Episode 76 – Jadi Pribadi Berdampak
Apa arti hadir atau dampak dari keberadaan diri kita bagi orang di sekitar kita?
Apakah kita menjadi pribadi yang ketika ada maka kehadiran kita membawa dampak positif, sampai-sampai ketika kita tidak ada maka ada rasa “kehilangan” yang lingkungan kita rasakan atas ketidakhadiran itu?
Ataukah kita menjadi pribadi yang ada atau tidak ada maka tidak ada bedanya?
Atau malah lebih ironis lagi: menjadi pribadi yang ketika ada justru membawa dampak negatif, sampai-sampai ketika kita tidak ada maka lingkungan bersorak gembira karenanya?
Intinya: apa dampak yang kita ciptakan dalam hidup ini bagi kehidupan di sekitar kita?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketujuhpuluhenam Life Restoration Podcast berjudul ‘Jadi Pribadi Berdampak’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Jadi Pribadi Berdampak
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tujuh puluh enam.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali berjumpa bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast.
Pertama-tama, seperti biasa tentunya, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Berjumpa kembali di episode ke-76 kali ini, episode yang akan membahas satu sudut pandang tersendiri tentang keberadaan diri kita, atau tepatnya “dampak” dari keberadaan diri kita bagi kehidupan, ya sesuai dengan judulnya lah ya, “Jadi Pribadi Berdampak”.
Kenapa saya mengangkat tema ini di episode kali ini? Karena kan pasti ada alasannya lah ya, salah satunya lagi-lagi masih berhubungan dengan kesibukan terkini yang saya sedang jalani dan fasilitasi, yaitu pelatihan kepemimpinan pada para pemimpin di salah satu perusahaan otomotif internasional.
Yes, bagi Anda yang mengikuti perkembangan media sosial saya dari waktu ke waktu, pastinya menyadari bahwa aktivitas terkini saya sampai akhir Juli nanti selain tetap aktif memfasilitasi sesi terapi dan konseling bagi klien individual, yaitu saya sedang cukup sibuk memfasilitasi pelatihan, atau in-house training, bertemakan kepemimpinan di sebuah perusahaan otomotif internasional.
Seberapa sibuk? Jangan ditanya lah ya he..he…sibuknya benar-benar deh, karena waktu benar-benar tersita luar biasa untuk memfasilitasi program ini, sambil juga menjaga aktivitas memfasilitasi layanan bagi klien individual, bahkan sambil juga menjaga konsistensi agar isi dari inspirasi yang dibagikan di media sosial tetap terjaga, terbayang kan riweuh-nya he…he… “riweuh” itu sendiri istilah dalam Bahasa Sunda, yang kurang lebih artinya “repot”, “rusuh” atau “banyak yang harus dikerjakan”, atau sejenisnya lah ya.
Kembali ke aktivitas terkini yang saya fasilitasi, namanya “pelatihan kepemimpinan”, pastinya muatannya adalah untuk menciptakan para pemimpin yang berkualitas, betul? Nah, pertanyaannya: kriteria “berkualitas” itu apa?
Membicarakan kriteria “pemimpin berkualitas” inilah yang sebenarnya kalau dihubungkan dengan topik bahasan kita di episode kali ini maksudnya yaitu “menjadi pemimpin yang berdampak”.
“Dampak?” Kenapa satu kata itu yang saya soroti berkali-kali sejak tadi?
Sederhana, karena dampak adalah satu hal yang menjadi sebuah “pengingat” tentang arti keberadaan diri kita bagi lingkungan kita.
Contoh sederhana dari “pengingat” di sini, ketika kita sedang tidak ada, atau bahkan sudah tidak ada, bagaimana kesan yang kita tinggalkan atas diri kita…bagaimana cara orang-orang mengingat atau mengenang kita.
Apakah kenangan positif, yang menyenangkan, yang mereka ingat tentang kita, yang menandakan ada begitu banyak dampak positif yang kita ciptakan bagi mereka? Ataukah lebih banyak kenangan negatif, yang tidak menyenangkan, yang mereka ingat tentang kita, yang menandakan ada begitu banyak dampak negatif yang kita ciptakan bagi mereka?
Nah, itu contoh sederhana dari dampak tadi, bagaimana cara orang mengingat kita, maka itulah cerminan dari dampak yang kita ciptakan atas diri mereka.
Tapi tidak hanya ketika kita tidak ada, bahkan ketika kita ada bersama orang lain pun dampak dari keberadaan diri ini idealnya kita sadari.
Saya biasanya membagi dampak keberadaan diri ini menjadi beberapa jenis.
Ada orang-orang yang ketika mereka ada maka lingkungan merasa senang karenanya, mereka merasa berbeda, ketika mereka tidak ada maka lingkungan merasa kehilangan, seperti ada yang hilang atau ada yang kurang dari tidak adanya mereka ini.
