Episode 85 – Mereka Yang Layak Dipertahankan
Sekian lama “menyepi” dari media sosial, tema Audio Podcast hari ini akan menjadi episode “pemanasan” untuk persiapan kembali mewarnai media sosial.
Ada sedikit cerita pengantar di Audio Podcast ini yang akan menceritakan beberapa update terkini dalam aktivitas saya, yang akan menjawab kenapa saya selama beberapa waktu terakhir “menghilang” dari peredaran media sosial.
Tema yang diangkat di podcast kali ini sendiri berhubungan dengan dunia kepemimpinan dan SDM, dimana tema ini terinspirasi dari pengalaman-pengalaman terbarukan dalam memfasilitasi pembelajaran bagi para pemimpin di organisasi, yaitu “bagaimana mengetahui apakah seseorang layak dipertahankan” atau tidak.
Ya, dalam dunia kepemimpinan akan ada saja situasi dilematis dimana kita harus membuat keputusan tegas untuk menyudahi sebuah hubungan kerja atau mengeluarkan seseorang dari tim kita. Di sini juga beberapa pemimpin kerap kali merasa sulit membuat keputusan.
Apa saja tiga kriteria yang menjadikan seseorang layak dipertahankan atau tidak?
Mari simak bahasannya di Audio Podcast ini.
Anda bisa menemukan koleksi Audio Podcast Alguskha Nalendra di Podcast Channel ini, dan koleksi podcast tersebut dalam bentuk video-audiogram di Youtube Channel Alguskha Nalendra.
Berikut di bawah ini adalah transkrip dari Episode kedelapanpuluhlima Life Restoration Podcast berjudul ‘Mereka Yang Layak Dipertahankan’ di atas, silakan klik tulisan di bawah untuk memunculkan transkrip.
Mereka Yang Layak Dipertahankan
Daftar Isi
Intro:
Anda sedang mendengarkan Life Restoration Podcast dari Alguskha Nalendra, episode delapan puluh lima.
Selamat datang di Life Restoration Podcast, inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.
Life Restoration Podcast menghadirkan berbagai inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri, yang juga diadaptasi dari kisah nyata para individu yang menjalani program terapi, konseling dan Life Restoration Coaching, bersama Coach Alguskha Nalendra.
Podcast:
Halo para sahabat sekalian dimana pun Anda berada …
Sekian lama sudah tidak berjumpa … akhirnya tiba juga waktu perjumpaan kita kembali di Life Restoration Podcast, episode 85 kali ini.
Mengawali kembali perjumpaan setelah sekian lama ini, pertama-tama doa terbaik dulu untuk Anda tentunya, semoga senantiasa dalam kesehatan, keberkahan, keberlimpahan, kedamaian dan kebahagiaan dimana pun Anda berada, bersama mereka yang dikasihi.
Wah … tidak bisa terkatakan rasanya berjumpa lewat temu-suara seperti ini kembali … kangeeen sekali rasanya he … he …
Benar-benar deh … berapa bulan ya sejak perjumpaan terakhir kita di penghujung tahun 2022 lalu? Wah terhitung lama lah intinya ya.
Biasanya di episode-episode terdahulu saya punya kebiasaan, ketika membuka podcast saya mengisahkan dulu beberapa update terkini dalam keseharian saya, terutama yang terjadi di antara satu episode ke episode berikutnya.
Kali ini agaknya sulit ya he … he … selain jarak dari episode terakhir ke episode ini yang terbilang cukup jauh, memang update yang terjadi juga banyaaak sekali.
Jadi daripada kita mengulas berbagai detail update yang justru bisa jadi banyak sekali, saya ijin untuk memfokuskan saja update-nya pada garis besar dari tema aktivitas terkini ya.
Jadi begini … beberapa di antara Anda yang pernah menonton tayangan live streaming saya di Youtube Channel saya di periode akhir tahun lalu menuju awal tahun ini … tuh kan jadi teringat juga jadinya, live streaming pun termasuk ke salah satu agenda yang ikut terhenti pelaksanaannya di periode-periode ini.
Tapi kembali ke bahasan tadi dulu deh ya, beberapa di antara Anda yang pernah menonton tayangan live streaming saya di Youtube Channel saya di periode akhir tahun lalu menuju awal tahun ini mungkin masih ingat bahwa saya menyatakan resolusi karya saya tahun ini adalah menyelesaikan penulisan empat buku.
