Episode 69 – Yakin Sudah Benar-Benar Memaafkan?
Menyongsong hari raya Idul Fitri yang akan berlangsung minggu depan, episode podcast kali ini menyoroti sebuah fenomena yang identik dengan perayaan hari raya ini di Indonesia, yaitu “maaf-memaafkan”.
Bersama kalimat “mohon maaf lahir dan batin” yang kerap terucap mengiringi hari raya Idul Fitri, mari kita renungkan: seberapa yakin kita bahwa kita sudah benar-benar memaafkan?
Adakah jangan-jangan istilah “maaf lahir dan batin” ini hanya menjadi istilah sok bijak saja, sebuah istilah formalitas yang harus diucapkan di setiap momen akhir Ramadhan, tapi kehilangan maknanya?
Bagaimana kita tahu bahwa kita benar-benar sudah memaafkan? Adakah level yang lebih tinggi dari memaafkan ini?
Simak ulasannya di Audio Podcast berikut ini.
Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga segala ibadah yang dijalankan menjadi bekal kebaikan bagi diri-sendiri dan juga bagi mereka yang dikasihi.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode keenampuluhsembilan Life Restoration Podcast berjudul ‘Yakin Sudah Benar-Benar Memaafkan?’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Yakin Sudah Benar-Benar Memaafkan?
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode enam puluh sembilan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa seperti biasa di Life Restoration Podcast, bersama saya, Alguskha Nalendra.
Dan memasuki episode ke-69 kali ini, episode yang juga mewarnai minggu terakhir bulan Ramadhan tahun 2022.
Seperti biasa juga tentunya, mengawali podcast ini, doa terbaik untuk Anda, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi, dan tidak lupa, selamat menunaikan ibadah puasa bagi Anda yang melaksanakannya, semoga selalu dilancarkan dan diberikan kekuatan dalam menjalankan ibadah puasa sampai selesai nanti.
Memasuki minggu terakhir bulan Ramadhan…mendekati hari raya Idul Fitri…sudah bisa menebak tema yang akan diangkat di episode kali ini kan?
Yes betul…apa lagi kalau bukan seputar “maaf-memaafkan”…
Ya maklum saja lah ya, namanya juga podcast kekinian, jadi bahasannya juga ya seputar fenomena yang sedang berkembang secara kekinian juga, mengikuti tren lah istilah sederhananya.
Setelah lebih dari 60 episode podcast ini diluncurkan, saya juga mulai cukup familiar lah ya dengan segmen yang mengikuti podcast ini, dan begitu juga segmen yang menyukai podcast ini agaknya sudah cukup familiar dengan konsep dari podcast ini, ada yang bahkan setia sekali mengikuti setiap episode podcast ini, dari awal episode 1 dulu, sampai ke sekarang ini, jadi saya juga tidak akan terlalu berpanjang lebar menjelaskan alasan kenapa saya menggunakan konsep mengikuti tren ini ya.
Intinya, selain memastikan bahasannya relevan dengan situasi yang sedang berlangsung, juga bisa menjadi “jejak pengingat”, jadi kalau suatu hari nantiii di masa depan kita mengunjungi lagi isi podcast ini, dengan melihat tanggal episode podcast itu kita juga jadi cukup tahu apa tren yang sedang berlangsung selama periode itu.
Siapa yang tahu juga kan isi dari podcast ini ternyata terpelihara sampai berpuluh-puluh tahun lamanya, menjadi warisan untuk anak-cucu kita nantinya, menjadi manfaat tersendiri bagi mereka.
Ya harapan saya sih begitu ya, karena memang jujur saja podcast ini juga dibuat sebagai ajang saya menciptakan legacy, atau sesuatu yang bermanfaat untuk diwariskan.
Ada pepatah “harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading”, lalu manusia mati meninggalkan apa?
Dulu ada yang mengatakan “manusia mati meninggalkan nama”, nanti dulu, ini nama yang bagaimana yang ditinggalkan? Apa yang diingat dari nama itu? Lalu, tahu dari mana nama yang ditinggalkan itu akan tetap diingat?
