Episode 72 – Semua Adalah Soal Prioritas
Agak terlambat dari biasanya, episode podcast kali ini justru mengambil hikmah dari keterlambatan ini dan menjadikannya sebuah pembelajaran.
Konsisten berbagi karya di mesia sosial menjadi salah satu resolusi tahun lalu, yang puji syukur terjaga dengan cukup baik, namun ada kalanya hal yang tidak terantisipasi tetap terjadi, yang “menggoyahkan” konsistensi ini.
Alih-alih fokus pada rasa frustrasi, saya memilih untuk secara sadar dan sengaja kembali ke niat awal menjaga konsistensi, melakukan yang sudah seharusnya dilakukan dan fokus pada pembelajaran.
Pembelajaran ini bukanlah pembelajaran yang terlalu rumit, melainkan pembelajaran akan pentingnya sikap mental sebagai “pemain kehidupan” yang sadar prioritas.
Ya, semua adalah soal prioritas, di balik ketepatan dan keterlambatan atas suatu hal, di balik terlaksana dan tidak terlaksananya suatu hal, semua itu merefleksikan paradigma kita atas apa yang menjadi prioritas dalam hidup kita.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketujuhpuluhdua Life Restoration Podcast berjudul ‘Semua Adalah Soal Prioritas’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Semua Adalah Soal Prioritas
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tujuh puluh dua.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra – seperti biasa – di Life Restoration Podcast, episode 72 kali ini.
Senang sekali minggu ini kembali membersamai Anda di episode podcast ini, yang jadi agak terlambat kemunculannya, dimana saya juga mohon maaf untuk itu.
Jujur, saya rupanya kurang baik mengantisipasi kesibukan di minggu ini, yang ternyata cukup di luar dugaan.
Yes, saya tidak akan menyalahkan atau beralasan “kesibukan”, lebih baik saya fokus saja mengakui bahwa ternyata “saya tidak cukup baik mengantisipasi kesibukan di minggu ini”.
Dan memang hal ini juga yang saya jadikan tema untuk episode podcast kali ini, makanya kenapa judulnya “Semua Adalah Soal Prioritas”.
Saya mulai dengan sedikit bercerita dulu tentang apa yang sedang terjadi lah ya, yang juga melatari ide dibuatnya podcast ini.
Jadi, minggu ini undangan untuk mengisi in-house training atau pelatihan di perusahaan-perusahaan sudah mulai bermasukkan lagi, dan penyelenggaraannya sendiri sudah mulai diadakan dalam bentuk offline, atau tatap muka.
Di satu sisi ya saya happy lah ya, setelah selama ini hanya mengisi pelatihan secara online, berhadapan dengan layar komputer, kali ini akhirnya bisa kembali berjumpa dengan para peserta secara offline, wah saya sih semangat sekali, karena kan beda ya rasanya berbagi inspirasi secara online hanya lewat komputer, dengan ketika berbagi secara live, proses transfer semangatnya itu pasti beda, mau gimana juga.
Di sisi lain, ya hal ini cukup berdampak juga pastinya ke pengaturan jadwal saya, karena ketika mengisi pelatihan untuk perusahaan seperti ini, agendanya kan kebanyakan diadakan di luar kota.
Anda rata-rata mungkin sudah tahu lah ya, aktivitas praktik saya basisnya di Bandung, kelengkapan recording dan live streaming saya juga saya tata di kantor praktik saya di Bandung, nah ketika ada jadwal agenda luar kota seperti ini pengaturannya jadi harus mengalami penyesuaian pastinya, maka saya juga harus mempersiapkan beberapa pengaturan agar kelengkapan yang bisa dibawa, atau portable, sebisa mungkin dibawa, salah satunya ya kelengkapan untuk melakukan recording ini.
Kalau secara teori sudah terbayang lah, nanti di luar kota perekamannya begini…begitu, pokoknya di atas kertas sih terbayangnya lancar lah ya, nah begitu masuk ke praktiknya kan tidak begitu ha..ha…kalau diingat saya juga jadi ketawa sendiri sih.
Niatnya nih, sudah akan melakukan recording, dan memang sudah siap untuk itu.
Nah, namanya mengisi training untuk perusahaan itu ya harus siap untuk fleksibel kalau-kalau diperlukan penyesuaian materi atau format kegiatan, mengikuti situasi di lapangan.
Dan ternyata memang kejadian begitu, tiba-tiba ada data atau masukkan, yang membuat saya harus berimprovisasi untuk menyesuaikan materi yang sudah disiapkan, dengan data atau masukkan baru itu, si alokasi waktu yang awalnya sudah disiapkan untuk recording jadinya malah digunakan untuk penyesuaian materi itu, akhirnya pengaturan jadwal untuk recording jadi terdampak, dan yang terjadi ya ini dia, ada keterlambatan jadinya.