Yes … Anda tidak salah dengar … empat buku. Ada alasan tersendiri tentunya di balik dicetuskannya alasan untuk menyelesaikan empat buku itu, tapi itu nanti lah ya kapan-kapan saja kita bahasnya. Saya ingin fokus dulu mengisahkan bahwa mewujudkan resolusi itu bukanlah hal yang mudah.
Namanya menulis buku ya tanya saja pada para penulis, tidak semudah membalikkan telapak tangan juga meski kita suka menulis.
Ya … saya suka menulis … saya cinta menulis … saya suka berekspresi dan menuangkan karya saya melalui tulisan, ada sebuah kepuasan tersendiri di dalamnya.
Tapi ya secinta-cintanya saya pada menulis kan tetap saja menulis itu memerlukan waktu dan tenaga tersendiri. Menyelesaikan satu buku saja sudah cukup menantang, apalagi ini empat buku, dalam satu tahun pula. Ditambah lagi, sambil menulis buku ini kan bukan berarti aktivitas lain jadi terhenti begitu saja.
Ya, aktivitas saya membantu para klien di sesi coaching, konseling dan terapi tetap harus berjalan, karena yang pesan jadwal kan juga ada terus. Aktivitas mengajar di kelas-kelas korporasi atau perusahaan juga jalan terus. Belum lagi agenda kelas-kelas publik yang memang terus diadakan juga.
Nah, terbayang kan bertumpuknya prioritas dalam satu periode?
Itulah yang membuat saya akhirnya dengan berat hati harus membuat keputusan besar, yaitu mengalokasikan energi yang biasanya saya pakai untuk membuat karya di media sosial, menjadi digunakan untuk menulis buku kali ini. Karena saya juga masih harus menakar penggunaan energi yang akan terjadi seperti apa selama periode ini.
Tapi yang jelas saya bersyukur. Atas ijin Tuhan Yang Maha Kuasa dan kekuatan yang dianugerahkan-Nya, secara bertahap resolusi itu mulai terwujud. Satu buku saya yang bertemakan penyembuhan luka batin, yaitu “The Freedom Within”, sudah selesai dan sudah mulai diedarkan sejak bulan Mei 2023 lalu.
Selepas buku itu selesai saya juga lanjut lagi penyelesaian buku lainnya, dimana satu lagi buku baru saja selesai di bulan Agustus 2023 kemarin dan saat ini sedang dalam persiapan finalisasi penyuntingan, rencananya buku ini akan siap cetak di bulan September 2023 ini.
Lumayan lah ya, sudah ada dua buku selesai paling tidak. Masih ada dua buku lagi yang harus dipenuhi memang. Tapi melihat kompleksitas penggunaan energi yang ada saya mulai bisa menyimpulkan bahwa agaknya saya bisa “kembali” ke media sosial. Artinya, saya bisa mulai kembali berkarya di media sosial ini sambil menyelesaikan dua buku sisanya itu.
Yah … mohon doanya saja lah ya agar segala-sesuatunya dilancarkan dan menjadi berkah bagi sebanyak mungkin kalangan.
Baiklah, kita masuk ke bahasan di episode kali ini ya.
Di episode kali ini ada satu tema yang ingin saya angkat, yaitu “mereka yang layak dipertahankan”.
Tema ini diangkat dari perjumpaan saya dengan banyak leader atau pemimpin di berbagai perusahaan dimana saya sempat mengajar selama beberapa periode terakhir ini, dan juga dari interaksi saya bersama para klien pebisnis yang menjalani sesi coaching.
Ya … sekali-sekali membicarakan tema sumber daya manusia dan kepemimpinan boleh lah ya … he …he.
Awal mula terpikir untuk diangkatnya tema ini yaitu karena adanya situasi dimana para leader ini mengalami situasi dilematis, yaitu merasa dilema untuk mengeluarkan atau menyudahi hubungan kerja dengan orang-orang tertentu yang bekerja pada mereka. Isu itulah yang kemudian diangkat di sesi konsultasi bersama saya.
Pertanyaan intinya kurang lebih adalah “bagaimana saya tahu apakah anggota tim saya layak dipertahankan atau tidak”. Biasanya kegelisahan atau dilema ini muncul setelah ada “riak” di perusahaan atau organisasi yang membuat mereka jadi harus membuat tindakan tegas pada orang-orang yang mereka pimpin.
Tapi saya tidak ingin fokus pada “riak” yang saya maksudkan tadi ya. Artinya, saya tidak ingin fokus pada kisah tentang berbagai masalah yang ada yang membuat para leader itu jadi harus mengambil tindakan tegas. Saya lebih ingin fokus pada jawaban versi saya atas kriteria “mereka yang layak dipertahankan” tadi.