Coba saja lihat, setiap tahunnnya kan ada jutaan orang yang berpulang, ya maksudnya berpulang ini meninggalkan dunia ini lah ya, atau dengan kata lain: meninggal.
Pertanyaannya, berapa banyak yang masih diingat oleh generasi penerusnya? Kalau pun masih, paling banyak sampai berapa generasi? Berapa banyak yang ketika sampai generasi ketiga atau keempat, yang sampai hanya tinggal kisi-kisi ceritanya saja, tidak banyak untuk diceritakan, karena memang tidak banyak yang bisa diceritakan, karena memang tidak banyak juga yang ditinggalkan.
Tapi coba deh kita lihat para pendahulu bangsa ini yang sudah puluhan tahun meninggalkan kita, atau bahkan para tokoh besar dunia yang sudah bahkan ratusan tahun meninggalkan dunia ini, apa yang membuat mereka masih terus diingat, dan bahkan dikenang? Yes, buah dari pemikiran dan perbuatan mereka kan.
Artinya, bersama nama yang diingat, ada buah pemikiran dan perbuatan yang ikut menyertai nama yang diingat itu, terlepas dari apakah pemikiran dan perbuatan yang menyertai nama itu adalah sesuatu yang positif, yang menjadikan nama yang diingat ini adalah nama baik, atau pun ternyata pemikiran dan perbuatan yang menyertai nama ini ternyata adalah sesuatu yang negatif, yang menjadikan nama yang diingat ini adalah nama buruk, itu perkara yang berbeda, tapi dari sana kita belajar sesuatu, bahwa yang membuat sebuah nama diingat adalah buah pemikiran dan perbuatan yang menyertai nama itu.
Nah, sekarang tinggal pilihan kita, ingin membuat nama baik atau nama buruk? Kalau ingin meninggalkan nama baik ya tinggalkan sesuatu yang baik juga, ciptakan buah pemikiran dan perbuatan yang baik juga, sederhana kan?
Ya sederhana sih, tapi bukan berarti mudah lho ya, karena dalam kenyataannya ya ada saja hal yang menjadikan hal itu tidak bisa dengan mudah kita lakukan, bahkan sebaik apa pun buah pemikiran dan perbuatan yang kita tinggalkan, ada saja orang-orang yang mungkin tidak setuju dan menginterpretasikannya secara negatif, kalau sudah sampai sejauh itu ya sudah di luar kuasa kita lah ya, namanya komentator ya pasti ada saja, mau di generasi mana pun dan dimana pun itu.
Tapi ya begitulah ya, tugas kita hanya berbuat: menebar, menanam dan merawat benih, selebihnya biarlah nanti kehidupan yang menciptakan buahnya, sesuai kelayakan kita untuk memperolehnya, karena pada akhirnya baik atau buruk hanya Tuhan yang tahu dan berhak menilai.
Paling tidak, semoga jejak yang ditinggalkan di podcast ini bisa jadi pengingat sederhana atas semua itu ya, mengenai nantinya orang mau bilang apa ya saya juga sudah tidak ambil pusing lah, fokusnya saya melalui podcast ini ya hanya berbuat, curahkan pemikiran dan perbuatan positif, selebihnya saya serahkan pada Tuhan.
Nah, ngomong-ngomong, mengenai apa yang diingat ini, pastinya ada hubungannya dengan tema kita kali ini, ya yang tadi itu, soal “maaf-memaafkan”.
Membicarakan maaf-memaafkan ini pastinya berhubungan dengan buah dari perbuatan, betul?
Ya pastinya dong, seseorang bisa kemudian merasa kecewa, kesal, marah, benci dan bahkan dendam, pastinya karena ada sebuah perbuatan yang ia terima yang membuatnya jadi menujukan perasaan tertentu pada yang melakukannya, masuk akal kan?
Kalau tidak ada apa-apa yang pernah terjadi, lalu tiba-tiba muncul semua rasa-rasa yang berdampak negatif tadi, yaitu kecewa, kesal, marah, benci dan bahkan dendam, ini pastinya ada yang aneh, bahkan tidak masuk akal, logikanya sih begitu.
