Mengenal NLP Presuppositions
Sejak berabad-abad silam lamanya alam telah menjadi guru terbaik manusia, ada begitu banyak kebijaksanaan dan pembelajaran tersimpan di balik segala fenomena yang disajikannya. Bahkan seorang ilmuwan terkemuka dunia, Albert Enstein, mengungkapkan “Pandangilah alam dengan baik, kau akan memahami segala-sesuatu dengan lebih mudah.”
Alam mengajarkan kita bahwa buah yang berkualitas pastilah terbentuk dari akar yang kokoh, jika karena sebuah kebetulan sebatang pohon menghasilkan buah yang manis namun tanpa didukung akar yang kuat, maka sangat mungkin kemanisan itu hanya akan ‘numpang lewat’ sebelum ia berguguran dan mati layu di kemudian hari.
Fenomena itulah yang kiranya merefleksikan pengalaman saya ketika mempelajari keilmuan Neuro-Linguistic Programming (NLP), yang telah mengubah hidup saya dan banyak klien serta peserta pelatihan saya. Jika sekarang orang mengenali saya sebagai seorang Professional Life Coach yang menggunakan NLP dalam banyak sesi Coaching yang saya fasilitasi, tidak demikian di awal mempelajarinya dulu.
Ijinkan saya berterusterang, di awal mempelajari NLP dulu saya sedemikian fokus pada banyaknya teknik untuk dipelajari, semakin banyak teknik yang dikuasai maka seolah semakin bangga rasanya. Namun di titik ini tanda tanya juga bermunculan, tak lain dan tak bukan karena dari sedemikian banyak teknik yang dikuasai itu hanya sedikit yang menghasilkan perubahan. Di titik inilah pertanyaan muncul dalam benak saya, “Apa yang salah dengan semua ini?”
Semua itu membawa saya kembali ke titik permulaan, untuk memahami kembali apa esensi yang hilang dari pembelajaran yang saya lalui. Baru di titik inilah saya menyadari bahwa teknik yang saya pelajari, tidaklah didukung dengan prinsip yang memadai. Menggunakan perumpamaan seorang juru masak, saya menjadi seseorang yang hanya tahu cara memasak dengan sebuah resep, tapi tidak tahu esensi penting di balik penggunaan bahan baku dan teknik memasaknya, terpaku pada resep tapi tidak tahu esensi di balik resep tersebut.
NLP Presuppositions adalah prinsip berpikir dan berperilaku para praktisi NLP yang menjadi landasan dalam berbagai macam penerapan teknik NLP. Awal mengenalnya, saya pikir hal ini hanyalah sebuah ‘kata mutiara’ semata, disinilah letak kesalahan saya! Ketika mengawali ulang pembelajaran, saya mendapati ternyata NLP Presupposition menjadi sebuah kerangka kerja, berpikir dan berperilaku para praktisi NLP. Memahami NLP Presuppositions juga yang membawa saya memahami esensi penting di balik pengaplikasian segala macam teknik NLP, baru di titik inilah perubahan nyata bisa saya rasakan!
NLP PRESUPPOSITIONS
Yang membuat sebuah pohon menarik mungkin memang adalah buah, daun atau bunganya, namun yang membuat keberadaannya langgeng justru adalah akarnya. Dalam keilmuan NLP ada banyak sekali teknik yang menghasilkan perubahan nyata bagi penggunanya, namun teknik itu tetap harus diaplikasikan berdasarkan pada prinsip yang tepat.
Teknik inilah yang kiranya saya umpamakan sebagai buah, daun atau bunga, sementara prinsip yang melandasinya adalah akarnya, tanpa akar yang memadai maka segala hal yang membuat pohon itu menarik menjadi rapuh dan tidaklah banyak berarti.
NLP terlahir dari sebuah proses pengamatan (lebih tepatnya, penelitian) yang dilakukan oleh Richard Bandler dan John Grinder (silakan menemukan tulisan lebih lengkapnya di artikel ‘Selayang Pandang NLP dan Time Line Therapy®), keduanya sampai saat ini dikenal populer sebagai tokoh yang berperan penting menemukan formulasi keilmuan NLP sampai seperti sekarang ini.
Bandler dan Grinder memfokuskan pengamatannya pada proses transformasi yang terjadi pada diri seseorang, baik dengan mengamati para tokoh besar yang memfasilitasi transformasi itu pada orang lain, seperti Virginia Satir, Fritz Perl, Milton Erickson dan banyak lagi, serta mengamati pola-pola transformasi yang sudah dialami seseorang secara nyata.
Dalam kasus menangani fobia misalnya, Bandler lebih suka meneliti orang yang jelas-jelas sudah terbebas dari fobianya dan mempelajari pola-pola yang tidak disadari oleh orang itu, yang membuatnya bisa lepas dari fobia yang dideritanya, lalu mengadaptasi pola yang sama pada penderita phobia lain untuk dilakukan secara sadar dan sengaja, melalui serangkaian percobaan ditemukanlah teknik luar biasa yang mampu menyembuhkan fobia dalam hitungan menit, yang dalam NLP dikenal sebagai Fast Phobia Cure.
Yang perlu kita sadari adalah bahwa teknik-teknik itu tidaklah lahir begitu saja, melainkan melalui serangkaian pengamatan dan pengalaman yang melahirkan kesimpulan, yang kemudian berkembang menjadi prinsip yang melandasi pengembangan-pengembangan tekniknya. Bagi pembelajar NLP yang sekarang ini tinggal mempelajari tekniknya memang hal ini memberikan kemudahan tersendiri, namun dalam tahapan penggunaan yang lebih luas, pemahaman esensial akan prinsiplah yang menjadi penentu keberhasilan penggunaan teknik-teknik tersebut.
