Episode 80 – Jahatnya Caramu Mengkritik Diri Sendiri
Sejahat-jahatnya kritik dari orang lain, ada yang lebih jahat dari itu semua, yaitu kritik yang kita tujukan pada diri kita sendiri.
Ya, disadari atau tidak, keraguan dan ketidakpercayaan diri kita dalam melakukan sesuatu, kerap kali bukan bermula dari rasa takut kita untuk nanti apa yang kita kerjakan itu dikritik secara negatif oleh orang lain, melainkan bermula dari kritik internal jahat dalam diri kita sendiri, yang mengkritiki apa yang kita lakukan secara negatif, bahkan bukan hanya mengkritiki, melainkan sampai ke menghakimi dan mencaci-maki.
Sejahat-jahatnya kritik dari luar diri kita, ia terhenti ketika kita tidak lagi bersama orang yang mengkritiki diri kita itu, tapi tidak dengan kritik internal dalam diri kita sendiri, meski kita sedang sendirian pun ia bisa terus berlangsung, mengkritiki berbagai hal yang ada dalam hidup kita, ia bisa muncul berlebih, berkepanjangan dan membebani secara negatif, membuat beberapa orang larut dengan keraguan, ketakutan, penyesalan, dan bahkan dalam kasus ekstrim bisa sampai menyebabkan kondisi depresif.
Bagaimana kritik internal jahat ini terbentuk? Seperti apa cara menyikapinya?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
https://open.spotify.com/episode/5OZ1iusYb7h0AmLc8QskzB?si=8295d551a62d45da
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluh Life Restoration Podcast berjudul ‘Jahatnya Caramu Mengkritik Diri Sendiri’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Jahatnya Caramu Mengkritik Diri Sendiri
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, kembali bersama saya kali ini, Alguskha Nalendra di Life Restoration Podcast.
Wah…wah…wah…jeda yang lumayan lho ya dari episode terakhir kita dulu, yah banyak kisah yang terjadi lah pokoknya selama periode jeda ini, ada begitu banyak hal lain yang harus saya prioritaskan dulu, sampai-sampai prioritasnya mendahului podcast ini.
Bukan berarti podcast ini tidak penting lho ya, no…jangan sampai muncul pemikiran seperti itu, kalau berkaca ke sejarah justru kan segala inspirasi yang saat ini bersifat audio-video digital yang bisa Anda temukan di berbagai akun media sosial saya juga bermula dari podcast ini awalnya he…he…
Hanya karena satu hal lebih penting, bukan berarti hal lainnya menjadi tidak penting kan, hanya karena ada hal lain yang lebih menjadi prioritas bukan berarti hal lain yang sedang tidak diprioritaskan itu menjadi tidak penting, ingat “penting” itu beda dengan “prioritas”, kalau prioritas itu berhubungan dengan kemendesakan, maka itu ia bisa saja mendahului apa yang tadi sedang dianggap penting itu, karena memang ia lebih mendesak.
Nah itu juga yang terjadi akhir-akhir ini, ada begitu banyak hal lain yang harus saya prioritaskan dulu di pekerjaan saya, yang menjadikan mau tidak mau podcast ini harus bergeser dulu skala prioritasnya.
Kalau ditanya “apakah rindu”, wah jangan ditanya, bagi saya berbagi di audio-podcast seperti ini itu punya kesan tersendiri yang sulit dijelaskan, bagi Anda yang mungkin sudah cukup familiar dengan saya mungkin bisa menduga-duga lah ya bahwa saya adalah pribadi yang cenderung menyukai stimulus berbasis audio atau suara, bisa dilihat dari berbagai gaya posting-an saya di media sosial, atau pun juga dari gaya saya ketika berbicara.
Kalau sudah membuat karya berbasis audio seperti ini saya bisa seolah punya dunia sendiri, ketika merekam suara – seperti sekarang ini– saya bisa melakukannya dengan sangat menikmati sekali, sambil memejamkan mata, dan berekspresi senyaman mungkin dengan seluruh tubuh saya he…he…
Kalau yang belajar Neuro-Linguistic Programming atau biasa disingkat NLP, yang sudah familiar dengan istilah visual, auditory dan kinesthetic mungkin bisa menghubungkan lah ya bahwa saya adalah seseorang yang cukup dominan sistem penginderaannya dalam bentuk auditory-digital, maka itulah karya dalam bidang suara dan kalimat menjadi satu hal yang tidak terpisahkan dari bidang kerja saya.
