Episode 84 – Rasa Tidak Tega Yang Membawa Bencana
Rasa “tidak tega” sering kali menjadi dua sisi mata pisau, di satu sisi ia menjadi perlambang “cinta kasih” yang tidak tega melihat sesama makhluk ciptaan Tuhan kesulitan, di sisi lain ia juga membawa keraguan tersendiri, yang menyebabkan seseorang bisa mengorbankan dirinya dan kepentingan orang banyak hanya untuk menjaga kenyamanan pihak tertentu yang tidak tega untuk ditegaskannya.
Dilematis dan menyulitkan diri sendiri adalah hal yang berhubungan dengan keberadaan dari rasa “tidak tegaan” ini, kita lupa bahwa di balik rasa “tidak tega” pada satu pihak, tersimpan “rasa tega” atas pihak lainnya.
Ya, ketika kita tidak tega menegaskan sesuatu yang kita khawatirkan mengganggu kenyamanan orang lain, yang padahal perilakunya bermasalah, kita sebenarnya sedang tega mengorbankan diri kita sendiri yang harus mengalami kesulitan atas tingkah orang lain itu, bahkan bisa jadi kita juga tega mengorbankan kepentingan orang banyak hanya demi menjaga kenyamanan satu pihak yang mungkin malah tidak tahu diri dan tidak layak diperjuangkan.
Lantas bagaimana menyikapinya dengan bijak, untuk menciptakan situasi yang lebih membawa resolusi? Bagaimana menyikapi situasi tidak tega ini agar jangan sampai malah menjadi pribadi yang zalim karenanya?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhempat Life Restoration Podcast berjudul ‘Rasa Tidak Tega Yang Membawa Bencana ’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Rasa Tidak Tega Yang Membawa Bencana
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh empat.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada, berjumpa kembali di Life Restoration Podcast – seperti biasa – bersama saya, Alguskha Nalendra, yang memasuki episode ke-84 kali ini.
Seperti biasa juga tentunya, di awal perjumpaan ini, doa terbaik untuk Anda, semoga senantiasa dalam kesehatan, keberkahan, keberlimpahan, kedamaian dan kebahagiaan dimana pun Anda berada, bersama mereka yang dikasihi.
Baiklah, mari kita mulai bahasan di episode kali ini dengan langsung saja menyoroti apa yang menjadi judul dari episode kali ini, yaitu “rasa tidak tega yang membawa bencana”.
Wah, kalau dilihat dari judulnya agaknya topiknya dramatis gitu ya he…he…
Tapi ya seperti biasa juga, pemilihan topik di episode podcast ini, pasti bukan tiba-tiba, atau asal begitu saja, pasti ada hubungannya dengan aktivitas yang saya jalani, yaitu membersamai perjalanan para klien di ruang praktik coaching dan terapi saya.
Nah, salah satu – atau agaknya bukan salah satu lah ya, tapi beberapa – kasus terkini yang saya jumpai dalam diri para klien saya, adalah kasus yang berhubungan dengan rasa tidak tega ini, atau rasa tidak enakkan lah tepatnya, yang kemudian menjadikan banyak masalah muncul karenanya, ya yang saya sebut bencana tadi itu.
Biasanya situasi ini muncul dalam konteks bisnis dan karir, yaitu para klien yang menjalani sesi coaching dengan saya untuk keperluan meningkatkan bisnisnya, yaitu business coaching, atau juga dialami para klien yang sedang dalam proses personal coaching biasa untuk kehidupan pribadinya, tapi – bukan kebetulan – berlatar belakang pebisnis atau eksekutif.
Yes, begitulah, urusan “tidak tegaan” ini menjadi sesuatu yang sering kali muncul dan merintangi kinerja bisnis seseorang dalam bidang yang dijalaninya, apalagi kalau sudah berhubungan dengan perilaku orang lain di sekitar, yang jelas-jelas membawa masalah – membawa bencana tadi itu – yang seharusnya dibereskan, diselesaikan, tapi malah dibiarkan berlarut-larut karena rasa tidak tega tadi itu, alhasil muncullah situasi yang saya sebut “keruwetan yang tidak perlu”.
Kenapa dikatakan “tidak perlu”? Karena seandainya saja urusan itu dibereskan sejak awal, diselesaikan sejak dini, harusnya perkara ruwet itu tidak perlu terjadi, cuma ya itu tadi, membereskan urusan itu akan mensyaratkan kita untuk tegas dan berani mengambil sikap, justru itu yang tidak bisa dilakukan, karena sikap tidak tegaan tadi itu.
