Kisah Terapi – ‘Mengantar Pulang’ Hantu Pocong Pembawa Kesedihan
Cukup lama tidak berbagi artikel yang memuat kisah terapi, di tulisan kali ini agaknya waktunya kembali menyempatkan diri berbagi pengalaman memfasilitasi proses terapi, khususnya berbasis Resource Therapy & Counselling (RTC).
Bukan tulisan baru memang, tulisan ini adalah tulisan 2 tahun lalu yang saya tuliskan pasca memfasilitasi sesi terapi pada seorang klien, setelah memindahkan beberapa tulisan lama ke website ini tibalah giliran artikel ini turut dipindahkan, turut menghiasi website ini.
Jika Anda tergolong baru mengenal RTC, Anda bisa membaca beberapa tulisan pengantarnya di artikel ‘Resource Therapy‘, ‘Resource Therapy Diagnosis‘ & ‘Resource Therapy Actions‘.
Beberapa waktu lalu saya memfasilitasi sesi terapi pada seorang klien, sebut saja Budi (bukan nama sebenarnya), seorang anak muda yang sengaja meluangkan waktunya dari luar kota untuk menjalani sesi terapi ke Bandung bersama saya.
Kembali ke awal kisah, Budi mengenal saya melalui perjumpaan di sebuah seminar dimana di dalamnya saya mengulas tentang cara kerja pikiran, kesadaran dan pengaruhnya bagi kualitas hidup yang kita jalani di 5 aspek kehidupan: kesehatan fisik, kematangan emosi, produktivitas-pencapaian, hubungan dan spiritual.
Tak dinyana, beberapa bahasan saya dalam seminar itu rupanya ‘menyentil’ dirinya, setelah sekian lamanya Budi memendam berbagai persoalan internal yang tak dipahaminya, bahasan dalam seminar itu menyadarkannya tentang bagaimana berbagai persoalan internal itu mungkin terbentuk di masa lalu dan ‘terpelihara’ sampai sekarang, serta apa yang perlu ia lakukan untuk menanganinya.
Perlu waktu tersendiri bagi Budi untuk bisa datang menemui saya, selain perlu menyiapkan mentalnya, Budi juga harus pintar-pintar membagi waktunya yang memang dipenuhi kesibukan yang cukup padat, sambil juga mengelola kondisi keuangannya agar bisa dengan efektif bepergian ke Bandung dari kota tempat ia tinggal.
Melihat komitmen Budi yang sedemikian besar, saya pun turut bersemangat membantunya, hal ini karena saya meyakini bahwa bukan keahlian dan kepandaian hipnoterapis semata yang membuka jalan perubahan bagi klien, melainkan komitmen dan kesungguhan klien sendiri untuk berubah dan kesiapan mereka untuk berkorban demi mewujudkan perubahannya. Mendapati klien dengan komitmen besar seperti Budi tak ayal membuat saya turut bersemangat karena sudah bisa menduga bahwa prosesnya akan berjalan dengan sedemikian dinamisnya.
Singkat cerita, Budi pun datang di hari yang ditentukan ke kantor saya, setelah mengisi intake form yang dipersyaratkan, konseling yang lebih dalam pun berlanjut ke ruang terapi saya.
Merupakan sebuah keharusan bagi saya dan tim hipnoterapis di institusi binaan saya untuk mendapatkan kejelasan penuh akan situasi dan permasalahan yang klien hadapi, serta harapan spesifik yang mereka ingin rasakan melalui sesi terapi bersama kita. Tanpa adanya kejelasan ini maka sesi penanganan sama sekali tidak akan dilakukan, karena akan ada terlalu banyak asumsi tidak berdasar yang melandasi jalannya sesi terapi, dengan kata lain: ‘No Clarity = No Treatment’.