Tapi tunggu dulu, mungkin ada yang jadi bertanya-tanya, “Lho Coach Alkha ini bukannya aktivitas praktiknya membantu klien secara individual di ruang praktik coaching, konseling dan terapi di Bandung? Kok malah jadi ada agenda perusahaan juga?”
Biar tidak jadi pertanyaan sendiri, saya juga ijin menjelaskan lah ya, kalau secara profesi dan aktivitas utama saya, memberikan sesi coaching, konseling atau terapi untuk klien individual, ya itu memang profesi utama saya.
Tapi di sisi lain, saya juga dulu di awal karir di bidang pengembangan diri ini pernah terlibat di beberapa layanan program pengembangan SDM atau sumber daya manusia di beberapa perusahaan, jadi keahlian untuk itu juga ya saya punya, hanya saja dalam praktiknya saya memang lebih suka bergerak di bidang layanan individual tadi, coaching, konseling atau terapi, istilahnya passsion-nya lebih ke dunia itu.
Tapi karena keahlian untuk merancang program perusahaan juga saya punya, jadinya permintaan untuk itu kadang masih masuk juga, kalau dulu lebih banyak lagi malah, sampai-sampai mengatur jadwal itu dulu walah repotnya minta ampun, kalau sekarang ini jadwal untuk aktivitas perusahaan itu memang saya kurangi, agar tidak terlalu “parah” jadwalnya he…he…tapi sekali-dua kali ya masih ada saja permintaan untuk itu, kalau ternyata saya memang melihat masih memungkinkan ya saya sanggupi.
Seperti yang sekarang ini lah, kali ini saya mengisi training-nya untuk para leader, atau jajaran pemimpin di sebuah perusahaan otomotif di Jakarta, karena memang temanya juga banyak membahas tentang coaching, ya oke juga untuk saya tangani, maka dari sanalah petualangan kali ini bermula he…he…
Kembali ke yang saya bahas di awal tadi lah ya, dengan sedemikian banyak yang harus diurus ini, pastinya ada yang terdampak, nah yang terdampaknya ini ya jadwal recording podcast ini, seperti yang saya ceritakan tadi.
Agak berbeda dengan konten berbasis video yang ada di Youtube Channel saya, konten audio podcast saya direkamnya “segar”, setiap minggu.
Maksudnya “segar” bagaimana? Begini, untuk konten berbasis video, saya biasanya menyiapkan stok episode di awal, jadi saya melakukan perekaman dulu di awal untuk beberapa epsiode, lalu saya berikan episode itu untuk para tim desainer saya, mereka yang kemudian melakukan finishing untuk menyelesaikannya.
Karena disiapkan di awal, jadi sekali buat bisa banyak kan, istilahnya sekali perekaman bisa menyiapkan beberapa minggu ke depan.
Nah kalau audio podcast tidak, saya memang sengaja ingin kontennya fresh, sesuai dengan temuan terkini, dan memang karena saya menyukai sekali jenis konten berbasis audio, maka saya juga ingin meluangkan atensi sebaik mungkin untuk konten jenis ini, kalau sebatas konten audio, karena mekanisme perekaman dan finishing-nya mudah, praktis dan sederhana jadi masih oke lah untuk saya kerjakan sendiri, dan memang hal itu menjadikan saya bisa memberikan sentuhan yang benar-benar saya inginkan di setiap episodenya.
Di sisi lain, karena dia fresh setiap minggunya, di situasi seperti ini jadinya cukup menantang kan, karena ketika ada jadwal kesibukkan yang bertumpuk maka kemampuan saya untuk mengantisipasi jadwal yang ada yang menjadi penentu ketepatan waktunya.
Nah perhatikan, saya menggunakan kalimat “kemampuan saya untuk mengantisipasi jadwal yang ada yang menjadi penentu ketepatan waktunya”, saya tidak mengatakan “banyaknya jadwal yang jadi penentu” lho ya, karena itu hal yang berbeda.
Ini penting lho, karena cara kita memandang dan menempatkan diri atas waktu ini akan mempengaruhi cara kita merespon kehidupan.
Begini, seberapa sering kita mendengar orang-orang mengatakan “Tidak sempat,” atau “Tidak ada waktu,” atau alasan-alasan bernada sejenis lainnya, yang mereka ungkapkan ketika mereka dihadapkan dengan suatu aktivitas yang seharusnya mereka selesaikan, tapi kemudian tidak terselesaikan sesuai komitmen semula?
Pasti cukup sering kan?
Pertanyaannya: apakah benar begitu? Apakah benar “tidak sempat”? “Tidak sempat” atau “tidak menyempatkan”? “Tidak ada waktu” atau “tidak bisa mengelola diri dalam menjalani waktu”?
