Episode 81 – Sabotase Sukses Dari Self-Labelling
Orang lain boleh saja meragukan kita, semua itu tidak akan terlalu banyak mempengaruhi yang kita lakukan.
Namun lain cerita ketika kita meragukan diri kita sendiri, yang terjadi adalah kebalikannya, ia menjadi hal yang justru mempengaruhi semua yang kita lakukan. Bahkan ketika orang lain yakin atas apa yang kita lakukan, keraguan atas diri sendiri itulah yang menyabotase berbagai hal yang kita jalani.
Self-labelling menjadi hal yang mempengaruhi keyakinan kita atas apa yang kita rasa bisa dan tidak bisa kita lakukan, apa yang kita rasa layak dan tidak layak kita dapatkan, ia menjadi sebuah label yang kita sematkan atas diri kita atas tingkat kelayakan diri kita dalam menjalani kehidupan ini.
Bahasan self-labelling ini pernah diangkat di live streaming saya di Youtube Channel beberapa hari lalu, seusai bahasan itu diulas juga beberapa pesan masuk meminta saya membahas hal ini secara lebih mendalam, hal itu juga yang melatari dibuatnya episode podcast kali ini.
Seperti apa self-labelling ini bisa mempengaruhi dan bahkan menyabotase kualitas sukses seseorang?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
https://open.spotify.com/episode/1CZaPqrL5aHFCA9ND6uvFL?si=0b44a504086a4610
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhsatu Life Restoration Podcast berjudul ‘Sabotase Sukses Dari Self-Labelling’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Sabotase Sukses Dari Self-Labelling
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh satu.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, selamat berjumpa kembali – seperti biasa – bersama saya, Alguskha Nalendra, di Life Restoration Podcast.
Seperti biasa juga tentunya, mengawali perjumpaan kita di episode kali ini, saya membuka dengan doa terbaik, semoga Anda sekalian selalu dalam keadaan sehat, berkah-berlimpah dan damai-berbahagia, dimana pun Anda berada, bersama mereka yang dikasihi tentunya.
Berjumpa di episode 81 kali ini, episode yang agaknya juga cukup menjadi sebuah penanda perjalanan panjang dari Life Restoration Podcast ini.
Angka 81 memang menjadi angka yang spesial, ya paling tidak di keilmuan Numerologi he…he…
Kalau di antara Anda masih ada yang belum familiar, Numerologi menjadi salah satu dari sekian banyak keilmuan yang saya pelajari, dan memang beberapa kali juga selipan bahasan Numerologi pernah menghiasai bahasan di podcast ini.
Apa sih Numerologi? Ada kata “numer”, apa maksudnya “angka”? Yang sama sekali belum familiar mungkin akan bertanya seperti itu.
Ada juga yang mungkin sedikit-banyak pernah mendengar – entah dari mana – tentang hal ini lalu berkomentar, “Yang hitung-hitungan itu ya? Ngitung tanggal lahir dan nama?”
Nah ini di satu sisi ada benarnya, karena ada aspek “menghitung”, karena kata “numer” tadi memang mengacu pada “angka”, namanya angka ya memang dihitung kan?
Tapi sebenarnya Numerologi lebih dari sekedar “hitung-hitungan”, apalagi sekedar menghitung tanggal lahir dan nama, Numerologi merupakan sebuah tradisi, ya saya menyebutnya tradisi lah ya, kalau dibilang ilmu nanti ada yang mungkin tidak setuju soalnya, lebih baik disebut tradisi saja lah, karena memang ia menjadi sesuatu yang diajarkan turun-temurun, secara rahasia tentunya, dari sekian ratus tahun lalu.
Tapi tradisi apa yang diajarkan dalam Numerologi ini? Sederhananya, tradisi menganalisa karakter energi semesta, yang direpresentasikan dalam bentuk angka, jadi angka-angka yang katanya “dihitung” tadi itu, sebenarnya bukan soal angkanya yang penting, tapi karakter energi yang diwakili oleh angka itu.
