Episode 79 – Jadi Pribadi Merdeka, Apa Syaratnya?
Bisa kita dapati pekik semangat kemerdekaan disuarakan di berbagai forum, mengajak kita untuk menghayati kemerdekaan yang diperoleh berkat perjuangan para pahlawan dan pendahulu kita di masa lalu.
Namun bagaimana dengan diri kita sendiri? Sudahkah perayaan kemerdekaan ini berlangsung dalam diri kita?
Atau jangankan dirayakan, diperjuangkan saja tidak.
Atau bahkan jangankan diperjuangkan, disadari maknanya saja tidak.
Jika makna dari kemerdekaan ini saja tidak dipahami, lalu apa yang akan diperjuangkan atau dirayakan ini? Bagaimana bisa jadi pribadi merdeka kalau paham maknanya saja tidak.
Bahasan podcast kali ini akan mengupas apa yang menjadi makna, hakikat dan syarat dari sebuah kemerdekaan diri, untuk bisa mejadi pribadi merdeka.
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode ketujuhpuluhsembilan Life Restoration Podcast berjudul ‘Jadi Pribadi Merdeka, Apa Syaratnya? ’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Jadi Pribadi Merdeka, Apa Syaratnya?
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode tujuh puluh sembilan.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, semoga selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia selalu dimana pun Anda berada, bersama mereka yang Anda kasihi.
Berjumpa kembali di Life Restoration Podcast, seperti biasa…bersama saya, Alguskha Nalendra, di episode ke-79 kali ini, episode yang spesial pastinya, karena diunggah dalam nuansa perayaan hari raya kemerdekaan negara kita tercinta, Indonesia, yang ke-77, itu kenapa kenapa judul dari episodenya pun berhubungan dengan “kemerdekaan” he…he…
Begitulah, sebagaimana Anda tentunya juga sudah familiar dengan isi dan nuansa dari podcast ini, audio podcast ini saya buat “segar” setiap episodenya, yang menjadikan apa pun nuansa terkini yang sedang terjadi, ya itulah yang diangkat sebagai bahasan dalam podcast ini.
Mungkin ada yang tergolong baru juga berkunjung ke podcast channel ini dan belum terlalu paham kenapa ada istilah “segar” tadi saya sebutkan.
Untuk menjawabnya maka mau tidak mau akan cukup banyak berhubungan dengan keberadaan dari media sosial saya, tepatnya yaitu Youtube Channel.
Kalau Anda pernah mengunjungi Youtube Channel saya, yaitu channel “Alguskha Nalendra”, kemungkinan Anda sudah cukup familiar bahwa di channel itu ada berbagai muatan inspiratif yang saya bagikan setiap minggunya, dimana muatan yang ada di dalamnya, sebagaimana Youtube mensyaratkannya, ya isinya berupa video.
Dulu isi dari Youtube Channel itu masih sangat minim sekali, namanya juga awal-awal memulai he…he…isinya ya audio podcast ini, cuma dikemas dalam bentuk video statis dengan tampilan yang berisikan audiogram, jadi selain diunggah di Spotify Channel saya yang memang dikhususkan untuk karya berbasis audio, episode-episode podcast ini juga diunggah di Youtube Channel saya.
Maksudnya sederhana, agar sekali kerja banyak yang bisa digarap, makanya awalnya kontennya tidak memfokuskan pada video, fokus pada audio saja, kalau pun dijadikan video itu karena jenis file itulah yang dipersyaratkan oleh Youtube untuk diunggah.
Begitu sebenarnya awalnya, tapi sebagaimana Anda juga tahu, market di Youtube ya pastinya mengharapkan isi konten itu dominannya visual, karena memang platform itu ditujukan untuk konten berbasis video kan, maka mulai banyak yang meminta agar konten berbasis video juga disiapkan, nah jadi beda nih ceritanya sekarang.
Akhirnya karena konten berbasis video juga disiapkan, pengaturan aktivitas jadi tidak bisa seperti dulu lagi, perlu ada waktu khusus yang dicurahkan untuk menyiapkan dulu konten-konten yang akan dimuat, apalagi kontennya berbasis video kan.
Maka berbagai konten yang ada di Youtube Channel menjadi konten yang saya siapkan jauh-jauh hari, sekali perekaman video maka beberapa episode sekaligus yang disiapkan, agar efisien pengaturan waktunya, karena kan saya juga masih harus menjalankan pekerjaan utama saya sebagai hipnoterapis dan coach yang membantu para klien yang memesan jadwal bersama saya, belum lagi masih ada jadwal mengajar di kelas-kelas pelatihan yang saya juga fasilitasi.
