Menangkal Kejahatan Yang ‘Diatasnamakan’ Sebagai Hipnotis
Daftar Isi
“Hati-hati modus kejahatan hipnotis,” tulisan itu terpampang jelas di sebuah spanduk di ruang publik ketika saya berkunjung ke salah satu daerah di ibu kota beberapa waktu lalu dalam rangka berbagi di sebuah kelas pelatihan khusus untuk para hipnoterapis.
Jujur saja, saat itu saya tergelak dalam hati.
Betapa tidak, sebagai hipnoterapis, ada kesan miring yang dilekatkan pada keilmuan yang kami praktikkan dalam memfasilitasi perubahan positif dalam diri banyak klien, padahal pemahaman itu tidaklah tepat adanya, bahkan sejak awal saja penulisan kata “hipnosis” sebagai “hipnotis” itu sendiri saja sudah salah adanya dan semakin mencerminkan kurangnya pemahaman dalam diri masyarakat kita atas keberadaan dari hipnosis itu sendiri, baik sebagai sebuah fenomena atau pun sebuah keilmuan.
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan fenomena di balik tindakan kejahatan yang diatasnamakan sebagai hipnosis, agar semakin banyak kalangan yang paham fenomena di balik itu semua.
Mengapa saya menyebutkannya sebagai “tindakan kejahatan yang diatasnamakan sebagai hipnosis” dan bukan sekedar menuliskannya sebagai “kejahatan hipnosis”?
Karena memang dasarnya teknik dari hipnosis sendiri – terutama yang masyarakat awam ketahui sebagai fenomena hipnosis di televisi dimana seorang praktisi hipnosis melakukan aksi yang seolah membuat seseorang tertidur dan tidak sadar – tidak bisa dipakai sebagai alat kejahatan.
Tapi bukankah tetap saja kisah-kisah mengenai orang-orang yang mengaku dihipnotis dan kemudian kehilangan kesadaran sampai kemudian bisa seolah diperintah untuk menyerahkan barang-barang berharganya tetap bisa kita temukan di berbagai media? Jadi, bagaimana kiranya fenomena ini tetap bisa terjadi?
Mari kita mulai membahasnya.
KEJAHATAN YANG DIATASNAMAKAN SEBAGAI HIPNOSIS
Silakan gunakan kata kunci “kejahatan hipnotis” di mesin pencari di internet, sangat mungkin Anda akan menemukan berbagai berita tentang hal ini dengan berbagai versi, detail dan kronologinya masing-masing.
Artikel ini tidak akan menyoroti kisah demi kisah yang dibagikan itu, melainkan fokus pada kesamaan kisah di antara mereka yang menjadi korban dari modus operandi itu, yaitu fenomena dimana mereka seolah hilang kesadaran dan mengikuti yang diperintahkan oleh para pelaku kejahatan itu, bahkan sampai menyerahkan berbagai barang berharga yang mereka miliki, sebelum kemudian mereka tersadarkan dan baru melaporkan yang dialaminya pada apparat berwenang.
Beberapa tindakan kejahatan itu dilaporkan terjadi melalui pertemuan langsung, dimana pelaku kejahatan konon menghipnotis korbannya sebelum kemudian menguras hartanya, tapi ada juga versi kisah yang lebih ekstrim dimana tindakan kejahatan itu konon dilakukan melalui telepon, dimana pelaku kejahatan menghipnotis korbannya melalui telepon dan korban diperintahkan untuk mentransfer sejumlah uang, sebelum kemudian menyadari bahwa ia baru saja jadi korban kejahatan di kemudian waktu.
Perhatikan kembali berbagai fenomena itu, ada dua hal yang mendasar yang sama di antara semua itu: (1) korban kehilangan kesadaran, dan (2) korban melakukan yang diperintahkan oleh pelaku.
Tidak heran kalau tindakan kejahatan itu dianggap sebagai tindakan kejahatan menggunakan hipnosis bukan?