Bapak Numerologi dunia, yaitu Phytagoras, nah kali ini pasti tahu kan, karena di jaman sekolah dulu kita mungkin sering mendengar nama ini di pelajaran matematika, menjadi sosok yang dikenal dalam tradisi Numerologi sebagai konseptor dari tradisi ini, bagaimana pergerakan energi semesta dipetakan menjadi sebuah konsep angka, yang dikenal sebagai Numerologi, jadi ya tadi itu, Numerologi menjadi sebuah tradisi yang sebenarnya ditujukan untuk mengharmoniskan diri kita dengan aliran energi semesta, yang dalam hal ini dipetakan dalam bentuk angka.
Dalam Numerologi, studi yang kita lakukan adalah studi pada 9 angka yang ada, yaitu angka 1 sampai 9, karena memang angka yang umumnya kita gunakan hanya angka 1 sampai 9 ini kan, selebihnya hanya pengembangan dari 9 angka ini.
Nah 9 ini juga mewakili sebuah siklus pergerakan energi, dari 1 naik ke 2, naik ke 3 dan seterusnya, sampai kemudian mencapai angka 9, yang menjadi akhir dari siklus ini, setelahnya kembali ke angka 1 dan seterusnya lagi, namun di siklus yang baru, yaitu siklus kedua, lagi demikian berikutnya di siklus berikutnya, selesai di 9, masuk lagi siklus berikutnya.
Karena angkanya adalah 1 sampai 9, maka kalau 9 ini dikali 9, dapatnya berapa? Yes, 81 kan? Artinya 81 menjadi akhir dari sebuah siklus kecil dan siklus besar, siklus kecilnya yaitu angka 1 sampai 9 yang membentuk 1 siklus kecil, siklus kecil ini lalu berlanjut ke siklus kecil berikutnya yang isinya adalah angka 1 sampai 9 lagi, karena masing-masing siklus kecil ini terdiri dari 9 angka, maka ketika tiba di angka 81 ia melambangkan 1 siklus besar yang terdiri dari 9 siklus kecil, yang isinya adalah 9 angka 1 sampai 9 tadi.
Jadi ya begitulah, episode 81 ini menjadi episode yang menutup siklus besar pertama kita di Life Restoration Podcast, dan kita pun siap memasuki siklus besar berikutnya mulai di episode berikutnya nanti, maka tentunya saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesetiaan Anda membersamai perjalanan channel podcast ini dari awal dulu di tahun kemarin, sampai ke detik ini, terima kasih…terima kasih…terima kasih…
Oke kita masuk ke bahasan utama kita sesuai judul episode kali ini lah ya, yang tadi itu anggap saja pembuka, yang juga menjadi bahasan “bonus” he…he…karena kan jarang-jarang juga saya membahas hal yang sifatnya memang tidak untuk umum ini.
Begitulah, kalau sudah masuk ke audio podcast, saya memang menikmati sekali mengekspresikan diri di dalamnya, jadi ada kalanya yang saya bicarakan ini tidak langsung berhubungan dengan isi dari episodenya, mohon maklum lah ya he…he…tapi pastinya ada hubungannya dengan tema besar bahasan restorasi kehidupan yang memang dihadirkan oleh channel ini kok, yah anggap saja lah Anda sedang bersama-sama mengikuti perjalanan saya di channel ini dengan segala dinamika perjalanannya he…he…
Hari Selasa malam kemarin saya menghadirkan sebuah tema bahasan yang berhubungan dengan self-labelling di program live streaming di Youtube Channel saya.
Bagi yang belum familiar, setiap minggunya saya hadir secara interaktif dalam program live streaming di media sosial saya, terutama di Youtube Channel saya, “Alguskha Nalendra”, membawakan berbagai tema yang berhubungan dengan restorasi diri, namun secara interaktif.
Maksudnya interaktif itu begini, kalau di tayangan yang diunggah seperti ini kan saya mengunggah tayangannya di awal, Anda lalu menyimaknya, ada yang kemudian menanggapinya, bisa dalam bentuk bertanya, atau berkomentar, di media sosial saya, tapi saya baru meresponnya kan di kemudian waktu, kalau saya juga sudah bisa stand by merespon, nah kalau interaktif itu maksudnya para penonton menyimak dan bisa langsung berinteraksi dengan saya, mau bertanya kek, berbagi pendapat kek, atau apa pun bisa, yang jelas bisa langsung saya respon saat itu juga, kalau belum jelas bahkan bisa langsung diperjelas saat itu juga yang ingin diperjelasnya itu, jadi ya lebih kena lah bahasannya.