Nah berbeda dengan audio podcast ini, kalau konten berbasis video kan saya siapkan jauh-jauh hari, di awal, kalau audio podcast ini saya siapkan “segar setiap minggunya”, jadi di minggu dimana episodenya diunggah ya di minggu itu perekaman dilakukan dan diunggah.
Makanya sekarang ini jadwal audio podcast ini menjadi dua minggu sekali, tidak seperti dulu yang seminggu sekali, untuk menyiasati agar pembuatannya tetap ter-handle dengan baik, kalau dipaksakan di seminggu sekali takutnya malah berbagai jadwal jadi berantakan dan tidak tertangani, nanti deh ya kalau sudah mulai lebih terkelola pengerjaan dan pengaturan waktunya mungkin kita akan kembali ke jadwal lama dimana podcast ini diunggah seminggu sekali.
Anyway…saatnya mulai masuk ke materi di episode kali ini.
Tapi sebelum masuk ke episode kali ini, saya juga ingin meluruskan dulu ya, karena ada saja pendengar yang kadang-kadang berkomentar “Harusnya bahasannya langsung to the point saja, jangan kebanyakan di pembukaan.”
Ya maaf kalau hal itu agak tidak cocok bagi Anda yang baru kenal dengan audio podcast ini, tapi ijinkan saya menjelaskan bahwa audio podcast ini bukan ditujukan untuk sekedar “upload konten terus berlalu”, bagi saya audio podcast ini menjadi sarana untuk menyapa dan berbagi kabar terkini bagi para follower dan subscriber yang setia membersamai perjalanan channel-channel media sosial saya, apalagi cukup banyak penyimak episode-episode podcast saya adalah penyimak setia yang memang sudah mengikuti sejak awal channel podcast ini dibuat, sudah seperti club deh pokoknya he…he…makanya saya selalu menyempatkan diri untuk berbagi kabar-kabar terkini dulu di awal sebelum masuk ke inti materi.
Kalau Anda termasuk yang tidak nyaman dengan itu ya dipercepat saja episodenya, kan bisa seperti itu, atau malah baca saja transkripnya yang ada di website saya, pasti lebih cepat sampai ke inti materi, ada kok link-nya saya sertakan di kolom deskripsi di Youtube Channel saya he…he…
Kali ini kita masuk ke materi ya, baiklah kalau begitu: selamat merayakan hari raya kemerdekaan ke-77 negara kita tercinta, Indonesia!
Semoga semangat dan hakikat kemerdekaan di perayaan hari jadi negara kita ini bisa menjadi pijakan yang memperkokoh perjalanan hidup kita semua, untuk menjadi “pribadi merdeka”.
Nah, “pribadi merdeka”, apa yang muncul di pikiran Anda ketika mendengar kata-kata itu?
Iya dong, membicarakan kemerdekaan ya bukan hanya dalam konteks kenegaraan saja, sebagai individu atau pribadi, kemerdekaan itu juga penting bagi diri kita sendiri, yaitu untuk bisa menjadi pribadi yang merdeka.
Tapi ya kembali ke pertanyaan tadi, apa yang dimaksud “pribadi merdeka” ini? Agaknya ironis kan kalau kita memperjuangkan sesuatu yang kita sendiri tidak tahu artinya, apalagi kalau sampai merayakannya, jadi tidak jelas apa yang diperjuangkan dan tidak jelas apa yang dirayakan jadinya he…he…
Dalam pandangan saya pribadi…sekali lagi, ini dalam pandangan saya lho ya, “kemerdekaan” adalah sesuatu yang terhubung dengan “kendali”.
Negara yang merdeka adalah negara yang memiliki kendali…pribadi yang merdeka adalah pribadi yang memiliki kendali…kurang lebih begitulah cara pandang saya.
Kenapa “kendali” ini yang menjadi perlambang kemerdekaan? Ya karena kalau apa-apa masih di luar kendali, apa-apa masih harus diatur atau didikte oleh pihak lain, apa bedanya dengan “dijajah”? Tidak merdeka dong namanya itu.
Mau dalam konteks kenegaraan atau pun pribadi kurang lebih sama arahnya, “kendali” ini menjadi sesuatu yang menentukan tingkat kemerdekaan diri kita.
Apakah kita punya kemerdekaan atau kendali untuk menentukan arah hidup kita? Kalau ya, maka sebagian dari kemerdekaan ini sudah kita miliki.
“Sebagian” lho ya, karena masih ada sebagian lain yang nanti akan ikut menentukan apakah kemerdekaan ini kemerdekaan sejati atau semu.
