Faktor-faktor Pembentuk Vaded with Confusion dalam Resource Therapy & Counselling (RTC)
Beranjak dari Vaded with Fear dan Vaded with Rejection di artikel-artikel sebelumnya (silakan membaca artikel ‘Faktor-faktor Pembentuk Vaded with Fear dalam Resource Therapy & Counselling (RTC)‘ dan ‘Faktor-faktor Pembentuk Vaded with Rejection dalam Resource Therapy & Counselling (RTC)‘ untuk menemukan ulasannya, jenis kasus berikutnya yang paling banyak muncul dalam metode penanganan berbasis Resource Therapy & Counselling (RTC) adalah Vaded with Confusion, terutama di kalangan klien remaja dan dewasa.
Bahasan Vaded with Confusion tidak akan menyita bahasan sebanyak Vaded with Fear dan Vaded with Rejection, hal ini karena kebanyakan pemahaman mendasar tentang Vaded State sudah dibahas di Vaded with Fear dan Vaded with Rejection, sehingga di bahasan kali ini kita hanya akan mengulas pemahaman lanjutan dari Vaded State ini, yang termanifestasikan menjadi patologi dan berbagai gejala masalah yang berbeda.
Vaded with Confusion terbentuk dari sebuah awal mula kejadian dimana kejadian itu – dan kejadian sejenis berikutnya – tidak bisa dipahaminya, Vaded State ini berakhir dengan rasa kebingungan yang mendalam dan berkepanjangan.
Ekspresi emosional yang dominan ditunjukkan oleh Vaded with Confusion adalah gejolak mendalam dalam diri akan hal yang tidak diketahuinya, pikiran mereka dipenuhi pertanyaan yang mempertanyakan dan merumitkan berbagai hal yang seberapa jauh pun mereka pikirkan tak kunjung membuahkan kejelasan.
Seperti patologi Vaded with Disappointment (akan diulas di artikel lainnya nanti) Vaded with Confusion juga menunjukkan ekspresi emosi yang mempengaruhi kestabilan Resource State lain, namun pada tingkatan yang lebih rendah (pengaruhnya tidak sebesar Vaded with Disappointment).
Kejadian awal yang bisa membentuk kemunculan Vaded with Confusion biasanya berupa perlakuan yang mereka terima atau kejadian yang mereka alami, yang membuat mereka bertanya-tanya, mengapa semua peristiwa itu harus terjadi dan harus mereka alami.
Vaded with Confusion biasanya terjadi di masa remaja atau dewasa, karena ia berhubungan dengan rasa ‘patah hati’, yang muncul dari adanya harapan yang hancur karena peristiwa yang mereka alami.
Contoh dari kejadian pemicu munculnya Vaded with Confusion bisa berupa: pengkhianatan oleh orang yang sangat dipercaya, kehilangan orang yang sangat dicintai, merasa diperlakukan tidak adil dan perasaan bersalah karena tidak bisa memenuhi harapan orang lain.
Beberapa faktor pembentuk Vaded with Confusion adalah:
- Semakin tinggi sebuah harapan atau tuntutan, maka semakin besar Vaded with Confusion terbentuk dalam diri ketika harapan itu hancur atau tuntutan itu gagal dipenuhi.
- Semakin sulit klien mengutarakan apa yang dirasakannya atas apa yang dirasa tidak berjalan sesuai harapannya itu, semakin besar juga Vaded with Confusion
Berbeda dengan Vaded with Rejection yang muncul dari perasaan ditolak ketika masa kanak-kanak, perasaan ditolak yang dialami seseorang di masa dewasa bisa berkontribusi membentuk Vaded with Confusion.
Vaded with Rejection terbentuk di usia dimana anak-anak masih ‘rapuh’ secara psikologis, sehingga ketika mengalami penolakan ia menyangka dirinya adalah keberadaan yang tidak berharga, sampai-sampai ia harus diperlakukan seperti itu. Vaded with Confusion adalah Resource State yang sudah beranjak cukup besar dan sudah mulai memiliki cara pandang tersendiri atas konsep dirinya, ketika mengalami kekecewaan atas ulah seseorang ia justru mempertanyakan mengapa orang itu bisa memperlakukannya seperti itu.
Ketika anak-anak salah melakukan sesuatu dan dimarahi, mereka berpikir dirinya bodoh dan tidak becus, rasa tidak berharga ini kemudian membentuk Vaded with Rejection. Namun ketika anak remaja dan dewasa melakukan kesalahan dan dimarahi, mereka tidak serta-merta merasa dirinya tidak becus, ada ego yang lebih kuat dalam diri mereka yang tidak terima diperlakukan seperti itu, kekecewaan atas perlakuan orang lain itulah yang membentuk Vaded with Confusion.