Kenapa saya menggunakan kata “dianggap” di kalimat sebelumnya tadi? Karena memang bukan demikian yang sebenarnya, atau paling tidak: bukan begitu cara memahaminya.
HIPNOSIS SEBAGAI ALAT KEJAHATAN?
Jadi pertanyaannya, apakah hipnosis bisa dipakai sebagai alat kejahatan? Jawabannya adalah “bisa”.
Tapi bukan hanya hipnosis yang bisa dipakai sebagat alat kejahatan, bahkan kain lap yang rombeng pun bisa dijadikan alat kejahatan ketika itu dipakai untuk mencelakakan orang lain dengan cara membekapnya sampai ia kesulitan bernapas, betul?
Hal apa pun bisa dipakai untuk melakukan kejahatan, bahkan itu hal yang tidak terduga sekali pun, termasuk yang dalam kehidupan sehari-hari diidentikkan sebagai hal-hal yang mendatangkan kebaikan.
Sebut saja obat, ia menjadi sesuatu yang bisa membawa kebaikan ketika digunakan untuk meredakan sebuah penyakit, tapi apakah dalam kenyataannya obat tidak bisa dipakai untuk melakukan kejahatan?
Faktanya, mereka yang memahami karakter dari obat-obatan di level yang sangat mendalam, sampai memahami struktur penyusun dan cara kerjanya, akan juga bisa menggunakan pemahaman itu untuk menciptakan obat yang bisa menimbulkan efek yang membahayakan bagi yang mengkonsumsinya, entah apa pun bentuknya, baik dalam bentuk keracunan, kecanduan atau dampak negatif lainnya.
Artinya, bukan soal keilmuannya, tapi mental dari penggunanya yang menjadikan sebuah keilmuan akan membawa manfaat atau kerugian, termasuk keilmuan hipnosis itu sendiri.
Sebagai sebuah keilmuan, hipnosis memang bisa saja digunakan untuk melakukan kejahatan, tapi hal ini tidaklah dalam bentuk seperti yang banyak ditayangkan di televisi dimana seorang praktisi hipnosis menghipnosis subjeknya lalu memberinya sugesti untuk melakukan berbagai hal, seolah subjek itu manut begitu saja pada apa pun yang disugestikan padanya, tidak demikian adanya.
Mengapa demikian?
Pertama, hal itu saja sudah tidak sejalan dengan cara kerja dari hipnosis itu sendiri, dimana seseorang tidaklah bisa dihipnosis jika ia tidak menghendaki hal itu terjadi, dan berikutnya, yaitu bahkan dalam kondisi terhipnosis pun seseorang tetap memiliki kesadaran dan kendali untuk memilih apakah ia akan mengikuti sugesti dari sang penghipnosis atau tidak.
Lho, ternyata bukan begitu toh hipnosis yang sebenarnya? Memang bukan.
Bagi Anda yang belum terlalu familiar dengan hipnosis dan lika-likunya, saya menyarankan Anda untuk juga membaca artikel saya yang lain yang lebih awal yang akan membekali Anda pemahaman yang lebih mendasar tentang hipnosis, yang berjudul “Mengenal Hipnosis & Hipnoterapi” serta artikel lain yang lebih menjelaskan apa saja kesalahpahaman mengenai hipnosis yang banyak beredar di sekitar kita, di artikel yang berjudul “Miskonsepsi Dalam Hipnoterapi”.
Kalau begitu seperti apa jelasnya ketika hipnosis digunakan sebagai alat kejahatan?
KONDISI HIPNOSIS SEBAGAI ALAT KEJAHATAN
Memahami bagaimana hipnosis bisa digunakan sebagai alat kejahatan hendaknya dimulai dengan memahami dulu bahwa dalam definisinya sebagai sebuah kondisi, hipnosis adalah sebuah kondisi dimana terjadi perpindahan kondisi kesadaran dalam diri seseorang, baik disengaja atau tidak disengaja, yang menjadikan kondisi kesadaran seseorang berpindah dari pikiran sadar ke pikiran bawah sadar, dimana fenomena ini meningkatkan reseptivitas seseorang dalam menerima pesan mental (sugesti).