Di sisi lain, mendapatkan kejelasan situasi dan permasalahan klien pun bukan perkara sederhana, jika informasi yang diperoleh kurang memadai maka selalu ada kemungkinan penanganan kasus klien tidak berjalan optimal karena aspek yang tidak terungkap itulah yang menggembosi jalannya penanganan, sementara itu jika cara pengumpulan informasi ini berjalan berlarut-larut bukan untuk mendapatkan informasi yang relevan maka pembicaraan bisa melebar kemana-mana dan akan terlalu banyak waktu terbuang karenanya.
Masalah yang dikemukakan Budi terdengar seperti persoalan sederhana, Budi merasa sulit menyelesaikan apa yang seharusnya ia selesaikan, banyak pekerjaan dan pencapaian yang jadi tidak terwujud dan terselesaikan karenanya.
Bagaimana bisa dikatakan sederhana? Karena sejauh ini persoalan Budi terformulasikan sebagai sebuah masalah yang mengacu pada perilaku spesifik, bukan lagi ‘generalisasi keluhan’, dengan indikator keberhasilan yang spesifik juga, sehingga perumusan tujuan penyelesaian dan intervensi masalah pun seharusnya bisa dirancang dengan efektif.
Apa kiranya yang membedakan ‘masalah spesifik’ dengan ‘generalisasi keluhan dan harapan’?
Begini, semakin sering bepraktik, kita akan mendapati bahwa klien memiliki kecenderungan untuk menggeneralisasi masalahnya sebagai keluhan, namun keluhan itu sebenarnya tidaklah menyatakan spesifikasi masalah yang sebenarnya.
Misalnya klien datang dengan keluhan “Saya merasa tidak percaya diri (keluhan), melalui sesi terapi ini saya berharap bisa jadi percaya diri (harapan).”
Terdengar seperti sebuah ‘masalah’ dan ‘harapan’ bukan? Tidak demikian, karena keduanya masih berupa kalimat yang dinyatakan sebagai ‘generalisasi’, masih terlalu meluas dan abstrak.
Saya pribadi menyatakan sebuah permasalahan emosi dan perilaku baru layak dinyatakan sebagai masalah spesifik, jika ia bisa dimasukkan ke dalam kalimat “Klien X (respon emosi dan perilaku spesifik) ketika Y (stimulus).”
Misalnya: “Klien merasa gugup dan cemas (X) ketika berada di tempat baru (Y),” di kalimat ini terdapat spesifikasi masalah yang jelas berupa perasaan dan kriteria stimulus. Dalam praktinya, terdapat panduan khusus untuk memformulasikan situasi klien sampai menjadi masalah spesifik yang ‘bisa dan layak ditangani’, lebih banyak tentang ini akan diulas di buku ketiga saya yang akan terbit bulan depan.
Kembali ke contoh kasus di atas, apa yang hilang dalam kalimat “Saya merasa tidak percaya diri”?
Ya, tidak ada bentuk respon emosi dan perilaku spesifik di dalamnya yang dinyatakan sebagai masalah dan tidak ada informasi stimulus spesifik yang menyertai kemunculannya sebagai masalah.
Penetapan spesifikasi masalah ini sangatlah penting untuk 2 alasan: pertama, terapis memiliki situasi spesifik untuk melakukan future pacing ke masa depan nantinya setelah proses terapi, guna memeriksa hasil perubahan klien, dan kedua, terapis memiliki situasi spesifik untuk dihadirkan di masa kini dalam pikiran klien dan mengakses respon emosi yang muncul untuk melakukan teknik terapi berbasis regresi (age regression) atau teknik terapi berbasis intervensi energi dalam jalur meridian.
Kembali ke kasus Budi, melihat detail pengumpulan informasi, penetapan masalah dan harapan yang sudah bisa diformulasikan ke dalam rumusan permasalahan sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, sebenarnya proses penanganan sudah bisa dimulai, namun tidak sesederhana itu karena dari pengumpulan informasi yang sudah dilakukan saya juga mendapati bahwa Budi memiliki berbagai gejolak emosional yang tidak terekspresikan atas situasi yang dihadapinya sampai saat ini bersama keluarganya.
