Life Force Mastery, Kunci Dari Self-Mastery
Daftar Isi
Selesai dengan penyelenggaraan acara “Self-Mastery Restoration” pada hari Sabtu dan Minggu, 24 dan 25 September 2022, beberapa pertanyaan bermunculan dari mereka yang agak terlambat berkesempatan mengetahui perihal penyelenggaraan acara tersebut.
Pertanyaan yang umum ditanyakan adalah, “Apa yang dibahas di acara itu? Bagaimana bisa kali ini acaranya secara spesifik diperuntukkan untuk publik?”
Ungkapan terakhir itu cukup bisa dimaklumi, mengingat sebelum-sebelumnya lebih banyak agenda pembelajaran saya diperuntukkan bagi para praktisi, atau pun mereka yang berkeinginan menjadi praktisi di dunia coaching, konseling dan/atau terapi.
Jadi, apa yang dibahas di acara itu? Apa yang melatari sehingga kali ini acara itu diperuntukkan secara spesifik bagi publik?
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskannya, bukan hanya menjelaskan tentang isi acara, atau seperti apa jalannya acara, namun juga mencakup esensi pengetahuan yang dibahas di pembelajaran tersebut.
ALASAN DIADAKANNYA ACARA
Pertama-tama, tentu ada baiknya jika saya memulai pembahasan dari awal alasan diadakannya acara ini.
Sebagaimana sudah dijelaskan di bagian pembuka tadi, sebelumnya lebih banyak program pembelajaran bersama saya ditujukan khusus untuk market praktisi, atau pun mereka yang berkeinginan menjadi praktisi, lantas apa yang menjadikan kali ini program pembelajaran ini bisa secara spesifik diperuntukkan bagi publik?
Catatan: artinya “secara spesifik bagi publik” artinya program ini bisa diikuti oleh siapa pun, bahkan yang tidak memiliki latar belakang tertentu dalam dunia coaching, konseling dan/atau terapi, benar-benar diperuntukkan bagi khalayak umum. Mereka yang sudah berlatarbelakang praktisi sudah tentu akan lebih mudah lagi mengikuti pembelajaran ini.
Bagi saya ada tiga hal yang menjadi alasan kenapa saya mengadakan acara ini.
Pertama, sebagai bentuk kepedulian sosial atas berbagai hal yang terjadi di masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, berkembang pesatnya informasi di era digital ini, ditambah lagi meningkatnya tekanan dalam berkehidupan di jaman modern ini, menjadikan masuknya informasi ke dalam sistem kesadaran kita pun terjadi dengan begitu “liar”.
Dari sekian banyak informasi yang masuk dengan tidak terkendali ini, sudah tentu akan ada dampak psikologis yang ditimbulkannya. Bukankah tidak asing kita amati sekarang-sekarang ini berbagai macam masalah emosi dan perilaku merebak dengan lebih rentan lagi di berbagai lapisan masyarakat, dari mulai anak kecil sampai ke para warga negara lanjut usia?
Saya mendapati hal ini terjadi karena berkembang pesatnya arus informasi ini sedemikian mengajak kita untuk fokus pada “dunia luar” dan melupakan sisi-sisi “dalaman” diri kita sendiri, kita menjadi sedemikian asing dengan diri kita sendiri, dan kehilangan kendali (mastery) atas diri kita sendiri karenanya.
Sekian lama saya hanya mengadakan pelatihan untuk para praktisi, namun saya tidak bisa menutup mata dari fenomena bahwa lapisan masyarakat umum pun memerlukan solusi praktis atas kekosongan jiwanya tersebut, maka itulah kali ini program yang saya adakan mulai mengalami penyesuaian, berbagai materi teknis keilmuan teknologi pikiran saya sederhanakan agar masyarakat kalangan umum pun bisa mengikutinya secara praktis, mereka tidak harus mempelajari ragam keilmuan teknologi pikiran apa pun sebelumnya, hanya perlu mengikuti tuntunan demi tuntunan yang diberikan sepanjang acara berlangsung maka mereka pasti akan mendapatkan resolusi yang menjawab kebutuhan mereka kelak.
Kedua, sebagai bentuk “membuka jalan” bagi mereka yang berpikiran ingin jadi praktisi.
Saya juga mendapati ada begitu banyak orang yang memiliki ketertarikan ingin ikut terjun di bidang “fasilitator perubahan” ini, mereka ingin turut menjadi seorang Coach, Konselor, Terapis atau apa pun itu profesinya, yang secara esensial berhubungan langsung dengan peran memfasilitasi perubahan positif bagi sesama, namun demikian mereka kebingungan untuk memulainya, mereka tidak tahu harus memulai dari mana dan bahkan tidak tahu apakah betul profesi ini cocok untuk mereka.