Sebagai sebuah kondisi perpindahan kesadaran, fenomena hipnosis terjadi dalam setiap hari yang kita jalani, bahkan dengan tanpa harus ada orang yang menghipnosis kita pun hal itu terjadi setiap hari, dengan kata lain: dalam setiap hari yang kita jalani kita selalu pernah berada di kondisi hipnosis ini.
Kapan saja hal itu terjadi? Sebut saja ketika kita akan beranjak tidur, di momen perpindahan kesadaran dari kondisi siaga, yang dominan berada di gelombang otak beta (12 – 25 Hz), kita lalu mengalami rasa kantuk dan rileks, yang menandakan kita memasuki gelombang otak alfa (8 – 12 Hz) dan theta (4 – 8 Hz), sebelum kemudian kita pulas dan memasuki gelombang otak delta (0,5 – 4 Hz).
Begitu juga ketika kita beranjak bangun dari tidur sebelum kembali siaga, dari kondisi tidur pulas di gelombang delta kita lalu bergerak naik ke theta dan alpha terlebih dahulu daklam kondisi masih terkantuk-kantuk, sebelum kembali siaga di gelombang otak beta.
Gelombang otak alfa dan theta adalah gelombang otak yang mewakili kondisi ketika pikiran sadar pasif dan pikiran bawah sadar aktif, bukankah ini artinya kita setiap harinya memasuki frekwensi pikiran bawah sadar ini, yang menjadikan kita semua pernah berada di kondisi hipnosis ini?
Ngomong-ngomong, hal ini yang menjadikan dalam berbagai ajaran agama kita diarahkan untuk berdoa sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, karena di kondisi menjelang tidur dan baru bangun tidur ini kita masih berada di gelombang otak alfa dan theta yang menjadikan pesan mental lebih mudah untuk diterima oleh pikiran bawah sadar.
Akan lebih baik jika pikiran bawah sadar terisi dengan pesan mental positif berupa doa yang penuh rasa syukur pada Tuhan Sang Maha Pencipta, daripada diisi dengan pemikiran acak yang bisa saja malah membawa dampak negatif menjadikan munculnya program negatif di pikiran bawah sadar kan?
Intinya, dalam kondisi hipnosis ini, pikiran bawah sadar lebih mudah untuk menerima pesan mental atau arahan atau sugesti. Artinya, ketika hipnosis digunakan sebagai alat kejahatan maka yang para pelaku kejahatan ini lakukan yaitu menciptakan terlebih dulu terjadinya kondisi ini dalam diri korbannya, baru kemudian melakukan serangkaian proses lanjutan agar korban mengikuti yang diarahkan pada mereka.
Tapi apakah hal ini menjadikan korbannya itu tertidur lemas seperti tayangan di televisi? Dalam kenyataannya, Anda akan mendapati bahwa dari berbagai pengakuan korban, mereka tidak memasuki kondisi tertidur lemas rileks seperti di televisi itu, mereka hanya merasa seperti tidak sadar untuk sementara waktu, meski masih dalam kondisi beraktivitas seperti biasa.
Hal ini membawa kesimpulan lain: kondisi hipnosis tidak hanya terjadi di kondisi fisik yang rileks seperti ketika akan tidur atau terbangun dari tidur.
Dalam kenyataannya, kondisi hipnosis – dalam bentuk perpindahan kesadaran yang ditandai dengan perpindahan gelombang otak – bisa terjadi bahkan dalam kondisi aktivitas biasa sekali pun, karena yang sedang memasuki perpindahan kesadaran ini adalah kondisi mental kita, bukan kondisi fisik kita.
Maka disinilah para pelaku kejahatan melakukan serangkaian teknik komunikasi yang menciptakan efek “hipnotik” yang didesain secara cermat untuk membuat seseorang tidak menyadari bahwa ia sedang diajak berpindah kesadaran ke pikiran bawah sadarnya, yang menjadikan ia lebih reseptif terhadap si pelaku dan lebih mudah mengikuti arahannya.