Meski ini bukan masalah yang secara langsung berhubungan dengan persoalan Budi semula, saya mendapati bahwa ada keterhubungan tidak langsung di antara keduanya yang saling mempengaruhi satu sama lain, disinilah penting bagi terapis untuk bisa membangun kesadaran klien guna memahami kompleksitas situasinya.
Setelah memahaminya ulang dari sudut pandang proses konseling kali ini, barulah Budi menyadari bahwa situasi yang baru saja diceritakannya ternyata saling berkaitan satu sama lain, satu situasi mempengaruhi situasi lainnya, ternyata apa yang dikeluhkannya tidak sesederhana yang terlihat di awal, menyelesaikan satu situasi saja tanpa menyiapkan resolusi untuk situasi lainnya hanya akan membawa Budi ke proses perubahan yang pada akhirnya kembali ke titik semula.
Maka demikianlah, berdasarkan keseluruhan informasi yang diperoleh secara solid barulah proses penanganan siap dilakukan. Dari pengumpulan informasi yang saya dapati, terdapat satu persoalan ‘krisis eksistensi’ dalam diri Budi yang membuatnya mempertanyakan nilai keberadaan dirinya.
Dari berbagai jenis persoalan saya mendapati krisis eksistensi termasuk salah satu yang membawa dampak sedemikian besar bagi seseorang, karena krisis ini membuat seseorang mempertanyakan nilai-nilai keberadaan dirinya, dalam skala yang lebih besar krisis ini bisa membuat seseorang menganggap dirinya tidak berharga (unworthy), keyakinan inilah yang kelak sering menyabotase berbagai produktivitas dan pencapaian.
Melihat kasus Budi yang melibatkan konflik antara ego masa kecil yang membawa gejolak emosi yang tidak terekspresikan dan ego dewasa dalam dirinya yang menghadapi realita saat ini, saya tidak buru-buru melakukan proses penanganan formal, melainkan menggunakan dasar-dasar ‘working through’ dari teknik intervensi Psikoanalisis untuk menstimulus munculnya katarsis dalam proses konseling pra-terapi ini.
Yang terjadi adalah Budi merasaan luapan kesakitan yang cukup intens, desakan dari bawah sadarnya yang berisikan banyak sekali gejolak emosi teraktivasi dan muncul ke permukaan namun ego pikiran sadarnya juga aktif menahan desakan sakit itu, proses ini penting untuk mengedukasi kesadaran Budi dan menguatkan ketahanan mental (ego strengthening) dalam memediasi gejolak konflik internal itu.
Emosi Budi bermunculan dalam bentuk ekspresi, disinilah peran hipnoterapis penting memandu klien agar klien bisa ‘membahasakan’ berbagai ekspresi itu secara verbal, mengintegrasikan kesadaran yang menjadi sumber dari gejolak itu dengan kesadaran yang berhadapan dengan realita.
Sekedar catatan, tidak sembarang kilen bisa difasilitasi teknik ini begitu saja, terdapat beberapa syarat dan kondisi yang membuat teknik ini sesuai bagi profil klien atau tidak, salah-salah menerapkannya yang terjadi justru masalah klien semakin menjadi-jadi karena proses katarsis yang difasilitasi tidak bermuara pada resolusi, Budi sendiri termasuk klien yang profil dan peruntukkan kasusnya sesuai dan bahkan mensyaratkan teknik ini, semua ini semata untuk menguatkan ketahanan mental Budi dewasa Budi dalam menerima kenyataan dan menyikapi masa lalu.
Prosesi working through berjalan kurang lebih 20 menit, sampai titik dimana semua itu mulai mereda dan Budi kembali ke mode stabilnya, tanda crisis state sudah lewat, maka waktunya proses intervensi resmi dimulai.