Mengenai nanti perbuatannya apa dan bagaimana itu dilakukan, ini lain perkara, tapi intinya adalah semua soal sebab-akibat, karena ada sesuatu yang pernah terjadi, sebagai sebab, muncullah akibat berupa perasaan-perasaan yang membebani tadi itu, sebagai akibat.
Disinilah “maaf-memaafkan” menjadi solusi dari berbagai perasaan yang membebani tadi itu.
Perhatikan, saya tidak mengatakannya sebagai perasaan negatif ya, karena kalau Anda sudah cukup familiar dengan bahasan saya di berbagai episode sebelumnya, saya berulang kali menegaskan “tidak ada emosi negatif’ atau “tidak ada perasaan negatif”, semua emosi sifatnya netral, dampak dari kemunculan emosi itulah yang menentukan apakah ia bersifat positif atau negatif, maka itulah saya mengatakannya tadi sebagai “emosi yang membebani”, karena memang dampaknya memberikan beban tersendiri, artinya ia memberikan dampak yang bersifat negatif.
Kalau Anda masih cukup awam dengan bahasan itu, saya menyarankan Anda menyimak berbagai episode saya sebelumnya ya, terutama di berbagai episode podcast tahun kemarin, dimana saya banyak mengulas tema tentang emosi ini.
Di berbagai bahasan itu saya sudah menekankan bahwa emosi adalah sebuah reaksi, atau “pesan” dari sistem kesadaran kita atas sesuatu yang berlangsung pada diri kita
Karena ia merupakan sebuah pesan, maka tidak ada pesan negatif atau positif, pesan ya pesan, tapi nantinya pesan ini membawa dampak positif atau negatif, itu lain soal.
Maka itulah saya tidak mengatakannya sebagai emosi positif atau emosi negatif, tapi emosi yang berdampak positif dan emosi yang berdampak negatif, nah kalau bicara dampak, berarti kan pasti ada banyak lagi faktor yang membentuknya sampai ia bisa menjadi sebuah dampak, disanalah kita belajar untuk mengurai dan mengenali faktor-faktor ini, sampai kita mendapatkan pemahaman dan kesimpulan atas apa yang terjadi ini, baru kita bisa mengurainya kembali menjadi netral.
Mengurainya kembali menjadi netral ini, salah satunya yaitu dengan “maaf-memaafkan” tadi itu, kalau secara teknisnya nanti temukan di episode lain podcast ini lah ya, saya bahkan pernah membuat satu episode khusus tahun kemarin, yang secara spesifik membahas tentang cara memaafkan ini kok, di sana bahasannya sudah tersaji dengan cukup lengkap lah seharusnya.
Bahasan saya tahun kemarin memang masih banyak sekali membahas hal-hal teknis, karena memang hal itu diperlukan sebagai sebuah fondasi, tahun ini ya pastinya harus sudah meningkat lah kadarnya, kalau itu-itu lagi ya sama saja tidak berkembang dong.
Maka itulah ada banyak bahasan saya di tahun ini yang lebih banyak menyoal esensi, atau tepatnya: esensi yang menjadi pendalaman dari berbagai faktor teknis tahun kemarin.
Termasuk urusan “maaf-memaafkan” ini, topik ini sudah pernah saya bahas di salah satu episode dulu yang berjudul “Mengapa sulit untuk bisa memaafkan (dan bagaimana agar bisa)?” dan ada juga episode lain yang kurang lebih memberikan tuntunan cara menyembuhkan luka, salah satunya ya luka yang terbentuk menyertai kemarahan ini.
Jadi bahasan saya kali ini lebih bersifat perenungan lah ya, yaitu merenungkan seperti apa proses “maaf-memaafkan” ini sudah kita lakukan, apalagi kalau kita hubungkan dengan momentum perayaan Idul Fitri, seperti sekarang ini.
Seberapa banyak dan seberapa sering kita mendengar kalimat “mohon maaf lahir dan batin” di setiap suasana menjelang akhir Ramadhan setiap tahunnya? Jawabannya pastinya “sering sekali”, betul?