Tapi bukankah bahkan dalam kondisi ini pun seseorang tetap bisa memilih untuk menolak sugesti yang diberikan? Ya, maka itulah modus kejahatan pertama dilakukan untuk meminimalisir hal ini, yaitu penipuan psikologis.
MODUS KEJAHATAN PERTAMA YANG DIATASNAMAKAN SEBAGAI HIPNOSIS: PENIPUAN PSIKOLOGIS
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, yang para pelaku kejahatan lakukan adalah menciptakan reaksi hipnotik terlebih dahulu dalam diri para korbannya, disambung dengan melakukan serangkaian komunikasi manipulatif yang membuat para korbannya tidak menyadari bahwa ia sedang diarahkan untuk mengikuti kepentingan si pelaku.
Kita juga sudah memahami bahwa reaksi hipnotik tidak selalu ditandai dengan kondisi fisik yang rileks seperti tertidur, bahkan dalam kondisi yang terlihat seperti siaga pun kondisi ini bisa terjadi, selama secara mental indikasi reaksi hipnotik ini sudah terlihat.
Disinilah para pelaku kejahatan memahami satu hal yang bisa menciptakan reaksi hipnotik ini dalam kondisi siaga, yaitu emosi intens.
Ketika seseorang berada di kondisi emosi yang cukup intens, maka saat itu gelombang otak alfa serta theta – yang melambangkan level kesadaran pikiran bawah sadar – terakses, disinilah daya kritis dan kesiagaan dari pikiran sadar berkurang, yang menjadikan reseptivitas lebih meningkat untuk menerima arahan dari luar.
Apa contoh dari emosi intens yang digunakan sebagai alat kejahatan ini? Bagaimana emosi intens ini bisa diciptakan? Mari membahasnya beserta ragam modus yang sering mereka gunakan.
RASA KASIHAN
Dari empat emosi yang digunakan sebagai alat manipulasi, rasa kasihan adalah emosi yang pada umumnya dimunculkan melalui perjumpaan langsung.
Seseorang berdandan dengan dandanan memprihatinkan dan membawa kisah yang menyedihkan, sampai-sampai yang mendengarkan merasa iba, kasihan dan tidak tega, akhirnya ia pun membantu dengan memberikan uang atau benda apa pun yang kelak dikumpulkan oleh si pelaku.
Kenapa dikatakan “dikumpulkan”, meski bantuan itu kecil nilainya, tapi kalau dikumpulkan dari banyak orang maka besar juga nilainya, apalagi dilakukan setiap hari.
Aksi kejahatan bermodus rasa kasihan ini adalah yang paling minim dan jarang dijadikan keluhan oleh korbannya, mereka juga tidak merasa dihipnosis dalam fenomena yang satu ini, tapi karena fenomena ini tetap saja ada maka saya tetap membahasnya sebagai bahasan paling awal.
Modus-modus berikutnya di bawah ini akan mencakup modus yang lebih tinggi, yang membuat seseorang mulai merasa dihipnosis dan bahkan kerap dilakukan melalui telepon.
Ketika dilakukan melalui telepon, berbagai aksi kejahatan di bawah ini sangatlah terorganisir, mereka bisa melancarkan sampai puluhan aksi dalam satu harinya dengan menghubungi banyak nomor telepon secara acak, ketika mereka menemukan indikasi bahwa aksinya gagal maka mereka akan menyudahi aksinya dengan memutus sambungan telepon dan memblok nomor telepon kita agar tidak bisa menghubungi balik mereka.
RASA TIDAK ENAK/BERSALAH
Modus kedua yang sering digunakan ini bisa dalam bentuk pelaku menelepon dan mengaku sebagai teman lama yang kita lupakan, mereka tidak akan menyebutkan namanya, mereka hanya akan berekspresi “Sudah lupa ya, sombong sekali sekarang,” karena mereka akan menunggu kita menyebutkan satu nama yang kita rasa familiar.
