Gaya Belajar & Pengaruhnya Dalam Belajar
Satu kasus yang boleh dikatakan cukup sering menjadi topik bahasan dari para calon klien adalah keluhan pada prestasi akademis anaknya, yang masih berstatus pelajar atau mahasiswa.
Hipnoterapi memang menjadi satu pendekatan yang bisa digunakan untuk mengatasi permasalahan belajar pada anak, namun demikian bukan berarti ketika seseorang mengalami permasalahan belajar maka hipnoterapi pasti menjadi satu-satunya cara yang digunakan untuk mengatasinya.
Prinsip penting dalam dunia konseling dan psikoterapi yaitu bahwa apa yang nampak di permukaan tidaklah mewakili isi dari permasalahan yang sebenarnya. Begitu juga dengan masalah dalam belajar, apa yang nampak sebagai permasalahan akademis bisa jadi sebenarnya menyimpan sesuatu yang lebih dalam di baliknya.
BEBERAPA LATAR PERMASALAHAN BELAJAR
Dari temuan saya dalam berpraktik, saya menemukan permasalahan akademis pada anak – atau bahkan permasalahan dalam belajar bagi orang dewasa sekali pun – kerap kali disebabkan oleh 4 faktor, dimana keempat faktor itu akan berhubungan dengan kebocoran energi psikis dalam diri seseorang yang menyebabkan seseorang kesulitan berkonsentrasi atau mengerahkan energinya secara optimal dalam belajar.
Faktor pertama, yang dipelajari bukanlah bidang yang disukai, ada keterpaksaan dalam mempelajari hal tersebut.
Yang satu ini cukup jelas kiranya, terjadi kebocoran energi psikis dalam belajar karena memang ada rasa keterpaksaan dalam belajar, yang menjadikan munculnya rasa tidak nyaman dan kesulitan berkonsentrasi ketika mempelajari yang dipelajari itu.
Faktor kedua, adanya asosiasi negatif atas bidang yang dipelajari, dimana yang satu ini bisa saja ikut melekat pada faktor pertama tadi, bisa juga tidak.
Inti dari faktor yang satu ini bermuara pada adanya pengalaman tidak menyenangkan ketika mempelajari hal yang dipelajari, yang menjadikan munculnya trauma yang melekat pada hal tersebut.
Setiap kali akan mempelajari hal tersebut maka trauma lama yang melekat pada pengalaman traumatis itu ikut teraktivasi dan menyebabkan energi psikis bocor , jangankan berkonsentrasi belajar, bahkan untuk bisa merasa stabil secara emosional saja sulit.
Faktor ketiga, strategi belajar yang tidak tepat yang berhubungan dengan stamina fisik.
Yang satu ini cukup banyak berhubungan dengan pengelolaan waktu dan energi dalam belajar, misalnya kesulitan berkonsentrasi dalam belajar karena sudah terlalu lelah beraktivitas sebelumnya, bisa juga kesulitan belajar karena belajar terlalu larut dimana tubuh sudah seharusnya beristirahat.
Faktor keempat, gaya belajar yang tidak sesuai.
Setiap orang memiliki gaya belajar dan keunikan pribadi dalam belajar, dimana hal ini berhubungan dengan cara seseorang memproses informasi dan pengalaman.
Belajar adalah aktivitas memproses informasi dan pengalaman, untuk kemudian diolah menjadi kesadaran, pengetahuan atau keahlian. Jika informasi atau pengalaman ini diproses dengan cara yang tidak sesuai dengan preferensi alami seseorang dalam belajar maka akan terjadi gap atau celah, dimana celah ini kelak menjadikan seseorang terhambat untuk bisa belajar dengan efektif.
Uraian mengenai hambatan belajar yang bersumber dari gaya belajar inilah yang akan kita ulas di artikel kali ini.
GAYA MEMPROSES INFORMASI DALAM NLP
Dasar pemahaman bahwa setiap orang memiliki preferensinya masing-masing untuk memproses komunikasi bukan hal baru dalam keilmuan Neuro-Linguistic Programming (NLP).
Mempelajari NLP pertama-tama akan mengajak kita untuk menyadari bahwa respon atau perilaku manusia atas stimulus di luar dirinya bermula dari database yang ada dalam dirinya, yang menjadi acuan untuk menimbang dan memutuskan dengan cara apa stimulus di luar diri akan direspon, dimana database ini dalam NLP disebut sebagai world model.
World model terbentuk dari pengalaman tumbuh kembang seseorang, yaitu dari yang seseorang lihat (visual), dengar (auditory) dan rasakan (kinesthetic) di luar dirinya.
Meski kita semua memiliki world model yang terbentuk dari pengalaman indrawi (neuro) tersebut, namun preferensi sistem indrawi itu menyerap informasi akan berbeda-beda dalam diri setiap orang, yang menjadikan kita memiliki keunikan masing-masing dalam menyerap dan memproses informasi di luar diri kita.
Ada orang-orang yang lebih suka menyerap dan memproses informasi melalui jalur visual, sehingga mereka memerlukan diagram, atau presentasi, atau model visual apa pun untuk mereka lihat. Mereka memiliki daya imajinasi yang memudahkan mereka membayangkan berbagai hal dalam pikiran mereka dan kesulitan menyerap informasi tanpa adanya representasi visual apa pun untuk mereka lihat.