Tapi justru renungannya sekarang adalah “seberapa baik hal itu sudah kita lakukan”? Seberapa yakin kita bahwa kita sudah “benar-benar memaafkan”? Dan bagaimana kita tahu bahwa itu benar adanya?
Adakah jangan-jangan istilah “maaf lahir dan batin” ini benar-benar hanya sudah menjadi istilah sok bijak saja? Hanya sebuah istilah formalitas yang harus diucapkan di setiap momen akhir Ramadhan, tapi kehilangan maknanya, apakah begitu?
Amit-amit lah ya kalau sampai begitu, jangan sampai kita jadi orang yang hanya tahu berwacana tapi tidak tahu makna.
Jadi, yuk kita renungkan di periode akhir Ramadhan ini, seberapa yakin kita bahwa kita sudah benar-benar memaafkan?
Dari mana tahunya? Ya lagi-lagi dengan melakukan perenungan, dengan merenungkan berbagai kejadian yang sudah pernah kita alami di masa lalu, yang pernah meninggalkan luka dalam diri kita, luka kekecewaan, kekesalan, kemarahan, dan kebencian, lalu meletakkan atensi kita pada peristiwa itu, pada detail yang terjadi di peristiwa itu, pada mereka yang terlibat di peristiwa itu, memunculkan berbagai detail itu seolah sedang mengalaminya lagi saat ini, lalu merasakan perasaan yang kita rasakan ketika seolah mengalami semua itu kembali.
Apa yang kita rasakan ketika seolah mengalami semua itu kembali, sejelas mungkin?
Masih adakah rasa ganjalan di dalam diri kita? Kalau masih, ya sudah jujur saja, akui saja, paling tidak itu menjadi tanda bahwa kita belum sepenuhnya bisa memaafkan.
Hal yang satu ini sering kali unik, kenapa?
Karena banyak orang yang enggan kalau sampai terkesan belum bisa memaafkan, rasanya aib kalau sampai seperti itu, seolah kurang bijak, mereka akhirnya berupaya sekeras mungkin menegaskan bahwa mereka sudah memaafkan, meski pun sebenarnya belum, nah ini yang sering kali membuat munculnya masalah baru.
Saya sering kali mengatakan, satu cara untuk mengetahui kita sudah memaafkan atau belum yaitu dengan cara tadi itu.
Pertama, yaitu dengan meniatkan untuk bisa mengenali diri kita di level yang terdalam, di level yang sejujur-jujurnya, meluruskan niat sejernih mungkin untuk benar-benar menyadari apakah kita benar-benar sudah bisa memaafkan atau belum.
Kenapa niat ini penting? Karena kalau dari awal niat ini sudah salah, akan ada lebih banyak kebohongan dan penyangkalan yang muncul dalam prosesnya, karena kita tidak rela kalau sampai terkesan belum bisa memaafkan maka hal ini akan terbawa dalam prosesnya, meskipun ternyata belum memaafkan sepenuhnya, yang muncul adalah kalimat-kalimat penyangkalan yang terkesan bijak bahwa kita sudah memaafkan, padahal dalam kenyataannya masih jauh dari itu.
Mari sadari bahwa kenyataan pahit lebih baik daripada kebohongan manis, lebih baik hal ini kita sadari betul di kenyataan yang sebenarnya, daripada terus saja kita sangkal tapi malah mewujud menjadi masalah-masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Saya sudah banyak sekali juga membahas berbagai hal atau masalah yang mungkin terjadi ketika kita membiarkan beban emosi ini ada dalam diri kita, jadi saya tidak akan membahasnya lagi, tapi ya itu maksud saya, emosi yang membebani pasti akan mewujud menjadi masalah lain dalam wujudnya yang lebih parah.
Semakin kita meyangkal keberadaan dari beban emosi ini, bahwa kita belum bisa memaafkan, maka semakin parah juga nantinya wujud dari masalah yang dihasilkannya.