Ngomong-ngomong, urusan tidak tegaan ini juga tidak hanya terjadi di dunia karir dan bisnis, ada kalanya juga terjadi di urusan sehari-hari kok.
Misalnya saja dialami oleh klien saya yang mengalami kesulitan karena tidak tega melihat sanak-saudaranya mengalami kesulitan lalu ia menolong si sanak-saudaranya itu, tapi seiring waktu berlalu ternyata si sanak-saudaranya itu kelakuan-nya sulit sekali diperbaiki, ada saja masalah yang ditimbulkannya, di sisi lain si klien saya ini merasa terganggu dengan perilaku sanak-saudaranya ini dan ingin menyudahi urusan dengannya, tapi ada rasa tidak tega, yang membuatnya mengurungkan niatnya.
Alhasil seperti makan buah simalakama jadinya, dilematis, dibiarkan ia tersiksa, disudahi juga tidak tega. Nah, kira-kira familiar tidak dengan perkara-perkara seperti itu? Atau malah jangan-jangan Anda termasuk yang mengalaminya he…he…
Seandainya Anda termasuk yang mengalaminya, tenang dulu ya, tidak kenapa-kenapa dan bukan menjadi perkara yang genting juga, jadi jangan melabeli diri dengan label-label negatif karenanya, pahami dulu bahwa situasi itu adalah situasi yang dialami oleh banyak orang kok, jadi tenang saja, manusiawi sekali itu.
Ya tapi bukan berarti kita biarkan begitu saja kan, maka itulah episode kali ini mengajak kita untuk menyikapinya.
Pertama-tama untuk menyikapi hal ini, tentu kita perlu paham dulu alasan kenapa saya mengatakan “tidak kenapa-kenapa” pada masalah ini, atau “tidak kenapa-kenapa” kalau Anda termasuk yang mengalami masalah ini?
Jawabannya adalah karena kita manusia, kita makhluk yang punya perasaan dan rasa belas-kasihan, sikap ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk diri kita, sebuah anugerah untuk kita bisa peduli dan memerhatikan sesama.
Artinya, rasa tidak tega ini melambangkan sebuah bagian dari sikap cinta kasih juga, maka ia membawa kebaikan di dalamnya, dan memang demikian kan, karena kita tidak tega melihat sesama menderita maka kita menolong mereka jadinya.
Tuh lihat, benar kan bahwa tidak salah untuk memiliki sikap tidak tega ini, karena itulah perlambang sisi humanis kita tadi? Yes, memang tidak ada yang salah dengan sikap ini, bahkan kalau Anda sudah cukup sering mendengar episode demi episode di podcast saya ini mungkin sudah cukup familiar lah ya bahwa saya tidak terlalu memfokuskan bahasan saya pada apa yang dianggap “benar” atau “salah”, karena batasan antara keduanya sering kali dipisahkan oleh suatu hal yang kita sebut sudut pandang.
Apa yang dianggap baik oleh satu golongan bisa dianggap sebagai hal yang buruk oleh golongan yang berkebalikan dengannya, mereka yang dianggap “pahlawan” di satu golongan bisa dianggap sebagai “penjahat” di golongan yang berlawanan dengannya.
Itulah kenapa saya tidak akan fokus pada benar atau salah dalam hal ini, melainkan apa dampaknya, itu saja, sesederhana itu.
Jadi kalau ditanya, apakah sikap tidak tega ini benar atau salah, baik atau buruk, jawaban saya adalah “nanti dulu”, karena tolak ukurnya adalah dampaknya.
Kalau dari sikap tidak tega ini dampaknya baik, lebih banyak kehidupan sesama yang terperbaiki karenanya, ya apa juga yang mau dipermasalahkan? Tapi kalau dari sikap tidak tega ini muncul masalah, dan bahkan masalah itu melanda banyak orang karenanya, nah ini sebaiknya mulai kita perhatikan deh, ini kalau tidak disikapi ada kemunginan berkembang ke permasalahan yang lebih besar, atau bencana tadi itu.
Jadi kapan sikap tidak tega ini sebaiknya lebih kita perhatikan? Ya tadi itu jawabannya, kalau ia sudah membawa masalah atau dampak negatif lainnya, dan bukan hanya pada kita, melainkan pada orang di sekitar.