Ya kalau sedang senggang ayo ikut hadir menyimak live streaming itu lah ya, biar kita bisa berinteraksi langsung, silakan temukan informasinya di akun media sosial saya di Instagram @alguskha atau Youtube Channel saya, Alguskha Nalendra.
Nah di live streaming kemarin saya mengangkat tema self-labelling, sebuah tema yang memang bukan kebetulan sempat beberapa kali mewarnai isi sesi coaching, konseling dan terapi yang saya fasilitasi pada para klien di tempat praktik saya di Bandung.
Saya memutuskan mengangkat tema itu karena memang melihat tema itu penting sekali untuk diangkat, dari self-labelling inilah saya mendapati ada begitu banyak masalah tercipta dalam diri seseorang, baik itu masalah emosional dan perilaku, sampai ke masalah yang berhubungan dengan sabotase kesuksesan dan pencapaian.
Bukan kebetulan juga setelah selesai dengan live streaming, bermasukkan juga pesan-pesan yang meminta saya membahas fenomena self-labelling ini secara lebih mendalam, kalau sudah bicara “mendalam”, ya pastinya melalui audio podcast ini.
Saya memang menyoroti juga, kalau perkara self-labelling ini tidak diurai, khawatirnya nanti malah tercipta masalah kolektif yang lebih besar, maksudnya ya jadi masalah sosial di masyarakat, kan kacau juga jadinya.
Kok bisa? Ya pastinya lah, masalah emosional-perilaku yang dialami individu, kalau mulai dialami oleh banyak orang, lama-lama jadi masalah kolektif kan, jadi masalah masyarakat? Dalam konteks bernegara juga sama, kalau masalah kolektif itu dibiarkan ya lama-lama jadi masalah kebangsaan, bisa-bisa tercipta bangsa yang “sakit” nantinya.
Begitu juga masalah sabotase kesuksesan ini, kalau hanya terjadi pada satu orang ya masalah individu jadinya, tapi kalau sudah terjadi pada diri banyak orang kan jadi masalah kolektif, masalah masyarakat, kalau dibiarkan dan jadi masalah kebangsaan ya tercipta juga bangsa yang “gagal” terus nantinya, kan amit-amit.
Dari mana urusan self-labelling ini bisa berkembang jadi collective labelling, atau society–labelling, dan bahkan national-labelling? Efek “bola salju” pastinya, dari perkara individu, yang dibiarkan tidak teratasi, sampai kemudian menyebar, berkembang, dan kemudian jadi perkara kolektif.
Nah self-labelling ini apa? Untuk jelasnya Anda bisa sambil menyimak juga bahasan yang ada di dokumentasi live streaming di Youtube Channel saya lah ya, tapi sederhananya begini, self-labelling menjadi sebuah bentuk label yang kita sematkan pada diri kita sendiri, ia menjadi sebuah keyakinan atau cara pandang atas diri kita sendiri, istilahnya ia adalah sebuah keyakinan tentang “siapa diri kita” atau “kita adalah orang yang seperti apa”.
Self-labelling menjadi penting karena ia menjadi acuan kita merespon dunia di luar diri kita, ia menjadi acuan kita untuk meyakini apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan, apa yang bisa dan tidak bisa kita lakukan.
Self-labelling tidak selalu menjadi perkara negatif, ia menjadi sebuah “identitas” diri kita, menjadi penegas siapa kita.
Sebagai manusia, secara mendasar kita perlu “identitas” ini agar kita bisa menegaskan siapa diri kita terhadap dunia luar, agar kita bisa menempatkan diri secara sosial dengan peran yang kita jalankan sebagai individu di dalam lingkup sosial itu.
Mengenai jenis-jenis self-labelling ini bisa macam-macam bentuknya, bisa berhubungan dengan peran profesi, atau peran sosial, bisa juga berhubungan dengan konsep diri.