Meski pelatihan ini bukan diperuntukkan menjadikan pesertanya praktisi, mereka berkesempatan berinteraksi langsung dengan saya dan tim fasilitator acara, diharapkan melalui interaksi ini mereka bisa mengklarifikasi berbagai hal yang ingin diperjelasnya secara langsung bersama kami, bisa langsung mendengarkan suka-duka pengalaman para praktisi langsung dari sumbernya.
Bahkan sebagai alumni, para peserta dipersilakan untuk berinteraksi lebih jauh bersama kami setelah pelatihan, termasuk kalau mereka ingin berkunjung ke kantor praktik kami dan mendapatkan lebih banyak informasi seputar bagaimana menjalankan profesi ini, hal ini yang diharapkan nantinya bisa memperjelas seperti apa profesi ini dijalankan, kalau mereka benar-benar merasakan “panggilan” untuk ikut terjun di profesi ini maka itu karena mereka sudah mendapatkan kejelasan penuh, pun kalau mereka memutuskan untuk “mundur” dan hanya mempelajari hal-hal ini sebagai “hobi”, lagi-lagi karena mereka sudah mendapatkan kejelasan penuh darinya.
Ketiga, sebagai wadah memberikan lingkungan atau komunitas yang saling memberdayakan satu sama lain. Dengan adanya komunitas yang saling membicarakan hal positif, yang kemudian semakin membesar dan meluas, diharapkan secara bertahap cara berkehidupan bermasyarakat pun akan turut membaik karenanya.
KENAPA SELF-MASTERY?
Berikutnya, kenapa “Self-Mastery” menjadi tajuk dari acara ini? Tak lain karena saya melihat hal itulah yang memang dibutuhkan oleh setiap orang yang menjadi klien saya.
Ketika seseorang datang menemui saya dan menjalani sesi bersama saya, pastilah hal itu karena “kendali diri” mereka sedang berada di tahap tidak ideal, maka yang saya lakukan adalah membantu mereka agar bisa mendapatkan kembali kendali idealnya di titik terbaiknya.
Seperti apa bentuk lebih spesifik dari masalah “kendali diri” ini? Sederhana sekali, silakan amati orang-orang yang kesulitan mengendalikan respon emosi dan perilakunya, itulah bentuk sederhana dari permasalahan kendali diri ini.
Orang-orang yang mengalami fobia misalnya, logika sadar mereka tahu bahwa tidak seharusnya mereka bereaksi secara berlebih terhadap objek yang ditakutinya, tapi apa daya, setiap kali objek itu dihadapkan dengan mereka maka reaksi ketakutan yang tidak terkendali langsung tidak terhindarkan mereka alami.
Ingin berani/tenang/bersikap biasa saja, tapi tidak bisa, bukankah jelas ada kendali diri yang hilang dalam hal ini?
Begitu juga berbagai gejala masalah emosi dan perilaku lainnya, seperti mereka yang mengalami permasalahan dengan kecemasan berlebih, di satu sisi mereka tahu bahwa yang mereka alami mengganggu dan betapa mereka ingin bisa tenang dan mengendalikan diri, tanpa harus merasakan kecemasan itu, namun yang terjadi tetap saja mereka tidak bisa mengendalikan dirinya dalam mengendalikan kecemasan itu, sehingga lagi-lagi “kalah” oleh dorongan kecemasan yang tidak bisa mereka kendalikan itu.
Ada juga orang-orang yang tahu bahwa mereka harus memaafkan dan mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, namun sulit sekali untuk bisa melakukannya, mereka tahu harusnya memaafkan orang yang pernah menyakiti mereka, tapi tetap saja sulit untuk bisa melakukannya, mereka “kehilangan kendali untuk bisa memaafkan”.
Begitu juga masalah kebiasaan buruk dan perilaku negatif, orang-orang yang mengalami permasalahan dalam hal ini tahu bahwa tidak seharusnya mereka melakukan perilaku-perilaku yang mengganggu itu, tapi tetap saja mereka tidak punya kendali atas dirinya dan lagi-lagi kalah oleh dorongan yang tidak terkendali dalam dirinya, yang melatari munculnya perilaku negatif tersebut.
