Episode 57 – Kecewamu Padanya Adalah Kecewamu Pada Dirimu Sendiri
Tidak asing kita dapati keberadaan mereka yang kecewa karena orang dekatnya tidak bisa memperlakukan mereka sebagaimana mereka menginginkannya.
Ada yang ingin diperlakukan hangat dan romantis oleh pasangannya tapi ternyata pasangannya tidak bisa memberikan itu, yang menjadikan mereka terpuruk dalam kekecewaan, ada juga yang ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari orangtuanya tapi ternyata orangtuanya tidak bisa memberikan yang mereka inginkan itu, dan menjadikan mereka larut dalam perjuangan tak berkesudahan demi sebuah pengakuan yang entah kapan baru akan mereka dapatkan.
Apa yang melatari semua itu? Benarkah ketidakmampuan orang lain untuk memberikan kita perlakuan yang kita harapkan yang menjadi sumber masalahnya?
Sayangnya, tidak demikian adanya, sumber masalah terbesarnya justru sering kali ada pada diri kita sendiri.
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kelimapuluhtujuh Life Restoration Podcast berjudul ‘Kecewamu Padanya Adalah Kecewamu Pada Dirimu Sendiri’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Transkrip Audio Podcast 'Kecewamu Padanya Adalah Kecewamu Pada Dirimu Sendiri'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode lima puluh tujuh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, yang memasuki episode ke-57 kali ini…yang juga menjadi penanda sudah 57 minggu berlalu rupanya kita bertemu di podcast ini.
Terima kasih untuk kesetiaan Anda mengikuti episode demi episode podcast ini, saya berterima kasih sekali untuk semua atensi dan apresiasi yang Anda curahkan selama membersamai perjalanan saya membagikan berbagai inspirasi di podcast ini, tentunya juga doa terbaik untuk Anda sekalian, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia selalu, bersama mereka yang Anda kasihi.
Di perjumpaan kali ini saya ingin mengangkat sebuah tema yang mungkin saja beberapa di antara Anda sudah familiar temui dalam keseharian, yaitu perasaan ‘kecewa karena tidak mendapatkan perlakuan yang diinginkan dari orang dekat.
Lagi-lagi, saya tidak bosan-bosannya menekankan bahwa topik yang saya angkat di setiap episode podcast ini adalah topik yang pada dasarnya saya temui dalam keseharian saya memfasilitasi sesi coaching, konseling dan terapi pada para klien, dari berbagai latar belakang dan spesifikasi permasalahan yang berbeda.
Bukan sebuah kebetulan tema ini saya angkat, karena tema ini sedang cukup mewarnai beberapa kasus yang saya tangani, terutama yang menyangkut tema ‘hubungan’, baik itu pernikahan atau pun hubungan keluarga.
Intinya begini, ada beberapa orang yang merasa sedemikian kecewa karena ada orang dekatnya yang tidak bisa memperlakukan mereka sebagaimana mereka mengharapkannya.
Sedikit contoh kasus lah ya, hitung-hitung buat cerita pembuka. Ada beberapa klien saya yang memendam rasa kecewa pada pasangannya karena mereka ingin diperlakukan dengan cara tertentu oleh pasangannya, tapi pasangannya tidak bisa memberikan perlakuan itu.
Misalnya, ada yang ingin diperlakukan dengan hangat atau romantis, tapi pasangannya justru orang yang kaku dan tidak bisa berlaku romantis, karena memang mereka bukan jenis orang seperti itu – yang bisa berhangat-hangat atau beromantis ria – alhasil ada kebutuhan atau harapan yang tidak mendapatkan pemenuhannya kan?
Nah dari sini muncullah kekecewaan jadinya, ada yang kekecewaan itu dipendam sendiri, sampai-sampai menjadi kemarahan, kesedihan berkepanjangan, mood yang tidak stabil, perilaku yang tempramen dan labil, ada juga yang sampai menjadi depresi, dan bahkan ada juga yang sampai-sampai mewujud menjadi penurunan kondisi fisik, atau yang lebih ekstrim: jadi sakit-sakitan, atau kita biasa menyebutnya psikosomatis.
