Episode 66 – Puasa Sebagai Tanda Mencintai Diri
Puasa atau upawasa menjadi satu aktivitas yang dilaksanakan di berbagai ajaran spiritual, dan memang hal ini ada bukan tanpa alasan, melaikan karena banyak sekali manfaat yang diberikan aktivitas mengendalikan nafsu ini.
Bagi saya, puasa bukan hanya sekedar aktivitas mengendalikan nafsu fisik dan psikis, melainkan juga sebagai tanda mencintai diri.
Sebagai bagian dari proses mencintai diri, hal ini menjadikan energi psikis terisi dengan lebih baik dan membantu untuk lebih memaksimalkan potensi sukses.
Bagaimana bisa aktivitas yang terkesan menyulitkan ini justru menjadi tanda mencintai diri?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga segala ibadah yang dijalankan menjadi bekal kebaikan bagi diri-sendiri dan juga bagi mereka yang dikasihi.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keenampuluhenam Life Restoration Podcast berjudul ‘Puasa Sebagai Tanda Mencintai Diri’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Puasa Sebagai Tanda Mencintai Diri'
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode enam puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, episode 66 kali ini.
Mengawali episode kali ini, seperti biasa tentunya, doa terbaik bagi Anda sekalian semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Dan episode kali ini pun bertepatan dengan minggu pertama di bulan Ramadhan tahun 2022, bulan dimana para umat Muslim menjalankan ibadah puasa.
Bagi semua yang menjalankan ibadah puasa, selamat menunaikan ibadah puasa, doa terbaik juga bagi Anda sekalian, semoga selalu dilancarkan dan diberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa ini dari awal sampai selesai nanti.
Nah, mengingat episode kali ini diunggah bertepatan dengan bulan Ramadhan, agaknya ada baiknya juga kalau episode kali ini mengangkat tema bahasan yang berhubungan dengan bulan Ramadhan ini, betul?
Di live streaming yang saya adakan Senin malam kemarin, 4 April, 2022, di Youtube Channel saya, saya sudah mulai mengangkat tema pentingnya berpuasa bagi optimasi daya pikiran bawah sadar.
Dan memang demikian kenyataannya, berpuasa menjadi satu aktivitas yang menaikan daya potensi pikiran bawah sadar. Untuk lebih lengkapnya nanti Anda lihat bahasannya di episode live streaming saya yang tadi saya sebutkan itu lah ya, silakan kunjungi Youtube Channel saya dan temukan bahasannya di sana.
Sekalian juga, mumpung sedang berkunjung ke Youtube Channel saya, ya sempatkan juga lah ya melihat-lihat konten lainnya yang ada di channel itu, ada banyak konten yang sudah saya siapkan sebagai muatan inspirasi tersendiri sehubungan dengan tema restorasi kehidupan dan transformasi diri.
Oke baiklah, seperti saya katakan tadi, episode kali ini akan mengangkat tema yang berhubungan dengan bahasan di bulan Ramadhan, dan karena ini masih di minggu-minggu pertama, kita mulai dari bahasan yang paling mendasar ya, yang berhubungan dengan kegiatan berpuasa itu sendiri, tepatnya yaitu: “Berpuasa Sebagai Wujud Mencintai Diri”.
Kita mulai dari bahasan ini dulu ya, karena bahasan paling mendasar di bulan Ramadhan ini memang akan berhubungan dengan aktivitas yang satu ini dulu, baru nanti di episode-episode berikutnya kita akan mulai membahas berbagai tema yang lebih dalam lagi, menyelami esensi atau hakikat dari pengendalian diri yang juga menjadi tema yang lebih mendalam dari bulan Ramadhan.
Nah, berpuasa sebagai wujud mencintai diri, apa maksudnya? Bagaimana bisa dengan melakukan aktivitas yang sekilas terlihat seperti menyusahkan diri ini kita justru mencintai diri? Tenang dulu, justru itu yang akan kita bahas kok he…he…
Begini, mari kita sadari dulu, tanda cinta itu apakah berarti kita selalu memberikan hal yang menyenangkan atau memanjakan?