Kenapa dikatakan “versi saya”? Ya karena memang jawaban ini lebih menggambarkan cara pandang saya pribadi berdasarkan pengalaman saya dalam memimpin dan mengelola tim kerja dengan beragam karakter dan kompleksitas.
Saya tidak mengatakan jawaban saya ini paling benar adanya, tapi paling tidak ia menjadi acuan bagi saya untuk bisa memutuskan orang jenis apa yang layak dipertahankan dan yang seperti apa yang tidak layak dipertahankan, atau dengan kata lain, disudahi hubungan kerjanya.
Saya membagi kriteria “kelayakan untuk dipertahankan” ini menjadi tiga, yaitu kriteria hasil, kriteria proses, dan kriteria adab, dimana ketiga kriteria ini akan selalu dievaluasi berdasarkan dampak yang ditimbulkannya.
Pertama, yaitu kriteria hasil. Bentuk sederhana dari kriteria hasil ini yaitu orangnya memberikan dampak positif berupa hasil pencapaian yang berdampak positif pada kemajuan organisasi atau lembaga, bisa berupa omzet, project, atau apa pun itu.
Kedua, yaitu kriteria proses. Maksud dari kriteria ini yaitu orangnya siap fokus pada proses, siap melaksanakan hal-hal yang menjadi standar operasional, disiplin, dan menjalankan apa-apa yang menjadi tanggungjawabnya dengan sepenuh hati.
Ketiga, yaitu kriteria adab. Artinya orangnya memiliki adab yang baik dalam bekerja dan dalam berperilaku pada sesamanya.
Saya mendapati seseorang yang memiliki ketiga kriteria itu relatif menjadi seseorang yang lebih mudah untuk mendapatkan kemajuan dalam karirnya.Faktor-faktor X lain seperti network, kedekatan dengan atasan, dan lain-lain itu tidak kita masukkan ke dalam analisa situasi lah ya. Intinya mereka yang punya hasil, proses dan adab yang bagus, dalam pengalaman saya, lebih mudah untuk berkembang dalam bidang kerja yang mereka tekuni.
Tapi … nah tapinya nih … namanya juga manusia kan kurang-kurangnya pasti ada saja. Begitu juga tim yang kita pimpin, pasti ada saja kurang-kurangnya, dan itu manusiawi. Tapi saya akan mengatakan selama ia masih memiliki salah satu dari ketiga hal di atas maka ia masih layak dipertahankan.
Contohnya saja, sebut saja seseorang yang baik dalam kriteria hasil tapi buruk dalam dua kriteria lainnya, yaitu proses dan adab. Sebut saja orang ini termasuk orang yang produktif dan menghasilkan pencapaian yang baik sekali bagi organisasi, tapi ia tidak disiplin dalam mengikuti proses, ditambah lagi adabnya tidak terlalu bagus.
Apakah orang seperti ini layak dipertahankan? Bagi saya … menurut saya … orang seperti ini masih layak dipertahankan. Kenapa? Karena yang terpenting adalah ada hasil yang dikontribusikannya pada organisasi, itu kan yang penting dan membuat organisasi hidup.
Tapi … ya tetap saja ada tapinya juga lah, ya kita lihat dampak atau efek sampingnya juga. Kalau sekiranya dampak dari cara kerjanya itu sedemikian merugikan dan lebih banyak potensi kerusakannya, dibandingkan dengan hasil yang diberikannya, ya tetap saja lebih baik dikeluarkan.
Tapi kalau seandainya ia hanya sebatas buruk di proses dan adab namun tidak ada dampak kerusakan signifikan yang diciptakannya, maka pertahankan saja dulu. Prioritas kita adalah bagaimana ia tetap bisa menghasilkan dan menghidupi organisasi. Namun yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana “memagari” tim lain agar tim lain itu tidak terpengaruh oleh buruknya proses dan adabnya.
Sambil menjaga kestabilan ini, kita perlu mengamati ada hal apa yang menjadikan orang ini bisa menghasilkan pencapaian yang baik, belajar mengambil sisi positifnya, lalu menularkan sisi positifnya itu pada tim yang lain, maksudnya agar tim lain bisa menduplikasi hal yang sama nantinya. Kalau tim lain sudah pada menyamai hasil yang dikontribusikannya kan posisi berubah kali ini, maka waktunya untuk mengevaluasi ulang kelayakannya untuk dipertahankan nanti.
Kali ini kriteria kedua, sebut saja seseorang yang kurang baik dalam hasil, istilah sederhananya, “kurang menghasilkan”, tapi prosesnya bagus, ia patuh pada prosedur, melakukan yang memang harus dilakukannya dengan cermat, ini apa yang kita lakukan?