Tahu kondisi ideal yang seharusnya, tapi tidak kuasa untuk bisa melakukannya, bukankah hal ini jelas menegaskan hilangnya kendali diri ini?
Sebagai catatan tambahan, jika Anda termasuk yang familiar dengan konsep Law of Attraction (LOA) atau “hukum ketertarikan”, maka life force adalah kunci yang menentukan kualitas dari vibrasi yang kita pancarkan, yang diharapkan memicu reaksi LOA nantinya,
LIFE FORCE SEBAGAI MODAL DASAR MASTERY
Kenapa ada orang yang bisa menjalani kehidupan dengan sehat dan penuh kendali diri, dan kenapa ada sebagian orang lain yang menjalani kehidupan dengan “payah” dan minim kendali diri?
Bagi saya, yang melatari semua itu adalah kualitas life force dalam diri.
Apa yang dimaksud life force ini?
Saya mempersepsikan life force sebagai sebuah “daya kehidupan” atau energi.
Manusia adalah makhluk energi, kita hidup dengan memproses energi (force) dan menggunakan energi itu untuk menjalani aktivitas kita dalam kehidupan (life) sehari-hari.
Namun meski sesama makhluk energi, setiap orang memiliki kapasitas pemrosesan dan penyimpanan energi yang berbeda.
Jumlah dan kualitas dari life force inilah yang menentukan tingkat pengendalian seseorang atas dirinya.
Mereka yang memiliki life force yang berkualitas akan cenderung memiliki kesehatan yang bagus, vitalitas dan kebugaran mereka baik adanya, sistem tubuh mereka fit dan bekerja dengan baik mengikuti berlimpahnya life force dalam diri mereka.
Dengan life force yang berkualitas ini juga mereka jadi lebih bisa mengendalikan dirinya, apa yang mereka niatkan maka dengan life force itu mereka bisa mengarahkan atensi dan energinya mengikuti niat itu untuk memenuhi yang mereka niatkan.
Mereka memiliki kendali diri yang bagus atas emosi dan perilakunya, apa yang mereka sadari baik adanya dan mereka ingin bisa lakukan, maka kendali diri mereka memadai dan mengijinkan mereka untuk bisa melakukannya dengan baik
Tapi tidak demikian dengan mereka yang memiliki life force yang bermasalah, dengan sistem energi yang tidak memadai ini sudah tentu kondisi kesehatan mereka ikut terpengaruh karenanya, mereka cenderung lebih mudah lemah, letih, lesu dan tidak bugar, karena memang jumlah energi dalam diri mereka minim.
Ditambah lagi tingkat pengendalian diri mereka pun akan bermasalah karenanya, reaksi otomatis dari emosi negatif dan dorongan-dorongan “gelap” dalam diri mereka akan lebih mudah mengendalikan diri mereka karenanya, menjadikan munculnya berbagai macam gejala masalah emosi dan perilaku.
Life force menjadi cara pandang saya dalam memfasilitasi perubahan para klien, ketika seorang klien datang dengan “ketidakmampuan” atau masalah tertentu maka saat itu sedang ada kendali diri yang hilang dalam diri mereka, yang dilatari oleh life force yang bermasalah dalam diri mereka, maka yang saya lakukan adalah memfasilitasi agar life force mereka kembali pulih dan mereka kembali mendapatkan kendali dirinya untuk bisa menjalani kehidupan yang berkualitas sesuai harapan mereka.
SABOTASE LIFE FORCE VS PENANGANANNYA
Jika demikian adanya, dari mana life force seseorang bisa berkualitas dan begitu juga kebalikannya, justru bisa bermasalah?
Saya memformulasikan keberadaan life force sebagai sesuatu yang menghidupkan “soul” atau “jiwa”, dalam sudut pandang kesehatan holistik (utuh) kita mengenal konsep sehat “mind, body and soul”, disinilah saya meletakkan life force sebagai fondasi dari soul, sebuah energi atau daya yang menghidupkan soul dan menentukan tingkat kemampuan diri kita dalam berkehidupan.
Life force tidak terbentuk begitu saja, melainkan karena adanya keberadaan dari mind dan body, artinya karena ada unsur yang terjadi pada mind dan body-lah life force terbentuk.
Life force yang sehat terbentuk dari mind dan body yang sehat, kalau begitu apa yang menjadikan mind dan body ini sehat?
Tanpa harus menjelaskannya berpanjang lebar pun Anda tentu sudah bisa menebaknya, yaitu “gaya hidup yang sehat”.