Sebelum memulai penanganan, saya menggunakan waktu yang ada untuk mengedukasi pemahaman Budi soal cara kerja pikiran manusia, termasuk jalannya penanganan yang akan dilaluinya, hal ini sangatlah penting agar efektivitas penanganan nanti berbanding lurus dengan kesiapan klien dalam menjalani prosesnya.
Satu hal yang saya cukup sadari dari kondisi Budi ketika berada dalam mode katarsis adalah berkali-kali Budi menahan sakit di bagian kepalanya, yang membuatnya sempat sedikit teralihkan dari mode katarsisnya, dimana saya harus kembali mengarahkan atensinya ke dalam proses sampai crisis state itu lewat. Baru di kemudian waktu saya menyadari sakit kepala itu berhubungan dengan keberadaan Other Personalized Introject (OPI) dalam diri Budi yang terusik, Anda akan menemukan ulasan itu di bawah nanti.
Dari perspektif RTC, terdapat beberapa diagnosis Resource State pathology dalam diri Budi di persoalan yang dihadapinya, luapan emosi yang tidak terekspresikan pada keluarganya menyiratkan adanya keberadaan Vaded State with Confusion, juga terdapat Vaded State with Fear yang membuatnya sulit menyelesaikan pekerjaan.
Resource State yang dimaksudkan di sini mengacu kepada pemahaman ‘Ego State’, sebuah konsep yang membahas bagaimana kesadaran kita terdiri dari ‘sub-kesadaran’ yang memiliki fungsi spesifiknya masing-masing, RTC adalah bentuk pengembangan dari Ego State Therapy yang dikembangkan oleh Gordon Emmerson Ph.D, seorang Profesor dan Psikolog di Australia, yang sebelumnya mempelajari Ego State Therapy langsung dari John Watkins, seorang Psikolog Amerika yang menggunakan Ego State Therapy dalam praktik hipnosis dan psikoterapinya.
Pemahaman RTC menyatakan bahwa diri kita terdiri dari berbagai Resource State yang masing-masing aktif di waktu spesifik dan menjalankan tugas sesuai peruntukkannya. Ada kalanya sebuah Resource State terluka, yang membuat ketika ia aktif di permukaan ia pun membawa luka itu dan muncul dalam mode terlukanya, membuat seseorang terjebak di konflik emosional-internal yang irasional, ia tahu tidak seharusnya bersikap demikian di situasi tersebut namun apa daya dorongan Resource State yang terluka itu mengambil alih kendali kesadarannya dan menjadikan ia larut dalam permasalahannya.
Tujuan dari RTC adalah menormalkan kembali patologi yang dialami setiap Resource State yang menghambat kehidupan seseorang, namun demikian setiap permasalahan pada Resource State (yang tadi disebut Resource State Pathology) memiliki detail pembentukan yang berbeda, oleh karenanya detail penanganannya pun berbeda.
Pada Resource State i Vaded with Confusion misalnya, Resource State Pathology ini terbentuk karena seseorang memendam gejolak yang tidak bisa diekspresikan pada orang lain karena ulah-tindakan yang pernah dilakukan orang itu pada dirinya di masa lalu, bisa juga ditujukan pada diri-sendiri karena tindakan yang pernah dilakukan di masa lalu, dimana semua ganjalan ini bergejolak dalam diri karena tidak bisa diekspresikan secara sehat.
Vaded state with confusion memerlukan resolusi berupa kejelasan, ia harus dipandu untuk mengekspresikan segala ganjalannya secara sehat sampai ia mendapatkan kejelasan yang ia harapkan dan kembali ke kondisi normalnya.
Lain lagi dengan Vaded with Fear, Resource State ini terbentuk dari pengalaman tidak menyenangkan masa lalu, yang ada kalanya bersifat traumatis atau menakutkan, sampai-sampai ia merasa tidak memiliki kendali. Dalam struktur kesadaran pikiran bawah sadar, Vaded with Fear mengalami ‘fiksasi’ di peristiwa dimana ia terbentuk, resolusi yang ia perlukan yaitu mendapatkan pemahaman bahwa ia tidak lagi terjebak di pengalaman tidak menyenangkan itu, bahwa ia sudah berada di ruang kesadarannya di masa kini sekarang, bukan lagi di peristiwa itu dan ia memiliki kendali penuh dalam ruang kesadarannya.