Mengenai penjelasan dari NLP dan istilah-istilah tadi, yaitu visual, auditory, kinesthetic, dan auditory digital, itu tidak saya bahas di sini kali ini ya, sudah cukup banyak tulisan di artikel-artikel yang saya muat di website saya di www.alguskha.com yang membahas itu, saya tadi sedikit membahas itu hanya untuk menjelaskan bahwa karya berbasis audio – seperti podcast ini – punya arti khusus bagi saya, jadi periode “jeda” ketika episode di podcast ini tidak dibuat – karena ada prioritas lain tadi itu – pasti ada ketidaknyamanan tersendiri bagi saya jadinya he..he…
Tapi ya begitulah, intinya sekarang kita berjumpa kembali di episode ini, sesuatu yang sangat membahagiakan dan saya syukuri pastinya.
Nah tentunya bukan tanpa sebab juga saya di awal tadi membicarakan tentang auditory atau stimulus suara, karena memang ada hubungannya dengan apa yang akan kita bahas di episode kali ini, yaitu “suara-suara kritik dalam diri kita”, yang sering kali – disadari atau tidak disadari – bisa lebih jahat daripada suara-suara kritik orang lain di luar diri kita, sedemikian jahatnya sampai-sampai dari suara-suara kritik dalam diri itu banyak masalah dalam diri tercipta, dari mulai masalah kecemasan, ketidakpercayaan diri, masalah perilaku, batin yang tidak tenang, dan banyak lagi jenis masalah lainnya.
“Suara-suara kritik dalam diri”, kira-kira bisa terbayang seperti apa? Atau bahkan sudah familiar he…he…
Sederhananya begini, kita mengenal istilah self-talk atau proses berbicara pada diri sendiri, atau istilah lainnya juga: internal dialogue, atau terjemahannya lagi, dialog internal.
Penjelasannya ya persis seperti kata yang digunakan untuk menggambarkannya, namanya dialog internal ia menjadi sebuah dialog atau proses berbicara, yang terjadi secara internal, atau berlangsung dalam diri.
Yang berbicara atau bersuara itu adalah suara pikiran atau suara batin kita sendiri, ada kalanya ia hanya menyuarakan satu jenis suara pemikiran, dan ada kalanya juga seperti saling bersahut-sahutan, jadi seperti ada banyak pemikiran – dalam bentuk suara – yang bermunculan dalam diri, yang saling menyahuti satu sama lain, ada kalanya suara-suara pemikiran itu bahkan bersuara saling berlawanan, satu suara pemikiran menyuarakan satu hal, lalu ada suara pemikiran lain yang seolah membantah suara pemikiran awal itu, sampai lama-lama bisa seperti ada perdebatan di antara suara-suara pemikiran itu.
Tapi kita kembali dulu ke bahasan suara-suara kritik dalam diri tadi, atau “kritik internal”, nah kritik internal ini sebenarnya menggambarkan sebuah proses dimana terjadi self-talk dalam diri kita, tapi isi dari self-talk itu justru bernadakan kritik, jadi seperti ada suara pemikiran yang mengkritiki diri kita, bisa mengkritiki yang kita lakukan, mengkritiki penampilan kita, mengkritiki kehidupan kita, atau bisa apa saja, intinya adalah suara pemikiran itu mengomentari dalam bentuk kritik.
Sebenarnya seharusnya tidak ada masalah, self-talk adalah proses alami, manusia pada umumnya mengalami proses self-talk ini, bahkan yang namanya proses berpikir dalam diri, tidak bisa lepas dari self-talk ini.
Anda mendengarkan podcat ini, lalu sambil mendengarkan podcast ini ada suara pemikiran dalam diri yang muncul, misalnya suara yang mengatakan “iya juga ya”, atau “oh begitu”, atau “hmm…begitu rupanya”, atau bahkan yang bertanya-tanya “hah…masa iya begitu sih?”
Nah berbagai suara pemikiran spontan yang muncul itulah contoh dari self-talk, jadi isi dari pemikiran kita ya pada akhirnya terekspresikan dalam bentuk self-talk ini.
Berikutnya kritik internal, sama seperti self-talk, proses ini juga seharusnya tidak menjadi masalah, ia menjadi sebuah mekanisme self-talk alami kita yang menginginkan perbaikan atau kemajuan, inginnya apa yang kita kerjakan, kita alami, atau kita miliki berada dalam kondisi ideal sesuai standar tertentu.