Ada juga orang-orang yang baik mereka ada atau tidak ada, tidak ada perbedaan signifikan yang dirasakan orang-orang di lingkungan itu, ini yang sering kali dikatakan “ada dan tidak ada, ya tidak ada bedanya”.
Tapi ada juga orang-orang yang ketika mereka ada justru lingkungan merasa tidak senang dan malah risi, ketika mereka tidak ada justru lingkungan merasa senang dan ceria, wah yang satu ini agaknya parah sekali lah ya…he…he…
Kalau dihubungkan dengan kepemimpinan, ilustrasi yang sama berlaku, apakah kita menjadi pemimpin yang memberi dampak positif? Yaitu ketika kita ada maka anggota tim kita merasa senang dan bersemangat, dan ketika tidak ada maka anggota tim merasa kehilangan dan ada yang kurang.
Ataukah kita menjadi pemimpin yang tidak berdampak sama sekali, yaitu ada dan tidak ada ya tidak ada bedanya.
Ataukah kita justru menjadi pemimpin yang memberi dampak negatif, artinya ketika kita ada maka anggota tim merasa terancam, tidak bersemangat dan malah takut karenanya, ketika kita tidak ada maka anggota tim justru merasa ceria dan bersemangat.
Itu tadi kalau dihubungkan dengan kepemimpinan, tapi menjadi pribadi berdampak ini kan cakupannya luas, bukan hanya dalam kepemimpinan saja, tapi dalam setiap bentuk hubungan yang terjalin antara kita dengan orang di sekitar kita.
Manusia adalah makhluk sosial, artinya kita selalu memerlukan interaksi sosial dengan orang lain, hal itu secara alami mengakar dalam diri kita. Pertanyaannya justru, seperti apa interaksi sosial itu terjalin dan seperti apa dampak yang dihasilkannya.
Coba kita amati jenis hubungan, interaksi dan dampak yang dihasilkannya ini dalam berbagai contoh.
Jika kita memposisikan diri dalam hubungan dan interaksi sebagai orang tua pada anak, maka apa dampak yang sudah kita ciptakan dalam hubungan dan interaksi ini? Apakah kita menjadi orang tua yang memberi dampak positif, yang menjadikan anak kita merasa senang dengan keberadaan kita dan merasa kehilangan ketika kita tidak ada.
Atau kita menjadi orang tua yang tidak memberi dampak, yang ada atau tidak ada justru tidak ada bedanya bagi anak, atau kita malah jadi orang tua yang memberi dampak negatif pada anak kita, ketika ada justru anak kita merasa tidak nyaman dan ketika tidak ada justru anak kita merasa nyaman dan senang.
Itu kalau kita memposisikan diri sebagai orang tua pada anak, begitu juga di berbagai contoh lainnya, coba kita memposisikan diri sebagai pasangan bagi pasangan kita, atau posisikan diri sebagai guru dari murid kita, sebagai mitra dari mitra bisnis kita, sebagai pemimpin dari anggota tim kita, sebagai sesama anggota dari tim kerja, atau sebagai apa pun, pertanyaannya sama: apa arti keberadaan kita bagi orang di sekitar kita?
Sudahkah kita menjadi pribadi yang ketika ada maka kita memberi dampak positif bagi orang di sekitar kita, yang menjadikan mereka senang dan nyaman dengan keberadaan kita, sampai-sampai merasa kehilangan kalau kita tidak ada bersama mereka?
Ataukah kita menjadi pribadi yang “ada atau tidak ada maka tidak ada bedanya”?
Ataukah kita justru menjadi pribadi yang ketika ada justru menimbulkan rasa tidak senang dan tidak nyaman, dan ketika tidak ada justru membuat orang-orang jadi senang dan kegirangan karenanya, dengan kata lain: menjadi pribadi yang memberi dampak negatif?
Judul dari episode ini memang “Jadi Pribadi Berdampak”, tapi maksudnya “berdampak” ini ya sebaiknya jadi pribadi yang berdampak positif lah ya.
Ya memang pada akhirnya pilihan juga sih, ada juga kok orang-orang yang memutuskan untuk menjadi pribadi yang berdampak negatif, mereka memutuskan jadi orang-orang dengan perilaku yang nyeleneh atau “beda sendiri”, yang pada akhirnya membuat mereka dikesankan sebagai pribadi berdampak negatif, tapi mereka melakukan itu secara sengaja.