Familiar dengan kisah seperti itu? Atau bahkan Anda termasuk yang mengalami? He…he…
Ada juga ragam kasus lain yang dialami beberapa klien saya yang lain yang memendam kekecewaan pada orangtuanya karena sulit mendapatkan perlakuan yang mereka harapkan dari orangtuanya itu.
Lagi-lagi pakai contoh lah ya, ada klien saya yang di masa-masa dewasanya saat ini frustrasi, ia seorang pebisnis yang bisa dikatakan sukses dan mapan, pokoknya kalau di mata masyarakat umum sudah top lah.
Tidak ada yang menyangka bahwa ia bergelut dengan rasa frustrasi yang sedemikian menyiksa, hanya karena ia tidak mendapatkan pengakuan dari orangtuanya.
Yes…pengakuan, jadi kalau kita sedikit pahami ceritanya lebih dalam, klien saya ini dibesarkan oleh orangtua yang kaku, keras dan kritis, lengkap lah ya he…he…
Jadi dari kecil ia dididik dengan kritikan, apa-apa yang dilakukannya ada saja salahnya, kalau yang dilakukannya kurang atau cuma sekedar ‘standar-standar saja’ maka ada saja kritik yang diterimanya – dibanding-bandingkan dengan yang lain pula – tapi ketika ia sudah melakukan sesuatu dengan baik atau berprestasi, orangtuanya juga tidak pernah memberikan pujian atau pengakuan, seperti ‘dianggap tidak ada’ saja rasanya.
Alhasil, dari kecil ia tumbuh dengan kekecewaan, ia tumbuh dengan dorongan ingin diakui atau ingin dianggap ‘ada’ oleh orangtuanya.
Di satu sisi hal ini memang menjadikan ia seseorang yang ‘berjuang’, ia jadi pribadi yang ambisius, ingin membuktikan diri bahwa ia bisa mewujudkan berbagai hal yang selama ini dikritikkan padanya, tapi di sisi lain hal ini juga menjadi pembuktian tidak berkesudahan, karena pada akhirnya memang ‘watak’ orangtuanya begitu, tidak bisa yang namanya memberikan pujian atau pengakuan, sulit melihat sisi positif.
Ya maaf kalau saya menyebutnya seperti itu ya, karena saya memang tidak menemukan kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan hal itu.
Kembali ke cerita tadi, Anda mungkin sudah bisa menebak yang terjadi, si klien saya ini tumbuh menjadi seseorang yang hidup dan berjuang hanya untuk membuktikan bahwa dia mampu – pada orangtuanya – semata karena dia butuh pengakuan mereka atas keberadaan dirinya.
Sialnya, hal inilah yang tidak pernah bisa didapatnya – karena tadi itu – orangtuanya memang tidak bisa memberikan apresiasi itu. Maka hal ini menjadi sebuah perjuangan yang tidak pernah berakhir, ia memang sukses di bidang karir dan bisnisnya, tapi batinnya kering, namanya manusia pasti ada lelahnya kan sudah berjuang keras tapi tidak pernah mendapati hasilnya, apalagi ternyata masih banyak lagi sikap orangtuanya yang memang menyakitkan, semua itu terakumulasi menjadi sebuah kekecewaan dan rasa frustrasi yang sedemikian membebani psikisnya, akhirnya…ya stres lah, butuh waktu yang lumayan saat itu untuk bisa membantunya melalui permasalahannya dan kembali sehat.
