Episode 71 – Jaga Fokus Sebagai Pemain Kehidupan
Bagaimana bisa menang jika memainkan pertandingan saja tidak? Bagaimana bisa bermain di pertandingan jika pemain saja bukan?
Demikianlah, diibaratkan sebuah panggung permainan, kehidupan ini memberikan peran untuk kita mainkan, pilihan kitalah yang menentukan cara kita memainkannya dan menentukan kualitas hidup yang kita jalani.
Sebagai apa kita memainkan peran ini? Sebagai “korban” yang meratapi kehidupan, atau sebagai “pemain” yang memainkan strategi dengan bijak untuk memantaskan diri menjadi versi terbaik diri dalam menjalani kehidupan ini?
Disadari atau tidak, sikap orang di sekitar kita ikut dipengaruhi dari peran yang kita pilih untuk mainkan ini, tidak ada “orang yang sulit” jika peran yang kita pilih tepat dalam menjalani kehidupan ini.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketujuhpuluhsatu Life Restoration Podcast berjudul ‘Jaga Fokus Sebagai Pemain Kehidupan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Jaga Fokus Sebagai Pemain Kehidupan
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tujuh puluh satu.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Dan berjumpa kembali bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast, episode ke-71 kali ini.
Ngomong-ngomong, 70 episode lebih sudah kita lalui perjalanan kita di podcast ini, saya tentu tidak lupa mengucapkan terima kasih atas segala keikutsertaan Anda membersamai perjalanan bertumbuhnya podcast ini, dari awal dulu, di tahun lalu, dimana episodenya masih minim…ya bukan minim lagi sih, belum ada malahan, karena kan baru juga dimulai, sampai ke sekarang ini, dimana koleksinya sudah cukup lumayan lah ya he…he…
Berbagai topik sudah diangkat di pocast ini, ada yang memang bermula dari temuan saya dalam menjalankan aktivitas praktik coaching, konseling dan terapi, membantu para klien saya di ruang praktik saya di Bandung, ada juga yang bermula dari permintaan para subscriber dan follower di media sosial saya, dan ada juga yang dibuat untuk menjawab pertanyaan dari peserta seminar yang ketika sedang seminar waktu saya terbatas untuk menjawabnya, jadi saya biasanya mengatakan pada mereka “Silakan kunjungi podcast saya, nanti jawabannya akan dimuat di podcast.”
Kok bisa begitu? Begini, beberapa di antara Anda mungkin sudah cukup familiar dengan ragam aktivitas yang saya tekuni, selain memfasilitasi sesi coaching, konseling dan terapi untuk klien individual, saya juga ada kalanya diminta berbagi atau mengisi pelatihan di perusahaan dan organisasi, atau istilah umumnya: in-house training dan in–house seminar.
Nah ketika memberikan training atau seminar di perusahaan ini, saya memberikan materi yang berhubungan dengan pengembangan diri dan organisasi pada para peserta, karena durasinya juga terbatas jadi ada kalanya beberapa pertanyaan tidak bisa begitu saja dijawab ketika program masih berlangsung.
Saya sendiri ya inginnya semua pertanyaan itu bisa terjawab ketika saya masih memfasilitasi program pembelajaran mereka, tapi apa daya, kalau memang waktu tidak mengijinkan kan sulit juga, disinilah ide kreatif muncul, kalau pertanyaan mereka jawabannya sudah pernah saya ulas di salah satu episode podcast saya maka saya arahkan mereka untuk menemukan jawabannya di podcast ini, kalau belum ada maka saya katakan bahwa saya akan mengemasnya menjadi materi di podcast ini.
Jadi multi-fungsi kan he…he…di satu sisi pertanyaan mereka terjawab, di sisi lain saya juga jadi punya bahan untuk membuat materi di podcast ini, ya win-win lah istilahnya.
Termasuk materi di episode kali ini, juga bermula dari pertanyaan salah seorang peserta ketika saya mengisi webinar beberapa hari lalu di sebuah organisasi, pasca perayaan hari raya Idul Fitri.