Nah…nah…nah…mulai bisa melihat kemana semua ini menuju kan?
Yang saya alami sekarang ini ya contoh sederhana dari hal itu, dengan banyaknya kesibukan yang kemarin benar-benar bertumpuk, dan jadinya ada komitmen awal yang terdampak, saya tidak mau cari-cari alasan dengan mengatakan “tidak sempat” atau “banyak kesibukan”, saya akan lebih jujur mengatakan “tidak mampu menyempatkan” dan “tidak bisa mengantisipasi kesibukkan”, itu saja, lebih baik begitu lah, jujur apa adanya dan saya fokus bertanggungjawab atas yang sudah terjadi, jangan menyalah-nyalahkan kesibukkan atau aktivitas.
Kenapa saya memilih begitu? Karena sebagaimana saya pernah membahas di salah satu episode podcast terdahulu saya, ambil tanggungjawab atas kehidupan yang kita jalani, jadi “pemain kehidupan”, jangan menempatkan diri sebagai “korban kehidupan”.
Pemain kehidupan adalah mereka yang menempatkan diri sebagai pusat dari segala-sesuatu yang terjadi dalam hidupnya.
Ketika ada sesuatu yang terjadi, terutama yang tidak sejalan dengan harapannya, mereka tidak serta-merta menyalahkan pihak mana pun atas yang terjadi itu, mereka sadar bahwa hal itu terjadi adalah karena ada keterlibatan dirinya juga di dalamnya.
Bentuk keterlibatan itu bisa dalam bentuk kelengahan yang mereka lakukan, sesuatu yang mereka tidak antisipasi, atau ketidakmampuan mereka untuk mengatasinya.
Sementara itu mereka yang menempatkan diri sebagai “korban kehidupan” adalah mereka yang meletakkan dirinya sebagai sosok yang tidak berdaya, mereka merasa dirinya adalah “korban” dari berbagai faktor di luar diri mereka yang tidak bisa mereka apa-apakan.
Agar lebih mudah, kita pakai contoh saja lah ya.
Misalnya saja, seseorang melalui jalanan atau lalu lintas yang macet dan ia terlambat sampai ke tempat tujuan, mereka yang menempatkan diri sebagai korban kehidupan akan mengatakan “Saya terlambat karena jalanan macet”, mereka menempatkan “macet” sebagai penyebab dari keterlambatannya.
Sementara itu, mereka yang menempatkan diri sebagai pemain kehidupan akan mengatakan “Saya terlambat karena tidak berangkat lebih awal” atau “Saya terlambat karena tidak mengantisipasi jalanan akan macet”.
Lihat, nyata sekali kan bedanya? Yang satu, si “korban kehidupan” fokus pada mengeluh dan menyalahkan, si “pemain kehidupan” fokus pada introspeksi dan bertanggungjawab.
Keduanya sama-sama mengalami keterlambatan, bedanya si “korban kehidupan” menempatkan “kemacetan” sebagai penyebabnya, sementara si “pemain kehidupan” menempatkan “dirinya sendiri” sebagai penyebabnya.
Bedanya apa? Ya jelas pasti beda.
Kalau yang jadi penyebab keterlambatan adalah kemacetan, kira-kira kita bisa melakukan apa pada hal itu? Tidak bisa kita apa-apakan kan? Ya sudah jadi “pemeran penderita”, besok-besok akan begitu lagi, karena kita berhadapan dengan hal yang tidak bisa kita ubah, sesuatu yang berada di luar kuasa kita.
Sekarang kalau yang jadi penyebab keterlambatan adalah diri kita sendiri, kira-kira apa yang kita bisa lakukan? Ya ubah dong diri kita, karena sekarang penyebabnya adalah diri kita, sesuatu yang berada dalam kendali kita, ya ini yang kita ubah, nah kali ini pasti beda hasil akhirnya, minimal akan ada tindakan nyata sebagai upaya perbaikan.
Hal-hal kecil seperti ini lho yang tanpa disadari sering kali dilupakan, akhirnya banyak orang yang fokus pada meratap dan tidak melakukan apa pun, karena salah “meletakkan fokus” tadi.
Sama juga yang saya katakan tadi atas yang saya alami, saya tidak mengatakan “episode ini terlambat karena kesibukan”, tapi “episode ini terlambat karena saya tidak mengantisipasi kesibukan”.
Bedanya apa? Harusnya sudah bisa ditebak lah ya he…he…ya itu tadi, kalau saya mengatakan “episode ini terlambat karena kesibukan”, maka kesibukan itu sesuatu yang berada di luar kuasa saya kan, ya tidak bisa saya ubah, kalau sudah begitu mau ngapain coba? Ya sudah, ujung-ujungnya meratap tidak karuan, kalau kejadian lagi pun tidak bisa melakukan apa-apa kan, menyerah sudah.