Nah, ada “tapinya” di sini kali ini…self-talk dalam bentuk kritik internal ini bisa jadi masalah, yaitu kalau ia berlangsung secara berlebih, berkepanjangan dan muncul dalam bentuk suara pemikiran yang malah membawa dampak negatif pada akhirnya.
Contoh sederhananya begini, katakanlah kita melakukan satu aktivitas, aktivitas ini bisa apa saja lah ya, misalnya saja “menulis artikel”, nah sekalian saja kita pakai contoh yang sering dikeluhkan teman-teman saya sesama coach atau terapis lah he…he…
Katakanlah kita menulis satu artikel, sambil menulis itu kita lalu mencoba menuliskan apa pun yang ada dalam pikiran kita, disinilah muncul masalah dari si kritik internal itu, yaitu apa yang kita buat, kita tulis, malah kita kritiki sendiri, dengan cara yang buruk pula.
Kalau kritiknya jenis kritik yang membangun ya tidak apa-apa, bagus malah, jadi ide untuk meningkatkan kualitasnya, masalahnya adalah kritik internal ini dalam diri beberapa orang malah muncul dalam bentuk kritik yang “jahat”, dikatakan “jahat” karena ia bukan fokus pada apa yang harus diperbaiki, malah cenderung jadi menghakimi dan bahkan mencaci-maki apa yang kita lakukan.
Dalam kasus menulis tadi misalnya, ketika sudah menulis beberapa kalimat, lalu muncul pemikiran “Duh jelek ini tulisan, kayanya nggak bakalan ada yang suka deh”, suara pemikiran ini lalu terus berkembang memburuk, “Tuh kan, emang aku gak bakat nulis sih”, lalu terus berkembang lagi “Emang aku tuh gak becus ngapa-ngapain”.
Nah saya sudahi dulu perkembangan suara pemikiran itu ya, karena sebenarnya ada yang bisa terus makin buruk juga itu si perkembangan suara pemikiran itu, bisa makin ekstrim dan makin jahat lagi mengata-ngatai diri sendiri, yang jelas muara akhirnya sama, yaitu membuat kita jadi ragu, terhambat dan akhirnya berhenti, ada yang cuma sekedar ragu, terhambat dan berhenti, ada juga yang sampai berhenti dan frustrasi, mengutuki diri atas apa yang dilakukan, nah ini yang sering jadi cikal-bakal dari berbagai masalah lain yang lebih besar nantinya, dalam bentuk ekstrim bisa jadi depresi juga malahan.
Ada jenis kritik internal yang membantu, ketika melihat hasil tulisan tadi misalnya, lalu muncul kritik yang fokus pada saran dan kondisi ideal, misalnya “Ini yang di sini jangan begini tulisannya, kurang pas, susah dipahami yang baca nanti, coba diganti kalimatnya,” “Coba dirubah jadi begini”, “Coba dirubah jadi begitu”, dan lain sebagainya.
Bisa kita dapati bahwa kandungan isi dari kritikan atau suara pemikirannya beda kan? Yang begini hasil akhirnya juga pasti beda.
Nah kritik internal yang jahat itu yang jadi soal, karena sering kali “kritik internal yang jahat” itu bisa lebih jahat dari kritik eksternal, atau kritik dari orang-orang di luar diri kita.
Kenapa bisa lebih jahat? Karena ia bisa lebih berkepanjangan!
Orang di luar diri kita juga ada yang mengkritiki yang kita lakukan kan, bisa dalam pekerjaan, atau apa pun aktivitas lainnya, tapi mereka mengkritiki itu hanya ketika ada bersama kita, atau hanya di kesempatan tertentu, nah si kritik internal ini bisa berlangsung sampai berkepanjangan sekali, mau kita sudah pindah aktivitas, sudah mengerjakan hal lain, atau bahkan sudah berada di situasi yang tidak lagi berhubungan dengan yang semula kita kerjakan pun, si kritik internal ini bisa teruuus saja mengkritiki kita, sudah begitu kalimat yang disuarakannya bisa semakin ekstrim dan tidak berperikemanusiaan malah, melebihi kalimat yang disuarakan oleh orang lain.