Maka, semua ini adalah soal pilihan, saran saya yaitu: pilihlah yang terbaik untuk kebaikan diri kita, yaitu jujur, meniatkan untuk jujur menyadari apakah kita sudah bisa memaafkan atau belum, meniatkan untuk menerima bahwa kalau pun ternyata belum ya tidak apa-apa, meniatkan untuk menyadari kenyataan pahit daripada kebohongan manis atas yang kita rasakan dalam diri kita sendiri.
Itu modal dasarnya, berikutnya baru kita masuk ke tahap kedua, yaitu mengulang kembali kejadiannya dalam pikiran kita, seolah sedang mengalaminya lagi, persis sebagaimana itu sedang terjadi, di sini penting bagi kita untuk bisa meresapi detail peristiwanya, seolah-olah itu benar-benar sedang terjadi.
Lalu hayati, apa yang muncul dalam diri kita, dalam perasaan kita, dalam tubuh kita, dalam intuisi kita, hening beberapa saat dalam proses ini, lalu biarkan diri kita untuk benar-benar merasakan reaksi yang muncul dalam diri.
Apa yang muncul kali ini? Apa pun itu, terima saja, hadirkan saja apa adanya.
Bagaimana kalau tidak ada yang muncul? Tidak ada apa pun yang dirasakan?
Maka waktunya memasuki tahap berikutnya yang ketiga, yaitu doakan mereka yang terlibat di peristiwa itu segala kebaikan, segala kemuliaan.
Apa yang kali ini kita rasakan? Lagi-lagi, hayati segala perasaan dan sensasi yang muncul di diri kita, buka diri kita untuk benar-benar menyadari sensasi sekecil apa pun dalam diri kita. Jika muncul sensasi yang aneh, seperti mengganjal, atau tidak nyaman, sekecil apa pun itu, terima dan sadari ada hal apa yang kita masih belum bisa terima sepenuhnya dari peristiwa itu yang membuat proses memaafkan ini belum bisa sepenuhnya kita lakukan.
Berarti, rasa ganjalan itu adalah tanda bahwa kita belum bisa memaafkan sepenuhnya? Yes, itulah artinya. Tapi yang tadi saya tekankan lho ya, lebih baik hal itu kita sadari dan terima, daripada kita sangkal dan akhirnya luput dari perhatian kita, lalu mewujud di kemudian hari dalam bentuk yang lebih buruk, makanya saya katakan di tahap pertama tadi bahwa kejujuran itu penting sekali dalam proses ini.
Lalu tahu dari mana bahwa kita sudah benar-benar memaafkan? Ya kita urai saja dari awal proses tadi, yaitu ketika kita sudah benar-benar meniatkan sejak awal prosesnya untuk benar-benar jujur, kalau niat ini tidak ada, sudah lupakan saja tahap selanjutnya, karena penyangkalan itu pasti muncul dalam prosesnya, namanya juga manusia.
Berikutnya yaitu ketika semua detail peristiwa itu kita munculkan, idealnya tidak ada rasa ganjalan apa pun yang menyertai kemunculan peristiwa itu, dengan catatan: kita benar-benar sudah meniatkan untuk jujur di tahap pertama tadi.
Kalau benar-benar rasanya netral dan tidak ada ganjalan apa pun maka kita sudah benar-benar memaafkan.
Apakah sampai di situ saja? Tidak, sebetulnya ada tahap yang lebih tinggi lagi, yaitu kalau ketika kita mengalami ulang peristiwa itu dengan segala detailnya, yang muncul adalah rasa haru, rasa kasihan, rasa berterimakasih pada mereka yang terlibat di peristiwa itu.
Ada rasa haru dan berterimakasih pada peristiwa itu sendiri, karena kita tahu peristiwa itu memiliki makna tersendiri bagi pembentukan pematangan jiwa kita.
Jika hal itu yang kita rasakan, maka kita sudah melangkah lebih dari sekedar memaafkan, tapi sudah memasuki tahap melepaskan dan mengikhlaskan, sudah mendapatkan sebuah pemahaman akan kesejatian dari kehidupan ini sendiri.
Nah, yang mana yang Anda rasakan? Yakin sudah benar-benar memaafkan? Yang jujur lho ya…he…he…
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.