Anak-anak sering kali merasakan penolakan terlebih dahulu, baru kemudian menyimpulkan bahwa penolakan itu muncul karena mereka tidak bisa memenuhi harapan orang lain, muncullan rasa tidak berharga. Pada diri remaja dan dewasa, mereka merasakan dulu mereka tidak bisa memenuhi harapan orang lain, baru setelahnya mereka merasakan beban emosi tertentu, beban emosi ini seringkali ditujukan pada ketidakbecusan diri sendiri, bukan dalam bentuk penolakan, namun dalam bentuk pertanyaan “Mengapa sampai tidak becus menunaikan yang satu itu?” Pertanyaan yang menyiratkan kebingungan (confusion) ini jugalah yang membentuk Vaded with Confusion.
Vaded with Confusion aktif dengan membawa-bawa beban pertanyaan “Mengapa?” Dalam pikirannya ia punya segudang pertanyaan beserta perasaan untuk diungkapkan, ia ingin mendapatkan kejelasan tentang suatu perkara dari pihak yang dianggapnya berhubungan dengan apa yang menjadi masalahnya, namun ia terjebak situasi dimana ia tidak bisa mengungkapkannya, utamanya karena:
- Pihak yang berurusan dengannya, yang menyebabkan munculnya gejolak batinnya sedemikian ‘superior’ sampai ia merasa tidak bisa mengungkapkan yang dirasakan pada pihak itu, bisa karena dirasa tidak pantas, misalnya mereka yang memendam kemarahan pada orangtua atau Tuhan tapi merasa itu tidak pantas, bisa juga karena takut dimarahi atau diperlakukan dengan semakin parah jika hal itu diungkapkan pada pihak yang dirasa menyakitinya.
- Bisa mengungkapkan pada pihak yang berurusan jika bertemu langsung, namun justru tidak bisa bertemu langsung, entah karena pihak itu sudah meninggal atau tidak bisa ditemui.
- Tidak tahu harus mengungkapkan pada siapa, biasa dialami oleh orang yang tidak punya teman berbagi atau bercerita.
- Ada orang untuk bercerita, tapi ia merasa takut atau malu untuk mengungkapkan yang dirasakannya, biasa dialami oleh orang yang merasa yang dialaminya adalah aib dan tidak sepantasnya diketahui oleh orang lain.
- Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, saking sedemikian bergejolaknya emosi yang dirasakannya, biasa dialami oleh mereka yang tidak biasa banyak berkata-kata, kosa-kata yang mereka miliki terbatas untuk bisa menggambarkan atau menceritakan yang mereka rasakan, mereka tahu yang dirasakan namun tidak tahu bagaimana untuk mengisahkannya dalam bentuk kata-kata.
HARAPAN VS REALITA VS EKSPRESI
Kisah kesatu…
Sebut saja namanya Paul, seorang klien yang datang untuk menjalani sesi terapi dengan segudang tanda tanya berkecamuk dalam pikirannya.
Lebih dari 5 tahun sudah Paul menjalin hubungan dengan pacarnya, ia sudah memberikan begitu banyak hal pada pacarnya, bahkan sudah memperkenalkan pacarnya pada orangtuanya, Paul juga sudah melamar dan menetapkan tanggal penikahan bersama pacarnya.
Orangtua Paul tidak serta-merta setuju, mereka melihat ada hal-hal yang mereka rasa tidak baik dalam diri pacarnya ini dan meminta Paul untuk mempertimbangkan ulang keputusannya untuk menikahi pacarnya karena mereka tidak ingin hal-hal yang tidak diinginkan terjadi nantinya.
Paul tidak bergeming, baginya keputusan untuk menikahi pacarnya sudah final, ia terus memberikan argumentasi pada orangtuanya bahwa pacarnya adalah figur wanita yang ideal sebagai istrinya.
Sampai kemudian…satu hari Paul mendapati pacarnya ternyata menjalin hubungan dengan pria lain di belakangnya, bahkan sudah sangat sedemikian jauhnya sampai di luar batas kewajaran.
Hari itu dunia seperti kiamat bagi Paul, ia sudah mengorbankan begitu banyak hal dalam hidupnya untuk menata masa depan bersama pacar yang sangat dicintainya, hanya untuk mendapati semua itu hancur berantakan dalam satu waktu.