Setelah kita menyebutkan satu nama mereka akan mengklaim dirinya sebagai pemilik nama itu, karena mereka memposisikan diri sebagai orang yang dilupakan maka mereka akan mulai bertingkah, menuduh kita sombong, dan lain sebagainya.
Rasa tidak enak pun muncul, kita lalu meminta maaf dan mereka berlagak memaklumi, dari sini nanti aksi berlanjut, mereka yang sudah merasa di atas angin lalu mulai membangun arahan-arahan kecil untuk kita, karena mereka sudah menempatkan diri di atas angin dan kita sendiri merasa sebagai orang yang bersalah, maka seolah ada kesan psikologis bahwa kita harus mengikuti arahan mereka, disinilah arahan kecil itu dibangun bertahap sampai kita tanpa sadar memenuhi arahan mereka.
Tidak hanya melalui telepon, cara ini juga bisa digunakan dengan pertemuan langsung dengan memposisikan diri seolah sebagai teman lama yang sudah lama tidak bertemu, tapi karena cara ini tergolong lebih beresiko maka biasanya cara ini digunakan melalui telepon.
Bentuk lebih halus dalam memanfaatkan rasa tidak enak ini biasanya dilakukan dalam aksi penjualan yang bernuansa memaksa.
Para penjual ini (saya tidak mengatakan penipu atau pelaku, karena mereka menjalankan aksinya sebagai tenaga penjual, dan mereka memang tidak menipu, namun mereka paham seluk-beluk dari cara kerja emosi ini dan menggunakannya dalam aksinya) menyapa dengan ramah, mempersilakan kita mencicipi produk, masuk ke area mereka dan memperlakukan kita dengan sedemikian istimewa, sampai-sampai merasa tidak enak kalau sampai mengecewakan mereka, karena seolah kita tidak tahu diri.
Ketika sudah mulai menunjukkan perilaku istimewa ini, barulah mereka mulai memberikan penawarannya, ketika kita menunjukkan tanda tidak bersedia maka mereka mulai mengubah sikap sedemikian rupa sampai kita merasa bersalah karena seolah tidak tahu diri dalam membalas kebaikan, selebihnya maka bergulirlah aksi-aksi lainnya yang diniatkan untuk semakin membangun arahan kecil sampai kita membeli.
RASA PANIK/TAKUT/BINGUNG
Emosi ini paling banyak digunakan dalam aksi telepon yang dilakukan di malam hari, ketika seseorang dalam lelap tidur dan menerima telepon, saat itu ia sedang berada di gelombang otak delta yang kemudian beranjak bangun dan masih berada di alfa atau theta.
Di kondisi gelombang otak ini, reseptivitas pikiran bawah sadar masih sangat tinggi dan kecenderungan seseorang untuk mengkritisi informasi menjadi berkurang, maka dimulailah aksi telepon yang menginformasikan berbagai kabar yang mengejutkan, mulai dari keluarga yang ditangkap aparat, atau keluarga yang masuk rumah sakit dan sejenisnya.
Ujung dari interaksi ini adalah korban diminta mentransfer sejumlah uang jika ingin persoalannya terselesaikan dengan cepat, dalam kondisi panik inilah seseorang jadi tidak siaga dan kemudian mengikuti arahan demi arahan si pelaku.
Hal yang sama sering dilakukan di pagi hari, di waktu ketika para ibu rumah tangga sedang sibuk merapikan rumah dan tidak dalam mode kritis karena atensinya sedang terpecah ke berbagai hal, dimana pelaku kemudian menelepon dan menginformasikan bahwa anaknya pingsan atau kecelakaan di sekolah dan perlu pertolongan segera.
Lagi-lagi, dalam kondisi atensi terpecah (tidak siaga), daya kritis menjadi berkurang dan lebih mudah bagi seseorang untuk diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi arahan pelaku.
