Paradigma Penentu Kualitas Perubahan
Daftar Isi
“Anda harus mengambil tanggung jawab pribadi. Anda tidak bisa mengubah lingkungan, cuaca atau arah angin tapi Anda bisa mengubah diri sendiri. Itulah tugas Anda.” – Jim Rohn
Apa kiranya yang menentukan kualitas perubahan seseorang yang menjalani sebuah sesi perubahan, entah itu coaching, konseling atau pun terapi?
Sebagaimana Anda sudah bisa menebaknya: SIKAP MENTAL.
Ya, sikap mental klien dalam menjalani perubahan adalah modal utama yang paling menentukan kualitas perubahan yang akan dijalaninya.
Namun demikian, sikap mental yang seperti apa? Pertanyaan ini akan membawa kita pada sebuah pemahaman mendasar tentang ‘paradigma’.
KEKUATAN SEBUAH PARADIGMA
Paradigma menjadi sebuah cara bagi seseorang dalam memandang dan menyikapi segala sesuatu, tergantung pada cara seseorang dalam memandang kehidupan maka lain juga caranya dalam menyikapi apa yang terjadi di luar dirinya.
Seseorang yang memandang kehidupan sebagai sebuah petualangan sudah pasti akan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda dengan mereka yang memandang kehidupan sebagai sebuah kepahitan.
Paradigma atas kehidupan ini bukan hanya cara pandang atas kehidupan, namun juga atas diri sendiri, dimana cara seseorang memandang dirinya akan sangat menentukan caranya dalam merespon kehidupan.
Kita akan membahasnya menggunakan frasa yang populer digunakan dalam keilmuan pengembangan diri, yaitu ‘garis paradigma’, dimana istilah ini mengacu kepada dua jenis sikap berpikir: yaitu ‘sikap di atas garis’ dan ‘sikap di bawah garis’.
Sikap di bawah garis (below the line paradigm) menunjukkan kecenderungan kita untuk memandang diri kita sebagai korban yang tidak berpartisipasi dalam skenario kehidupan kita sendiri, artinya kita menolak keterlibatan kita dalam berbagai kejadian yang kita alami – terutama yang tidak kita sukai – dan lebih memilih untuk menyalahkan pihak lain atau kejadian di luar diri kita sebagai penyebab utamanya, sikap ini juga biasa disebut sikap mental korban kehidupan.
Berlawanan dengan sikap di bawah garis, sikap di atas garis (above the line paradigm) menunjukkan cara pandang kita atas diri kita sebagai seorang pemain kehidupan yang sanggup mengambil tanggung jawab kehidupan, menyadari bahwa di balik berbagai hal yang kita alami, terlepas kita sukai atau tidak, selalu ada peran keterlibatan kita di dalamnya, kita menyebutnya sikap mental pemain kehidupan. Dalam buku 7 Habbits of Highly Effective People (1989) tulisan Stephen Covey , hal ini dikenal sebagai sikap proaktif.
Penting sekali untuk memahami perbedaan yang jelas di antara keduanya karena dari sinilah kunci sebuah perubahan yang efektif berawal. Ketika seorang klien datang untuk menjalani perubahan, maka mereka selalu berada di salah satu dari kedua peran itu, beserta paradigma yang menyertainya.
Peran dan paradigma klien sebagai korban atau pemain bisa dengan mudah dilihat ketika mereka berhadapan dengan situasi yang tidak mereka harapkan, salah satunya yaitu dalam menghadapi permasalahan.
Tidak bisa dipungkiri, banyak orang yang ketika dihadapkan dengan apa yang banyak dikenal sebagai ‘kegagalan’ dan ‘permasalahan’ lebih suka menyalahkan situasi di luar dirinya yang dianggapnya menjadi sebab di balik berbagai permasalahan itu, mereka fokus pada ketidakberdayaan dan bukannya melakukan introspeksi atas kekurangan dirinya yang menyebabkan hal itu terjadi, hal inilah yang kita sebut sebagai paradigma seorang korban kehidupan.
Mereka yang memiliki peran dan paradigma seorang pemain kehidupan sama-sama menghadapi permasalahan, namun ketika menghadapi permasalahan mereka tidak meletakkan dirinya sebagai korban atas situasi yang dirasanya tidak membuatnya nyaman, mereka menyadari bahwa masalah di sekeliling mereka tercipta karena ada kontribusi peran keterlibatan mereka di balik permasalahan tersebut, ada kekurangan, keterbatasan atau hal yang mereka belum antisipasi dengan baik, yang menjadikan mereka harus menghadapi masalah itu.
KENIKMATAN TERSEMBUNYI MENJADI KORBAN
Meski terdengar ironis, namun demikianlah adanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Blair Warren, seorang tokoh dunia psikologi, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan emosi dasar yang jika dihubungkan dengan sikap mental korban dalam bahasan kita mengacu pada dua hal:
Pertama, kebutuhan menjadi benar, kita punya kecenderungan menempatkan diri di posisi sebagai sosok yang benar, meski di posisi salah sekali pun. Hal ini bisa kita temukan dari orang yang melakukan kesalahan namun berlindung di balik ucapan “Memang saya yang salah, tapi…”
Kedua, kebutuhan akan kambing hitam. Mekanisme ‘perlindungan gengsi’ kita punya kecenderungan untuk menolak mengakui bahwa kita lemah atau salah, maka ketika dihadapkan dengan situasi yang sulit dikendalikan, seperti sulitnya kondisi negara yang berimbas pada bisnis, kita lebih mudah menyalahkan negara daripada introspeksi kurangnya pengetahuan dan keahlian yang kita miliki, yang membuat bisnis terpengaruh kondisi negara, padahal di tempat lain ada orang-orang yang fokus meningkatkan pengetahuan dan keahlian untuk memperkuat bisnisnya agar tidak terpengaruh kondisi negara secara berlebihan.