Nah, jawaban dari pertanyaan itu saja itu seharusnya sudah menjadi jawaban dari keseluruhan episode podcast ini lho he…he…
Jangan jauh-jauh deh, bagi Anda yang sudah punya anak saja contohnya, apakah tanda sayang itu selalu artinya memberikan yang mereka minta, apa pun itu, yang bisa membuat mereka senang dan nyaman? Tidak kan?
Tanda sayang itu memberikan yang kita tahu membawa kebaikan, meski mungkin tidak selalu membuat senang dan nyaman.
Misalnya anak Anda meminta untuk diberikan barang yang Anda tahu tidak sesuai dengan usianya dan akan membawa bahaya kalau ia dapatkan, di satu sisi Anda tahu ia akan merasa senang kalau mendapatkan barang itu, tapi di sisi lain Anda juga tahu bahwa barang itu akan membawa bahaya untuknya, Anda akan memilih yang mana? Tetap memberikan barang itu atau tidak memberikannya?
Ketika tidak memberikannya, Anda tahu hal itu akan membuatnya tidak senang dan tidak nyaman, atau bahkan mungkin marah, jadi sebagai tanda sayang Anda akan memilih yang mana, memberikannya atau tidak memberikannya?
Iya…iya...akan ada saja yang menjawab “Berikan tapi sambil diawasi,” ada juga yang mungkin menjawab “Tidak memberikan, tapi sambil menjelaskan’, itu semua betul, hanya pertanyaan saya tadi pertanyaan dasar dan sederhana, situasinya juga sederhana, berikan atau tidak, itu saja, tidak usah ada “tapi”-nya.
Nah, jawabannya secara mendasar adalah “Tidak”, kan? Mengenai nantinya “tidak” ini sambil dijelaskan atau bagaimana lebih lanjutnya, itu lain soal, intinya tidak diberikan.
Sekarang “tidak diberikan” ini – yang membuatnya tidak nyaman – apakah menjadi tanda bahwa kita tidak sayang pada anak kita? Justru sebaliknya kan, karena kita tahu itulah yang terbaik untuk kebaikannya.
Begitu juga aktivitas berpuasa, adalah tanda sayang kita pada diri kita sendiri, bukan aktivitas menyiksa diri.
Tapi bagaimana penjelasan lebih lanjutnya? Ya ini yang akan kita bahas sekarang.
Puasa, atau istilah lebih familarnya dalam budaya Nusantara adalah “upawasa”, menjadi sebuah aktivitas yang ada hampir di setiap ajaran spiritual, maka tidak mungkin aktivitas itu ada di setiap ajaran spiritual itu kalau tidak ada manfaat nyata darinya, betul?
Ilustrasi yang saya gunakan untuk menggambarkan manfaat dari puasa adalah ilustrasi yang kurang lebih mirip dengan aktivitas fitness atau gym, aktivitas olahraga yang membangun bentuk tubuh lah ya intinya.
Ketika kita melakukan aktivitas olahraga yang membangun bentuk tubuh, seperti fitness tadi, apa yang sebenarnya kita lakukan? Mengarahkan dan mengerahkan aktivitas fisik untuk sesuatu yang melelahkan dan bahkan menyakitkan, betul?
Belum lagi, bagi mereka yang melakukan aktivitas olahraga untuk membangun bentuk tubuh ini, sudah pasti pola makan mereka ikut berubah, sudah pasti akan ada jenis-jenis makanan yang harus mereka hindari, yang mungkin saja sebelumnya biasa dinikmati, sekarang menjadi sesuatu yang dihindari.
Apa-apa yang dulu membuat nyaman karena bisa dan biasa dimakan begitu saja, sekarang menjadi tidak dimakan, yang tentunya membuat jadi tidak nyaman dan mungkin bahkan menyakitkan bagi sebagian orang, sudah tubuh diporsir dengan aktivitas yang tidak nyaman, mulut juga disiksa dengan tidak bisa mendapatkan yang diinginkan.