Bagus juga konsepnya sih, jadi setelah perayaan hari raya, sambil halal-bihalal online, mereka mengadakan webinar untuk menyegarkan kembali pola pikir para peserta, dan mengundang saya untuk berbagi materi di sana.
Sebetulnya isi materinya sederhana, lebih kepada membersihkan hati dan membersihkan pola pikir dari kontaminasi yang membuat etos kerja kita jadi melempem, tapi ya justru materi yang sederhana itu yang sering kali memunculkan pertanyaan yang tidak sederhana…he…he…
Ada peserta yang kemudian bertanya, bagaimana menjaga motivasi di tengah situasi kerja yang melibatkan pihak-pihak yang “sulit diajak bekerja sama”.
Yah…sebetulnya pertanyaan itu sih lebih ke arah curhat ya he…he, tapi karena kemasan acaranya juga santai dan memang pertanyaannya juga tidak menyoroti pihak mana pun secara spesifik, bisa siapa saja yang dimaksudkan “sulit diajak bekerja sama” ini, maka ya sudah saya akomodir jawabannya di acara itu.
Tapi lagi-lagi, jenis pertanyaan ini adalah pertanyaan yang memang pasti akan muncul lagi nanti di kemudian waktu, jadi daripada nanti berulang dan saya sendiri tidak tahu nanti kalau pertanyaan ini muncul lagi, saya akan punya cukup waktu untuk menjawabnya atau tidak, maka saya putuskan lebih baik saya jadikan materi episode podcast saja deh, sekalian juga menjadi bahan pengisi episode minggu ini.
Jawaban sederhana saya atas pertanyaan itu yaitu “miliki sikap mental seorang pemain”.
Maksudnya bagaimana? Begini, kalau saya hubungkan dengan cara pandang dalam dunia NLP, kita mengenal sebuah cara pandang bahwa “tidak ada orang yang sulit, hanya ada diri yang tidak fleksibel”.
“Orang yang sulit” dalam kalimat itu maksudnya “sosok di luar diri” kita ya, sementara “diri” ya maksudnya “diri kita sendiri”.
Artinya begini, kalau kita kembalikan ke “sikap mental”, hal ini akan mengajak kita untuk memahami terlebih dahulu keberadaan dari sikap mental, atau tepatnya sikap mental “pemain kehidupan” dan sikap mental “korban kehidupan”.
Sikap mental pemain kehidupan adalah sikap mental yang siap memainkan peran dalam menjalani kehidupan ini sebaik mungkin secara aktif, menyadari bahwa apa pun yang terjadi, seberapa tidak menyenangkan pun itu, maka kita turut bertanggungjawab atas terjadinya hal itu dan kita punya tanggungjawab untuk menyelesaikannya, kita fokus pada solusi dan fokus melakukan sesuatu, tidak begitu saja menempatkan diri sebagai “korban yang tidak berdaya” dalam kehidupan ini dan hanya meratapinya.
Nah, menempatkan diri sebagai korban tidak berdaya ini yang menjadi ciri khas dari sikap mental “korban kehidupan”, ketika sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi, maka kita menempatkan diri sebagai seorang “korban”, pokoknya orang lainlah yang salah, orang lainlah yang jahat, kita ini pokoknya menjadi korban yang harus dikasihani dan dipahami.
Sudah terbayang apa hubungannya dengan pertanyaan dari salah seorang peserta tadi? Yes, ketika kita berhadapan dengan orang yang dianggap “sulit” ini, mereka yang punya sikap mental “pemain kehidupan” akan fokus pada introspeksi diri, mereka tidak mencap orang ini “sulit”, melainkan mereka meletakkan atensi pada dirinya sendiri, menyadari bahwa merekalah yang belum bisa mengimbangi gaya komunikasi dari orang ini, sehingga mereka menjadi terkesan sulit, mereka tahu mereka belum menemukan cara yang tepat untuk bisa berkomunikasi dengannya.