Sama dengan sebelumnya, masih ada satu kriteria yang terpenuhi kan? Ya teruskan saja dulu pertahankan.
Kenapa demikian? Karena mereka yang patuh pada proses ini adalah aset yang baik, mereka adalah orang-orang yang menjaga kestabilan organisasi. Kalau pun ternyata hasilnya kurang baik maka kita sebagai leader yang harus introspeksi diri, jangan-jangan arahan dan strategi yang kita berikan pada mereka yang kurang efektif, yang menjadikan mereka berputar di situ-situ saja.
Karena mereka adalah orang-orang yang fokus pada proses, maka PR besarnya ada pada leader, yaitu menciptakan proses yang berkualitas, yang bisa menciptakan hasil maksimal selama proses itu diikuti dengan baik.
Bagaimana kalau si orang-orang yang fokus pada proses ini adabnya buruk? Ya ini juga bisa saja kan. Kalau sampai ini terjadi maka alternatif yang seharusnya kita siapkan adalah berikan mereka ruang untuk hanya fokus mematuhi proses itu tanpa harus banyak berinteraksi dengan yang lain.Setidaknya kepatuhannya pada proses akan menjaga kestabilan, tapi mereka tidak harus banyak berinteraksi dengan orang-orang lain yang mungkin saja akan merasa terganggu dengan adabnya yang buruk.
Terakhir, yaitu mereka yang memiliki adab yang baik, bisa dalam bentuk sikap yang selalu mau belajar, tahan banting, sabar, jujur, dan adab lain apa pun yang memang nyata-nyata baik adanya. Yang satu ini memang jadi catatan tersendiri. Sebut saja mereka adalah orang yang memiliki pencapaian yang tidak terlalu bagus, untuk bisa fokus pada proses pun bermasalah karena mereka masih memiliki kekurangan pengetahuan di sana-sini, atau ada kendala eksternal lain yang menjadikan mereka masih sulit untuk bisa fokus pada proses begitu saja.
Hasil tidak terlalu oke, proses juga tidak terlalu oke, tapi adabnya baik, jadi bagaimana? Ya sama seperti sebelumnya, masih ada satu kriteria yang dipenuhi kan, jadi pertahankan saja dulu.
Kenapa demikian? Karena adab yang baik ini yang jadi aset bagi orang ini untuk berproses menuju pertumbuhan diri yang lebih baik. Tugas kita adalah menyiapkan skema pertumbuhan bagi orang ini agar ia dengan segala adabnya itu bisa berproses sesuai skema itu sampai secara bertahap ia bisa mengikuti proses dan secara berkala bisa mencapai hasil yang memuaskan.
Artinya, kelayakan seseorang untuk dipertahankan juga bergantung pada kelayakan leader untuk mempertahankan mereka. Leader tidak boleh terlalu cepat dan mudah menyalahkan. Di balik perilaku atau kinerja SDM mereka yang tidak terlalu optimal, sebelum menyalahkan anggota tim coba introspeksi, ada kekurangan apa dalam diri leader yang menjadikan mereka tidak bisa mengembangkan potensi terbaik anggota timnya.
Contoh pertanyaan introspeksi diri yang hendaknya kita tanyakan pada diri sendiri yaitu: satu, apa kekurangan saya dalam menunjukkan kapasitas diri dan mengatur tim sehingga si orang yang berprestasi baik itu sulit saya atur agar mengikuti proses dan beradab yang baik?
Dua, apa kekurangan saya dalam mendidik orang-orang yang patuh pada proses, dalam mendesain proses bagi mereka, sehingga meski proses sudah mereka jalankan mereka belum bisa mencapai target yang seharusnya?
Tiga, apa kekurangan saya dalam menyiapkan skema pertumbuhan yang baik bagi anggota tim dimana dengan mengikuti skema itu seharusnya mereka bisa bertumbuh dengan baik seiring waktu berjalan?
Iya dong, jangan langsung salahkan tim kita juga kalau-kalau mereka menunjukkan tanda tidak layak dipertahankan, jangan-jangan kitanya yang tidak bisa mempertahankan mereka.
Tapi mari asumsikan semua hal sudah kita lakukan dengan baik, eh tahunya ada saja individu yang bermasalah di ketiganya, hasil tidak ada, proses tidak diikuti, dan adab pun buruk, bahkan menyusahkan yang lain dengan kinerjanya yang kacau.Yang begini bagaimana?