Tunggu dulu, meski terdengar sederhana, dalam kenyataannya penanganan Resource State tidaklah sesederhana itu. Resource State yang terluka kebanyakan berada di kedalaman trance yang cukup dalam, sehingga tanpa kondisi hipnosis yang memadai, yang membawa seseorang ke kedalaman yang tepat, dan teknik mengakses Resource State yang tepat, boleh dikatakan sulit mengakses Resource State yang mengalami patologi ini.
Dalam kasus Budi, Saya pun menyiapkan Budi menjalani proses terapi, lalu mulai mengakses keberadaan Resource State – Vaded with Confusion dalam dirinya yang terhubung dengan emosi negatif yang tidak terekspresikan pada keluarganya. Resource State ini pun aktif ke permukaan dan dipandu untuk mengalami resolusi, melalui proses ‘RT Action 4 – Expression’ dan ‘RT Action 9 – Changing Chair Introject Action’, butuh waktu tersendiri sampai akhirnya Vaded State with Confusion ini mendapatkan resolusinya dan kembali ke fungsi normalnya. Dengan sedikit improvisasi, beberapa teknik berbasis body-oriented psychotherapy pun turut mewarnai jalannya proses ini untuk membersihkan somatic memory yang terhubung dengan Resource State Pathology ini.
Lagi-lagi, selama proses ini berlangsung Budi merasakan sakit kepala yang mengganggunya lagi, sampai sini kecurigaan mulai muncul dalam diri saya, dari pengalaman praktik selama ini ketika seseorang mengalami rasa sakit yang janggal pada bagian fisik tertentu dalam proses katarsis, biasanya terdapat 2 fenomena: pertama, memang terdapat masalah fisik-medis pada bagian tubuh tersebut, dan kedua, terdapat OPI yang ‘menempel’ dalam diri orang tersebut yang terganggu oleh proses katarsis.
Melihat profil kesehatan Budi yang tidak menyiratkan gangguan apa pun pada bagian kepala, saya mulai curiga pada dugaan kedua, apalagi setiap sakit kepala itu muncul suasana ruangan secara intuitif terasa menjadi lebih ‘kelam’ rasanya.
Selesai dengan resolusi Vaded State with Confusion saya bersiap memandu penanganan berikutnya, yaitu penanganan Vaded with Fear untuk menormalkan kembali Resource State yang saat ini membuat Budi sulit menyelesaikan pekerjaan.
Menggunakan teknik ‘RT action 3 – Bridging’ terakseslah keberadaan Vaded State with Fear ini, yang terluka ketika Budi kecil berusia 4 bulan, yang ketakutan pada sebuah situasi di rumah. Penanganan pun dilakukan pada Vaded State with Fear ini sampai ia mendapatkan resolusi dan kembali ke fungsi normalnya.
Proses berlanjut, saya menyiapkan Budi untuk mengorganisir ulang peran Resource State dalam dirinya, dengan cara mengakses Resource State lain yang lebih cocok untuk hadir dan aktif ketika Budi harus menyelesaikan pekerjaan dan meminta kesediaannya untuk membantu Budi menggantikan Resource State lama (yang meski mampu, bukanlah Resource State yang efektif dalam situasi ini).
Tak dinyana, ketika Resource State ini siap aktif dan siap membantu Budi, sesuatu terjadi, tubuh Budi bergerak-gerak tidak karuan dalam kegelisahan.
Saya pun bertanya pada Resource State yang sedang aktif, apa yang sedang terjadi (dalam kondisi trance-hipnosis klien sudah masuk ke dalam dunia mentalnya dan lebih bisa mengenali apa yang sedang terjadi dalam ruang kesadaran mentalnya dengan lebih peka).