Masih banyak lagi contoh-contoh lainnya, bahkan ada yang cukup ekstrim, ada yang sampai bertahun-tahun memendam kekecewaan dan penyesalan pada orangtuanya – yang sudah meninggal – karena sepanjang hidupnya tidak mendapatkan perlakuan yang diharapkannya, mereka berjuang untuk bisa mendapatkan perlakuan yang diharapkan tapi tidak kunjung mendapatkannya, bahkan sampai kemudian orangtuanya meninggal sekali pun. Mereka sendiri kemudian melanjutkan hidupnya dengan memendam penyesalan berkepanjangan karena merasa ‘gagal’ mendapatkan pengakuan yang dirasanya penting dan menentukan cara mereka memandang dirinya sendiri.
Melihat dari kasus yang berhubungan dengan sikap orangtua yang agak ‘ajaib’ tadi, mungkin ada yang bertanya, memangnya ada orangtua seperti itu? Jawabannya: adaa…
Terlepas dari seberapa aneh pun Anda membayangkannya, sepuluh tahun memfasilitasi proses terapi, konseling dan coaching pada beragam jenis kalangan, saya mendapati ada macam-macam karakter orangtua dan cara pengasuhannya, yang jenis-jenis ‘ajaib’ seperti di kisah tadi ya banyak ternyata.
Tapi jangan salah, saya tidak sedang mengatakan mereka ‘jahat’ lho ya, mereka juga pasti bukan maunya jadi orangtua seperti itu, mereka juga kan sebenarnya hanya produk dari pengasuhannya jaman dulu, intinya ya semuanya sudah terjadi dan tugas kita bukan meratapi semua itu, melainkan fokus pada solusi.
Sama juga dengan sikap pasangan yang dirasa tidak memenuhi yang dibutuhkan tadi, ada kalanya juga beberapa orang terheran-heran melihat dinamika hubungan seperti itu, tapi uniknya keheranan mereka akan bergantung pada sudut pandang yang mereka gunakan untuk memandangnya.
Misalnya dalam kasus tadi, seseorang yang merasa kecewa karena sikap pasangan yang dirasa kaku dan dingin, padahal mereka berharap pasangannya bersikap hangat dan romantis, akan ada yang heran karena melihat pasangannya itu yang dianggap dingin dan kaku itu padahal menurut mereka seharusnya pasangannya itu hangat dan romantis, ada juga yang mungkin merasa heran karena melihat si orang itu sendiri yang dianggapnya terlalu lebay menuntut pasangan untuk bersikap hangat dan romantis, padahal menurut mereka tidak perlu segitunya juga menuntut pasangan, bisa setia dan memenuhi semua kebutuhan saja sudah baik seharusnya menurut mereka.
Artinya, akan ada sudut pandang yang berbeda dalam menilai sebuah situasi, sudut pandang ini nantinya akan bergantung pada kepentingan dan pengalaman yang membentuk hidup kita.
Tapi disini juga menariknya, setiap sudut pandang punya kebutuhan dan harapannya masing-masing, terpenuhinya kebutuhan atau harapan ini akan memberikan kepuasan dan tidak terpenuhinya kebutuhan atau harapan ini akan memberikan kekecewaan.
Sekarang kita lanjutkan ke dua bahasan yang menjadi inti dari episode kali ini ya, yaitu pertama, mengapa hal ini bisa terjadi, mengapa kita bisa sedemikian bergantung dan membutuhkan orang lain untuk memperlakukan kita sesuai keinginan kita, lalu kedua, bagaimana kita bisa menyikapi hal ini agar tidak menjadi pribadi yang terus bergantung pada hal di luar diri, yaitu sikap orang lain ini.
Mari kita mulai dari yang pertama, mengapa kita bisa sedemikian bergantung dan membutuhkan orang lain untuk memperlakukan kita sesuai keinginan kita.