Kenapa kendali untuk menentukan arah hidup? Karena kan ada sebagian orang yang tidak memiliki hal ini, mereka tidak punya kendali untuk menentukan arah hidupnya sendiri, mereka menjalani arah kehidupan yang mereka sendiri tidak tahu kenapa harus mereka jalani, ada yang diatur atau dikondisikan oleh orang lain, ada yang merasa “tidak punya pilihan”, dan lain sebagainya, intinya mereka bukan menentukan sendiri arah kehidupannya, mereka menjalani arah kehidupan yang sebenarnya bukan arah kehidupan yang mereka inginkan, tapi tidak kuasa menolaknya, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan di situasi dilematis yang mereka jalani.
Tapi, apakah itu seolah-olah menandakan bahwa orang yang menjalani kehidupan yang sebenarnya bukan pilihan mereka ini adalah selalu orang yang tidak merdeka?
Tidak juga…justru di sini kita membicarakan hakikat dan syarat yang lebih dalam dari kemerdekaan itu sendiri, hakikat dan syarat yang kalau tidak ada di dalamnya maka kemerdekaan itu tidak akan tercapai, atau kalau pun seolah-olah tercapai maka hal itu menjadi kemerdekaan “semu”, bukan kemerdekaan sebenarnya.
Saya mendefinisikan kemerdekaan di levelnya yang lebih mendalam bukan sebatas kemampuan untuk menentukan arah kehidupan, tapi juga kemampuan untuk “membebaskan diri” dalam memilih dan memaknai kehidupan ini sendiri, tidak serta-merta hanya menerima dan menjalani kehidupan dengan makna yang lingkungan di luar diri kita tanamkan atau bangun sebagai persepsi dalam pikiran kita.
Ada orang-orang yang memang memiliki kendali untuk menentukan arah kehidupan yang mereka inginkan, mereka memiliki kendali yang memadai untuk membangun kualitas hidup yang mereka inginkan; kendali ini bisa berupa kekuatan finansial, kekuatan pengaruh, atau kekuatan apa pun itu, yang menjadikan mereka memiliki kendali untuk merancang arah kehidupan yang mereka inginkan tadi.
Tapi sekali lagi, apakah hal ini menjadikan orang-orang yang “sebaliknya” tidak merdeka? Artinya “sebaliknya” ini yaitu orang-orang yang ternyata memiliki “keterbatasan” untuk bisa menentukan arah kehidupan sesuai yang mereka inginkan.
Keterbatasan ini bisa banyak jenisnya, ada yang karena keterbatasan finansial, ada yang mungkin karena keterbatasan situasi, misalnya orang yang inginnya merancang arah kehidupan yang penuh petualangan, menjelajahi berbagai tempat di berbagai penjuru dunia, tapi malah dilanda keterbatasan harus berdiam di tempat karena harus mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan orang dekat yang dikasihi, tidak tega meninggalkan mereka begitu saja dan akhirnya mengorbankan arah kehidupan yang diinginkan, nah apakah orang-orang ini adalah orang-orang yang tidak merdeka?
Tunggu dulu, ingat bahwa kemerdekaan ini juga berhubungan dengan kemampuan untuk “membebaskan diri” dalam memilih dan memaknai kehidupan ini.
Artinya, hanya karena seseorang menjalani arah kehidupan yang seolah bukan arah kehidupan ideal yang sebenarnya diinginkannya, bukan berarti ia tidak merdeka, bukan berarti ia terbelengu, karena yang menjadikan seseorang merdeka atau terbelengu justru ada dalam pikirannya sendiri.
Kalau orang-orang yang menjalani arah kehidupan yang bukan mereka inginkan ini justru bisa menerima yang terjadi dengan rasa syukur dan ikhlas maka mereka justru menjadi pribadi yang tidak kalah merdeka dibandingkan mereka yang memiliki kendali untuk menjalankan arah kehidupan sebagaimana mereka menginginkannya.
Lho kok bisa? Jawabannya adalah, karena mereka punya daya untuk tetap mengendalikan respon pikiran dan perasaannya, meski pun suasana di luar diri mereka tidak sejalan dengan yang mereka inginkan, mereka tidak membiarkan semua itu mempengaruhi diri mereka, tidak membiarkan semua itu menyiksa mereka, mereka tetap memilih untuk merasa tenang, nyaman dan biasa saja, bahkan bergembira, kurang merdeka apa lagi coba itu? Ini yang disebut “merdeka sejati” malahan, sudah tidak terpengaruh oleh apa pun yang terjadi di luar dan bisa memutuskan untuk memilih sendiri respon pemikiran dan perasaan yang diinginkan.