Bentuk lain dari pemanfaatan rasa takut ini bisa juga dilakukan dalam bentuk tatap muka, dimana beberapa orang mendekati korban dan menuduh korban sebagai seseorang yang pernah merugikan atau mencelakakannya, semua ini dilakukan dengan cara yang intimidatif, yang membuat seseorang bingung dan tertekan, meski ia menolak, ketika ia dibentak dengan tegas “Ikut kami sekarang,” tetap saja ia lebih mudah dimanipulasi, alih-alih berteriak meminta tolong ia malah jadi mengikuti arahan pelaku dan mengikuti mereka ke tempat yang mereka siapkan, di tempat itulah pemerasan terjadi.
Dilakukan dengan cara yang kasar dan intimidatif, hal ini membuat seseorang bingung, panik dan takut, maka daya kritis tidak bekerja, ia menjadi mudah untuk dimanipulasi sedemikian rupa sampai mengikuti arahan pelaku.
Yang satu ini memang tidak terlihat seperti dihipnotis, tapi tidak ada salahnya kita ketahui agar bisa menjadi informasi yang menyadarkan kita bahwa reaksi hipnosis tetap terjadi di fenomena ini.
RASA RAKUS/SERAKAH
Yang satu ini termasuk salah satu modus yang paling banyak terjadi dan paling banyak menuai korban, karena ia berhubungan dengan emosi yang cukup mendasar, yaitu rasa malas yang kemudian mewujud menjadi rasa rakus dan serakah.
Modus yang banyak dilancarkan sehubungan dengan hal ini yaitu pelaku menghubungi korban dan menyatakan bahwa korban adalah pemenang dari sebuah program berhadiah yang berhak mendapatkan hadiah dengan nominal yang fantastis, seperti mobil, motor dan sebagainya.
Korban yang mendapatkan iming-iming hadiah gampang ini tentu merasa senang, karena hal ini memenuhi kebutuhan dasar akan rasa malas yang juga terasosiasi dengan rasa rakus atau serakah, yaitu mendapatkan sesuatu yang besar dengan cara yang mudah, bahkan tanpa usaha.
Saat pelaku mengetahui korban sudah terbawa ke dalam pengaruhnya, maka ia mulai melancarkan aksinya, yaitu menginformasikan bahwa korban perlu membayar sejumlah uang untuk keperluan pajak dan administrasi yang harus diselesaikannya sesegera mungkin atau hadiahnya akan dialihkan ke pihak lain.
Korban yang tidak mau kehilangan hadiah rejeki nomplok ini tentu tidak mau melewatkan peluang ini, maka ia pun melakukan segenap daya dan upaya untuk memenuhi arahan si pelaku, yang bermuara pada kerugian di sisi korban yang kehilangan uangnya kemudian.
Dalam berbagai kondisi emosi intens di atas, seseorang tetap berada dalam kondisi yang sebenarnya cukup siaga, hanya saja ia sedang dibutakan oleh emosinya, maka lebih mudah bagi pelaku untuk memanipulasi jalannya kejadian dan melancarkan tipuannya sampai korban memenuhi kepentingan pelaku.
Bagaimana mereka bisa dikatakan tetap “cukup siaga”? Karena setelah kejadian mereka masih bisa menceritakan detail kejadiannya, tidak sampai kehilangan kesadaran yang membuat mereka tidak ingat sedikit pun.
Hanya saja sekali lagi, hal ini tidaklah menyenangkan untuk diakui oleh para korbannya, daripada mengakui bahwa mereka tertipu yang menyiratkan seolah mereka bodoh, lebih baik mengakui bahwa mereka terhipnotis, karena hal ini menempatkan mereka sebagai korban yang memang dasarnya tidak berdaya dalam situasi yang dialaminya.
Namun bukankah ada juga orang-orang yang ketika dalam kondisi terhipnosis mengaku mereka benar-benar tidak sadar dan tidak ingat apa pun, tiba-tiba gelap dan tahu-tahu ketika tersadar mereka bingung, tidak tahu apa-apa sama sekali dan bahkan tidak ingat sedikit pun yang terjadi?