Lagi-lagi, apakah itu tanda kita tidak sayang dengan tubuh kita? Jelas tidak, itu justru menjadi sebuah tanda bahwa kita sayang dan peduli dengan kesehatan kita kan?
Artinya, tanda sayang itu tidak selalu dalam bentuk apa-apa yang memanjakan, bisa jadi tanda sayang itu didapat dari aktivitas yang sifatnya menempa diri kita, menempa diri untuk bisa menahan ketidaknyamanan.
Tapi jangan salah, meski ketidaknyamanan itu nyata, sifatnya jangka pendek kok, jadi sebetulnya yang terjadi ya kita mengalami ketidaknyamanan jangka pendek, untuk kebaikan dan kenyamanan yang lebih bersifat jangka panjang lagi.
Puasa juga kurang lebih seperti itu, ia menjadi tanda sayang kita atas diri sendiri, yaitu tanda sayang kita pada tubuh fisik kita, dan pada mental-psikis kita.
Kita mulai dari bahasan pertama, yaitu bagaimana puasa menjadi tanda sayang pada tubuh fisik kita ya.
Begini, pernahkah kita berpikir bahwa dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani, ada kalanya – dan bahkan sering – kita tidak sadar atas apa saja yang kita masukkan dalam tubuh kita, tidak memikirkan dampaknya pada tubuh kita, apalagi kalau kita termasuk orang yang kalau makan tidak bisa mengendalikan nafsu makan, sudah porsinya berlebih, jenis makanan yang dimakan juga adalah jenis yang ternyata nutrisinya buruk bagi tubuh kita.
Sekarang kalau tubuh kita terus dijejali hal seperti itu, apa yang akan terjadi? Ya hanya tunggu waktu saja sebelum tubuh itu konslet, itu istilah perumpamaan ya, yang intinya adalah tubuh ini kemudian tidak kuat lagi menahan asupan yang sedemikian tidak baik baginya, sampai-sampai ia rusak dan sakit.
Nah, berpuasa adalah salah satu aktivitas yang memberikan tubuh kita jeda sesaat, kita beristirahat dari aktivitas tidak sehat yang biasa dilakukan melalui makan tidak teratur dan tidak terkendali yang biasa dilakukan, lalu memberikan tubuh jeda untuk menata ulang berbagai cara kerjanya, tidak ubahnya seperti detoks.
Akan muncul ketidaknyamanan tidak di sini? Ya pasti, diri kita yang sudah biasa menerima makanan yang disukai dan dirasa nyaman di jam-jam yang biasa diperolehnya, kali ini tidak mendapatkan itu, maka akan muncul rasa ketidaknyamanan pastinya.
Tapi yang perlu kita sadari adalah itulah yang tubuh kita memang butuhkan, memang ia butuh berada di mode ketidaknyamanan itu untuk beberapa saat, agar bisa menata ulang cara kerjanya.
Di mode ketidaknyamanan ini juga muncullah beberapa efek yang dirasa tidak nyaman, seperi lemas, lesu, belum lagi mekanisme pengeluaran atau pembuangan yang juga tidak seperti biasanya, tapi memang itu yang diperlukan tubuh kita, untuk menyeimbangkan kembali sistem yang selama ini terlanjur tidak sehat maka akan ada dampak-dampak tidak nyaman yang muncul dalam proses penyeimbangan ulang ini.
Tapi jangan salah, semua proses penyeimbangan ini, atau manfaat positif dari puasa ini hanya akan terjadi kalau sudah ada “niat” yang benar sebagai landasannya, niat yang tepat ini juga yang akan menjadi “pengawal”, membantu kita menjaga kualitas puasa yang kita lakukan, bahkan memetik manfaat terbaik darinya.
Di episode sebelumnya saya sudah membahas pentingnya kekuatan dari sebuah niat, untuk ketahui lebih jelasnya nanti silakan Anda kunjungi episode sebelumnya ya, tepat di episode sebelum episode ini kok, berarti di episode 65, itu silakan Anda simak juga kalau ingin mendapatkan keterhubungan yang lebih menyeluruh atas semua bahasan ini.