Sebaliknya, orang mau sudah memiliki pencapaian sebanyak apa pun, terlihat memiliki kekuatan sebanyak apa pun, tidak jaminan memiliki kendali yang kuat, bisa saja mereka justru tidak memiliki kendali atas hawa nafsunya sendiri, tidak merdeka atas hawa nafsunya sendiri.
Orang-orang yang memiliki kendali-kekuatan lebih tadi misalnya, bisa saja mereka memiliki kekuatan untuk menata arah kehidupan yang mereka inginkan, tapi dalam perkembangannya ternyata terlalu banyak ego dan kepentingan mereka yang mereka ingin puaskan dalam menata arah kehidupan itu, sampai-sampai kalau tidak tercapai maka mereka merasa kesal dan gemas karenanya, sampai-sampai demi semua itu tercapai mereka tidak peduli kalau sampai merugikan orang lain di sekitarnya, kalau seperti itu apakah mereka lantas digolongkan “pribadi merdeka”?
Ya tidak juga, mereka hanya pindah “penjajahan” saja, awalnya dijajah oleh “keterbatasan”, sekarang dijajah oleh “hawa nafsu”, yang tidak ada puasnya, penjajahan jenis ini justru lebih parah, karena tidak disadari, terlihatnya seperti pribadi merdeka, karena punya kendali yang besar, padahal kemerdekaannya “semu”, yang terjadi mereka sedang dijajah oleh hawa nafsu mereka sendiri.
Kembali ke “kemerdekaan itu berawal dari pikiran”, maka bisa kita sadari kali ini bahwa ia berhubungan dengan satu hal: “kemerdekaan atau kendali untuk memilih”.
Maka, sebelum membicarakan apakah seseorang dikategorikan sebagai “pribadi merdeka”, pertanyaan penting yang harus terjawab adalah “Apakah mereka memang memilih untuk menjadi pribadi merdeka?”
“Apakah mereka sudah menyadari bahwa kemerdekaan bersumber dari pikiran dan respon mereka sendiri?”
Kalau dihubungkan dengan “arah kehidupan” tadi, jangan dulu mengkategorikan orang-orang yang menjalani kualitas hidup yang buruk sebagai “pribadi yang tidak merdeka”, bisa jadi mereka adalah “pribadi yang memang memilih untuk tidak merdeka”, mereka pada dasarnya memang tidak menginginkan kemerdekaan itu, mereka sudah terlanjur “menyerah pada kehidupan”, tidak menginginkan perubahan atau perbaikan apa pun.
Bisa juga mereka sebenarnya ingin, tapi terlanjur merasa terbelengu oleh keterbatasan dan meyakini bahwa perubahan atau perbaikan adalah kemustahilan, maka mereka merasa menentukan arah kehidupan adalah suatu hal yang percuma, karena memang hal itu di mata mereka menjadi sesuatu yang tidak mungkin mereka bisa dapatkan.
Atau ada juga yang mungkin ingin, ia menginginkan perubahan itu, ia memutuskan menata arah kehidupan yang ia inginkan, dan mulai memperjuangkan semua itu, tapi dalam perjuangannya itulah justru ia menyerah karena berhadapan dengan terlalu banyak tantangan yang dirasanya tidak bisa dihadapinya.
Ketika seseorang memiliki kendali untuk menentukan arah kehidupannya, memiliki kendali untuk memeperjuangkan arah kehidupannya, memiliki kendali untuk kelak menjalani arah kehidupan yang ia inginkan, dan memiliki kendali untuk membebaskan diri dari hawa nafsu yang membelengunya untuk terus memuaskan ego serta kepentingannya, maka mudah untuk mengkategorikan mereka sebagai pribadi merdeka.
Tapi kembali ke orang-orang yang dihadapkan dengan keterbatasan tadi, apakah mereka otomatis pribadi yang tidak merdeka atau “terjajah” oleh kehidupan?
Tidak selalu demikian, sekali lagi yang menjadikan seseorang terbelengu atau merdeka adalah pilihan mereka sendiri.
Ketika seseorang memilih untuk menyerah, maka merekalah yang menyerahkan diri untuk kemudian terbelengu oleh pikiran mereka sendiri.
Lain dengan mereka yang berserah, menyerah berbeda dengan berserah, menyerah menandakan kita sebenarnya masih menginginkan hal yang kita inginkan, masih ada nafsu di dalamnya, tapi sadar tidak punya kendali untuk mencapainya, maka menyerah menjadi opsi yang sebenarnya mereka tidak inginkan, tapi pada akhirnya mereka harus ambil.