Kita bahas satu-persatu ya, intinya begini, ketika membicarakan peran, bisa peran profesi atau peran sosial, di setiap peran yang kita “mainkan” itu ada kriteria atau konotasi yang menyertai peran itu kan, kriteria atau konotasi itu kemudian menjadi sebuah aturan tidak tertulis tentang seperti apa si peran itu seharusnya kita jalankan, ia tidak ubahnya menjadi sebuah hak dan kewajiban yang hendaknya kita mainkan ketika menjalankan peran itu, apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan ketika menjalankan peran itu.
Ada dua hal penting sehubungan dengan self-labelling yang berhubungan dengan peran profesi atau peran sosial.
Hal penting pertama, peran sosial atau peran profesi akan berhubungan dengan keberadaan pihak lain yang menjadikan peran sosial atau peran profesi itu berarti.
Contohnya begini, di peran sosial sebagai “orang tua”, karena orang tua agaknya tidak cocok disebut sebagai peran profesi kan, peran sosial sebagai orang tua ini menjadi ada karena ada pihak yang menjadi “anak” dari orang tua kan, istilahnya karena ada peran “anak” maka jadi ada peran “orang tua”.
Begitu juga sebagai “suami”, peran ini ada karena ada peran “istri” yang berhubungan dengannya, dan begitu juga sebaliknya, begitu juga peran “guru” jadi ada karena ada peran “murid” yang berhubungan dengan peran guru ini, betul?
Hal penting kedua, di setiap peran sosial atau peran profesi ini akan ada semacam kriteria ideal yang disepakati bersama secara sosial, yang menjelaskan seperti apa peran itu harusnya dijalankan.
Misalnya, sebagai orang tua, di tatanan bermasyarakat akan ada seperangkat kriteria yang disepakati bersama, yang menjelaskan seperti apa peran orang tua ideal ini harusnya dijalankan, pada pihak yang menjadikan peran ini ada, yaitu pada anak, dan begitu juga sebaliknya, kriteria ini akan menjelaskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika seseorang menjalankan peran itu, ketika kriteria ideal ini dilanggar maka akan ada sanksi sosial yang dibebankan sebagai konsekwensinya.
Namun peran sosial terkadang agak ambigu, atau samar, hal ini karena kriteria atau konotasi ideal dari setiap peran itu sendiri akan melekat pada norma sosial yang berkembang di wilayah dimana peran itu dijalankan, dan sering kali hal itu tidak tertulis, ia menjadi sebuah kesepakatan tidak tertulis, yang disepakati bersama sebagai sebuah norma atau adat.
Kriteria ideal atas orang tua dan anak tadi misalnya, yang disebut orang tua ideal, yang diterjemahkan menjadi “apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai orang tua pada anaknya” dan “apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anak pada orangtuanya” akan didefinisikan berbeda-beda di kalangan masyarakat yang berbeda, yang boleh dilakukan oleh orang tua pada anak, dan begitu juga sebaliknya, di satu kalangan masyarakat akan berbeda dengan yang diyakini oleh kalangan lainnya.
Di satu kalangan bisa saja argumentasi terbuka anak pada orang tua dianggap sah dan harus ada, tapi di kalangan lain bisa saja hal ini dianggap tabu, karena di kalangan itu anak harus selalu patuh pada apa pun yang dikatakan oleh orang tua, argumentasi menjadi hal tabu jadinya di kalangan itu.
Di satu kalangan bisa saja orang tua diperkenankan untuk menghukum anak dengan cara bahkan memukulnya, tapi di kalangan lain hal ini bisa menjadi sebuah masalah, bukan hanya secara sosial, tapi juga bahkan secara hukum!
Jadi itu tadi, peran sosial bisa bersifat dinamis, tergantung di kalangan masyarakat mana kriteria ideal atas peran sosial itu disepakati, kesamaannya adalah siapa melanggar kriteria ideal yang menyertai peran sosial itu maka ialah yang dianggap “salah”.