Niat yang benar dan tepat menjadikan proses puasa itu berjalan dengan benar juga, dan menjadikan tubuh benar-benar melakukan penyeimbangan ulang dengan sehat.
Orang yang mengalami kelaparan tapi tidak disertai niat berpuasa tidak akan mengalami proses penyeimbangan ulang ini, tapi bagi mereka yang sejak awal meniatkan untuk berpuasa maka proses penyeimbangan ulang ini menjadi sesuatu yang akan benar-benar menyehatkan diri mereka.
Nah itu pentingnya niat yang tepat dalam berpuasa ini, artinya niat yang tepat ini juga yang akan menjadi jalan pembuka untuk kita bisa menyayangi diri dengan baik, dengan kata lain: meniatkan melakukan puasa dengan baik, menandakan kita meniatkan untuk menyayangi diri dengan baik.
Tapi ya itu tadi, saya mengatakan “niat yang tepat”, kenapa? Karena bisa jadi niatnya tidak tepat. Niat yang tidak tepat ini biasanya muncul dari cara pandang yang tidak tepat juga atas proses itu sendiri.
Bagaimana bisa? Ya ini sederhana sekali, kita jujur-jujuran saja deh, ada banyak juga orang yang berpuasa karena merasa itu sebuah keharusan atau kewajiban semata kan? Bukan sebagai sebuah kerelaan.
Karena cara pandangnya seperti itu, ya niat puasanya juga kurang lebih seperti itu, hanya akan menjadi sebatas penggugur kewajiban saja.
Meski niat ini akan tetap membantu mengawal prosesnya, menjadikan kita cukup kuat, tapi ya hanya sebatas kuat untuk menahan lapar dan haus, bukan untuk mendapat manfaat penyeimbangan terbaik dari prosesnya.
Niat yang tidak tepat ini juga yang sering kali menjadikan esensi dari puasanya berubah, puasa yang seharusnya menjadi media mengendalikan nafsu malah menjadi media memindahkan nafsu, artinya ketika berpuasa bisa menahan lapar dan haus, tapi ketika sudah memasuki waktu berbuka si nafsu lapar dan haus itu langsung dilepas begitu saja, segala dimakan dan segala diminum, nafsu lapar dan haus yang satu hari itu dikekang langsung dikeluarkan kembali, kalau begitu ya tidak ada bedanya kan, hanya memindahkan nafsu saja, si manfaat penyeimbangan tubuh juga tidak akan terjadi dengan baik.
Niat yang tidak tepat, yang hanya untuk memindahkan nafsu ini, jelas tidak menjadi sebuah niatan untuk menyayangi diri, hanya menjadi sebuah ritual semu saja.
Jadi mari sadari, niat yang tepat sangat penting adanya, niat yang tepat ini hanya bisa kita miliki kalau ada cara pandang yang tepat akan proses puasa itu sendiri.
Sekarang kita masuk ke bahasan kedua, yaitu bagaimana puasa menjadi tanda sayang pada mental-psikis kita.
Bahasan ini akan lagi-lagi mengajak kita untuk fokus pada cara pandang dan niat yang tepat tadi, kalau niat yang dimiliki sudah tepat, maka akan terjadi dampak peningkatan kesadaran pada mental-psikis kita.
Sederhananya begini, bagi mereka yang meniatkan dan memang melakukan puasanya dengan benar, pasti ada peningkatan kewaspadaan diri dalam mengawal dorongan nafsu atau keinginan, akan ada sebuah kekuatan yang lebih bisa membantu kita untuk mengatakan “tidak” pada hal-hal yang kita tahu bertentangan dengan esensi dari puasa itu.
Dalam kondisi tidak berpuasa, godaan-godaan itu bisa sedemikian kuatnya dan membuat kita jadi mudah untuk terbawa dan tahu-tahu melakukan tindakan yang padahal kita tahu tidak baik itu, dan setelahnya muncullah rasa bersalah karenanya.
