Episode 63 – Betahnya Dirimu Dalam Masalahmu Karena Kurangnya Rasa Muakmu
Mulut mengeluh tapi hati tidak bergeming, itulah ilustrasi dari mereka yang terus mengeluhkan situasi yang dialaminya, yang dirasanya tidak nyaman, tapi tidak kunjung melakukan tindakan yang membawa dampak perubahan signifikan apa pun.
Batas toleransi mereka atas ketidaknyamanannya sedemikian tinggi, yang menjadikan mereka bisa sedemikian ‘betah’ berlama-lama bergelung dalam permasalahannya.
Jika tidak ada keluhan terlontar, toleransi yang tinggi atas ketidaknyamanan menjadikan seseorang pribadi yang tangguh dan tahan banting, tapi jika sikap ini dibarengi dengan banyaknya keluhan yang terlontar tanpa adanya tindakan signifikan maka hal ini mencirikan ketidakselarasan antara mulut dan hati, yang sangat mungkin menandakan satu hal: kurangnya rasa muak dalam diri atas permasalahan yang dialami, yang menjadikan tidak munculnya tindakan tegas untuk menghasilkan perubahan.
Seperti apa peranan dari rasa muak untuk hasilkan perubahan nyata ini?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keenampuluhtiga Life Restoration Podcast berjudul ‘Betahnya Dirimu Dalam Masalahmu Karena Kurangnya Rasa Muakmu’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Betahnya Dirimu Dalam Masalahmu Karena Kurangnya Rasa Muakmu'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode enam puluh tiga.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, berjumpa kembali di episode ke-63 Life Restoration Podcast kali ini – seperti biasa tentunya – bersama saya, Alguskha Nalendra.
Mengawali podcast ini, doa terbaik pastinya, semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Berjumpa kembali kita di hari Kamis ini, hari yang spesial tentunya.
Bukan…bukan karena malam Jumat lho ya he…he…tapi karena sebagaimana Anda sudah familiar adanya, hari Kamis menjadi hari dimana episode Life Restoration Podcast ditayangkan di Youtube Channel saya.
Kalau di Spotify Channel sendiri episode Life Restoration Podcast sebenarnya ditayangkan di hari Rabu di setiap minggunya, jadi ada perbedaan jeda sehari.
Hanya saja menjadi lebih spesial ketika podcast ini ikut dimuat di Youtube Channel, bukan apa-apa, tapi karena adanya opsi interaksi di Youtube yang bisa dilakukan di kolom komentar setiap videonya, dibandingkan dengan Spotify yang bisa dikatakan lebih bersifat satu arah.
Meemang dari laporan analytic yang saya dapatkan dari Spotify sendiri, pendengar podcast ini di Spotify juga cukup banyak, cuma ya itu, karena saya tidak pernah berinteraksi bersama mereka jadinya saya tidak terlalu familiar juga dengan siapa saja para pendengar yang setia mendengarkan podcast ini di Spotify.
Nah, kalau Anda termasuk yang sering mendengarkan podcast saya di Spotify dan sedang mendengarkan pesan ini juga sekarang, nanti sempatkan untuk memberitahu saya di kolom komentar Youtube Channel saya ya tentang diri Anda, jadi saya juga tahu siapa saja para pendengar dan penyimak podcast saya di Spotify.
Tapi kalau sejak awal Anda memang hanya fokus mendengarkan podcast saya di Youtube Channel juga tidak apa-apa, sedikit banyak agaknya saya sudah cukup familiar dengan Anda, karena yang sering berinteraksi dan berkomentar di Youtube Channel saya kan orangnya cukup konsisten itu-itu juga ya he…he…
Intinya…terima kasih, karena berkat semua dukungan Anda juga saya bisa terus konsisten berbagi di media sosial yang saya miliki saat ini. Di Youtube sendiri, dari yang semula saya hanya mengunggah satu video perminggu, itu pun dulunya video podcast ini, sekarang sudah berkembang menjadi 4 video perminggunya, ditambah dengan rekaman dokumentasi dari live streaming yang berlangsung setiap Senin malam, totalnya menjadi 5 video perminggu.
Tidak jelek juga lah ya untuk seseorang yang boleh dikatakan ‘cukup baru’ dalam memasuki dunia media sosial ini, dari yang semula karya itu hanya digarap sendiri, sampai kemudian melibatkan tim desain khusus yang memang ditugaskan untuk itu di setiap minggunya.