Resource State ini menjawab dengan suara terputus-putus: “Ada tirai terbuka…ada pocong sedang duduk!”
Tidak ingin terburu-buru, saya menggali informasi lebih jauh melalui Resource State ini, seperti apa detail dari ‘pocong’ itu, dengan lebih mendetail Resource State itu pun menceritakan seperti apa keadaan makhluk yang dilihatnya, betapa makhluk ini dalam posisi menunduk, duduk dekat api unggun dan raut wajahnya menyeramkan.
Singkat cerita, menggunakan teknik khusus keberadaan ‘makhluk’ itu pun terakses, sehingga saya pun mulai berbicara langsung dengannya, suasana ‘kelam’ seperti sebelumnya kembali terasa memenuhi ruangan terapi.
Tidak terdengar suara apa pun selama beberapa saat, hanya terdengar tangisan dari makhluk itu…ia larut dalam tangis kesedihan yang begitu pilu.
Setelah beberapa saat saya mulai bisa mengidentifikasi profilnya, makhluk itu menceritakan bahwa ia sedih karena mati sia-sia, dan sederet kisah penyesalan lainnya. Makhluk ini membawa beban emosi yang begitu berat, yang mempengaruhi struktur energi psikis Budi, membebaninya sehingga Budi acap kali merasa down, sedih dan sulit memertahankan state idealnya.
Pertanyaannya, makhluk apa yang dimaksudkan dalam tulisan ini, apakah ia makhluk halus, jin atau golongan makhluk astral sejenis lainnya?
Jawabannya adalah: saya tidak tahu.
Bukan kepentingan saya untuk mencaritahu apa makhluk ini sebenarnya, kewajiban saya hanya memastikan masalah klien terselesaikan dengan baik.
Fenomena keberadaan ‘makhluk gaib’ selalunya menjadi bahan perbincangan yang tak ada habisnya, lain agama dan lain keyakinan-kebudayaan maka lain juga bahasan mengenai makhluk ini, maka itu saya pun tidak ingin berlarut-larut menjelaskan latar belakang keberadaannya.
Dalam hipnosis-hipnoterapi terdapat studi khusus yang mengulas keberadaan ‘makhluk gaib’ ini, dipionirkan oleh Dr. Willian J. Baldwin, seorang psikolog yang beberapa kali dalam sesi terapi mengalami perjumpaan dengan entitas ini ia pun kemudian mengadakan studi khusus tentang subjek ini dan mengembangkan metode ‘Spirit Releasement Therapy’ yang dikhususkan untuk penanganan kasus-kasus seperti ini.
Dr. Baldwin mengelompokkan jenis entitas ini menjadi tiga, yaitu Earth Bound Spirit (EBS), Dark Force Entity (DFE) dan Extraterrestrial (ET). Lain lagi dengan Dr. Gordon Emmerson, sebagai psikolog klinis yang mengembangkan RTC ia pun beberapa kali mendapati perjumpaan dengan ‘entitas’ ini dalam sesi terapi. Meski latar belakang klinisnya tidak mengakomodir pemahaman ini, alih-alih sibuk memperdebatkan ‘apa sebenarnya makhluk ini’, Dr. Emmerson fokus mengembangkan teknik untuk bisa menangani permasalahan yang disebabkan oleh entitas ini, yang dalam perspektif Emmerson dikenal sebagai OPI atau singkatan dari Other Personalized Introject.
bahasan lebih jauh tentang OPI ini pernah saya tulis di artikel ‘Mengenal Other Personalized Introject (OPI)‘, silakan membacanya lebih lanjut dengan klik di sini.
Dalam RTC, OPI mengacu kepada keberadaan ‘bagian kesadaran’ dalam diri kita, dimana bagian ini bukanlah berasal dari dalam diri kita, melainkan dari luar. Apakah itu hantu, jin, makhluk halus dan lain sebagainya? Dr. Emmerson tidak mempersoalkan hal ini, karena sebagai praktisi klinis kita tidak berurusan dengan hal seperti itu, yang terpenting adalah proses penanganannya.