Orang lain bisa saja hanya mengkritik “Yang ini kayaknya kurang bagus”, sudah, cukup sampai di situ! Lha si kritik internal ini bisa mengkritiki dalam bentuk “Tuh kan…emang gak bisa…emang gak becus…emang aku gak bakat…emang aku gak seharusnya ngerjain ini…aku keberadaan yang sia-sia…ngapa-ngapain gagal…salah dan tidak becus…aku tidak seharusnya ada”, dan teruuus lagi berkembang sampai ke suara yang makin-makin tidak karuan, ini yang akhirnya jadi cikal-bakal dari lebih banyak masalah.
Orang-orang yang bermasalah dalam kepercayaan diri adalah salah satu dari yang mengalami akibat dari kritik internal yang jahat ini, apa pun yang mereka lakukan ada saja yang mereka kritiki secara negatif dalam dirinya, mereka tidak percaya bahwa mereka bisa menjadi pribadi yang bagus, karena ada yang salah atau kurang dalam dirinya, bahkan lebih ekstrim lagi: harus ada yang salah atau kurang dalam dirinya.
Ketika ada orang lain memuji yang mereka lakukan atau memuji diri mereka, di satu sisi mereka senang, tapi di sisi lain ada penyangkalan, ada suara pemikiran yang tidak percaya dan muncul mengkritiki secara negatif, mereka tidak percaya bahwa mereka baik atau bagus adanya, karena itu tadi, harus ada sesuatu yang salah atau kurang, karena selama ini sudah terlanjur begitu.
Nah itu dia jawabannya: “karena selama ini sudah terlanjur begitu”, dari mana kata “selama ini” itu muncul? Apa yang dimaksud “selama ini sudah terlanjur begitu”?
Hal ini menjadi jawaban dari mana kritik internal ini bermula, yaitu dari kebiasaan atau bentukan pola-asuh masa kecil, dimana seseorang sering kali dikritik, atau dikomentari, atau mendapatkan perlakuan yang membuat mereka merasa dirinya “kurang”, kurang tampan lah…kurang pintar lah…kurang nurut lah…dan “kurang-kurang” lainnya.
Intinya adalah ada sesuatu yang salah dalam diri mereka, sedemikian seringnya hal ini terjadi sampai-sampai pemikiran “aku adalah pribadi yang selalu salah” atau “selalu kurang” ini berkembang jadi pemikiran “apa pun yang aku lakukan, pasti selalu ada salahnya”, itulah logika atau mekanisme yang berkembang di pikiran bawah sadar.
Sehingga ketika tidak ada yang salah atau tidak ada yang kurang, itu tidak mungkin, karena selama ini selalu ada yang kurang dan salah, jadi tidak mungkin kalau sampai tidak ada yang kurang atau tidak ada yang salah, pasti harus ada! Ya akhirnya dicari-cari sendiri, dibuat-buat sendiri, karena itulah mekanisme yang terbentuk di pikiran bawah sadarnya.
Masa-masa tumbuh kembang ketika kecil, pola asuh yang kita alami, merupakan masa-masa yang sangat mempengaruhi dan bahkan membentuk kebiasaan berpikir kita.
Ada orang-orang yang menjalani masa kecil yang penuh suasana yang membuat mereka merasa selalu “kurang” dan selalu “salah”, bisa dalam bentuk mereka sering dikomentarilah, dikata-katailah, dibanding-bandingkan, atau bahkan diperlakukan dengan cara yang tidak etis dan manusiawi, sampai-sampai mereka merasa dirinya adalah “keberadaan yang salah – yang tidak seharusnya ada”, akhirnya terbentuklah kritik internal yang menyabotase apa pun yang mereka lakukan nantinya.
Intensitas dari jahatnya kritik internal dalam diri seseorang bergantung pada intensitas pengalaman yang membuatnya merasa kurang atau merasa salah itu, semakin banyak intensitas pengalaman itu membentuk hidupnya maka semakin kritik internal itu menyabotase dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam hidupnya.
“Wah, bisa sampai sebegitunya ya…” bisa jadi kali ini muncul self-talk dalam diri mereka yang mendengar penjelasan tadi, ya memang bisa dan memang begitu prosesnya.
Nah kali ini bisa jadi self-talk-nya berkembang “Lalu bagaimana cara menyikapinya?”
Oke, sebagai bahasan penutup kita bahas cara menyikapinya ya, cara berdamai dengan kritik internal yang jahat dan menyabotase ini.
