Kunci “Bridging” Efektif Dalam Resource Therapy
Daftar Isi
Beberapa waktu berlalu semenjak sesi pelatihan tatap muka Resource Therapy (RT) Clinical Qualification yang diadakan di Bandung minggu kemarin.
Setelah melalui berminggu-minggu perjumpaan pembelajaran secara online, akhirnya tiba juga waktunya para peserta mengikuti fase pembelajaran tatap muka dari program ini.
Perjumpaan tatap muka ini menjadi fase “puncak” dari pembelajaran RT Clinical Qualification.
Sesuai dengan standar resmi dari Resource Therapy International (RTI), setiap pembelajaran RT Clinical Qualification harus dilaksanakan dengan memenuhi kurikulum standar yang ditetapkan, dimana durasi total dari standar ini setara dengan 10 hari pertemuan tatap muka.
Mengingat agak sulit untuk langsung menjalani 10 hari pertemuan tatap muka begitu saja, maka dari keseluruhan durasi yang ada, 5 hari pertemuan awal pun dipecah menjadi 5 minggu pertemuan dalam bentuk daring (online).
Saya pribadi mendapati format ini terbukti efektif karena peserta mendapatkan kesempatan mengendapkan yang dipelajarinya secara memadai sebelum memasuki sesi pembelajaran yang sarat dengan praktik di pertemuan tatap muka sisanya.
Banyak kesan didapat dari sesi pembelajaran tatap muka kemarin, salah satunya yaitu disorotinya secara khusus satu tema yang memang tergolong menantang untuk dilakukan dalam proses RT, yaitu RT Action 3 – Bridging.
RT Action 3 – Bridging adalah teknik yang sangat penting, ia menjadi teknik yang memungkinkan kita mengetahui latar peristiwa di masa lalu yang menjadikan seseorang mengalami gejala masalah spesifik di masa kini.
Namun teknik ini juga yang justru menjadi “tantangan” tersendiri bagi sebagian kalangan dalam mempraktikkannya, beberapa pembelajar masih salah kaprah mengartikan Bridging adalah serupa dengan teknik Affect Bridge dalam hipnoterapi, padahal keduanya mengandung esensi yang berbeda.
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan hal-hal yang menjadikan teknik Bridging efektif.
KEMUDAHAN DARI RT ACTION
Bagi yang belum familiar mungkin akan keheranan mendapati istilah “RT Action…” yang diikuti dengan adanya angka pada kalimat di atas, yaitu “RT Action 3” (masih ada lagi RT Action 1, RT Action 2, RT Action 4, dan seterusnya, sampai RT Action 15).
RT Action mengacu pada tindakan spesifik yang dilakukan untuk mengembalikan Resource State yang mengalami kondisi patologi ke kondisi normalnya.
Sebagai catatan, tulisan lebih mendetail mengenai RT Action ini pernah saya ulas di artikel tersendiri yang berjudul “Resource Therapy Actions”, silakan menemukan ulasannya di artikel itu dengan klik di sini untuk lebih memahaminya secara lebih spesifik.
Bagi saya, yang menjadikan RT praktis adalah tiga hal yang Dr. Emmerson (penemu RT) lakukan, yaitu:
Pertama, Dr. Emmerson memetakan berbagai jenis gejala permasalahan yang klien alami ke dalam delapan jenis diagnosis spesifik, dimana hal ini menjadi acuan dasar bagi para Resource Therapist untuk bisa langsung mengenali kondisi patologi yang dialami Resource State yang berperan di balik gejala permasalahan yang dialaminya. Artinya, apa pun masalah yang klien alami, seorang Resource Therapist bisa langsung memetakan jenis permasalahan itu ke dalam acuan diagnosis yang ditetapkan.
Kedua, setiap diagnosis dari Resource State Pathology akan menjelaskan desain penanganan spesifik yang diperlukan untuk mengembalikan Resource State ke kondisi normalnya. Yang Resource Therapist lakukan hanyalah menerapkan desain penanganan itu sesuai dengan kriteria diagnosis atas permasalahan klien.
Ketiga, jenis-jenis desain/tindakan penanganan dalam RT sudah dipetakan oleh Dr. Emmerson menjadi hanya 12 jenis tindakan pokok dan 3 tindakan tambahan saja (total 15 tindakan/actions), dimana setiap tindakan ini memiliki fungsi spesifiknya masing-masing.