Paling tidak, niatan untuk benar-benar melaksanakan proses revolusi pada akun media sosial ini benar-benar terlaksana dan terpelihara dengan cukup baik sejauh ini.
Baiklah, kita mulai saja masuk ke bahasan inti dari episode kali ini, yaitu bahasan tentang orang-orang yang terus saja betah dengan masalahnya, atau kondisi lamanya, yang ternyata disebabkan karena mereka belum cukup muak dengan kondisi lamanya itu.
Tenang, ilustrasi ini bukan tentang siapa-siapa juga kok, tapi tentang diri saya sendiri, atau tepatnya pengalaman saya, kalau ternyata ada kesamaan kisah, maka semua itu murni hanya kebetulan saja ya he…he…
Pengalaman ini juga dibagi dua nantinya, pengalaman saya membantu para klien saya untuk bisa berubah menjadi versi dirinya yang lebih baik, dan juga pengalaman saya sendiri dalam mengubah diri ini.
Kalau begitu kita mulai saja ya.
Begini, satu fenomena yang cukup sering saya temui ketika membantu para klien saya yaitu fenomena yang dialami oleh orang-orang yang sedang berada di sebuah kondisi yang dirasanya tidak nyaman, tidak membawanya bertumbuh kemana pun, tapi ia juga tidak melakukan apa-apa untuk bisa keluar dari kondisi itu, atau kalau pun melakukan sesuatu, bukanlah sesuatu yang signifikan yang nantinya bisa menghasilkan dampak perubahan yang signifikan juga.
Uniknya lagi, mereka mengeluhkan kondisi itu, baik secara terang-terangan, atau pun secara diam-diam, tanpa mengutarakannya pada siapa pun; tapi ya yang tadi itu, di mulut mereka mengeluh, tapi tidak ada tindakan berarti yang mereka lakukan.
Lagi-lagi lho ya, ini bukan tentang orang lain saja, ini juga tentang saya dulu di berbagai situasi yang pernah saya alami, saya sendiri pernah berada di situasi itu, merasa kesal dan gemas dengan situasi yang penuh keterbatasan, tahu bahwa situasi itu tidak membawa saya kemana pun, dan tahu bahwa waktu terus berlalu, tapi ya begitulah, seolah ada daya tidak terlihat yang menahan saya untuk pada akhirnya melakukan tindakan yang membawa dampak perubahan nyata untuk keluar dari situasi yang menghambat itu.
Bagaimana dengan Anda? Pernah menjumpai fenomena ini dialami oleh orang-orang di sekitar Anda? Ataukah jangan-jangan Anda termasuk yang pernah – atau bahkan sedang – mengalaminya seperti saya dulu?
Tenang, fenomena ini manusiawi, Anda tidak sendirian, ada begitu banyak orang yang mengalami hal yang sama dengan Anda.
Tapiii…hanya karena fenomena ini manusiasi dan wajar, bukan berarti harus dibiarkan juga kan? Justru membiarkan fenomena ini terjadi berlarut-larut juga yang menjadikan kita tidak kunjung melakukan tindakan berarti untuk bisa lepas dari masalah lama ini.
Jadi…intinya, menyadari bahwa hal ini manusiawi menjadi awal untuk kita tidak berlarut-larut ‘mengutuki diri’, tapi kemudian jangan menjadikan hal ini alasan untiuk tidak melakukan perubahan.
Tetap lakukan perubahan, bedanya adalah kali ini pahami hal-hal yang menjadikan kita tidak kunjung berubah itu dulunya, sampai nanti kita paham esensinya, maka berikutnya jangan ulangi kesalahan yang sama, belajar dari semua itu untuk bisa hasilkan tindakan yang benar-benar berdampak signifikan kali ini.
Nah, jadi apa kira-kira pembelajaran yang bisa kita dapatkan dari orang-orang yang terus saja bergelut dengan keluhan atas ketidaknyamanannya, tapi tidak kunjung melakukan tindakan signifikan untuk bisa lepas dari ketidaknyamanannya itu? Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Dari pengalaman saya – ini pengalaman pribadi lho ya – yang juga ternyata dialami oleh banyak orang yang juga saya bantu di berbagai sesi perubahan bersama saya, ternyata ada satu kesamaan esensial di balik semua itu: kurangnya rasa muak.
Lho…bagaimana bisa?
Sederhananya begini, di balik kesannya yang terdengar seperti kata negatif, ‘muak’ merupakan satu hal yang menjadi daya dorong yang besar untuk seseorang agar bisa lepas dari kondisi lamanya dan berpindah ke kondisi baru yang dirasanya lebih baik.