Yang satu ini akan membawa kita ke modus kejahatan kedua yang diatasnamakan sebagai hipnosis, yaitu gendam.
MODUS KEJAHATAN KEDUA YANG DIATASNAMAKAN SEBAGAI HIPNOSIS: GENDAM
Jika tadi kita membicarakan rangkaian aksi penipuan dan komunikasi manipulatif yang diatasnamakan sebagai hipnosis, bahasan kita kali ini akan cukup jauh membahas sisi lain dari sebuah keilmuan yang tidak hanya berhubungan dengan fenomena psikologis, namun juga berhubungan dengan fenomena metafisika, yaitu gendam.
Gendam menjadi sebuah aksi yang kerap disangkutpautkan dengan hipnosis, padahal cara kerja dari keduanya tidak sepenuhnya serupa.
Berbeda dengan aksi hipnosis yang melibatkan fenomena psikologis, gendam melibatkan pemahaman akan cara kerja medan energi.
Seorang praktisi gendam melatih dan mengolah medan energinya sedemikian rupa, melalui serangkaian lelaku atau ritual – dimana hal ini tidaklah dilakukan oleh praktisi hipnosis – sampai ia bisa menggunakan medan energinya sesuai kehendaknya, termasuk untuk mengintervensi medan energi orang lain, yang kelak bisa dipengaruhinya.
Berbeda dengan kondisi hipnosis yang ketika dialami tetap menjadikan seseorang ingat yang terjadi, ketika medan energi seseorang terintervensi oleh medan energi gendam, maka kecenderungannya adalah ia tidak sadar yang terjadi, ia tiba-tiba merasa gelap dan kehilangan kesadaran, ketika tersadar pun ia tidak ingat yang terjadi.
Nampak dahsyat bukan? Tungu dulu, meski terdengar mengerikan, dalam kenyataannya tidak sesederhana itu juga.
Gendam pun tetap saja memerlukan landasan agar ia bisa dilakukan secara efektif.
Medan energi seseorang yang bisa dipengaruhi oleh gendam adalah medan energi yang dasarnya lebih lemah, dimana hal ini bisa dilihat dari reaksi seseorang yang secara psikologis tidak siaga.
Dalam modus kejahatan gendam, para pelaku kejahatan akan melakukan aksinya berkelompok, dimana satu orang akan bertugas memeriksa kondusivitas calon korbannya.
Ketika calon korban ditemukan, pemeriksa ini akan mendekati dan berinteraksi dengannya dalam bentuk interaksi ringan, bisa menanyakan jam, atau menanyakan arah atau apa pun, ketika calon korban menjawab ia akan mengamati reaksinya, kalau ternyata reaksinya menunjukkan kesiagaan dan daya kritis maka ia akan mengurungkan niatnya, cukup berterima kasih dan menyudahi interaksi, lalu pergi.
Tapi jika calon korban menunjukkan gelagat polos, tidak siaga dan bahkan cenderung bengong, maka ia tahu bahwa inilah calon korban ideal, ia akan memberi tanda pada kawanannya bahwa inilah calon korban ideal, ia sendiri akan beranjak pergi karena nanti kawanannya yang lain akan menindaklanjuti calon korban itu.
Setelah si pemeriksa pergi, barulah si pelaku sebenarnya datang dan mulai melancarkan aksinya, dimulai dari interaksi ringan sambil mulai mengintervensi medan energi calon korbannya, ketika waktunya tepat ia lantas melakukan aksinya, bisa dengan cara menepuk, menyentuh atau mengepulkan asap rokok, atau bisa apa pun itu, yang membuat medan energi korban sekarang berada di bawah kendali medan energinya, disinilah korban mulai kehilangan kesadaran dan merasa “gelap”, di kondisi ini juga arahan-arahan untuk memenuhi kepentingan pelaku dijalankan oleh si pelaku.
Maka bisakah gendam dilakukan melalui telepon?