Contohnya begini, ada klien saya yang mengalami dilema, ia bermitra dengan seorang mitra senior dalam bisnisnya yang perilakunya cenderung mengganggu jalannya bisnis dan SDM yang ada di dalam bisnisnya itu.
Perilaku mitranya ini dirasanya mengganggu karena dianggapnya tidak profesional, tidak disiplin dan seenaknya, bukan hanya klien saya ini yang mengeluhkan perilaku mitranya itu, tapi bahkan para SDM di bisnisnya itu banyak yang mengeluhkan perilaku mitranya itu, yang menjadi atasan mereka.
Belum lagi ketika ia mengurusi urusan dengan supplier atau pun pihak-pihak eksternal lainnya, ternyata banyak juga di antara mereka yang mengeluhkan perilaku si mitranya itu tadi.
Sekian tahun bermitra, ia pribadi sudah cukup maklum dengan perilaku mitranya ini, apalagi ia juga tahu bahwa mitranya ini punya banyak masalah dan kerumitan pribadi yang memang kompleks. Rasa tidak teganya membuat klien saya ini lebih banyak mengalah, ia banyak meng-cover kekurangan mitranya itu di berbagai bidang, yang tidak dilakukannya dengan baik, hal itu masih bisa dimakluminya karena melihat rekam-jejak hubungan pribadi mereka.
Tapi kali ini berbeda, seiring bisnisnya berkembang dan membesar, keluhan itu muncul bukan hanya dari dirinya, tapi dari orang-orang di sekitar, dari SDM-nya, dari supplier dan rekanan eksternal, dan lain sebagainya, kali ini ia mulai dilanda dilema, kalau masalah si mitranya ini hanya berhubungan dengannya ia masih bisa maklumi dan cover, tapi kalau berhubungan dengan orang lain, dan banyak pula, ia juga tidak bisa meng-cover semua itu, maka kali ini keberlangsungan bisnis yang jadi taruhannya.
Saat ini ia dihadapkan dengan sebuah tuntutan situasi yang tidak sedikit, para SDM dan supplier yang bekerja dengannya memintanya mengambil tindakan tegas, yaitu untuk membereskan situasi ini, kalu perlu menyudahi kemitraan dengan si mitranya itu dan fokus membenahi bisnisnya sendiri.
Sekedar catatan, klien saya ini bukan orang yang “bergantung” pada mitranya, bukan orang yang kalau sampai kemitraannya disudahi maka bisnisnya akan kacau karena kehilangan mitranya, tidak begitu.
Bahkan situasinya cukup unik, dari awal berdiri bisnisnya, klien saya ini yang lebih banyak berkorban, si mitranya dengan segala kelakuan-nya yang “ajaib” itu ya sudah begitu dari dulu, bermasalah dalam hal attitude, cuma klien saya ini bersedia berkorban untuk menutupi itu, sampai tiba di titik saat ini dimana bisnisnya sudah membesar.
Artinya, menyudahi urusan kemitraan dengan mitranya ini tidak memberikan dilema rasional, atau dilema logis, karena dari segi logika dan rasio, kalau urusan kemitraan ini disudahi ia tidak terdampak apa pun, ia toh tidak terpengaruh oleh ada dan tidaknya si mitranya ini, bahkan bisa jadi ia lebih maju dan berkembang karena ada banyak hal yang ia lebih bisa putuskan sendiri nantinya, lagi pula lebih banyak keputusan dan sikap yang buruk dari mitranya itu yang sebenarnya jadi hambatan dalam bisnisnya saat ini.
Apa yang menjadi dilema terbesarnya? Anda mungkin sudah bisa menebaknya, yaitu dilema irasional, atau dilema emosional. Di satu sisi ia tidak sampai hati kalau bisnisnya sampai kacau, apalagi itu akan mempengaruhi kehidupan orang banyak di sekitarnya, di sisi lain ia juga tidak tega untuk membuat tindakan tegas pada mitranya ini, yang jelas-jelas jadi sumber dari banyak masalah dalam bisnisnya.
Kenapa disebut dilema irasional, atau dilema emosional? Karena secara logis tidak ada yang seharusnya dibingungkan, secara logis data yang ada menunjukkan bahwa tindakan tegaslah yang harus diambil karena tindakan itu memang diperlukan, bahkan tanpa tindakan tegas itu masalah yang ada malah akan tereskalasi karenanya.