Peran profesi agak lain, karena ia berhubungan dengan profesi yang dijalankan secara profesional dan biasanya akan berhubungan dengan kehidupan ekonomi dan aktivitas sosial, biasanya ada regulasi resmi yang mengaturnya, yang kemudian diterjemahkan menjadi “kode etik profesi”, yang lebih baku dan bersifat tertulis, siapa yang melanggar aturan baku ini maka ia bisa dikenakan sanksi yang lebih bersifat resmi, karena ia bersifat resmi dan tertulis maka kriteria “pelanggaran” juga menjadi sesuatu yang lebih jelas bisa ditegaskan di dalamnya.
Wah…wah…jadi malah membahas fenomena sosial ya he…he…tapi ya karena memang itu diperlukan.
Kenapa demikian? Begini, sebagai bagian dari masyarakat kita juga mau tidak mau, suka tidak suka, bisa tidak bisa, akan ikut menyandang peran sosial atau peran profesi itu nantinya, kriteria ideal yang melekat pada peran sosial itu akan ikut menjadi sesuatu yang diamanatkan pada kita nantinya, lagi-lagi mau tidak mau atau suka tidak suka, kita akan harus menyadari – dan bahkan mungkin – mengikuti tuntutan kriteria sosial itu, kecuali kita siap untuk tidak menjadi bagian dari masyarakat, ini juga rumit nantinya pastinya.
Bahasan peran sosial tadi menjadi sesuatu yang lebih berhubungan dengan bahasan sekarang di episode kali ini, kenapa self-labelling ini saya hubungkan dengan bahasan peran sosial? Karena memang salah satu bentuk self-labelling ini akan berhubungan dengan peran sosial, atau sederhananya, kita melabeli diri kita sebagai siapa secara sosial? Sudahkah kita menyadari aturan sosial yang menyertai label itu? Kita mendapatkan aturan sosial yang menyertai label itu dari mana? Kalau sekiranya aturan sosial yang membentuk keberadaan label itu berasal dari masyarakat tempat kita tinggal dulu yang ternyata berbeda dengan aturan sosial di masyarakat tempat tinggal kita sekarang, adakah masalah yang jadi muncul karenanya?
Itu tadi adalah bahasan self-labelling yang berhubungan dengan kehidupan sosial, sekarang yuk kita bahas self-labelling yang lebih berhubungan dengan kehidupan pribadi, terutama kesuksesan, bagaimana self-labelling ini bisa jadi hal yang membantu atau malah menyabotase kesuksesan.
Kali ini kita fokuskan bahasan ke dalam diri kita ya, sekali lagi, self-labelling menjadi cara kita melabeli diri kita, atas apa yang kita anggap mewakili diri kita.
Berbeda dengan konteks sosial yang lebih banyak berhubungan dengan “boleh dan tidak boleh” , dalam konteks “diri sendiri”, self-labelling ini akan lebih berhubungan dengan “apa yang bisa serta tidak bisa kita lakukan”.
Dalam proses konseling atau terapi, self-labelling pada diri sendiri ini sering kali berhubungan dengan kepantasan diri, seberapa pantas kita menilai diri kita, menilai keahlian kita, menilai kualitas diri kita, dalam bidang apa pun yang kita jalankan.
Sebagai sebuah keyakinan atas diri, atau konsep diri, self-labelling ini menjadi acuan atas apa yang menurut kita bisa lakukan dengan baik atau tidak. Dalam kenyataannya, kita berkehidupan dengan mengikuti self-labelling ini, karena itulah yang kita yakini tentang diri kita sendiri, tidak peduli apa kata orang lain di luar sana.
Misalnya saja, seseorang yang memiliki self-labelling bahwa dirinya “bodoh”, mau orang di sekitarnya mengatakan dia “pintar”, “cerdas” atau apa pun, dia akan cenderung menolak semua pujian itu, dia akan bersikeras menganggap dirinya bodoh, karena itulah yang ia yakini tentang dirinya.