Mereka punya sebuah cara pandang yang berbeda, bukan cara pandang “orang ini orang yang sulit deh”, tapi cara pandang “saya belum menemukan cara yang tepat untuk berkomunikasi dengan orang jenis ini”.
Perhatikan perbedaannya, ketika kita fokus pada “orang ini sulit” maka kita sedang fokus pada sesuatu yang berada “di luar kendali” kita, karena letak permasalahan berada di luar diri kita maka hal ini menjadi sesuatu yang tidaklah secara langsung berada dalam jangkauan kendali kita, lebih banyak keterbatasannya.
Tapi ketika kita fokus pada “saya belum menemukan cara yang tepat untuk berkomunikasi dengannya”, maka sekarang letak permasalahan berada “dalam diri kita”, kita kan yang belum menemukan caranya, maka kita yang harus bertanggungjawab menemukan cara ini, karena letak fokusnya ada pada diri kita, maka ia menjadi sesuatu yang langsung berada dalam jangkauan kendali kita, kita lebih punya ruang untuk melakukan upaya kali ini.
Bayangkannya begini deh, Anda bisa melakukan apa yang Anda mau pada isi dalam rumah Anda kan, karena itu memang rumah kepunyaan Anda? Tapi coba Anda melakukan hal itu pada rumah orang lain, pasti repot urusannya, karena itu bukan rumah kepunyaan Anda, kecuali mereka yang meminta atau memberi ijin untuk itu.
Nah, sikap mental pemain itu sikap mental yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi, kita fokus pada yang bisa kita kendalikan, yang berpusat pada diri kita, bukan pada yang tidak bisa kita kendalikan, seperti sikap orang lain atau situasi di luar diri kita.
Lain dengan sikap mental korban, ia fokus pada mengeluh, meratap, pokoknya orang lain yang salah, pokoknya dunia di luar diri yang bermasalah, ketika berhadapan dengan “orang yang dianggap sulit” ini maka mereka langsung meratap, mengasihani diri dan bahkan meminta belas kasihan, inginnya mengajak orang lain sama-sama menghakimi bahwa “orang yang sulit” itu adalah orang yang jahat dan zalim, mereka inginnya orang lain itu yang harus berubah demi kenyamanan mereka.
Salah gak sih cara berpikir seperti itu? Nanti dulu, kita tidak fokus pada salah atau benar dalam hal ini, kita fokus pada “dampak”.
Sekarang begini, ketika seseorang terus fokus pada “ketidakberdayaan”, dengan sikap mental korban dalam dirinya tadi, maka dampaknya adalah ia akan kesulitan sekali menjalani kehidupan ini.
Kenapa bisa begitu? Ya karena namanya kehidupan kan tidak semua akan selalu sejalan dengan harapan dan keinginan kita, betul tidak? Masalahnya adalah, sikap mental korban ini ketika menemui situasi yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginan, fokusnya malah pada meratap, berharap kehidupan mengasihani mereka dan kemudian hal yang ada di luar dirinya itu secara ajaib jadi berubah mengikuti standar kenyamanan mereka.
Lha kalau seperti ini terus, bisa dibayangkan kan akan serepot apa mereka menjalani kehidupan? Inginnya terus apa-apa di luar diri yang harus mengikuti maunya mereka.
Kalau ternyata tidak bisa bagaimana? Ya langsung meratap, larut pada penderitaan – yang sebenarnya dibuat-buat sendiri.
Lain dengan cara berpikir sikap mental pemain, ketika mengalami sesuatu yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginan, mereka fokus pada memainkan perannya sebaik mungkin, memantaskan dirinya untuk bisa mengimbangi situasi yang ada, mereka tidak berharap-harap situasi di luar secara ajaib berubah mengikuti harapan mereka, merekalah yang fokus meningkatkan kapasitas dirinya agar bisa mengimbangi tantangan di luar, agar yang mereka harapkan atau inginkan tetap bisa tercapai, dengan upaya mereka sendiri.