Paul tidak kuasa menceritakan masalahnya pada orangtuanya, ia masih ingat betapa orangtuanya berkali-kali melarangnya untuk menjalin hubungan dengan pacarnya, tapi ialah yang terus membantahnya.
Dan sekarang Paul bertanya-tanya: bagaimana mungkin ini semua bisa terjadi? Mengapa ini harus terjadi padanya?
Kisah kedua…
Thomas dan istrinya adalah perlambang suami-istri yang sangat ideal, di usia tuanya mereka tetap dan selalu hidup rukun, Thomas sangat mencintai istrinya, yang sangat memahami apa yang Thomas butuhkan. Bagi Thomas, istrinya adalah segalanya, dunianya dan masa depan yang diharapkannya sebagaimana ia ingin terus hidup bersamanya.
Sampai tibalah waktunya, istrinya dinyatakan mengidap sakit keras yang tidak terobati dan kemudian berpulang meninggalkannya. Thomas sangat terguncang, ia sendiri tidak tahu apa yang harus dikatakannya, ia bisa berkomunikasi dengan temannya, namun ia tidak merasa ada orang yang bisa memahami kehilangannya, orang-orang di sekitarnya memang menunjukkan kepedulian dan menghiburnya, namun ia memendam satu gejolak yang tidak bisa diungkapkannya pada siapa pun karena ia sendiri tidak tahu apa isi gejolak itu dan bagaimana mengungkapkannya.
Thomas hanya bertanya-tanya: mengapa ini harus terjadi, mengapa istri yang sangat disayanginya harus berpulang padahal ia punya banyak rencana untuk menghabiskan banyak waktu di hari tuanya bersamanya?
Kisah ketiga…
Angie adalah anak sulung di keluarganya, ia memiliki tiga orang adik yang ‘dititipkannya’ padanya oleh orangtuanya untuk diasuhnya semenjak kedua orangtuanya meninggal.
Siapa sangka, hubungan Angie dengan adik bungsunya memburuk, terjadi konflik di antara mereka yang membuat adik bungsunya lari dari rumah dan kemudian menjalani hidup dengan tidak karuan, sampai satu hari ia didapati nyaris meninggal karena overdosis obat terlarang, sejak saat itu adiknya Angie harus menjalani rehabilitasi.
Angie yang merasa bersalah ingin menemui adiknya, namun adiknya memutus kontak dengannya dan tidak ingin menemuinya sama sekali. Akhirnya Angie pun sibuk dengan gejolak batinnya sendiri, di satu sisi ia merasa bersalah pada mendiang orangtuanya karena tidak bisa menjaga amanat yang diberikan padanya, di sisi lain ia juga merasa marah dan bersalah pada adiknya yang berakhir dengan kondisi seperti ini, Angie ingin memperbaiki situasi namun malah harus ‘berkorban perasaan’ dengan mendapati adiknya justru menutup diri darinya.
Angie pun bertanya-tanya: apa yang harus ia lakukan? Bagaimana ia akan menjelaskan ini pada kedua orangtuanya seandainya mereka masih hidup?
Apa persamaan dari ketiga situasi di atas? Anda tentu sudah bisa menebaknya: tingginya sebuah harapan dan tuntutan yang kemudian hancur dan ada keterbatasan dalam diri untuk memahami yang terjadi, ada gejolak kebingungan mengapa semua ini harus terjadi tapi tidak tahu harus mengungkapkannya pada siapa dan bagaimana.
KESEDIHAN DAN BEBAN EMOSI
Meskipun nampak serupa – sama-sama membentuk Vaded with Confusion – terdapat perbedaan esensial dalam RT di antara ketiga situasi di atas.
Kasus yang dialami Thomas berhubungan dengan fenomena ‘kehilangan’ (loss) dan ‘kesedihan’ (grief), dimana seseorang kehilangan sosok yang dicintainya dan mengekspresikan pemikiran “Orang yang aku cintai tidak ada lagi bersamaku.”
Perlu kita pahami, meskipun termanifestasikan sebagai emosi yang terlihat menghambat seseorang untuk bisa menikmati kehidupannya, kesedihan karena kehilangan menyimpan ekspresi cinta di balik semua itu dan bahkan merupakan suatu hal yang manusiawi untuk dialami seseorang, hal ini menandakan bahwa rasa cintanya pada ia yang telah pergi meninggalkannya sedemikian besarnya.