Memang terdengar aneh sih, tapi ya ada saja orang yang seperti itu, alasannya bisa macam-macam lah ya, mereka ingin jadi pribadi yang “diingat”, terlepas nanti diingatnya secara negatif sekali pun mereka tidak peduli, yang penting diingat, maka tidak aneh kalau kita mendapati ada saja orang-orang yang banyak melakukan aksi kontroversial di mata publik demi menciptakan kesan itu, apalagi di era sekarang ini dimana media sosial dan internet sedang berkembang dengan begitu dahsyatnya, yang membuat “popularitas” menjadi suatu hal yang mudah sekali untuk diperoleh, apalagi “popularitas dengan dampak negatif”, seperti yang saya ceritakan tadi.
Ya lagi-lagi, itu pilihan, saya juga tidak berani mengatakan itu pilihan yang salah atau pilihan yang absurd, yang memutuskan dan membuat pilihan kan mereka, pasti ada pertimbangan atau sudut pandang yang membuat mereka memutuskan begitu, selama mereka memang siap dengan konsekwensinya ya itu pilihan mereka lah ya.
Hanya saja saya sih memikirkannya kalau dari sudut pandang energi agaknya “kasihan” sekali akumulasi energi yang terjadi pada orang-orang yang memberi dampak negatif ini.
Kenapa demikian? Ya, agaknya Anda sudah familiar lah ya bahwa di podcast ini saya sudah berkali-kali membahas atau menyoroti keberadaan dari “energi”, bahwa alam semesta ini terdiri dari energi dan kita sendiri adalah makhluk energi, dan dalam keseharian yang kita jalani pun selalu ada interaksi energi yang terjalin antara kita dengan kehidupan di sekitar kita.
Untuk lebih jelasnya mengenai konsep dari energi ini Anda silakan temukan di banyak bahasan yang tersebar di beragam episode yang ada di podcast ini lah ya, saking banyaknya saya juga sudah tidak terlalu ingat di bahasan episode mana saja saya pernah mengulas bahasan energi ini he…he…
Kembali ke pemikiran tadi, kenapa dari sudut pandang “akumulasi energi” saya mengatakan “kasihan” pada mereka yang memberi dampak negatif bagi lingkungan ini?
Begini, karena manusia adalah makhluk energi dan dalam keseharian yang kita jalani pun interaksi energi ini selalu terjadi, salah satunya dari pengerahan atensi atau proses berpikir yang kita lakukan.
Berpikir adalah proses “mengerahkan atensi”, ada atensi yang kita kerahkan dalam setiap pemikiran yang kita lakukan.
Bersama atensi ini, ada energi yang juga tercurah dan terarah, artinya ada energi yang terarah ke hal tertentu sesuai dengan yang kita pikirkan itu.
Ketika kita memikirkan hal positif maka yang terbentuk juga adalah medan energi positif, ketika pemikiran positif itu kita tujukan pada objek tertentu maka medan energi positif itu ikut tertuju pada objek itu, memberikan asupan positif tersendiri pada objek itu.
Begitu juga ketika kita memikirkan hal negatif, yang terbentuk adalah medan energi negatif, kalau medan energi negatif itu ditujukan pada objek tertentu maka medan energi negatif itu juga yang akan tertuju pada objek itu, memberikan asupan negatif padanya.
Nah sekarang coba bayangkan kalau seseorang hidup dengan memberikan dampak positif bagi lingkungannya, ada begitu banyak energi pemikiran positif yang lingkungan pikirkan atas dampak keberadaannya dan bahkan karena lingkungan merasa senang atas keberadaan orang ini maka mereka turut mendoakannya secara positif juga kan?
Hal inilah yang menjadikan medan energi positif yang terbentuk dari pemikiran lingkungan atas orang ini kemudian tertuju padanya, sebagai sebuah “doa positif”, atau “energi positif”, yang menjadi asupan positif juga baginya.
Tapi coba bayangkan kalau seseorang hidup dengan memberikan dampak negatif seperti yang saya kisahkan tadi, bisa ada begitu banyak energi pemikiran negatif, berupa harap-harap dan doa negatif, yang lingkungan curahkan dan arahkan padanya kan?
Hal ini juga yang menjadikan orang ini menjadi “sasaran” dari berbagai atensi dan energi negatif yang ditujukan padanya, maka jangan heran kalau akumulasi energi yang melekat atau ditujukan padanya pun adalah akumulasi energi yang bersifat negatif juga.
Seberapa jauh hal itu akan berdampak dalam hidupnya? Ini agak sulit dijawab ya, karena bentuk akhir dari hubungan sebab-akibat dari akumulasi medan energi ini bisa bermacam-macam wujudnya nanti.
Hanya saja, penjelasan paling sederhananya ya begini saja, bayangkan ada begitu banyak orang yang merasa tersakiti, atau istilah spiritualnya “terzalimi” oleh seseorang, dan memang kenyataannya demikian, ada banyak perilaku orang itu yang menzalimi lingkungannya, dari sudut pandang spiritual saja kita sering mengenal istilah “amal perbuatan”, atau “karma” kan, bukankah dari sudut pandang ini saja kita sudah bisa menerka-nerka akan seperti apa nantinya proses tabur-tuainya.