Sebelum menyoalnya lebih jauh, saya luruskan dulu ya, punya standar atas bagaimana cara orang lain memperlakukan kita sebenarnya tidak salah, hal ini wajar karena kita hidup di lingkungan dimana ada norma sosial di dalamnya. Namanya menjalani hidup dengan norma sosial tentu kita belajar tentang tata krama, kita belajar tentang bagaimana sikap yang wajar yang seharusnya ditampilkan terhadap sesama, ketika ada norma sosial yang terlanggar ini ya wajar kalau kita merasa tidak nyaman.
Misalnya saja, kita diajari untuk menghormati sesama, ketika dalam kehidupan sehari-hari kita melihat ada orang yang tidak menampilkan sikap menghormati sesama ini tentu muncul rasa tidak nyaman, dan itu wajar, yang satu ini akan berhubungan dengan prinsip sosial, tapi namanya juga prinsip sosial maka – paling tidak – harus ada kesepakatan bersama atau kesepakatan kolektif yang menyetujui dulu seperti apa perilaku yang dianggap benar ini dan apa saja perilaku yang bisa melanggar prinsip sosial ini.
Nah, disini berdasarkan prinsip sosial tadi kita jadi punya standar kan atas bagaimana orang lain seharusnya memperlakukan kita, maka itulah saya katakan tadi, wajar untuk punya standar bagaimana seharusnya orang lain memperlakukan kita ini, yang menjadi tidak wajar adalah kalau standar ini tidak sama dengan standar yang dianut lingkungan dimana kita tinggal.
Tapi itu kan cakupannya sosial, sekarang kita masuk ke bahasan yang lebih personal ya, mengapa kita bisa sedemikian bergantung dan membutuhkan orang lain untuk memperlakukan kita sesuai keinginan kita, artinya kebutuhan ini tidak kita berlakukan pada semua orang secara sembarangan, melainkan pada orang tertentu yang kita rasa dekat dan kita merasa punya hubungan spesial bersama mereka, seperti tadi contohnya pada pasangan atau pada keluarga.
Sederhana, karena kita tidak bisa memberikan kebutuhan itu pada diri kita sendiri, atau tepatnya karena kita tidak terkondisikan untuk bisa memberikan kebutuhan itu pada diri kita sendiri, maka kita berharap orang lainlah yang memberikan kebutuhan itu untuk kita, dengan kata lain kita jadi menuntut mereka untuk memenuhi kebutuhan itu, ketika mereka tidak memberikannya kita pun jadi kecewa karenanya.
Ketika kita sedemikian memerlukan orang lain mengakui kita misalnya, bentuk lain di balik fenomena ini sebenarnya sederhana, yaitu karena kita tidak bisa mengakui diri kita sendiri.
Begitu juga ketika kita sedemikian memerlukan orang lain untuk bersikap hangat, romantis, mencintai, memahami dan apa pun itu perlakuan lainnya, bermula karena kita tidak bisa memberikan perlakuan itu pada diri kita sendiri, tidak bisa membangun semua perasaan itu dalam diri kita sendiri.
Mungkin ada yang bertanya…lho, bagaimana bisa, masa iya kita menujukan sikap hangat, romantis, mencintai, memahami, dan menghargai ini pada diri sendiri?
Pertanyaannya sebenarnya menurut saya perlu dibalik, lho…kenapa tidak bisa?
Nah di sini memang sering kali muncul banyak kebingungan, dari kecil kita banyak diajarkan untuk tahu cara bersikap terhadap orang lain, tapi kita tidak diajarkan untuk tahu cara bersikap terhadap diri kita sendiri, alhasil jadi canggung pada diri sendiri.
Padahal level ketulusan dari cara kita memperlakukan orang lain sebenarnya cerminan dari cara kita memperlakukan diri sendiri kok, mereka yang bisa memperlakukan dirinya dengan baik akan mampu memperlakukan orang lain dengan baik juga, dengan tulus dan tanpa berharap timbal-balik, jadi ya fokusnya ‘memberi’ saja, orang lain memberi balik perlakuan baik itu pada dirinya atau tidak, tidak jadi soal baginya.