Saya merangkai cara menyikapi kritik internal yang jahat ini dalam enam langkah,
Langkah pertama, kenali momen kemunculan kritik internal yang jahat ini.
Sadari, di momen seperti apa kritik internal yang jahat ini muncul, karena tidak di semua momen kritik internal jahat ini muncul kan, bisa jadi bahkan beberapa orang punya dua jenis kritik, kalau di situasi A yang muncul kritik membangun, yang jadi ide berimprovisasi, tapi di situasi B yang muncul kritik internal yang jahat tadi, nah kenali dulu di situasi apa si kritik internal jahat itu muncul.
Beberapa orang mungkin mengalami ini cukup sering dan bahkan di banyak aktivitas, ya ada sih yang memang sampai begitu, karena dulu saking parah dan intensnya pengalaman masa lalunya, tapi intinya sama, kenali momen kemunculannya, kapan tepatnya si kritik internal jahat itu kita rasakan mulai “bersuara” dalam diri kita, sering kali kritik internal jahat ini terhubung dengan perasaan atau sensasi ketidaknyamanan, seperti ada ganjalan emosional lah istilahnya, nah itu bisa jadi petunjuk untuk menyadari di momen spesifik apa kritik internal itu muncul.
Langkah kedua, sadari seperti apa bunyi dari kritik internal jahat ini.
Namanya kritik, pasti ada yang dikomentari kan? Isi dari komentar inilah yang dimaksud “bunyi dari kritik internal jahat” ini. Coba heningkan diri, sadari reaksi dalam diri ketika kritik internal jahat itu muncul, dalam suasana hening itu coba dengarkan seperti apa bunyi dari suara-suara kritik internal itu, misalnya “Jelek banget”, atau “Gak akan bisa, ini jelek”, atau apa pun itu lah, intinya sadari seperti apa narasi yang ada di dalam kritik internal itu.
Langkah ketiga, ini yang paling penting dan perlu dilakukan dengan berhati-hati, yaitu coba “terhubung” dengan kritik internal itu, coba untuk seperti berdialog dengan kritik internal ini, tapi lakukan proses ini dengan penuh rasa welas-asih.
Kritik internal jahat itu saja sudah melambangkan bagian dalam diri kita yang pernah terluka, kalau sekarang kita tanggapi dengan ketus atau galak atau negatif apa tidak malah makin parah jadinya masalahnya?
Sebelum saya masuk ke isi jelasnya, saya tekankan, tahapan ini mensyaratkan kehati-hatian ya, kalau rasanya sulit karena sedemikian beratnya, saya sarankan hentikan dulu prosesnya dan minta bantuan dari praktisi profesional yang kompeten untuk membantu Anda mengawal prosesnya.
Proses terhubung dengan kritik-internal jahat ini dilakukan diawali dengan menunjukkan penerimaan, yaitu kita menerima keberadaannya, tidak menunjukkan penolakan, lalu dengan sikap penuh welas-asih kita berkomunikasi, seperti berdialog saja, dengan suara pemikiran ini, misalnya, dengan welas-asih kita bertanya “Terima kasih ya atas pengingatnya, aku ingin tahu, maksudnya ’jelek’ ini bagaimana? Tolong beritahu aku agar aku bisa memperbaikinya, terima kasih ya.”
Ada kalanya isi dari kritik internal jahat ini bisa berubah ketika kita berada di proses ini, karena selama ini kritik internal jahat ini mewakili keberadaan bagian dari diri kita yang merasa kurang, salah dan bahkan punya trauma, maka proses penerimaan ini bisa “melembutkan” keberadaannya, bisa saja di tahap ini pun ia berubah, isi pesannya jadi lebih lembut dan bahkan jadi membawa solusi, kalau sudah sampai tahap ini ya sudah, berarti sudah selesai, kita tinggal banyak berterima kasih dan berbagi sikap welas-asih dengannya, akan semakin bagus respon dari kritik internal ini nantinya.
Sekarang kita masuk ke langkah keempat ya, terutama kalau di tahap ketiga tadi kualitas dari kritik internal itu masih saja di kadar yang tidak mengenakkan, jadi ketika ditanya dan terhubung responnya masih saja terasa jahat, di langkah keempat ini kita mencoba untuk menyadari maksud positif dari keberadaannya.