Baik itu pemahaman Dr. Baldwin atau pun Dr. Emmerson, terdapat kesamaan di antara keduanya, yaitu bahwa OPI (saya memilih menggunakan istilah OPI, selain karena belajar langsung dari Dr. Emmerson, juga merasa istilah ini lebih general dan netral) adalah keberadaan makhluk yang bersifat energi, bukan dalam wujud fisik, yang ‘menempel’ atau ‘menumpang’ di kesadaran atau tubuh non-fisik kita.
OPI bisa masuk ke dalam diri seseorang karena berbagai faktor, yang paling sering adalah karena si orang yang bersangkutan berada dalam emosi negatif berkepanjangan, seperti merasa kesepian dan sering mengalami kesedihan sewaktu kecil, bisa juga karena OPI ini secara kebetulan ‘masuk’ ketika seseorang berada di tempat dimana OPI itu ada.
Begitu OPI menempel ke seseorang, ia menjadi ‘parasit’ dalam hidup orang itu, ia ‘memakan’ energi psikis yang dihasilkan dari emosi negatif orang tersebut, itulah mengapa dalam pengalaman Dr. Baldwin ia beberapa kali mendapati orang-orang yang didera masalah emosi intens berkepanjanglah yang paling sering mengalami fenomena ‘spirit attachment’ (istilah yang digunakan Dr. Baldwin) ini.
Dengan statusnya yang ‘menumpang’ dan memang ‘tidak tahu jalan pulang’, OPI ini sering kali bersembunyi di level kesadaran yang cukup dalam, ia akan menghindar untuk ditemukan, karena ia takut untuk ‘diusir’ dan kehilangan tempat untuk makan dan berdiam. Ketika OPI ini terhubung dengan emosi negatif dalam diri seseorang, yang diwakili oleh keberadaan Resource State yang membawa emosi tersebut, saat Resource State tersebut terakses maka OPI tersebut akan ikut terakses keberadaannya dan sering kali ‘bereaksi’, itulah mengapa Budi berkali-kali mengalami sakit kepala ketika proses katarsis sebelumnya.
Saya sendiri tidak mempersoalkan jenis OPI yang menempel dalam diri Budi kali ini, yang saya tahu adalah OPI ini berkontribusi membuat kestabilan emosi Budi terganggu, kesedihan dan penyesalan si OPI inilah yang seringkali membebani emosi Budi dan membuatnya berada dalam kondisi yang ‘berat’ untuk melakukan dan menyelesaikan apa pun, maka tugas saya adalah ‘mengantarnya pulang’.
Mengapa bukan ‘mengusirnya’? Jika kita memandang OPI dari sudut pandang ‘kesombongan’ bahwa kita adalah makhluk yang punya kuasa atas diri mereka, maka inilah yang akan kita lakukan. Namun jika kita memandang OPI dari sudut pandang ‘welas-asih’, kita akan sadari bahwa mereka sendiri ingin ‘pulang’ namun tidak tahu caranya, kalau pun mereka menunjukkan tanda-tanda perlawanan dan berubah menjadi seram ketika diajak berkomunikasi, semua itu semata karena mereka sendiri mengalami akumulasi emosi negatif sepanjang pengalamannya ‘tidak bisa pulang’, sehingga mereka takut kehilangan tempat tinggal dan ‘terkatung-katung’.
Beruntungnya, saya berkali-kali melihat Dr. Emmerson mendemonstrasikan penggunaan teknik ini ketika saya belajar padanya, satu hal yang saya sangat sadari dari cara Dr. Emmerson dalam menangani Resource State adalah ia selalu menghormati setiap Resource State yang muncul dalam diri seseorang, seberapa negatif dan kasar pun itu, bahkan baik itu OPI sekali pun. Dari rasa hormat inilah justru Dr. Emmerson bisa mengumpulkan informasi yang memadai dan dengan rasa cinta kasih ia bisa ‘mengantar’ para OPI itu kembali pulang menuju cahaya.