Tapi secara emosional, nah ini yang bikin dilema, ada rasa tidak tega, ada rasa kasihan dalam dirinya, apalagi ia tahu bahwa mitranya itu banyak bermasalah dalam kehidupan pribadinya.
Nah, yang saya fasilitasi dalam sesi itu, sampai ia kemudian berani membuat tindakan tegas adalah apa yang saya jelaskan dalam episode kali ini, semoga hal ini juga bisa menjadi inspirasi tersendiri bagi Anda nanti, terutama kalau Anda termasuk orang yang dihadapkan dengan situasi yang sama.
Pertama, mari kita pahami dulu, bahwa “tidak tega pada satu pihak sama dengan tega pada pihak lainnya”.
Lho, ini maksudnya bagaimana? Tenang dulu, yang satu ini bersifat filosofis, jadi perlu kita pahami dulu maksud jelasnya secara praktis, dan bahasan ini penting agar kita jadi bisa membuat keputusan rasional yang bisa menyelesaikan situasi dilematis ini.
Begini, ketika kita tidak tega mengambil sikap pada seseorang, maka pasti ada sosok lain yang jadi objek dari sisi tega kita, bisa diri kita sendiri, bisa orang lain di sekitar.
Misalnya, kalau kita mengorbankan diri kita untuk memaklumi sikap orang lain yang jelas-jelas salah, karena kita tidak tega padanya, maka saat itu kita sebenarnya sedang bersikap tega pada diri kita sendiri, kita tega menyakiti diri kita, atau tega membiarkan diri kita menanggung konsekwensi dari sikap orang lain yang jelas-jelas salah.
Kita tidak tega pada orang lain itu, tapi kita tega pada diri kita sendiri, kita tidak tega membuat keputusan yang bisa membuatnya tidak nyaman, tapi kita tega membiarkan diri kita sendiri menelan pil pahit dari ketidaknyamanan yang disebabkan orang lain itu.
Seperti kisah klien saya tadi itu, ia tidak tega membuat keputusan yang membuat mitranya tidak nyaman, tidak tega kan, takutnya menyakitinya, tapi ia justru tega pada dirinya sendiri, membuatnya jadi merasa tidak nyaman sendiri, sakit sendiri, ia juga justru tega menyakiti SDM di bisnisnya dan pihak eksternal yang bekerjasama dengannya, karena selama ini mereka jadi ikut menanggung akibatnya kan.
Nah, itu yang dimaksud tidak tega di satu sisi, akan menyebabkan kita sebenarnya tega di sisi lainnya.
Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa dia “tidak tegaan”, jangan langsung ikut percaya bahwa dia “tidak tegaan”, yang ada adalah dia tidak sadar prioritas untuk tega.
Iya dong, tega itu ada prioritasnya, ini yang menjadikan kalau kita ternyata memutuskan ingin bisa tega, ingin bisa tegas, maka kita harus sadar prioritas ini, agar kita juga selaras dengan keputusan yang kita buat, bahwa teganya kita bukan karena untuk memuaskan ego kita sendiri, tapi karena ada kepentingan lebih banyak orang yang harus kita prioritaskan.
Kalau dari sudut pandang dunia terapi atau konseling, sikap tidak tegaan berlebih, tidak enakan lah istilahnya – yang berlebih lho ya – menandakan ada sesuatu yang tersimpan di pikiran bawah sadar kita, bisa karena pernah mengalami kejadian traumatis, atau ada luka batin, yang menjadikan kita tidak enak kalau sampai menolak orang lain, semacam ada ketakutan untuk merasa bersalah karena mengecewakan orang lain.
Nah tapi itu kalau yang berlebih ya, jadi bisa dalam banyak hal munculnya, bahkan dalam banyak aktivitas keseharian pun bisa muncul, istilahnya jadi “sulit menolak”, jadi sering mengorbankan diri untuk memuaskan kepentingan orang lain, bahkan menyulitkan diri sendiri karenanya.
Agak lain dengan kalau kita berhadapan dengan suasana dilematis yang memerlukan ketegasan, jadi memang kadar intensitasnya berbeda dalam hal ini.
Kembali ke situasi dilematis tadi dan skala prioritas, kenapa saya mengatakan ada prioritas dalam hal ini? Karena kembali pada yang saya katakan tadi, bahwa ketika kita tidak tega pada satu pihak, maka ada pihak lain yang menjadi objek dari rasa tega kita, bisa diri kita sendiri atau orang lain di sekitar.