Mari kita gunakan sebuah contoh sederhana, bayangkan Anda sedang naik sebuah kendaraan umum, yang ternyata isi di dalamnya penuh dengan para penumpang.
Ini bayangkannya situasi sebelum pandemi lah ya, situasi dimana kendaraan umum masih diisi oleh orang-orang yang berjejalan di dalamnya he…he…
Nah, seiring kendaraan itu melaju dan Anda sendiri berdiri dengan berjejalan dengan banyaknya penumpang itu, Anda tiba-tiba mencium sebuah bau yang sangaaaat tidak sedap, sebut saja ‘bau’ lah.
Bau itu awalnya terasa samar-samar, tapi lama-lama bau itu terasa semakin menusuk hidung, sampai-sampai Anda merasa mual karenanya.
Anda lalu mencoba menutupi hidung dengan kerah baju atau mengalihkan perhatian, tapi memang bau itu tidak tertahankan, ia terus tercium dengan begitu mengganggu, sampai-sampai lama-lama rasa mual dalam diri Anda juga tidak tertahankan lagi karenanya.
Sampai sini, apa yang akan Anda lakukan? Anda akan terus berdiam dalam kendaraan umum ini, atau memintanya berhenti dan segera beranjak keluar, lepas dari situasi itu?
Saya tidak mengatakan mana yang benar mana yang salah ya, pertanyaan dan ilustrasi ini murni untuk menggambarkan seperti apa hubungan dari rasa muak dan tindakan.
Bau yang tidak tertahankan dalam ilustrasi kendaraan umum itu adalah ketidaknyamanan di situasi yang kita alami, ia merupakan ketidaknyamanan utama yang mengganggu, yang menyeruak di tengah-tengah ketidaknyamanan lain yang juga ada di saat yang sama, yang diilustrasikan dengan berjejalnya kita di kendaraan umum itu.
Respon kita atas segala ketidaknyamanan itu melambangkan batas toleransi kita atas ketidaknyamanan yang sedang kita alami sebelum mencapai batas muaknya.
Di titik ketika kita sudah benar-benar muak dan tidak tahan lagi dengan ketidaknyamanan itu, maka saat itulah kita melakukan tindakan tegas untuk lepas dan keluar dari situasi itu.
Nah, tapi disini juga titik keunikannya, batasan rasa muak ini berbeda-beda dalam diri setiap orang.
Ada orang-orang yang memiliki toleransi ketidaknyamanan yang memang tinggi, alhasil meski situasi yang mereka alami sudah membuat mereka tidak nyaman sekali pun, mereka tidak melakukan tindakan signifikan apa pun, karena memang ketidaknyamanan yang mereka alami di situasi itu belum cukup untuk mendobrak batas rasa muak mereka.
Artinya, meski di mulut mereka berkeluh dan mencurahkan pemikiran serta perasaannya atas yang dirasanya tidak nyaman, lain lagi dengan yang dirasakan dengan sebenar-benarnya di hatinya. Meski memang iya hal itu tidak nyaman, tapi kalau mau jujur sebenarnya yang dirasa tidak nyaman itu masih berada di batas ambang toleransinya, kalau pun ia masih harus berada di zona itu untuk beberapa saat lagi, ia masih akan bisa menahannya, dan belum akan cukup muak karenanya.
Sederhananya begini. Ketika seseorang sudah benar-benar muak, bahwa yang dirasanya sudah benar-benar mendobrak batas rasa muaknya, maka ia pasti akan melakukan tindakan, kita mengenalnya dengan istilah ‘habis kesabaran’, nah bedanya dalam hal ini ‘habis kesabaran’ ini menjadi sesuatu yang positif, karena ia menjadi penanda bahwa kita siap untuk bangkit bergerak dan melakukan tindakan nyata, bukan sekedar tindakan, tapi tindakan yang benar-benar akan bawa kita keluar dari zona tidak nyaman lama itu.
Tanpa adanya rasa muak itu, maka segala ketidaknyamanan itu justru berubah menjadi kenyamanan tersendiri, malah jadi terbalik kali ini.
Maksudnya bagaimana kok bisa begitu? Begini, iya kita tidak nyaman dengan situasi yang sedang berlangsung, tapi untuk bisa keluar dari situasi itu pastinya ada konsekwensi tersendiri yang harus kita tebus kan? Ada pengorbanan yang harus kita tempuh kan? Bersama konsekwensi dan pengorbanan itu memangnya tidak ada ketidaknyamanan tersendiri? Pasti ada kan.