NLP Presupposition adalah prinsip-prinsip yang lahir dari kesimpulan-kesimpulan pengamatan di periode pengembangan NLP dulu, penggunaan teknik NLP tanpa memahami Presupposition ini akan menjadikan teknik yang digunakan tak ubahnya seperti pedang tanpa gagang, tajam namun ketajamannya berpotensi mengganggu banyak orang.
Contohnya saja, dalam sesi coaching kita akan menjumpai beragam klien dengan berbagai macam problematika, yang muncul dari cara berpikir dalam dirinya. Jika kita menggunakan model dunia kita untuk menyikapi problematika klien, bisa dipastikan akan terjadi ketimpangan dalam proses penyelesaian masalahnya, karena dalam model dunia seseorang terletak banyak struktur penyusun sebuah cara berpikir. Dalam NLP cara terbaik menghasilkan perubahan adalah dengan memberdayakan struktur yang sudah ada dalam diri orang tersebut tanpa harus terlalu banyak mencampurinya dengan model dunia diri kita, maka itulah dalam NLP ada Presupposition: “Hormati model dunia orang lain.”
Dalam kasus lain, bisa jadi proses mempraktekkan teknik NLP tidak serta-merta membuahkan hasil, ada kalanya mereka yang masih awal mempraktekkannya merasa kecil hati karenanya karena mereka merasa ‘gagal’. Dalam hal ini perlu kita sadari bahwa bukan berarti prosesnya gagal, melainkan ada strategi yang belum efektif di dalamnya yang belum bekerja optimal, disinilah diperlukan kepekaan kita untuk mengeksplorasi strategi ini lebih jauh dan mengetahui dimana letak sumber masalahnya, semua ini tidak akan terjadi jika kita memutuskan menyerah terlalu cepat karena merasa gagal ketika melakukannya, itulah kenapa dalam NLP dikenal Presupposition: “Tidak ada kegagalan, hanya ada pembelajaran.”
Salah satu Presupposition yang bagi saya sangat menarik dan bermakna adalah “Ada niat baik di balik setiap perilaku”. Presupposition yang satu ini bagi saya sangatlah membantu proses perubahan, karena kita tidak memandang hal-hal tidak produktif (malas, takut, marah dll) sebagai sebuah ‘gangguan’, melainkan ‘perilaku’ semata. Perilaku ini tidaklah muncul dengan sendirinya, melainkan karena adanya niat baik tertentu yang melandasinya. Rasa takut misalnya, sebenarnya muncul untuk melindungi kita dari hal-hal tertentu yang berpotensi membahayakan.
Dengan adanya pemahaman akan Presupposition ini, maka perilaku tidak produktif itu bukanlah kita ‘kutuk’ atau keluhkan, melainkan justru kita kenali dan identifikasi, sehingga kita menjadi pribadi yang semakin ‘bersahabat dengan diri sendiri’ karenanya.
Masih ada begitu banyak contoh lain, yang akan dikupas di kelas dan juga dikupas di artikel demi artikel website ini. Pengenalan akan NLP Presupposition di artikel ini hanyalah bagian pengantar yang menyajikan sebuah penekanan akan pentingnya memahami prinsip yang tepat dalam menggunakan teknik-teknik NLP.
Entah Anda lebih suka menggunakan NLP untuk diri Anda sendiri atau untuk membantu orang lain secara profesional, sebagai seorang coach misalnya, pahamilah esensi dari setiap NLP Presupposition secara mendalam. Percaya atau tidak, pemahaman inilah yang pada waktunya kelak akan muncul dengan sendirinya secara intuitif ketika mempraktekkan berbagai macam Teknik NLP.
Salah satu petikkan yang populer berkembang tentang deninisi NLP yaitu “NLP is an attitude” atau jika diterjemahkan “NLP adalah sikap”. Artinya seorang praktisi NLP sedianya bukan semata menggunakannya sebagai teknik, melainkan mengadaptasinya sebagai bagian dari cara berpikirnya sehari-hari, artinya rangkaian teknik ini dilakukan secara rutin sampai menjadi sebuah sikap.
Perlu Anda ketahui, NLP bukanlah sebuah ideologi atau kebenaran universal, melainkan metodologi. Artinya NLP hanyalah sebuah ‘alat’, apa yang diajarkan di dalamya bersifat netral, tidak bersinggungan dengan agama atau keyakinan apa pun, adalah tugas Anda sebagai penggunanya untuk menggunakan alat ini sebaik mungkin sesuai dengan apa yang Anda yakini secara ekologis (tidak menimbukan efek gangguan pada pihak lain).
Begitu juga NLP Presupposition ini, bukan menjadi sebuah kebenaran mutlak dalam melihat dan menyikapi dunia, melainkan dalam memberdayakan teknik-teknik NLP yang Anda pelajari sebaik mungkin, penggunaannya adalah untuk melandasi dan menjembatani pemahaman akan berbagai macam teknik yang Anda pelajari, adalah tugas Anda untuk membumikannya sesuai dengan hasil yang Anda harapkan dari sikap Anda dalam mempraktekkan NLP di aktivitas sehari-hari.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Neuro-Linguistic Programming (NLP) Coaching? Memerlukan layanan NLP Coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari NLP Coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.