Itulah yang saya lakukan pada OPI dalam diri Budi, berbekal rasa hormat dan penerimaan, OPI itu terus membuka diri untuk bercerita sampai saya menawarkan bantuan untuk ‘mengantarnya pulang’. Seperti sudah bisa diduga, OPI ini tidak bersedia ‘diantar pulang’, ada terlalu banyak beban penyesalan yang membuatnya merasa tidak bisa pulang dan putus asa.
Menyikapi fenomena ini, teknik rekontruksi lanjutan pun dilakukan pada OPI ini, membantunya melepaskan bebannya agar ia bisa menjadi ‘ringan’ dan bisa ‘kembali pulang’ dengan lebih lancar. Di akhir rekontruksinya OPI ini pun tersenyum selepas mendapatkan resolusinya, ekspresinya menjadi lebih cerah dan ia bersedia ‘diantar pulang’ ke tempat dimana seharusnya ia berada, terlebih setelah ia menyadari bahwa ada sosok yang dikasihinya yang menunggunya di ‘alam sana’.
Tunggu dulu…jadi sekali lagi, apa sebenarnya OPI tadi? Sekali lagi juga: saya tidak tahu, terlalu banyak landasan teori dengan sudut pandangnya masing-masing yang akan keluar mewarnai detail cerita ini jika kita menyempitkan fokus hanya untuk memperdebatkan ‘apa itu OPI’, karena pada akhirnya ada detail yang tidak bisa begitu saja tersentuh oleh keterbatasan pemahaman kita saat ini.
Saya sendiri jika ditanya perihal kemungkinan ilmiahnya lebih suka menjelaskan secara sederhana bahwa OPI adalah energi psikis simbolis yang terbentuk di pikiran bawah sadar seseorang, secara simbolis ia mengambil peran/kepribadian/kisah spesifik yang mewakili beban emosi negatif yang terbentuk dalam diri orang tersebut yang memerlukan resolusi.
Apakah itu benar adanya sehingga OPI sebenarnya bukanlah ‘makhluk’? Entahlah, saya sendiri tidak mengatakan itu paling benar dan mempersoalkan itu, sebagai makhluk yang hidup di lautan energi alam raya semesta ini, saya percaya segala-sesuatu pada akhirnya adalah perwujudan dari energi dengan frekwensinya masing-masing, segala-sesuatu mungkin adanya dan sejauh mana pun kita menyatakan sudah memahami sesuatu, selalu ada kemungkinan pemahaman lain yang belum kita pahami di dalamnya.
Yang jelas setelah beberapa hari berlalu, Budi mengabari saya bahwa ia menjalani hari-hari dengan lebih ringan, lebih lepas dan lebih mudah berbahagia, seperti ada sebuah ganjalan besar yang dilepas keluar dari dirinya dan memperbaharui kualitas berpikirnya.
Budi sendiri sempat keheranan setelah menjalani sesi, ada banyak tanda-tanya dan keheranan dalam dirinya, yang pada akhirnya tetap saja kalah oleh kegembiraannya karena bisa lepas dari persoalan yang selama ini membebaninya. Saya sendiri hanya menjelaskan dari perspektif profesi saya sebagai hipnoterapis, berbagai penjelasan yang bersifat ilmiah yang saya anggap mewakili situasi Budilah yang lebih banyak saya jelaskan.
Sekali lagi, alih-alih mempersoalkan ‘makhluk’ apa itu, saya lebih memilih fokus pada solusi yang membawa perubahan pada diri klien, mengapa? Jawabannya sederhana: karena saya seorang hipnoterapis klinis dan bukan paranormal, maka sejauh itulah ruang gerak profesional saya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.