Sementara mereka yang tidak bisa – atau belum bisa – memperlakukan dirinya dengan baik, mungkin bisa memperlakukan orang lain dengan baik, tapi akan ada harap-harap untuk diperlakukan dengan cara tertentu nantinya, karena memang perlakuan baik mereka pada orang lain menjadi sebuah cara agar mereka bisa mendapatkan yang mereka butuhkan balik sebagai gantinya.
Apakah ini manusiawi? Sangat…namanya manusia biasa ya wajar lah kalau masih ada kebutuhan ini, justru mereka yang bisa ‘hanya fokus memberi tanpa berharap’ ini yang sudah dikategorikan ‘manusia setengah dewa’…ya hanya istilah saja lah he…he…, artinya benar-benar sudah luar biasa, karena sudah selesai dan damai dengan dirinya sendiri secara penuh.
Jadi, memberi dan masih ada harap-harap tertentu ini masih manusiawi lah ya, tapi tetap saja menjadi ironi kalau-kalau harapan ini justru jadi penjara mental sendiri, menjadi sebuah lubang yang menganga, yang asalnya sebatas berharap mulai jadi menuntut, ini seringnya bikin repot diri sendiri dan orang lain di sekitar nantinya, karena kita jadi menuntut mereka untuk bisa memberikan yang kita perlukan, kalau kita di posisi yang tidak punya kuasa maka jadi ngenes sendiri ketika orang lain tidak memberikan itu, karena kebutuhan itu jadi tidak terpenuhi, tapi kalau kita di posisi yang punya kuasa malah jadi ‘drama’ sendiri karena orang lain memberikan itu karena ‘terpaksa’, untuk menghindari masalah dengan kita, jadi jenis hubungan yang malah palsu karenanya.
Lalu mengapa kita tidak bisa memberikan kebutuhan itu pada diri kita sendiri, atau mengapa kita tidak terkondisikan untuk bisa memberikan kebutuhan itu pada diri kita sendiri? Ini agak panjang lagi penjelasannya, karena akan banyak berhubungan dengan pengalaman tumbuh-kembang kita di waktu kecil dulu, jadi tidak saya bahas secara mendalam dulu lah ya…tapi bahasan ini pernah saya bahas di episode-episode podcast saya terdahulu, Anda bisa menemukannya nanti di sana lah ya.
Sederhananya saja, pengalaman kita sewaktu kecil mempengaruhi cara kita memandang diri kita sendiri, mempengaruhi cara kita meyakini kemampuan kita dalam bersikap atas diri kita sendiri, dan juga mempengaruhi cara kita memandang orang lain di sekitar, terutama dalam menetapkan harapan pada mereka untuk nantinya bersikap atas diri kita.
Pada akhirnya, mereka yang tidak bisa mencintai dirinya akan berharap orang lain untuk mengekspresikan cintanya pada diri mereka, mereka yang tidak bisa bersikap hangat dan romantis pada dirinya akan berharap orang lain untuk memperlakukan mereka dengan hangat dan romantis, mereka yang tidak bisa menghargai dirinya akan berharap orang lain menunjukkan penghargaan atas diri mereka, dan seterusnya lah, apa pun perilaku yang kita ‘bebankan’ untuk orang dekat kita penuhi, sampai-sampai menjadi ‘obsesi’ tersendiri, maka disini tersimpan indikasi bahwa kita tidak bisa memperlakukan diri kita seperti itu.
Kata kuncinya ada pada ‘obsesi’ tadi ya, artinya bisa saja kita melihat bahwa ada ‘ketidakberesan’ dari perilaku orang dekat, ya bukan ketidakberesan bagaimana, maksudnya ‘tidak sejalan dengan yang kita anggap seharusnya’, karena bagaimana pun kan kita juga punya ‘standar’ hasil bentukan lingkungan sosial kita dulu.