Secara fisik hal ini diwakili oleh kebiasaan fisik yang sehat, seperti pola makan yang sehat, pola gerak yang sehat, pola pernapasan yang sehat, pola istirahat yang sehat dan lingkungan yang sehat.
Secara mental, hal ini diwakili oleh kebiasaan mental yang sehat, yaitu batin yang sehat dan damai, serta kebiasaan berpikir yang sehat.
Ketika kedua aspek mind dan body berada di kualitas terbaiknya, maka sehat juga life force yang terbentuk darinya dan berkualitas juga kemampuan seseorang untuk menjalani kehidupannya.
Maka bisa kita langsung pahami juga hal apa yang menjadikan seseorang memiliki permasalahan dengan life force-nya, dari segi fisik yaitu kebiasaan fisik yang buruk, atau masuknya penyakit dari luar, seperti dari bakteri atau virus, atau bahkan karena terjadinya kecelakaan pada seseorang, dan dari segi mental, yaitu karena adanya trauma, stres dan kebiasaan berpikir yang buruk dalam diri seseorang (negative thinking).
Yes, trauma menjadi satu hal yang menyumbat life force dalam diri seseorang, emosi yang dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai “emotion”, yang secara filosofis diartikan sebagai “energy in a motion”, atau “energi yang bergerak” mensyaratkan energi untuk bergerak dan mengalir dari waktu ke waktu, trauma menjadi satu hal yang menyebabkan energi itu “terkunci” atau “not in a motion”, yang menjadikan regulasi energi dalam diri seseorang pun terganggu karenanya.
Dalam peran profesi saya sebagai Coach dan Hipnoterapis, saya tidak banyak melakukan intervensi pada aspek fisik, karena sudah ada praktisi yang secara formal berwenang untuk itu, yaitu Dokter, maka yang saya lakukan adalah membantu penanganan pada aspek mental dan emosional secara komplementer.
Ketika seorang klien datang dengan gejala permasalahan fisik tertentu dan gejala permasalahan fisik itu ditenggarai terjadi karena psikosomatis (masalah fisik yang bermula dari pikiran), maka saat itu bagi saya sudah jelas terjadi sumbatan pada life force yang menjadikan regulasi energi dalam diri orang itu terganggu.
Begitu juga ketika klien datang dengan keluhan masalah mental-emosional serta perilaku tertentu, mereka mengalami permasalahan dengan regulasi life force-nya, yang menjadikan mereka sulit mengendalikan respon mental-emosional dan perilakunya.
Apa pun itu, yang saya lakukan dalam peran profesi saya sebagai Coach dan Hipnoterapis adalah membantu klien memulihkan life force yang semula bermasalah tadi, melepaskan “sumbatan” life force yang terjadi, mengembalikan life force yang terkunci di masa lalu akibat peristiwa traumatis, agar kembali mengalir di masa kini, seiring dengan pulihnya life force ini maka kendali diri seseorang atas dirinya pun kembali pulih dan ia bisa menata kehidupan yang lebih sesuai dengan harapannya.
LIFE FORCE MASTERY & SELF MASTERY
Proses pemulihan life force yang saya kisahkan tadi, menjadi bagian dari proses yang saya sebut sebagai life force mastery dalam program pembelajaran ini.
Dalam program ini saya menekankan bahwa kunci penting dari pengendalian diri (self-mastery)ada pada pengendalian daya kehidupan dalam diri, semakin kita bisa mengendalikan regulasi daya kehidupan atau life force dalam diri dengan baik, maka semakin tinggi tingkat pengendalian kita atas diri kita, atas kehidupan yang kita jalani.
Life force mastery tidak bisa lepas dari proses pemulihan life force itu sendiri, yang cukup terhubung dengan proses terapi, konseling atau penyembuhan.
Ada banyak teknik yang memang diperuntukkan untuk itu, namun saya pribadi menggunakan teknik kreasi saya, yaitu STRAIGHT Resolution Method (SRM) untuk memfasilitasi prosesnya, teknik itu juga yang dipelajari para peserta dalam program ini.
Maka demikianlah yang berlangsung, selain mempelajari prinsip dari pengendalian diri (self-mastery) melalui pemulihan dan pengendalian daya kehidupan dalam diri (life force mastery), para peserta juga mempelajari teknik praktis SRM sebagai solusi untuk mendapatkan life force mastery dan self-mastery yang menjadi tujuan dari program ini.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang self-mastery? Memerlukan layanan self-mastery untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari self-mastery secara serius dalam program pembelajaran bersama Alguskha Nalendra? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.