Secara teknis, hal ini tidaklah dimungkinkan, karena ada banyak hal yang menjadikan medan energi ini tidak bisa dikuasai dengan baik oleh pelaku dalam komunikasi melalui telepon, bentuk aksi kejahatan yang paling banyak dilakukan melalui telepon adalah aksi penipuan psikologis sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, yang diklaim sebagai hipnosis karena menjadi aib tersendiri untuk mengakui bahwa mereka tertipu
CARA MENANGKAL KEJAHATAN YANG DIATASNAMAKAN SEBAGAI HIPNOSIS
Apa kata kunci untuk menangkal kejahatan yang diatasnamakan sebagai hipnosis tadi? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita perlu kembali ke hal yang mendasari kedua aksi kejahatan tadi, baik itu penipuan atau gendam.
Mari sadari bahwa kedua aksi itu bisa terjadi ketika seseorang memiliki kesiagaan diri yang rendah, karena hal ini juga menandakan medan energi yang rendah.
Dengan kata lain, kunci menangkal aksi kejahatan ini yaitu dengan melakukan aksi sebaliknya, yaitu menyiagakan diri, berada di kondisi eling lan waspada.
Ingat kunci dari semua ini: seseorang hanya bisa dihipnosis secara resmi kalau ia mengijinkan dirinya untuk dihipnosis, artinya tanpa adanya ijin itu maka fenomena hipnosis secara resmi tidak bisa terjadi, karena fenomena ini cukup jelas maka jelas bukan aksi hipnosis itu yang perlu dikhawatirkan, tapi tindakan penipuan psikologis yang bisa membuat kita tidak sadar bahwa kita sedang digiring – secara tidak resmi – untuk memasuki kondisi hipnosis tanpa kita sadari.
Ketika berada di tempat asing, atau menerima telepon asing, pastikan kita berada di mode siaga untuk menganalisa dan mengkritisi situasi yang terjadi, kapan pun indikasi bahwa yang berinteraksi bersama kita menunjukkan niat memanipulasi melalui aksi komunikasi apa pun, segera tingkatkan kesadaran diri dan kesiagaan diri, berpikirlah secara kritis dan kalau perlu nyatakan penolakan secara terbuka atau sudahi interaksi dan jauhi mereka, cari tempat yang lebih bisa memberikan rasa aman, hal ini akan membuat para pelaku itu juga berpikir ulang untuk menjadikan Anda korban, karena mereka juga tidak akan mau mengambil resiko mempertaruhkan keselamatannya kalau sampai aksinya gagal.
Begitu juga dalam situasi penjualan yang bernada memaksa, meski hal ini bukanlah sebuah penipuan, tapi saya tetap tidak sepenuhnya setuju dengan hal ini, karena seolah membuat seseorang membeli yang tidak ingin dibelinya.
Untuk menghindari hal ini, perlu diingat bahwa nothing is personal dalam hal ini, rasa bersalah yang muncul karena tidak membalas budi ini bukanlah sesuatu yang bersifat pribadi, setelah kita berlalu pun mereka akan tetap melakukan cara yang sama pada orang lain berikutnya, jadi lebih baik bersikap tegas apa adanya, sudahi interaksi dan beranjak pergi, karena tidak ada hal yang perlu dipersalahkan dalam hal ini.
KESIMPULAN?
Jadi, apakah hipnosis bisa digunakan untuk melakukan tindakan kejahatan? Sekali lagi: apa pun bisa dipakai untuk melakukan tindakan kejahatan, baik itu benda atau pun ilmu.
Tapi paling tidak kita sudah memahami bahwa yang dimaksud kejahatan hipnotis bukanlah seperti yang disangkakan orang awam selama ini, betapa hipnosis sering kali dikambinghitamkan sebagai tindakan kejahatan yang padahal tidaklah seperti yang orang persepsikan selama ini, padahal dalam kenyataannya aksi kejahatan itu dilakukan dengan aksi penipuan psikologis atau gendam.
Paling tidak, kejelasan itulah yang menjadi tujuan dari ditulisnya artikel ini.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.