Sekarang waktunya kita sadari, seperti apa prioritas dalam hal ini, mana yang lebih layak diperjuangkan, apa dampak negatif yang ada dari mengorbankan salah satunya.
Misalnya dalam kasus klien saya tadi, saya mengajaknya menyadari bahwa dengan ia bersikap tidak tega pada mitranya, ia sebenarnya sedang bersikap tega pada dirinya sendiri dan pada SDM serta pihak eksternalnya, bahkan pada bisnisnya sendiri.
Ia tidak tega membuat keputusan tegas karena kasihan pada mitranya, tapi ia tidak kasihan pada dirinya sendiri dan SDM serta pihak eksternal yang bekerjasama dengannya.
Nah disini saya mengajaknya menyadari prioritas dari situasi yang sedang berlangsung, mana yang lebih rasional, mengorbankan keamanan banyak orang demi kenyamanan satu orang, atau mengorbankan kenyamanan satu orang demi keamanan banyak orang.
Ya, Anda akan bisa menebaknya lah ya, apa jawabannya he…he…kalau secara rasional ya sudah jelas klien saya juga ini tahu bahwa lebih baik ia mengorbankan kenyamanan satu orang daripada mengorbankan keamanan orang banyak.
Kenapa saya masuk dari analisa prioritas dulu, karena analisa prioritas ini akan menentukan banyak hal nantinya, termasuk perumusan strategi terbaik agar pembuatan keputusannya bisa meminimalisir resiko yang ada, sehingga loose-loose-nya rasional.
Lho kok loose-loose, bukan win-win seperti yang sering disampaikan di banyak acara? Ya jujur saja, kalau melibatkan situasi dilematis, saya tidak selalu melihat bahwa win-win adalah opsi yang realistis, kalau bisa ya bagus, tapi dalam banyak hal ada kalanya hal itu tidak memungkinkan, kalau pun memungkinkan akan mensyaratkan masuknya sumber daya atau resource baru dari luar, sehingga hal itu tidak selalu tercapai dengan baik.
Loose-loose itu maksudnya bahwa pada akhirnya semua pihak yang ada perlu mengalah untuk mencapai kesepakatan, ada yang dikorbankan dari masing-masing pihak, tinggal yang kita upayakan adalah mencari cara dan strategi agar loose-loose-nya itu sepadan.
Kalau dengan prinsip loose-loose itu si pihak yang tidak kondusif itu masih juga semaunya, berarti semakin kelihatan kan bahwa rasa tidak tega kita selama ini itu tidak sepadan, sudah dikasih solusi dan kita sudah siap loose pun ternyata yang bersangkutan tidak mau berubah, kalau sudah begini yakin kita masih harus mengorbankan diri kita dan kepentingan orang banyak lebih jauh?
Bentuk sederhana dari penjelasan ini ada pada kisah klien saya tadi, saya mengajaknya menyadari skala prioritas yang harus ditetapkannya, antara mengorbankan kenyamanan satu orang atau keamanan orang banyak, di sini ia bisa menetapkan dengan jelas bahwa ia harus lebih mengutamakan keamanan orang banyak, maka kenyamanan satu pihak inilah yang akan menjadi taruhannya.
Artinya, ia harus siap membuat keputusan tegas untuk menyudahi hubungannya dengan mitranya ini, yang selama ini tidak tega diputuskannya, karena ia dulu khawatir tindakan itu menyakitinya.
Di titik ini saya mengajaknya menyadari, apakah betul kalau ia memutuskan hubungan dengan mitranya itu dan membuat si mitranya itu semakin larut dengan masalahnya maka itu menjadi tindakan yang menyakitinya, atau sebetulnya selama ini si mitranya itu sudah menyakiti dirinya sendiri dengan menjadi pribadi yang toxic tadi, dengan terus-menerus bersikap toxic dalam hidupnya, yang kemudian mengundang banyak masalah.
Nah tahapan ini juga tidak kalah pentingnya, karena kita sedang melihat kelayakan dari si pihak yang akan kita jadikan padanan loose-loose tadi, kan sekarang kita sudah siap untuk loose-loose, nah di sini seberapa layak kita loose untuk orang itu?