Nah di sinilah terjadi pembalikan situasi tadi, di satu sisi iya kita tidak nyaman dengan situasi yang sedang berlangsung, tapi potensi resiko yang menyertai tindakan melakukan perubahan ini juga tidak kalah besarnya, setidaknya itu yang kita rasakan, potensi resiko ini bisa berupa pengorbanan waktu, tenaga, biaya, perasaan, atau bisa apa pun, dimana semua itu lagi-lagi memberikan ketidakpastian tersendiri.
Alhasil, di satu sisi memang ada ketidaknyamanan, ini tidak terbantahkan, tapi di sisi lain ketidaknyamanan ini masih ‘lebih pasti’ dibandingkan dengan potensi ketidaknyamanan yang mungkin terjadi ketika upaya perubahan itu ditempuh.
Cara kerja pikiran bawah sadar adalah mengutamakan efisiensi dan keamanan, tepatnya: untuk memastikan penggunaan energi dalam diri kita berjalan efisien atau aman.
Jika ada satu hal yang jelas-jelas dirasa pasti, meski itu ketidaknyamanan sekali pun, maka hal ini akan lebih dipertahankan oleh pikiran bawah sadar, daripada ia harus menempuh resiko perubahan yang masih mungkin memberikan potensi resiko yang lebih tidak pasti.
Di sisi lain, ingat batas toleransi ketidaknyamanan tadi? Hal ini juga menambah suasana tersendiri yang tidak kalah serunya, dengan cara kerja pikiran bawah sadar yang lebih mengutamakan efisiensi dan keamanan tadi, ditambah dengan adanya ambang batas toleransi ketidaknyamanan yang tinggi, maka lengkap sudah peran penderita yang dimainkan, di satu sisi hal ini tahu tidak dirasa nyaman, tapi apa daya berbagai mekanisme yang ada malah terus menempatkan diri di situasi itu, yang justru dirasanya aman.
Paradoks? Memang!
Maka itulah rasa muak menjadi kunci untuk bisa mendobrak batasan lama dari semua situasi itu, dengan rasa muak ini toleransi kita atas ketidaknyamanan itu berkurang dan bertambah juga kesiapan kita untuk mengambil resiko ketidakpastian, semata karena kesabaran kita sudah habis untuk harus terus bergelung di situasi lama.
Kembali ke ilustrasi kendaraan umum tadi saja, selama kadar dari rasa bau dan ketidaknyamana yang ada masih bisa kita tahan, maka kita masih akan menahan diri untuk tetap berada di dalamnya kan, semata karena kita juga tidak tahu kalau turun dari kendaraan umum itu akan harus bagaimana nantinya, apalagi kalau ternyata sumber daya yang kita miliki terbatas, kurang ongkos misalnya, atau karena minimnya kendaraan umum lain yang bisa kita temukan kalau-kalau kita sampai turun di tengah jalan itu.
Yes, ilustrasi itu juga menggambarkan dua hal tambahan yang bisa melengkapi batas toleransi ketidaknyamanan yang tadi kita ulas, dua hal tambahan ini yaitu: kurangnya sumber daya dan pilihan.
Seseorang bisa semakin bergelung dengan ketidaknyamanannya jika memang ia sendiri merasa sedemikian tidak berdaya, ia sendiri ragu dengan kemampuan dirinya, lalu ia sendiri juga tidak tahu ada pilihan apa yang tersedia di luar sana, di luar situasi yang selama ini dirasanya tidak nyaman itu.
Itu juga yang saya alami dulu, di tengah situasi ketidaknyamanan yang sedemikian terasa mengganggu itu rasanya benar-benar menyiksa, tapi ketika saya membangun kesadaran atas diri sendiri, kalau dipikir-pikir sebenarnya tanpa disadari kadar dari rasa ketidaknyamanan itu masih bisa saya tanggung, dengan kata lain: kadar dari rasa muak yang ada belum cukup untuk mendobrak batas toleransi ketidaknyamanan itu.
Kenapa kadar dari rasa muak yang ada belum cukup? Karena memang kembali ke bahasan sebelumnya tadi, tindakan perubahan yang harus diambil untuk bisa keluar dari situasi itu akan sedemikian menyita waktu, tenaga dan perasaan yang tidak sedikit, disinilah baru membayangkannya saja sudah enggan rasanya, maka wajar saja kalau kemudian mulut mengeluh tapi sebenarnya hati masih tidak bergeming untuk beranjak keluar dari situasi itu.