Nanti dulu, masih ada satu pertanyaan lagi: ada dan tidak ada ada bedanya tidak? Artinya keberadaannya orang ini adalah keberadaan yang signifikan tidak, yang memang menciptakan perbedaan signifikan, dengan kata lain: sulit digantikan.
Kalau memang mudah untuk digantikan, artinya, ada atau tidak ada tidak ada bedanya, maka ya ini cukup jelas dan tegas: sudahi!
Kenapa? Karena memang tidak ada kriteria yang layak membuatnya dipertahankan, hasil tidak ada, proses tidak patuh, adab buruk, ada-tidak ada pun tidak menciptakan perbedaan apa pun, lalu apanya yang menjadikan mereka harus dipertahankan?
Ada para leader yang kemudian merasa dilema, mereka bilang “tapi kasihan … ”, karena orang-orang yang bertingkah ini ternyata orang lama misalnya. Ya pertanyaan saya, masa iya kasihan sama satu orang tapi tidak kasihan sama orang-orang lain yang lebih banyak, yang jadinya disusahkan oleh satu orang ini?
Ada lagi yang berargumen … tapi dia orang yang sudah ada bersama kita sejak awal, kontribusinya banyak?.Lagi-lagi pertanyaan saya, memang dari dulu sejak awal ikut tidak dapat kompensasi? Kalau memang iya tidak ada kompensasi yang diberikan, seperti gaji, penghasilan dll, ya wajar lah itu. Tapi kalau dari dulunya sebenarnya orang itu membersamai ia juga sudah dapat gaji, penghasilan, dan lain-lain, ya bukankah kontribusinya itu juga sudah mendapatkan kompensasi yang setimpal?
Selidik punya selidik, ternyata lebih banyak masalah pada para leader dalam membuat keputusan ini disebabkan karena rasa tidak teganya mereka, mereka tidak ingin membuat orang lain merasa tersakiti karena keputusannya.
Meski pun pahit, saya akan katakan hal ini tidak realistis. Kenapa demikian? Ya karena dengan tidak ingin membuat satu orang tersakiti ini justru ada lebih banyak orang yang tersakiti jadinya karena satu orang ini terus jadi masalah di lingkungan itu. Mereka tidak tega membuat satu orang merasa tersakiti, tapi tega membiarkan lebih banyak orang merasa tersakiti atas situasi yang jadinya ruwet dan tidak karuan ini, yang disebabkan oleh satu orang yang tidak layak dipertahankan itu.
Ada kalanya leder harus membuat tindakan tegas … tindakan tegas ini ya belum tentu akan disenangi setiap orang, tapi tugas kita kan bukan menyenangkan setiap orang, melainkan memastikan jalannya organisasi berjalan dengan aman dan efektif. Dalam menjalankan tugas itu tentu tidak semua orang akan merasa senang dengan keputusan yang kita buat. Tapi sekali pun mereka senang, tetap saja rasa senang itu tidak akan ada habisnya, jadi pasti rasa tidak senang itu akan tetap ada, entah dalam apa pun bentuknya nanti. Makanya fokusnya jangan sebatas ke menyenangkan sekitar, tapi memastikan pertumbuhan terjadi dengan aman dan efektif. Kalau hanya karena satu orang lalu lebih banyak orang dikorbankan, ini sama saja kepemimpinan yang konyol namanya.
Begitulah bahasan kita kali ini … sudah cukup jelas lah ya mendapatkan sudut pandang saya tentang orang-orang yang layak dipertahankan dan yang tidak … sekali lagi, ini sudut pandang saya pribadi ya, Anda tidak harus setuju, tapi paling tidak semoga sudut pandang pribadi saya ini bisa memberikan warna baru bagi sudut pandang Anda.
Ya kurang lebih begitu lah ya, bahasan kita kali ini agak bertemakan kepemimpinan dan sumber daya manusia memang, tapi tidak ada salahnya juga kan sekali-sekali ada selingan bahasan tersendiri. Anggap saja episode ini jadi “pemanasan” sebelum nanti saya mulai lebih banyak membagikan karya kembali di media sosial ini he …he …
Sampai jumpa di episode berikutnya….
Closing Podcast:
Dapatkan lebih banyak inspirasi restorasi kehidupan dan transformasi diri dengan ikuti Instagram @alguskha dan Youtube Channel: ‘Alguskha Nalendra’.
Kunjungi juga website www.alguskha.com untuk temukan lebih banyak informasi menarik lainnya, termasuk untuk memesan layanan profesional bersama Coach Alguskha Nalendra, untuk membantu mendesain kehidupan terbaik yang layak Anda dapatkan sesuai jati diri otentik Anda.