Dari 8 kriteria diagnosis atas kondisi patologi yang dialami Resource State, setiap kondisi akan mensyaratkan kebutuhan RT Actions yang berbeda. Ada kondisi yang mungkin hanya mensyaratkan 4 jenis actions saja (contohnya untuk kriteria diagnosis Dissonant State dan Conclicted State), namun ada juga yang bisa menysaratkan sampai 9 dan 10 actions (contohnya pada Vaded with Rejection dan Retro Avoiding State).
Yang menjadikan RT Actions praktis adalah karena setiap desain penanganan apa pun yang dipersyaratkan oleh kriteria diagnosis maka tindakan itu sudah diakomodir oleh 15 RT Actions yang ada, Resource Therapist tidak perlu lagi “mencari-cari teknik apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan klien”, karena semua kebutuhan teknik itu sudah diakomodir oleh RT Actions.
PENTINGNYA RT ACTION 3 – BRIDGING
Dari semua RT Actions yang ada, satu RT Action yang boleh dikatakan memberikan tantangan tersendiri adalah RT Action 3 – Bridging (berikutnya akan ditulis sebagai “Bridging” saja).
Bridging adalah jenis tindakan yang dikhususkan untuk penanganan Vaded with Fear dan Vaded with Rejection, dimana teknik ini dimaksudkan untuk mengungkap latar peristiwa yang membuat sebuah Resource State memasuki kondisi Vaded dan di kemudian hari melatari munculnya gejala permasalahan spesifik dalam diri seseorang ketika Vaded State tersebut aktif di Conscious State.
Sebuah Resource State bisa menjadi/memasuki kondisi Vaded State bukan tanpa sebab, melainkan karena adanya peristiwa spesifik yang menyebabkannya memasuki kondisi tersebut, disinilah Bridging menjadi sebuah teknik yang dimaksudkan untuk mengungkap peristiwa itu.
Khusus untuk kondisi Vaded with Fear dan Vaded with Rejection, kedua Resource State ini terbentuk dan memasuki kondisi Vaded di usia/masa kecil, maka itu tindakan penanganan yang diperlukan untuk menormalkan kembali kondisi mereka adalah tindakan penanganan yang mensyaratkan Resource Therapist untuk mengungkap di usia berapa Resource State menjadi Vaded beserta latar peristiwa yang menyebabkan mereka menjadi Vaded, mengungkap kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi di peristiwa itu, disusul dengan menerapkan serangkaian RT Actions lanjutan untuk memenuhi kebutuhan emosi yang tidak terpenuhi di peristiwa itu, sampai Vaded State kemudian bisa kembali ke kondisi normal-idealnya.
Artinya, tanpa Bridging yang tepat, Resource Therapist tidak bisa mengetahui usia dari Resource State yang sedang ditangani dan tidak mengetahui peristiwa spesifik apa yang menyebabkan Resource State itu menjadi Vaded, maka desain penanganan lanjutan yang diperlukan pun menjadi bias karena bisa jadi tindakan penanganan itu tidak sesuai dengan kebutuhan Resource State itu (lain usia dimana Resource State menjadi Vaded, lain juga kebutuhan emosi yang diperlukan untuk menormalkan kembali Resource State itu, lain juga cara komunikasi yang sebaiknya dilakukan Resource Therapist dengan Resource State tersebut).
Di sisi lain, Bridging menjadi teknik yang justru – dari pembicaraan saya bersama para alumni – dikatakan “menantang”, karena prosesnya melibatkan kecermatan dan kecakapan yang tinggi.
KECAKAPAN DAN KECERMATAN DI BALIK BRIDGING (BRIDGING VS AFFECT BRIDGE)
Bridging dilakukan dengan terlebih dahulu mengakses keberadaan Vaded State (melalui RT Action 2 – Vivify Specific) lalu mengajak Vaded State untuk “masuk semakin dalam” sampai kemudian Resource Therapist mengetahui usia dari Vaded State dan apa latar peristiwa yang menyebabkannya terbentuk menjadi Vaded, dimana peristiwa permulaan ini dikenal sebagai Initial Sensitizing Event (ISE).
Satu hal yang sering kali menjadi kesalahan umum dalam proses Bridging – terutama sering kali dilakukan oleh mereka yang sudah mempelajari hipnoterapi sebelumnya – adalah menyamakan prosesnya dengan Affect Bridge.