Namun ada juga orang-orang yang lebih suka menyerap dan memproses informasi dengan mendengarkan, atau melalui jalur auditory. Mereka memiliki pemikiran argumentatif yang mampu menarasikan berbagai hal secara terstruktur dalam bentuk kata-kata. Orang-orang ini perlu informasi yang bisa mereka dengar dan pahami dengan jelas, mereka cenderung mengakses kembali informasi lama dalam dirinya dalam bentuk suara-suara pemikiran dalam hati (self dialogue).
Ada lagi orang-orang yang lebih suka menyerap dan memproses informasi dengan melakukan langsung, yang identik disebut sebagai jalur kinesthetic. Orang-orang ini perlu terlibat langsung dengan informasi yang sedang diprosesnya untuk bisa mendapatkan pengalaman terbaik dalam menyerapnya.
PREFERENSI GAYA BELAJAR & PENGARUHNYA
Berdasarkan ketiga preferensi sebelumnya, bisa kita dapati bahwa terdapat tiga preferensi pemrosesan informasi, yaitu melalui jalur visual, auditory dan kinesthetic, maka demikian juga preferensi gaya belajar dalam NLP bisa kita petakan ke dalam tiga preferensi tersebut.
Ketika seseorang belajar sesuai dengan preferensinya maka terciptalah efektivitas dalam belajar, tapi ketika seseorang tidak belajar sesuai preferensinya maka terjadilah hambatan yang menjadikan informasi dan pengalaman yang sedang diproses itu tidak bisa diserap dengan baik.
Mereka yang memiliki preferensi visual dalam belajar cenderung memerlukan stimulus yang melibatkan unsur visual dalam belajar, seperti diagram, presentasi, film, video, dan gambar, mereka memerlukan contoh/demonstrasi langsung untuk mereka lihat, mereka juga lebih mudah mengakses informasi dengan membayangkan atau memunculkan gambaran-gambaran dalam benak mereka.
Ketika para pembelajar dengan preferensi visual ini tidak mendapatkan stimulus yang mereka perlukan, seperti tidak ada representasi visual dan tidak ada demonstrasi, maka mereka kesulitan menciptakan gambaran atas hal yang mereka pelajari dalam benak mereka, yang menjadikan mereka tidak memiliki basis data informasi yang memadai untuk mereka gunakan nantinya, baik untuk mengulang yang mereka pelajari, atau mempraktikkannya.
Mereka yang memiliki preferensi auditory dalam belajar cenderung memerlukan stimulus yang melibatkan berbagai aspek auditory, seperti suara lingkungan yang kondusif, suara penjelasan dengan pengucapan yang terdengar jelas, dan juga struktur penyampaian yang bersifat sistematis strukturnya, mereka memerlukan semua itu karena nantinya dalam mengingat ulang yang mereka pelajari mereka perlu mengakses rekaman suara internal atas yang mereka sudah pelajari, dengan urutan dan struktur yang sesuai dengan yang mereka pelajari.
Ketika para pembelajar dengan preferensi auditory ini tidak mendapatkan stimulus yang tepat, seperti suasana yang bising ketika belajar, penjelasan yang acak-acakan strukturnya dan dengan suara yang tidak jelas maka efektivitas belajar mereka berkurang dan mereka terlihat seperti tidak fokus dalam belajar, padahal itu karena mereka frustrasi dalam memproses informasi yang tidak sesuai preferensi mereka.
Mereka yang memiliki preferensi kinesthetic dalam belajar cenderung memerlukan stimulus yang melibatkan aktivitas langsung, mereka memerlukan aktivitas praktik dimana mereka terlibat dan melakukan yang diajarkan, mereka juga menyukai interaksi sosial yang baik dengan sesama pembelajar atau bahkan dengan pengajar, mereka cenderung tidak suka berdiam tanpa melakukan gerakan atau aktivitas yang melibatkan gerakan fisik, karena dengan rekaman otot itulah mereka bisa mengakses dan mengingat kembali yang sudah dipelajarinya, termasuk untuk mempraktikkannya ulang.
Bisa kita dapati bahwa ketika seorang anak belajar dengan stimulus atau situasi yang tidak sesuai dengan preferensinya, maka ia akan cenderung mudah frustrasi karena kesulitannya memproses informasi yang sedang diserapnya, hal ini bisa membuatnya merasa tidak senang pada hal yang dipelajarinya, atau dalam skala yang lebih ekstrim membuatnya merasa trauma atas hal tersebut.
Disinilah penting bagi kita untuk mengetahui preferensi belajar seseorang, untuk bisa lebih mudah memfasilitasinya pengalaman belajar yang sesuai dengan preferensinya, untuk memudahkan pemrosesan informasi baginya.
Karena dalam setiap kelasnya (bagi para pengajar/pendidik formal) selalu terdapat banyak jenis pembelajar dengan preferensi belajar yang berbeda, maka penting juga bagi para pendidik untuk bisa menyediakan stimulus dan pengalaman belajar yang lengkap untuk bisa mengakomodir kebutuhan belajar setiap peserta didiknya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang NLP Coaching? Memerlukan layanan NLP Coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari NLP Coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.