Ketika melihat ada ‘perilaku yang tidak sejalan dengan yang kita anggap seharusnya’ ini, maka waktunya kita meninjaunya ulang, kita lihat dari kacamata lingkungan sosial, apakah perilaku mereka bisa dikategorikan wajar. Seperti tadi contohnya, berharap pasangan memperlakukan dengan romantis dan hangat, bahkan sampai menggombali seperti di film-film, waktunya meninjau yang mana yang tidak wajar di situasi ini, apakah perilaku mereka yang tidak bisa memenuhi harapan kita, atau harapan kita yang berlebihan dan tidak wajar.
Dalam hal ini, saya tidak bisa berkomentar begitu saja mana yang tidak wajar ya, karena pertimbangannya kan banyak, belum lagi faktor sudut pandang sosial, tapi saran saya sederhana, carilah pandangan dari mereka yang kompeten di bidangnya untuk meninjau yang mana yang sebenarnya tidak wajar dari situasi itu, apakah sikap mereka yang tidak bisa memenuhi bahkan kriteria standar yang seharusnya dalam hubungan yang dijalani, ataukah harapan kita yang sebenarnya terlalu lebay tadi.
Kalau ternyata memang masalahnya muncul dari ‘sikap orang dekat yang bahkan tidak bisa memenuhi kriteria standar yang seharusnya dalam hubungan yang dijalani’, ya ini agak rumit, karena mensyaratkan perubahan pada diri orang lain kan, ini nantilah kita bahas di episode khusus, itu pun kalau ternyata topiknya dibutuhkan ya.
Tapi ketika masalahnya muncul dari harapan yang tidak wajar – ya seperti tadi itu – ingin perlakuan yang berlebihan meski sebenarnya secara standar perlakuan orang dekat sudah mengakomodir perlakuan yang seharusnya, maka waktunya kita introspeksi diri, apa yang membuat kita tidak bisa memberikan perlakuan itu pada diri kita sendiri.
Hal ini karena ‘mampu memberikan perlakuan terbaik ke diri sendiri’ ini menjadi kunci dari bagaimana menyikapi kerumitan kebutuhan yang tidak terpenuhi ini.
Ingat, kecewanya kita pada sikap orang dekat yang tidak sejalan dengan harapan kita melambangkan rasa kecewa kita pada diri sendiri karena kita tidak bisa memenuhi perlakuan itu pada diri kita sendiri, maka sejatinya diri kita sendirilah yang harus dibenahi.
Maka, belajarlah untuk mengenali dan memahami diri, ada kebutuhan apa yang kita rasa ‘menganga’ dalam diri kita yang menjadikan kita terobsesi untuk dipenuhi oleh orang lain.
Kenali dan pahami kebutuhan yang menganga itu bersumber dari bagian diri kita yang bagaimana dalam diri kita, bagian diri yang mana yang tidak mendapatkan cukup kebutuhan itu di waktu kecil dulu?
Sembuhkan luka yang dialami bagian diri yang merasa kebutuhannya tidak terpenuhi itu, berikan ia kebutuhan yang diperlukannya, dari diri sendiri, oleh diri sendiri dan untuk diri sendiri, maka kita akan menjadi pribadi yang lebih merdeka, yang tidak mempersoalkan terlalu banyak perilaku orang lain yang tidak sejalan, melainkan justru mampu menjadi orang yang lebih memahami sesama, menyadari luka-luka dalam diri sesama yang menjadikan mereka menampilkan perilaku tertentu, justru dengan itulah kita baru bisa mengubah lingkungan, karena kita membagikan yang kita miliki dalam diri kita keluar diri kita, membangun pengaruh positif atas diri mereka karena pengaruh positif itu sudah ada dalam diri sejati kita, kita memberikannya tanpa berharap-harap kembali dalam bentuk apa pun.
Tidak mudah pastinya, tapi hasilnya sepadan dengan kebebasan batin yang kita rasakan setelah mampu mencapainya.
Sampai jumpa di episode berikutnya.
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.