Affect Bridge sendiri adalah teknik dalam hipnoterapi yang dimaksudkan untuk “membawa seseorang ke masa lalu” menggunakan media perasaan/emosi (affect), dimana Hipnoterapis memandu klien untuk merasakan emosi tertentu dalam dirinya secara mendalam, lalu mengintensifkannya dan menggunakan perasaan itu sebagai jembatan (bridge) untuk membawa klien ke masa lalu, ke peristiwa dimana emosi itu dirasakan untuk pertama kalinya dalam hidupnya (ISE).
Dalam kenyataannya, sebenarnya Affect Bridge tidak dimaksudkan untuk “membawa seseorang ke masa lalu”, melainkan mengakses memori masa lalu seseorang dengan mengajaknya “mengalami kembali memori itu”, seolah peristiwa itu sedang terjadi kembali di masa kini.
Namun disinilah terdapat perbedaan cara pandang yang esensial di antara Bridging dan Affect Bridge, yang ketika tidak diketahui maka menjadikan proses Bridging yang Resource Therapist lakukan salah atau tidak bekerja ideal adanya.
Dalam Affect Bridge, Hipnoterapis pada umumnya mengarahkan klien untuk fokus ke emosi yang dirasakannya, lalu meningkatkannya secara intens, kemudian memberikan sugesti yang bernada “mundur ke masa lalu”, misalnya “Sebentar lagi saya akan menghitung mundur dari lima ke satu… rasakan setiap hitungannya membawa Anda ‘mundur ke masa lalu’…pada hitungan kesatu Anda akan kembali berada di masa…di sebuah peristiwa…dimana perasaan ini dirasakan untuk pertama kalinya dalam hidup Anda”.
Adanya instruksi untuk “mundur ke masa lalu” menandakan bahwa klien sedang berada di masa kini, dimana hal inilah yang dipandang secara berbeda dalam RT.
Sekedar catatan, hal ini tidak menjadikan Affect Bridge salah adanya, karena memang cara pandang atas Affect Bridge berbeda dengan Bridging.
Dalam hipnoterapi, teknik berbasis Affect Bridge memandang klien sebagai sebuah “keberadaan yang berada di masa kini”, dimana Hipnoterapis sedang berbicara dengan sosok klien di masa kini, maka Affect Bridge diterapkan untuk membawa klien mundur ke masa lalu, ke peristiwa spesifik yang terhubung dengan perasaan spesifik yang dituju.
Sementara itu, RT mengusung cara pandang yang berbeda, dimana perbedaan ini saya biasa jelaskan dalam tiga poin penting.
Pertama, cara pandang dalam RT adalah bahwa dalam setiap kondisi kesadaran yang seseorang alami, terdapat keberadaan Resource State yang aktif di Conscious State dan menampilkan kondisi tersebut. Pemikiran, perasaan dan kepribadian yang melekat pada Resource State itu, maka itulah yang ditampilkan oleh orang tersebut.
Kedua, setiap Resource State memiliki “rekam jejak pembentukan” spesifik, ada usia-usia spesifik yang dialami seseorang dimana Resource State terbentuk, dimana usia seseorang ketika Resource State itu terbentuk mewakili usia dari Resource State tersebut.
Dalam perkembangannya, ada Resource State yang usianya terus bertumbuh mengikuti usia biologis seseorang, dan ada juga Resource State yang ketika ia terbentuk di usia tertentu maka ia tetap berdiam di usia tersebut, biasanya hal ini dialami oleh Resource State yang membawa muatan emosional.
Ketika Resource State aktif di Conscious State maka Resource State aktif sesuai dengan usianya, begitu juga ketika Resource State tertentu terbentuk di usia tertentu dan berdiam di usia tersebut, ketika Resource State itu aktif maka ia aktif di usianya.
Misalnya Resource State yang terbentuk dengan membawa emosi takut (Vaded with Fear) di usia 5 tahun, ketika ia aktif kembali di Conscius State, sebut saja di usia dewasa, maka Resource State itu aktif dengan segala reaksinya sebagaimana anak berusia 5 tahun, namun dalam diri orang dewasa, yang menjadikan munculnya reaksi yang irasional dan “tidak dewasa”.
Ketiga, ketika Resource Therapist berkomunikasi dengan klien maka kita sedang berkomunikasi dengan Resource State spesifik dalam dirinya yang sedang aktif di Conscious State, sesuai usia terbentuknya Resource State tersebut.
Maka itulah, esensi dari Bridging bukanlah “membawa klien ke masa lalu/ke usia klien di masa lalu”, karena kita pada dasarnya sudah berkomunikasi dengan Resource State di usia dimana ia terbentuk di masa lalu (ia sudah muncul di usia dimana ia terbentuk), yang kita lakukan adalah “mengajak Resource State menyadari usianya dan menyadari latar peristiwa yang menyebabkannya terbentuk” (ISE).