Kalau dihubungkan dengan “kegigihan”, bisa kita dapati mereka yang punya sikap mental korban ini pasti tingkat kegigihannya rendah, karena begitu mereka menemui situasi yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginannya, mereka akan fokus pada harap-harap agar situasi itu berubah, tapi mereka tidak melakukan apa-apa untuk memantaskan dirinya agar tantangan itu bisa mereka hadapi, kalau pada akhirnya hal itu tidak kunjung bisa mereka hadapi maka mereka memutuskan untuk “mundur” dan menyerah, membuang harapannya, sambil meratap tadi itu, dan jadi trauma sendiri.
Sekali dua kali mungkin masih tidak apa-apa, tapi kalau terus begitu, kehidupan ini jadi panggung penderitaan kan? Ya karena memang perannya pun peran penderita, itu pun juga peran dan panggung yang mereka buat-buat sendiri kok.
Sementara itu, mereka yang punya sikap mental pemain pasti tingkat kegigihannya tinggi, karena begitu mereka menemui situasi yang tidak sejalan dengan harapan dan keinginannya, mereka bukan fokus berharap situasi itu berubah, mereka fokus mengubah dirinya, agar bisa melampaui tantangan yang ada, mereka tidak membuang harapannya begitu saja, harapan itu tetap mereka miliki, tapi fokusnya yang mereka ubah, mereka fokus pada apa yang bisa mereka lakukan agar situasi itu terlampaui, kalau yang mereka lakukan belum membawa hasil maka mereka introspeksi diri, terus meningkatkan kapasitas dirinya agar pada akhirnya tetap bisa memenuhi yang mereka harapkan, tapi dengan fokus pada dirinya sendiri.
Sekarang, mari kita coba hubungkan lagi dengan pertanyaan si peserta tadi, bagaimana sikap mental korban dan pemain ini menghadapi orang yang dianggap sulit tadi.
Pasti beda lah ya…
Si korban kehidupan akan fokus pada meratap, mereka akan fokus berharap-harap si orang yang dianggap sulit itu yang berubah dan memahami mereka.
Iya kalau bisa, kalau tidak bisa bagaimana? Itu juga kalau baru sekali dua kali, kalau berkali-kali bagaimana? Akhirnya memandang kehidupan ini jahat, orang-orang jahat dan tidak mau memahami mereka. Ya mau bagaimana lagi, kalau diibaratkan “sinetron” maka sinetron yang mereka mainkan dalam pikirannya itu ya sinetron yang menempatkan diri mereka sebagai “korban yang malang”, yang berharap-harap semoga nantinya ada hasil yang manis menanti mereka sebagai korban yang malang ini.
Mereka yang fokus sebagai pemain kehidupan akan fokus pada mengubah dirinya, atau mengubah caranya menghadapi orang yang dianggap sulit ini, ia bukan meratapi sulitnya orang ini, tapi ia fokus pada berpikir kreatif, mencoba-coba menemukan cara yang bisa membangun pengaruh dirinya atas orang ini, sehingga lama-lama “orang yang sulit” ini jadi berubah sikap dan lebih mudah dihadapi, tapi bukan karena tiba-tiba secara ajaib berubah, melainkan karena merekalah yang mengupayakan hal itu agar terjadi.
Dengan sikap mental ini, kalau pun nantinya si pemain kehidupan ini menemukan kendala lain bagaimana? Ya tidak masalah baginya, karena ia akan fokus pada memperbaiki dan membenahi dirinya, meningkatkan kapasitas dirinya dan memantaskan dirinya agar ia terus bisa melampaui semua kendala itu, kehidupan ini menjadi sebuah panggung permainan atau game yang seru baginya untuk dia taklukkan, kendala akan tetap ada, tapi ia memandang kendala itu sebagai keseruan tersendiri untuk dihadapi, ia tidak mengubah atau menurunkan tujuan dan harapanya, melainkan mencari strategi agar ia bisa memainkan permainannya sebaik mungkin agar kendala itu tidak menjadi masalah.