Nah, puasa memberikan kita kekuatan mental-psikis lebih untuk lebih bisa mengendalikan diri tadi, dengan catatan: niatnya tepat.
Meningkatnya kekuatan mental-psikis ini menjadikan juga daya intuisi kita meningkat, karena daya atensi kita sedang banyak tertuju pada diri kita sendiri, pada berbagai sensasi yang kita rasakan.
Ya, semua sensasi yang menyertai puasa, seperti lapar, haus, lemas atau sebagainya, ketika kita menyadari semua itu dan bisa berdamai dengan semua sensasi itu, melakukan penerimaan atau acceptance kalau istilah Inggrisnya, maka akan terjadi peningkatan kesadaran dan intuisi, karena ada sistem energi yang sedang dimatangkan dalam diri kita.
Artinya, hal ini juga mengajak kita untuk bijak, karena kan ada saja orang-orang yang memberikan tips untuk lebih bisa menahan lapar dan haus dalam berpuasa, atau ada juga yang malah memilih untuk tidak melakukan aktivitas apa-apa ketika berpuasa, tidur sepanjang hari atau bersantai-santai, ya kalau seperti itu esensi puasanya sama saja hilang dong, justru bersama rasa lapar, haus, menahan nafsu dan sensasi lain yang menyertai puasa sambil menjalankan aktivitas rutin, disitu terletak momen peningkatan energi kalau kita bisa berdamai dengan semua sensasi itu.
Kalau memberikan tips untuk tetap bugar boleh saja lah, karena itu kan membantu kita untuk lebih bisa beraktivitas dengan siaga, tapi ya bugar itu kan tidak selalu juga bebas lapar dan haus, bisa saja meski lapar dan haus tapi tetap bugar untuk beraktivitas.
Lagipula kalau tolak ukur kualitas puasa itu hanya ada pada menahan lapar dan haus, ya mereka yang sehari-harinya memang bergelut dengan kelaparan pasti sudah mendapatkan manfaat yang lebih besar dari semua itu, maka itulah esensinya bukan sekedar di lapar dan hausnya, tapi ke momen bersahabat dengan diri sendiri, mendekatkan diri dengan diri sendiri.
Maka itu juga, ketika melakukan puasa, dengan niat yang tepat, persiapkan diri untuk merasakan dan menghayati berbagai sensasi yang muncul menyertainya, ketika muncul rasa lapar dan haus, jangan keluhkan, jangan coba untuk tolak sensasi itu, justru rasakan, resapi dan hayati sensasi itu, seperti menyatu dengan sensasi itu lebih dalam, jaga tingkat kesadaran, jaga niat yang tepat dan kuat, lalu menyatu dengan sensasi itu.
Meski awalnya terasa aneh tapi lama-lama pasti akan ada sesuatu yang berbeda terasa di tubuh dan pikiran, semakin lama dan sering kita lakukan, disinilah sistem energi diri meningkat dan intuisi juga ikut meningkat, itulah kenapa ritual puasa ini juga sering dipakai oleh mereka yang ingin mendapatkan ilmu atau kesaktian metafisik tertentu, pastinya dengan peruntukkan dan caranya masing-masing.
Tapi kita tidak bicarakan itu lah ya di podcast ini, nanti jadi menyimpang temanya, jadi kita kembalikan dulu ke tema utama kita bahwa puasa itu tanda kita mencintai diri.
Jadi seperti itu tadi bahasan utama kita, dengan segala manfaat yang menyertai puasa, maka tidak heran kalau kita – dengan niat yang tepat – menjalankannya, akan ada begitu banyak manfaat yang kita dapatkan, baik bagi kesehatan fisik kita dan kesehatan mental-psikis kita, karena sistem energi yang naik-meningkat darinya.
Dengan semua manfaat itu bukankah jadi ada lebih banyak lagi peningkatan kualitas hidup yang bisa kita dapatkan? Bukankah itu sama saja kita mengijinkan diri untuk bisa lebih baik, berkembang dan sukses lagi?
Yang terpenting, bukankah itu tanda kita mencintai diri kita sendiri?
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.