Itulah kenapa saya lebih suka memandangnya sebagai “episode ini terlambat karena saya tidak mengantisipasi kesibukan”, kalau menggunakan sudut pandang itu maka siapa yang jadi letak permasalahan? Saya kan? Berarti siapa yang harus dirubah di sini? Ya diri saya, cara saya mengantisipasi kesibukan itu tadi.
Apakah itu kira-kira sesuatu yang bisa saya rubah? Jelas bisa, karena itu berada di dalam kendali saya, berpulang pada cara saya mengatur strategi, ya strategi itu yang harus saya rubah sekarang, “strategi mengantisipasi kesibukan”, kan begitu?
Tapi sekali lagi, semua ini kembali pada prioritas, apakah kita punya kesadaran untuk memprioritaskan hal yang kita harus prioritaskan.
Saya sering kali mengatakan, jangan pernah berpikir untuk mengelola waktu, karena hal itu mustahil, fokuslah pada mengelola diri dalam menjalani waktu.
Waktu tidak bisa dikelola, setiap orang punya 24 jam dalam hidupnya, dan 24 jam itu tidak bisa kita apa-apakan, karena memang itu sudah menjadi sesuatu yang digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, tugas kita adalah mengelola diri kita atau aktivitas kita dalam menjalani 24 jam itu.
Logikanya saja sekarang, 24 jam itu apakah pasti memungkinkan untuk kita mengerjakan SEMUA hal yang benar-benar kita ingin kerjakan?
Di beberapa kesempatan ya mungkin saja begitu, tapi realitanya kan hal itu juga tidak mungkin setiap hari bisa kita lakukan.
Dalam kenyataannya, ada hal yang harus – dan memang masih bisa – kita kelola pengaturan aktivitasnya, untuk hal-hal ini ya tinggal kita kelola lah ya cara kita menjalaninya.
Tapi ada kalanya juga kita harus mengorbankan satu aktivitas agar bisa melakukan aktivitas lain kan, karena istirahat pun juga termasuk ke dalam aktivitas, ada kalanya istirahat inilah yang harus kita korbankan agar bisa melakukan aktivitas lain, atau mungkin sebaliknya.
Nah disinilah kita perlu menentukan, mana yang lebih menjadi prioritas, membicarakan prioritas ini berarti kita harus menyadari apa yang penting dan tidak penting, apa yang mendesak dan apa yang tidak mendesak, kan begitu.
Ketika kita sudah menyadari satu hal memang lebih penting dari hal lainnya, maka saat itu kita membuat keputusan tegas, bahwa hal yang lebih penting itulah yang kita fokus kerjakan dan hal yang satunya kita korbankan.
Karena ada hal yang kita tidak kerjakan, maka hal itu jadinya tidak terpenuhi kan, nah disini jangan sampai kita mengatakan “tidak sempat” ketika hal itu dipertanyakan, karena lagi-lagi hal itu membawa kita ke zona “korban kehidupan”, biasakan menggunakan kata “belum diprioritaskan”, karena hal itu menegaskan kita sebagai pemain kehidupan dengan sadar dan sengaja memilih yang lebih harus kita prioritaskan, bukan sebagai korban tidak berdaya yang tidak memiliki pilihan apa pun.
Lagi-lagi, hal ini ditujukan untuk membangun kebiasaan, menjadikan diri kita pemain kehidupan yang memiliki kendali atas hidup kita, karena kebiasaan-kebiasaan kecil itu yang akan membangun kualitas hidup yang lebih besar nantinya.
Nah, semoga itu menjadi penjelasan yang juga menjadi pembelajaran he…he…
Seperti yang saya katakan, episode podcast ini dibuat fresh, sesuai situasi dan kondisi yang terjadi…dan itulah yang sedang terjadi akhir-akhir ini, paling tidak, semoga menjadi inspirasi pembelajaran bagi kita semua.
Jangan lagi mengatakan “mengelola waktu”, tapi katakan “mengelola diri dalam menjalani waktu”, jangan lagi mengatakan “tidak sempat” tapi “belum menyempatkan” atau “belum memprioritaskan”, dan yang terpenting, tegaskan itu secara sadar, kita menegaskan bahwa kita “belum memprioritaskan” dan “belum menyempatkan” karena memang kita sadar ada hal lain yang lebih penting, lebih mendesak dan masih harus lebih diprioritaskan.
Hal itu yang akan melatih diri kita untuk semakin mawas diri, semakin eling lan waspada, atas hal apa yang memang secara sadar kita sadari penting dalam hidup kita.
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.