mereka negatif adalah ego dan nafsunya, sadari juga bahwa semakin besar ego dan nafsu seseorang maka itu tanda semakin kering jiwanya, ego dan nafsu itu menjadi cara untuk orang-orang itu memenuhi kehampaan dalam dirinya, kasihan kan?
Ketika memahami maksud positif itu maka kita akan lebih bisa memandang mereka secara sehat dan punya modal untuk nantinya belajar mengekspresikan konflik secara sehat, yang juga menjadi langkah keempat, yaitu: pelajari cara mengekspresikan konflik yang sehat.
Yes, yang satu ini perlu dipelajari, hal ini akan mengajak kita untuk mempelajari seni-seni berkomunikasi, agar kita terhindar dari potensi konflik negatif yang berujung keributan dan kehancuran pada sesama.
Konflik yang diekspresikan adalah cara menegaskan kepentingan, selama hal ini dikomunikasikan dengan baik maka kita akan jadi lebih memahami satu sama lain dan berusaha mengakomodir kepentingan satu sama lain, yang menjadikan konflik ini berujung kehancuran adalah cara ekspresi yang salah dan adanya ego dan nafsu tadi.
Maka itulah mempelajari seni-seni berkomunikasi untuk mengekspresikan konflik ini menjadi penting, yaitu dengan menyadari bahwa esensi dari komunikasi yang mengekspresikan konflik ada pada tujuan untuk menjalin kesepahaman, bukan menegaskan ego dan nafsu, maka itulah sebelum mempelajari hal ini yang pertama perlu kita pahami adalah cara memandang konflik secara positif dan cara memandang pihak yang berkonflik dengan kita secara positif.
Kelima, pelajari cara mencegah ekspresi konflik yang tidak sehat.
Yang satu ini agak berhubungan dengan kecakapan kita untuk mencermati elemen-elemen yang membentuk konflik, mulai dari kepentingan yang diperjuangkan di dalamnya, kondisi orang-orang yang terlibat di dalamnya, dan juga kecenderungan orang-orang yang terlibat itu untuk mengekspresikan konfliknya.
Semakin kita memahami kejelasan dari elemen-elemen yang membentuk sebuah konflik, lebih mudah bagi kita untuk nantinya melakukan tindakan pencegahan agar ekspresi konflik yang terjadi tidak berujung pada ekspresi yang negatif dan malah menghancurkan satu sama lain.
Jadi sekali lagi, konflik bukan hal negatif, cara konflik itu diekspresikanlah yang menentukan apakah ia menjadi hal positif atau negatif, masalahnya bukan terletak pada konfliknya, tapi pada ekspresinya, setuju?
Nah, seperti itu kiranya bahasan kita di episode kali ini, semoga cukup memberikan inspirasi tersendiri di tengah suasana yang kita jalani saat ini.
Akhir kata, sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.