Klien yang datang dengan kesedihan sering kali memerlukan edukasi tentang ekspresinya. Banyak orang yang menganggap kesedihan adalah hal yang tidak sewajarnya, padahal sedih adalah sebuah emosi yang sangat manusiawi, menangis karena kehilangan orang yang disayangi adalah hal yang wajar, yang kita perlukan adalah mengekspresikannya secara sehat.
Dikatakan diekspresikan ‘secara sehat’ yaitu ketika cara mengekspresikan rasa kesedihan itu tidak membuat seseorang melakukan hal-hal yang bisa berpotensi membahayakan keselamatannya atau pun orang lain di sekitarnya.
Sementara itu kasus yang dialami Paul berhubungan dengan beban emosi (heavy emotion) yang terasosiasi dengan pemikiran “Seseorang telah melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya padaku.”
Berbeda lagi dengan yang dialami Angie, dimana dalam kasus yang dialaminya terdapat beban emosi yang terasosiasi dengan pemikiran “Aku telah melakukan hal yang tidak sepantasnya pada seseorang.”
Yang dimaksud beban emosi disini mengacu kepada rasa bingung, marah, penyesalan dan menyalahkan. Berbeda dengan kesedihan yang terasosiasi dengan rasa cinta, beban emosi terasosiasi dengan perasaan ‘tidak bisa terima’ atas sesuatu yang dianggap tidak pantas.
Dampak dari kesedihan dan beban emosi berbeda, kesedihan adalah sesuatu yang wajar untuk dialami dan manusiawi, beban emosi yang terasosiasi dengan kesedihanlah yang kelak membuatnya bermuatan destruktif karenanya.
Wajar dan manusiawi juga adanya ketika fase-fase awal kesedihan masih diiringi beban emosi, hal ini karena proses penerimaan untuk bisa mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai akan bercampur dengan banyaknya pemikiran tentang hal yang belum sempat dilakukan bersama mereka atau pada mereka, namun ketika hal ini terjadi berkepanjangan maka muncullah mode patologi Vaded with Confusion.
Yang RTC fasilitasi pada kasus kesedihan adalah membantu klien untuk bisa melepaskan beban emosi yang terhubung dengan kesedihan ini, yang membuat mereka tidak bisa mengambil hikmah dari kesedihannya.
Melepaskan beban emosi negatif yang melekat pada kesedihan tidak sama dengan melepaskan rasa cinta yang melekat bersama kesedihan itu, dengan melepaskan beban emosi negatif yang melekat pada kesedihan itulah seseorang bisa lebih terhubung dengan rasa cinta yang terkandung di dalam kesedihan itu untuk kemudian belajar darinya.
Begitu juga dalam kasus Thomas, perasaan kehilangan istrinya akan membuat Resource State yang selama ini menyimpan kenangan manis bersamanya sedih dan hal ini manusiawi, justru ketika kehilangan orang yang dicintai tidak dibarengi dengan kesedihan hal ini menjadi tanda tanya atas kualitas cinta yang terjalin bersama mereka.
Namun demikian Resource State yang mengalami kesedihan dalam kasus Thomas ini juga akan bergelut dengan berbagai rasa marah dan bersalah, marah pada Tuhan karena mengambil sosok yang dicintainya, rasa bersalah karena tidak sempat membahagiakan istrinya lebih banyak sebelum ia berpulang, akumulasi marah dan bersalah yang menjadi beban emosi inilah yang menghasilkan Vaded with Confusion.
Selama Vaded with Confusion ini belum kembali normal, akan sulit bagi Thomas untuk bisa terhubung dengan ekspresi cinta sejati yang sebenarnya disiratkan kesedihan itu dan mengambil hikmah darinya.
Lain lagi dengan yang dialami oleh Paul dan Angie, yang mereka alami adalah beban emosi karena orang lain melakukan hal yang mereka rasa tidak sepantasnya dilakukan pada mereka, ada muatan marah dan menyalahkan yang besar dalam beban emosi ini, dari muatan beban emosi ini saja kita sudah bisa mengetahui bahwa Vaded with Confusion pasti terbentuk dan membebani stamina psikis mereka, selama Vaded with Confusion ini belum kembali normal maka emosi negatif yang melekat dengannya akan terus membebani mereka, jika situasi ini dibiarkan lebih lama berlarut-larut, maka bisa terbentuklah Vaded with Disappointment.
Vaded with Confusion memendam beban emosi negatif yang karena tidak bisa diekspresikannyalah maka beban emosi negatif itu membebani Conscious State klien, menjadikan klien bergulat dengan pemikiran dan perasaan yang berkecamuk, bergejolak tanpa berkesudahan.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.