Saya berkali-kali menjumpai orang-orang yang menyabotase kesuksesannya sendiri dengan melabeli dirinya sebagai orang yang “tidak mampu”, atau “tidak kompeten” atau tidak “sebagus yang lainnya”, di bidang-bidang yang mereka tekuni, mereka jadi tidak bisa mengekspresikan potensi sejatinya, karena merasa “selalu ada yang kurang” dengan diri mereka, tidak peduli di luar sana orang-orang mengakui dan memuji kualitas kerja mereka, mereka tidak bisa menerima pujian itu, mereka tidak percaya dan bahkan menyangkal, karena – lagi-lagi – mereka terlanjur melabeli dirinya sebagai “orang yang gagal”.
Perilaku “membenci diri sendiri” menjadi satu hal yang cukup terpengaruh oleh self-labelling ini, saya mendapati orang-orang yang memiliki rasa kebencian yang teramat besar pada dirinya sendiri, memiliki self-labelling yang berlawanan dengan harapan dan keinginan mereka secara sadar.
Secara sadar mereka menetapkan sebuah kualitas tertentu yang mereka rasa ideal, misalnya ingin bisa bergaul, bersosialisasi dengan orang lain, ingin diterima, ingin diakui, dan lain sebagainya, tapi karena mereka memiliki self-labelling yang buruk atas dirinya, menganggap dirinya jelek atau tidak cukup bagus, maka terjadi konflik internal yang besar dalam diri mereka, di satu sisi ada keinginan untuk mencapai kondisi ideal tertentu, di sisi lain self-labelling sebagai “orang yang tidak pantas” itu menghalangi diri mereka untuk itu, alhasil mereka jadi gemas sendiri dan lama-lama mereka jadi merasa benci pada dirinya sendiri, karena tidak bisa memenuhi kriteria kepantasan yang mereka harapkan.
Ada juga orang-orang yang sulit mewujudkan pencapaian yang lebih tinggi karena self-labelling mereka memang membatas diri mereka untuk itu.
Misalnya saja orang-orang yang menetapkan target keuangan di jumlah tertentu, secara sadar mereka menginginkan jumlah pencapaian itu, tapi self-labelling mereka menghambat mereka untuk mencapainya, hal itu karena keyakinan atas diri mereka sendiri yang tersimpan di pikiran bawah sadarnya meyakini bahwa mereka tidak pantas dan tidak akan mampu mewujudkan pencapaian itu, mereka melabeli dirinya di pikiran bawah sadarnya sebagai “terlalu kecil” untuk pencapaian yang dianggapnya besar itu.
Yes, bahasan itu menjawab dari mana dan bagaimana self-labelling ini bisa mempengaruhi kualitas kesuksesan seseorang, yaitu karena ia merupakan “keyakinan atas diri kita yang tersimpan di pikiran bawah sadar”.
Bagi Anda yang sudah cukup terbiasa menyimak berbagai episode sebelumnya di podcast ini seharusnya sudah cukup familiar dengan bahasan tentang pikiran bawah sadar ini lah ya, karena memang saya juga sudah berkali-kali membahasnya di berbagai episode sebelumnya di podcast ini.
Nah kalau Anda belum familiar, atau baru berkenalan dengan podcast ini, maka saya menyarankan, dan bahkan mengundang Anda untuk lebih banyak dulu berkenalan dengan tema seputar pikiran bawah sadar itu ya, silakan temukan bahasannya di berbagai bahasan lain yang ada di channel ini.
Kita langsung saja ke intinya, pikiran bawah sadar adalah mesin penggerak diri kita, ia adalah operating system atau sistem operasi diri kita, dengan proporsi sekitar 90% atau 9 kali lipat dibandingkan pikiran sadar, hal ini menjadikan apa yang kita yakini di pikiran bawah sadarlah yang mempengaruhi respon kita yang sebenarnya.
Self-labelling, sebagai sebuah keyakinan atas diri sendiri, menjadi satu hal yang tersimpan di pikiran bawah sadar, ia menjadi operating system kita atas apa yang kita rasa bisa atau tidak bisa kita lakukan dan kita capai.
Seseorang bisa saja secara sadar menetapkan harapan atas kondisi ideal yang ingin dicapainya, tapi jika self-labelling yang menyertainya adalah self-labelling yang berkebalikan – yang justru menganggap dirinya tidak mampu mencapai yang diharapkannya itu – maka ia akan terus berhadapan dengan sabotase kesuksesan yang mengahalanginya untuk mencapai yang ia harapkan itu.