Memang yang satu ini akan melibatkan bahasan yang lebih dalam lagi, karena definisi terzalimi ini juga perlu kita urai, bisa saja yang terjadi sebaliknya juga, seseorang yang berada di sebuah lingkungan yang berbudaya negatif ingin mengubah lingkungan ini, ia lalu melakukan segala daya-upaya untuk mengubah lingkungan ini menjadi positif, nah tindakannya ini akan dirasa menimbulkan ketidaknyamanan bagi lingkungannya kan, bisa saja tindakannya yang sebenarnya dimaksudkan positif ini malah dianggap menzalimi oleh lingkungannya itu, nah kalau sudah begini kan agak lain ya ceritanya, kita jadi perlu mengurai dulu detail-detail persoalannya untuk bisa mengetahui siapa yang sebenarnya menyakiti siapa dan apa jenis medan energi yang terbentuk dari peristiwa ini.
Yang satu ini karena agak panjang, jadi tidak saya bahas di episode kali ini lah ya, nanti bahasan ini akan ada di buku terbaru saya yang direncanakan terbit di tahun ini, yang berjudul “The Answer”, nanti silakan Anda temukan disana saja pembahasannya.
Kapan bukunya akan terbit? Ya rencananya sih sebelum bulan September tahun 2022 ini, atau tepatnya di bulan Agustus tahun ini, tapi siapa yang tahu juga kalau-kalau ada hal yang saya sulit antisipasi, yang menyebabkan harus ada penyesuaian tersendiri.
Jujur saja, target awalnya juga buku ini harusnya terbit bulan Juni ini, cuma karena saya masih harus memprioritaskan dulu agenda lain yang masuk mendadak tanpa terduga dan terantisipasi, yang lebih melibatkan kepentingan orang banyak, maka saya harus secara sadar dan sengaja memutuskan menunda dulu proses penyelesaian bukunya.
Tapi sampai sejauh ini semoga cukup jelas lah ya esensi dari episode kali ini, mari menjadi “pribadi berdampak”, atau tepatnya mari menjadi “pribadi berdampak positif”, pribadi yang ketika ada maka kehadiran kita memberikan nuansa positif, membuat orang-orang merasa senang dan nyaman atas kehadiran kita…menjadi pribadi yang ketika tidak ada maka ada dampak dirindukan dari ketidakhadiran kita itu.
Mari menjadi pribadi yang ketika ada, kita menciptakan perbedaan positif, perbedaan yang nyata, yang jelas-jelas menjadi dampak positif bagi lingkungan kita.
Akhir kata, semua ini hendaknya membawa kita ke sebuah perenungan, mari bertanya ke diri kita sendiri, selama ini apa saja yang sudah kita lakukan dan kontribusikan pada lingkungan kita?
Apakah lebih banyak dampak positif yang kita ciptakan, ataukah lebih banyak dampak negatifnya?
Apakah kita pribadi yang ketika ada memberikan dampak positif, atau tidak ada bedanya, atau malahan memberikan dampak negatif?
Mari menyadari bahwa hidup ini singkat adanya, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, lusa, minggu depan, bulan depan atau seterusnya, sewaktu-waktu bisa tiba saatnya kita meninggalkan dunia ini dan meninggalkan lingkungan tempat kita berinteraksi itu, pertanyaannya: apa kesan yang kita tinggalkan di lingkungan itu?
Adakah orang-orang di lingkungan itu merasa kehilangan dan menempatkan kita sebagai pribadi yang layak dikenang? Ataukah orang-orang di lingkungan itu tidak merasa perbedaan apa pun, waktu berlalu dan kita pun menjadi pribadi yang terlupakan, atau bahkan “dilupakan” secara sengaja, karena dampak negatif yang kita berikan di masa kita menjalani waktu bersama mereka.
Hidup ini pilihan, saya juga tidak berhak menyatakan bahwa kita HARUS menciptakan dampak positif bagi lingkungan kita, atau HARUS menjadi pribadi berdampak positif tadi, tapi paling tidak semoga bahasan di episode podcast ini sudah menguraikan jawaban dan alasan yang bisa menjadi pertimbangan tersendiri untuk membantu Anda membuat keputusan yang Anda siap tanggung konsekwensinya nantinya.
Tapi jika…seandainya…Anda memutuskan untuk menjadi pribadi berdampak positif, mulailah merenungkan, apa dampak positif yang secara nyata bisa Anda ciptakan di bidang yang Anda tekuni, di lingkungan dimana Anda tinggal, agar semua itu tidak hanya berakhir sebagai wacana, agar benar-benar ada tindakan nyata yang kita lakukan, yang benar-benar membawa dampak positif yang layak dikenang?
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.