Kenapa saya mulai mencari tahu sikap mitranya itu, karena siaap tahu mitranya itu memang orang yang ingin berubah, orang yang sadar diri bahwa ia bermasalah, namun selama ini ia belum menemukan cara untuk berubah dan menyelesaikan masalahnya, jadi ia tidak bermasalah dengan sikap, hanya saja kurang beruntung karena belum bisa menyelesaikan masalahnya, nah kalau seperti ini kan juga tidak bijak kalau disudahi begitu saja, karena ia punya kelayakan untuk dibantu, artinya sikap tidak teganya kita beralasan, karena memang orangnya layak dikasihani, sikapnya tidak bermasalah, maka biarlah kita yang loose lebih, mengorbankan kenyamanan diri kita untuk lebih membantunya, agar masalahnya lebih cepat terselesaikan, dan seiring waktu berlalu situasi kembali membaik, kita boleh cukup tega pada diri kita sendiri dalam hal ini, melalui dulu kesulitan untuk orang lain, karena kita tahu teganya kita pada diri sendiri ini sepadan dengan hasil akhir yang diperjuangkan, karena memang orangnya layak dibantu, biarlah ini jadi rekening energi atau karma positif kita atas orang lain.
Tapiii…kalau ternyata dasarnya orangnya toxic, seperti kisah mitra si klien saya ini, ya lain cerita dong, ia bermasalah karena memang dirinya sendiri perilakunya toxic, ia sendiri yang sebenarnya menjadikan hidupnya bermasalah dengan perilakunya sendiri, jadi ada tindakan tegas dari kita atau tidak maka ia akan tetap saja bermasalah, karena sumber masalahnya ada pada dirinya sendiri, nah kalau di sini kita loose, atau mengalah, atau mengorbankan kepentingan kita untuk menolong orang jenis ini coba deh pikirkan sepadan apa tidak, membantu sih membantu, kasihan sih kasihan, tapi kalau dengan itu kepentingan orang banyak jadi terganggu kan sama saja bikin masalah baru.
Nah di sini klien saya menyadari bahwa ternyata si mitranya ini memang bermasalah karena perilakunya yang toxic, selama ini juga ia sudah mencoba untuk mengingatkan dan membantunya, tapi sulit sekali, karena sikap toxic-nya itu yang menjadikannya keras kepala dan bahkan tidak merasa dirinya bermasalah, bagi si mitranya ini selalu orang lain dan kehidupanlah yang bermasalah atas dirinya, di sini juga klien saya ini menyadari bahwa sungguh tidak sepadan kalau ia harus mengorbankan kepentingan orang banyak untuk mengakomodir kepentingan satu orang yang sikapnya buruk adanya, yang memang menciptakan masalah untuk dirinya sendiri, yang tidak merasa dirinya bermasalah, yang sebenarnya tidak layak dibantu!
Kali ini baru ia merasa lebih bulat dengan keputusannya, barulah saya mengajaknya merumuskan strategi yang meskipun tegas, tapi tetap humanis, inilah tahap akhirnya.
Maksudnya bagaimana? Ya meski tegas, tapi selama kita masih bisa memberikan bantuan selayaknya kenapa tidak.
Maka si klien saya ini mulai merancang skema penyudahan kerja sama dengan mitranya, ia merancang skema yang fair untuk memenuhi kewajiban dan hak yang harus dipenuhi pada masing-masing pihak, di titik ini saya juga menyarankannya untuk loose sedikit lebih lagi, dalam bentuk memberikan pertolongan akhir di penyudahan ini pada mitranya, dalam bentuk pembagian hasil yang lebih dari seharusnya sebagai apresiasi pada mitranya, juga memberinya akses ke berbagai kontak eksternal yang selama ini bekerja sama dengan mereka, intinya adalah memberikan solusi yang bisa mitranya ini manfaatkan kalau ia ingin bisa bertahan atau membuat bisnis baru, dengan cara ini kita tidak bersikap zalim padanya, bahkan masih memikirkan dan memberikan solusi padanya.
Semua ini membawa klien saya pada sebuah keputusan yang saya sebut bersikap “tega yang bijak”, yaitu rasa tega yang bersumber dari kejelasan bahwa yang kita tegaskan bukan untuk memenuhi kepuasan ego pribadi, tapi menegakkan kepentingan lebih banyak orang, dan di balik rasa tega itu kita sendiri menyiapkan bantuan atau solusi yang kalau orang itu manfaatkan dengan baik seharusnya bisa digunakannya sebagai “awal baru”, jadi ya kurang apa lagi coba, itulah sebaik-baik tega yang berlandaskan bukan hanya belas kasih, tapi juga kebijaksanaan.
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.