Bahasan berikutnya kali ini, dari mana self-labelling ini tercipa di pikiran bawah sadar? Jawabannya adalah dari pengalaman masa lalu, dari pengalaman tumbuh-kembang dan interaksi sosial yang kita alami dari kecil sampai sekarang ini.
Self-labelling adalah bentuk lanjutan dari external labelling, awalnya dunia luar yang memandang atau memperlakukan kita dengan label tertentu, lama-lama label itu kita “setujui” dan menjadi label yang kita yakini dalam diri kita sendiri.
Kalau self-labelling ini bermula dari external labelling yang bagus, ya bagus juga isi self–labelling ini, mereka yang dulunya sering dikatakan sebagai “anak pintar”, “anak cerdas”, “anak baik” atau “anak rupawan”, maka akan mengembangkan self-labelling yang begitu juga jadinya, ketika dewasa self-labelling ini berkembang jadi “orang pintar”, “orang cerdas”, “orang baik” atau “orang rupawan” dan sebagainya.
Tapi sebaliknya, kalau external labelling ini isinya yang negatif, seperti “anak bodoh”, “anak jelek”, “anak yang tidak becus”, atau “anak yang tidak pantas”, maka itu juga self-labelling yang tercipta dan akan terus berkembang sampai dewasa menjadi lebih parah, menjadi “orang bodoh”, “orang jelek”, “orang yang tidak becus”, atau “orang yang selalu salah”.
Self-labelling yang terbentuk dari external labelling paling banyak tercipta dari pengalaman tumbuh-kembang sewaktu kecil.
Bukan berarti ketika dewasa hal itu tidak akan terjadi, tapi biasanya self-labelling yang berkembang di masa dewasa lebih banyak self-labelling yang berhubungan dengan peran sosial, sementara self-labelling di masa kecillah yang lebih banyak berhubungan dengan cara pandang atas kepantasan diri kita.
Self-labelling negatif yang terbentuk dari masa kecil inilah yang paling banyak menjadi sabotase kesuksesan, karena ia menjadi acuan yang paling dasar, kalau pun nantinya ada external labelling positif yang diterima di kemudian hari, external labelling itu akan “rontok” karena self-labelling itulah yang berkuasa lebih dulu atas diri kita.
External labelling ini bisa didapat dari lingkungan dekat, dari orang tua misalnya, atau dari lingkungan teman-teman di masa kecil, dari perkataan dan perlakuan mereka, yang terjadi secara berulang dan berkepanjangan.
Self-labelling negatif tidak lepas dari trauma dan luka batin, semakin banyak seseorang mengalami luka dan pengalaman traumatis di masa kecilnya maka semakin berbagai kejadian itu akan ikut mempengaruhi dan membentuk self-labelling-nya.
Saya memandang trauma atau luka batin sebagai hal yang mempengaruhi ketahanan psikis seseorang, seseorang yang sering mengalami trauma atau luka di masa kecil, dan hal itu tidak terselesaikan sampai dewasa, akan lebih rentan dan rapuh ketahanan mentalnya, kondisi itu juga yang menjadikan ia lebih mudah mengembangkan self-labelling negatif yang menjadikannya memandang dirinya secara negatif, sebagai “keberadaan yang tidak pantas”, dari sanalah sabotase kesuksesan berkepanjangan bermula, karena tidak peduli seberapa banyak pun peluang positif bertebaran, atau pengakuan positif didapatkan, tetap saja self-labelling negatif itu yang menjadi operating system, yang akhirnya diikuti.
Jadi, bagaimana solusi mengatasi self-labelling negatif ini? Satu prinsip kunci, yaitu rubah self-labelling negatif ini di pikiran bawah sadar, karena disanalah ia berada.
Temukan bagaimana self-labelling negatif ini terbentuk, apa saja pengalaman yang membentuknya, sembuhkan luka atau trauma yang ikut membentuk self-labelling itu, lalu ciptakan self-labelling baru yang lebih bermanfaat, perkuat self-labelling positif itu agar ia menjadi manfaat dan daya ungkit untuk meningkatkan potensi sukses kita.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.