Kenapa tindakan perubahan yang harus diambil ini dirasa besar? Karena dulu saya memandang diri saya kecil, ada masalah dengan rasa tidak layak dalam diri saya yang menjadikan saya merasa diri ini terlalu kecil untuk melaksanakan berbagai tindakan besar itu.
Butuh waktu untuk bisa benar-benar tertampar oleh rasa muak yang tidak tertahankan ini, sampai di batas dimana rasa muak ini benar-benar membuat saya memutuskan untuk bangkit dan benar-benar bergerak, melakukan tindakan besar untuk menghasilkan tindakan yang sama besarnya juga.
Disinilah kata-kata mutiara yang sering kita dengar menjadi penting adanya: “Kalau sesuatu itu penting bagimu, maka kau akan temukan cara, jika tidak maka kau akan temukan alasan”, saya sendiri kemudian mengubahnya menjadi “Kalau sesuatu itu benar-benar membuatmu muak maka kau akan temukan cara mengubahnya, jika tidak maka kau akan temukan alasan”.
Ya, disinilah berbekal rasa muak ini berbagai tindakan signifikan mulai tercipta secara perlahan dan bertahap, yang esensi dari prosesnya ini kemudian saya bagikan pada para klien saya.
Maka demikianlah, menutup episode kali ini, proses ini juga yang ingin saya bagikan pada Anda, yang terdiri dari tiga langkah, tepatnya: tiga langkah esensial untuk bisa mendobrak batas ketidaknyamanan diri dan bertindak besar.
Pertama, ciptakan rasa muak, sadari dan renungkan sampai kapan situasi ini bisa dan rela Anda jalani, sadari apa benar Anda rela membuang waktu dan hidup Anda hanya untuk terus menjalani situasi yang memenjarakan potensi diri Anda yang sebenarnya, hidup ini singkat, apa pantas hidup yang singkat ini terbuang untuk menjalani kehidupan yang sebenarnya bukan kehidupan yang kita inginkan atau layak dapatkan?
Munculkan rasa muak yang menggetarkan diri, sampai terbangun sebuah rasa greget yang tidak tertahankan, yang kemudian menuntun pada kesiapan untuk benar-benar melakukan tindakan besar, tidak ada alasan apa pun lagi untuk menahan diri dalam hal ini.
Kedua, sadari pilihan, ingat ilustrasi kendaraan umum tadi, yang bisa menghambat kita untuk turun dari kendaraan tadi adalah jika kita ragu bahwa masih ada pilihan transportasi lain untuk mengantar kita ke tempat tujuan.
Begitu juga dengan pilihan atau kemungkinan yang ada ini, sadari bahwa jangan-jangan kita tidak kunjung melakukan tindakan besar karena tidak menyadari keberadaan dari pilihan ini, kita tidak tahu apa opsi yang tersedia untuk kita ambil di luar sana agar bisa keluar dari situasi yang tidak nyaman dan dilematis ini.
Maka, perluas wawasan, banyak belajar, banyak bersosialiasi, banyak membuka diri, sadari lebih banyak pilihan yang ada di luar sana, hal ini akan lebih membangun kekuatan dalam diri kita untuk bisa benar-benar melakukan tindakan nyata yang membawa perubahan.
Ketiga dan terakhir, bangun sumber daya dan kapasitas diri, ingat juga di ilustrasi kendaraan umum tadi, bahwa yang menghalangi diri kita untuk bertindak besar adalah karena kita sendiri yang memandang diri kita kecil dan tidak pantas untuk bertindak besar.
Sudut pandang inilah yang harus kita ubah, dengan meng-upgrade diri, meningkatkan kapasitas diri dengan pengetahuan dan keahlian yang prima, yang memadai, yang memungkinkan kita untuk nantinya benar-benar melakukan tindakan besar dan mampu menempatkan diri di lingkungan yang besar juga nantinya.
Kombinasi dari ketiga hal inilah yang nantinya akan menuntun kita, atas ijin Tuhan, untuk bertekad kuat keluar dari situasi lama yang menghambat, karena adanya kesadaran dalam diri tentang pilihan-pilihan yang tersedia di luar sana dan keyakinan diri yang positif atas kapasitas dan kelayakan diri kita untuk melakukan tindakan-tindakan besar yang bisa membawa dampak nyata.
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.