“Maksud positif dari keberadaan” ini artinya begini, kritik internal ini sebenarnya adalah sebuah mekanisme perlindungan, karena diri kita di masa lalu pernah mengalami pengalaman yang membuat diri kita merasa kurang atau merasa salah, maka kritik internal ini menjadi sebuah perlindungan yang ingin menghindarkan kita dari merasa kurang atau merasa salah ini lagi, hanya saja kalau dari kaca mata kesehatan mental, mekanismenya itu tidak sehat, maka disinilah kita – lagi-lagi – dengan sikap welas asih menunjukkan penerimaan dan mencaritahu apa maksud positifnya, yaitu dengan terhubung semakin dalam dengannya dan menerima gambaran darinya, apa saja jenis kejadian yang pernah kita alami di masa lalu yang membuat kita jadi merasa kurang dan salah ini di masa kini.
Gambaran kejadian ini bisa kita terima dalam berbagai bentuk dari kritik internal ini, bisa tiba-tiba kita jadi teringat berbagai kejadian spesifik dimana kita dikomentari, dihina, dibanding-bandingkan, atau apa pun itu, tapi intinya adalah itulah kurang lebih kejadian yang berkontribusi menyebabkan munculnya kritik internal jahat itu.
Langkah kelima kali ini, yang melengkapi tahap keempat tadi, yaitu sembuhkan luka dalam diri yang tercipta dari kejadian-kejadian itu. Penjelasan sederhananya begini, karena mekanisme kritik internal jahat itu tercipta dari luka masa lalu di kejadian tertentu, maka kalau luka di kejadian itu sudah tertangani harusnya mekanisme kritik internal jahat itu tidak lagi terbentuk kan?
Nah langkah penyembuhan luka ini mau tidak mau akan mengajak kita untuk paling tidak menguasai langkah-langkah penyembuhan luka mandiri, kalau Anda sudah pernah belajar berbagai teknik swaterapi, seperti Emotional Freedom Technique atau EFT misalnya, atau yang pernah mempelajari teknik yang saya kembangkan, yaitu STRAIGHT Resolution Method, maka Anda bisa mempraktikkan teknik ini untuk mengobati luka yang terbentuk di kejadian itu, kalau belum pernah maka Anda bisa menemukan salah satu caranya di satu episode podcast saya yang pernah saya buat untuk menjelaskan prosesnya, silakan temukan episodenya di daftar putar podcast saya ini ya, saya tidak akan memberitahu nomor episodenya, biar Anda nanti mencari sendiri he..he…pokoknya dari judulnya saja pasti sudah akan terlihat kok.
Tapi lagi-lagi saya ingatkan, kalau tahap ini dirasa sulit dan berat, ingat untuk meminta bantuan dari praktisi profesional yang kompeten, jangan memaksakan sesuatu yang kita sendiri ragu bisa melakukannya dengan aman dan efektif.
Oke, masuk ke langkah keenam kali ini, yaitu bersahabat dengan mekanisme kritik ini.
Kuncinya – lagi-lagi – akan ada di welas-asih, yaitu dengan memastikan setelah luka yang ada dalam diri sembuh, kita lalu menjalin hubungan yang lebih baik dengan mekanisme ini, sering-sering berterima kasih dan mengapresiasi keberadaannya.
Karena sebagai mekanisme ia sudah terlanjur ada, maka kita bisa berdayakan mekanisme ini untuk berdiskusi nantinya, jadi isi dari kritiknya produktif dan bahkan bisa kita gunakan sebagai saran dan masukkan untuk mengembangkan apa-apa yang kita lakukan.
Dan sampailah kita di penutup episode kali ini…kita bisa saja dulu mengalami berbagai kejadian yang membuat kita jadi memusuhi diri, dan menganggap diri salah atau kurang, yang muncul dalam bentuk kritik internal jahat itu, bisa jadi juga kita di masa lalu tidak punya banyak pilihan dan malah punya banyak keterbatasan untuk menyikapi itu, tapi untuk kemudian bersahabat dengan diri kita sendiri di masa kini sat ini, untuk bisa memberdayakan kritik internal jahat itu menjadi kritik produktif, sepenuhnya menjadi pilihan kita, dan memang itu merupakan hal yang bisa kita upayakan di masa kini secara mandiri.
Nah itulah dia bahasan kita di episode kali ini, sampai jumpa di episode berikutnya…
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.