Sementara berserah tidak demikian adanya, berserah bermula dari sebuah kesadaran spiritual, sebuah penerimaan bahwa yang terjadi memang harus terjadi, kita menerimanya sebagai sebuah ketentuan Tuhan Sang Maha Pencipta dan menjalaninya dengan rasa ikhlas, bahkan bisa bergembira karenanya.
Maka yang mejadikan seseorang yang menyerah sebagai pribadi terjajah adalah keputusan mereka sendiri untuk memaknai semua itu, mereka memaknai itu sebagai situasi yang dilematis, situasi dimana tidak ada pilihan, situasi yang menyiksa dan berbagai konotasi negatif lainnya, maka inilah yang dimaksudkan sebagai “terjajah”.
Mereka sedang terjajah oleh liarnya pikiran mereka sendiri yang memutuskan untuk memilih makna yang tidak memberdayakan, atau menyiksa, atas situasi yang dialaminya, sehingga waktu demi waktu yang mereka habiskan dengan pemikiran itu semakin membuat mereka terbelengu dan terjajah.
Berserah tidak berarti menyerah, orang-orang yang berserah tahu mereka sedang berhadapan dengan sesuatu yang berada di luar kendali mereka dan mereka bisa menerima hal itu, mereka tidak serta-merta membuang harapan begitu saja, mereka bisa berdamai dengan keadaan sambil mengamati situasi, mereka tahu bahwa kehidupan selalu berputar dan peluang bisa hadir kapan pun, maka mereka tidak menutup mata dari kemungkinan bahwa kalau suatu hari peluang itu datang mereka akan siap untuk menjemputnya, tapi selama mereka masih harus berhadapan dengan situasi yang berada di luar kendalinya maka mereka memilih untuk memaknainya dengan makna yang lebih memberdayakan, mereka menyadari bahwa apa pun situasi yang terjadi di luar diri mereka, mereka selalu memiliki kebebasan untuk memilih dengan cara apa mereka akan merespon situasi itu.
Inilah yang tadi sempat kita bahas, dan juga menjadi esensi dari kemerdekaan tingkat tertinggi, kendali untuk menentukan respon pemikiran dan perasaan diri sendiri, bisa memilih respon positif atau membahagiakan, terlepas dari apa pun yang kita alami.
Definisi dari “menyenangkan” atau “menderita” adalah hasil bentukan dari lingkungan di luar diri kita, di sepanjang pengalaman tumbuh-kembang yang kita alami kita diajarkan oleh lingkungan dan proses berpikir otomatis dalam diri kita sendiri, yang dulu dengan keterbatasan kita, sulit kita kendalikan, sehingga kita diajarkan untuk mendefinisikan hal-hal yang menurut kita akan membuat kita bahagia atau sebaliknya, berdasarkan yang kita alami di luar diri kita.
“Saya bahagia kalau…”
“Saya tidak bahagia kalau…”
Nah itu adalah dua contoh berbagai bentukan lingkungan yang mengajarkan kita untuk merasa bahagia dan menderita berdasarkan yang kita alami di luar diri kita, yang membahagiakan kita ternyata bergantung dari apa yang kita alami di luar diri kita, kalau hal itu tidak ada maka kita jadi tidak bahagia, dan bahkan menderita karenanya, kalau seperti itu apa bedanya dengan “dijajah” oleh pikiran kita sendiri kan?
Tapi manusiawi tidak? Ya manusiawi, namanya juga manusia, cuma kan belum tentu “manusia merdeka” he…he…sekarang bergantung pada kita, ingin jadi manusia merdeka atau tidak, lagi-lagi itu pilihan.
Menjadi manusia merdeka di levelnya yang tertinggi ternyata mensyaratkan kita untuk memiliki kendali penuh untuk bisa memilih respon pemikiran dan perasaan kita atas apa pun yang terjadi di luar diri kita, apa pun boleh terjadi di luar diri kita, tapi kitalah yang menentukan dengan cara apa kita akan merespon hal itu, tidak membiarkan segala hal yang tidak kita inginkan itu mempengaruhi kita secara negatif.
Apakah mudah? Tentu tidak, tapi namanya juga “kemerdekaan”, tentu didapat dengan perjuangan bukan? Kalau didapatnya dengan kemudahan ya bukan kemerdekaan dong, itu “keberuntungan”, atau bahkan “kebetulan” he…he…
Memang tidak mudah, tapi hasil akhirnya tentu sepadan.
Nah, selamat merayakan hari raya kemerdekaan negara kita tercinta, Indonesia, mari belajar dari semangat kemerdekaan ini, untuk bisa berjuang menjadi pribadi merdeka yang sesunguhnya, mencapai kemerdekaan sejati kita suatu hari nanti.
Sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.