MENJADIKAN TEKNIK BRIDGING EFEKTIF
Waktunya kita membahas bagaimana menjadikan teknik Bridging efektif.
Terdapat tiga hal yang menjadikan Bridging efektif.
Pertama, yaitu paradigma yang tepat, sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya.
Setiap modalitas terapi mensyaratkan paradigma tersendiri. Disinilah paradigma yang salah – yaitu “mengajak klien mundur ke masa lalu” – sebagaimana dilakukan di Affect Bridge akan menjadikan Resource Therapist salah dalam memperlakukan klien dan salah dalam mengidentifikasi ISE.
Dalam perspektif RT, instruksi “mengajak klien kembali ke masa lalu…ke peristiwa awal” justru berpotensi mengaktifkan Intelectual State dari Surface State yang malah bisa aktif dan berusaha untuk mengingat peristiwa sebagaimana yang diinstruksikan, maka itulah saya katakan bahwa Bridging bukanlah Affect Bridge, karena perspektif yang digunakan di kedua teknik itu berbeda adanya.
Kedua, aktifnya Resource State secara penuh di Conscious State.
Untuk bisa melakukan Bridging dengan baik, kita memerlukan konsolidasi sinaptik yang kuat, yang menjadikan jalinan memori yang terbentuk di antara akson dan dendrit teraktivasi dengan baik, hal ini hanya bisa dilakukan jika Resource State aktif secara penuh di Conscious State.
Secara fisiologis, keberadaan Resource State mewakili keberadaan dari jalinan sinaps yang terbentuk dari akson dan dendrit, semakin kuat jalinan sinaps ini teraktivasi maka semakin kuat juga keaktifan dari Resource State di Conscious State.
Bridging yang dilakukan bukan dalam kondisi Resource State aktif penuh di Concsious State hanya akan menjadikan jalinan memori yang mengaktivasi Resource State tidak penuh adanya, dimana hal ini memungkinkan masuknya intervensi dari Resource State lain yang aktif di Surface State dan “mengacaukan” prosesnya.
Dalam RT Actions, proses mengaktifkan Resource State secara penuh ini dilakukan di RT Action 2 – Vivify Specific.
Ketiga, langkah-langkah pendalaman (Deepening) yang berkualitas.
Dalam Bridging, Resource Therapist mengakses emosi dan sensasi yang menyertai keaktifan Resource State, di tahap ini Resource Therapist harus cakap melakukan pendalaman (Deepening) yang bisa membawa Resource State “masuk semakin dalam” dan mengaktifkan jalinan memori yang membentuk keberadaannya.
Dalam pelatihan RT Clinical Qualification yang saya bawakan, saya kerap kali menekankan bahwa kunci efektif Bridging ada pada 4-SI, yaitu (1) Emosi, (2) Sensasi, (3) Persepsi, dan (4) Repetisi. Dengan melibatkan keempat hal itulah Bridging bisa dilakukan dengan efektif dan mengungkapkan detail usia dan latar peristiwa ISE yang membentuk keberadaan Resource State.
Resource Therapist juga harus cermat untuk menangkap ekspresi klien, baik secara verbal atau secara non-verbal dalam proses Bridging agar bisa mengimbangi muatan Deepening yang difasilitasinya. Tanpa kecermatan ini banyak Bridging yang berpotensi “berakhir tidak pada tempatnya”.
Momen final Bridging ada pada titik dimana Resource Therapist akan mulai mengungkap keberadaan ISE yang membentuk keberadaan Resource State, momen “pengungkapan” ini haruslah dilakukan dengan cermat dan bertahap, dengan tetap melibatkan prinsip Deepening yang sedang dilakukan, lagi-lagi kesalahan dalam memfasilitasi hal ini akan menjadikan proses Bridging berantakan.
Saya sepakat dengan Dr. Emmerson yang menegaskan bahwa “Bridging is an art”, atau “Bridging adalah seni”, karena memang itulah yang saya juga dapati.
Bridging mensyaratkan kita untuk memahami prosesnya secara prosedural, tapi pelaksanaannya haruslah disertai kemampuan humanis (memanusiakan seseorang) yang artistik, diperlukan kemampuan menghayati dialog dan memandu klien secara artistik untuk bisa menciptakan fenomena Bridging yang berkualitas.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.