Kalau kita perluas cara pandang kita, bukankah sebenarnya sikap mental ini menjadi penentu kualitas kehidupan yang seseorang jalani? Bukan hanya dalam bentuk menghadapi orang sulit seperti pertanyaan si peserta tadi, melainkan dalam bentuk menghadapi kesulitan apa pun.
Dan memang demikian adanya, sikap mental korban dan pemain kehidupan ini pada akhirnya akan diuji ketika seseorang menghadapi kesulitan, disinilah kita akan bisa melihat seperti apa ia menempatkan dirinya atas kesulitan itu, apakah sebagai korban yang tidak berdaya, yang berharap-harap keajaiban dan tiba-tiba kesulitan itu hilang, ataukah sebagai pemain yang fokus pada membenahi diri untuk menghadapi kesulitan itu.
Jangan salah, bukan berarti sebagai pemain kehidupan kita tidak boleh berharap-harap lho ya, namanya “berharap” ya itu sudah menjadi bagian dari desain kita sebagai manusia dan tidak ada yang salah dengan itu, yang berbeda adalah fokus perubahannya.
Pemain kehidupan tetap berharap, tapi mereka meletakkan fokus perubahannya pada dirinya, merekalah yang harus berubah, bukan sebatas berharap tiba-tiba situasi berubah begitu saja secara ajaib untuk memenuhi harapan mereka.
Sekarang mari kita renungkan kehidupan yang kita jalani ini, lebih banyak sikap mental seperti apa yang kita mainkan? Apakah sikap mental korban kehidupan atau pemain kehidupan?
Jawabannya bisa kita sadari secara sederhana, amati saja sikap dan respon kita ketika menghadapi kesulitan, kita lebih banyak menempatkan diri untuk meratap dan mengutuki situasi yang kita anggap tidak berpihak, atau kita fokus pada membenahi diri agar bisa melampaui kesulitan yang ada?
Ada juga yang masih sering kali berpindah-pindah peran, ada kalanya mereka berada di mode korban kehidupan dulu di awal-awal, tapi kemudian berpindah menjadi pemain kehidupan, biasanya kalau sudah mencapai titik muak pada situasi yang tidak kunjung berubah dan lama-lama sebal sendiri…he…he…
Ada juga yang terbalik, mereka di awal-awal berada di mode pemain kehidupan dulu, tapi lama-lama justru menyerah dan mejadi korban kehidupan, yang satu ini biasanya akumulasi dari berbagai tekanan di luar dan tekanan di dalam, ada kekalutan dan frustrasi yang bercampur jadi satu, yang akhirnya bermuara pada munculnya rasa kebuntuan yang tidak tertahankan, dan akhirnya…ya begitulah ya…
Biasanya kalau emosinya sudah berangsur stabil nanti lama-lama mereka kembali jadi pemain kehidupan lagi.
Nah itu juga menjadi pengingat tersendiri, penting untuk memiliki kemampuan pengelolaan emosi yang baik, karena ketika hal yang satu ini terganggu, pergeseran sikap mental ini bisa terjadi secara cukup signifikan.
Yaa…paling tidak semoga harapannya, isi dari episode podcast kali ini bisa menjadi pengingat tersendiri, bahwa sikap mental ini menjadi penentu dari cara kita menjalani kehidupan dan menjadi penentu dari kualitas hidup yang kita jalani itu sendiri.
Nah, seperti apa kehidupan ini bagi Anda dan seperti apa Anda menempatkan diri dalam kehidupan ini? Sebagai “korban kehidupan”, atau sebagai “pemain kehidupan”?
Pastinya sebagai “pemain kehidupan” lah ya…kalau begitu, mari memainkan peran ini sebaik mungkin.
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.