Ada pengalaman menarik tentang fenomena ini yang saya alami ketika bekerja beberapa tahun lalu. Salah seorang rekan di perusahaan tempat saya bekerja adalah seorang yang terang-terangan dinilai malas dalam bekerja oleh rekan-rekan satu departemennya, ditambah lagi perilakunya yang banyak omong dan seringkali mangkir dari berbagai tugas yang diamanatkan, jelas saja hal itu menimbulkan masalah yang tidak sedikit bagi sesama rekannya.
Suatu hari ia kedapatan melanggar peraturan perusahaan dan mendapatkan sanksi tegas berupa pemecatan. Disinilah hal menarik terjadi, semua bukti dengan jelas menegaskan bahwa ia melakukan kesalahan namun dalam berbagai pembicaraannya dengan orang lain yang ia temui ia selalu membahas betapa perusahaan tidak adil memperlakukan dirinya, mengalirlah segala cerita plus bumbunya yang dimaksudkan mempertegas bahwa dirinya ‘sang korban yang malang dari sebuah perusahaan yang kejam’ dalam peristiwa tersebut.
Seberapa sering hal ini kita temukan pada orang di sekitar kita atau bahkan kita alami sendiri? Perhatikan sederet kalimat yang agaknya sudah biasa kita dengar berikut ini:
“Gara-gara tindakannya, semua rencana saya berantakan!”
“Saya sudah berusaha semampu saya, tapi situasi negara saat ini sedang tidak karuan, sehingga orang kecil seperti saya menjadi korban dari permainan para elit politik yang tidak bertanggungjawab!”
“Usaha yang sudah saya rintis bertahun-tahun ini hancur hanya karena kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat kecil!”
“Kehidupan saya lebih baik sebelum bertemu dia!”
“Saya sering terlambat karena jalanan macet, saya heran kenapa pemerintah daerah tidak mencari solusi dengan cepat!”
Begitulah, jika kita teruskan masih ada segudang kalimat menggerutu lainnya yang dengan jelas menunjukkan sebuah hubungan sebab-akibat antara diri kita dan orang lain atau situasi di luar diri kita. Hanya saja yang umum terjadi adalah banyak dari kita yang lebih suka memilih menempatkan diri sebagai akibat dari perbuatan pihak lain yang kita nilai merugikan kita dengan kata lain berperan sebagai korban.
Disinilah pentingnya paradigma pemain kehidupan atau above the line paradigm, menjalani proses perubahan dengan sikap mental korban kehidupan atau below the line paradigm hanya akan membuat seseorang terus-menerus menyalahkan proses yang tidak kunjung membawa hasil baginya dan bukannya introspeksi pada kekurangan dirinya yang membuat mengapa proses itu tidak kunjung membawa hasil.
Lebih jauh lagi, kekuatan dari paradigma ini bermuara pada cakupan yang lebih besar, bukan hanya dalam menjalani sesi, namun dalam merespon kehidupan. Itulah mengapa topik dan bahasan akan paradigma ini menjadi pembuka dari banyak formulasi keilmuan pengembangan diri karena perubahan hanya tersedia bagi mereka yang sudah matang dengan kapasitas dirinya sebagai pemain kehidupan.
PERAN KETERLIBATAN DIRI
Kecenderungan dasar menempatkan diri sebagai korban terangkum dalam singkatan BED (blaming, excusing dan denial) yang diartikan sebagai sikap menyalahkan, beralasan dan menolak.
Akhir dari semua sikap ini bermuara ke satu kesimpulan bahwa orang lain atau situasi di luar diri kitalah yang menyebabkan kita mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan, padahal disadari atau tidak, sikap menyalahkan dan melempar tanggung jawab kesalahan pada pihak lain pada dasarnya muncul karena adanya penolakan dalam diri kita atas adanya: (1) peran kesalahan yang kita lakukan, (2) kelemahan yang kita sadari namun enggan kita terima bahwa ia ada dalam diri kita dan terakhir, (3) peran keputusan yang kita ketahui menyebabkan itu terjadi adanya namun enggan kita akui.
Mari kita telaah, alih-alih mengeluhkan jalan yang macet, tanya diri kita mengapa kita memilih melalui jalan itu? Mengapa tidak berangkat lebih awal? Mengapa kita harus keluar dari rumah dalam kondisi macet? Mengapa kita harus bekerja dalam kondisi macet? Mengapa tidak memilih pekerjaan lain saja jadi tidak perlu bermacet-macet? Mengapa tidak berani berpindah pekerjaan? Mengapa tidak percaya diri sehingga tidak berani? Mengapa memiliki keahlian yang kurang sehingga sulit berpindah pekerjaan? Mengapa tinggal di negara ini jika merasa negara tidak adil?
Tanya diri kita segudang pertanyaan yang membawa kita ke sebuah proses berpikir reflektif bahwa kejadian apa pun yang kita alami, hal itu tercipta karena ada keterlibatan pilihan, keputusan masa lalu dan tindakan pribadi kita di dalamnya. Jika muncul anggapan bahwa ‘tidak ada pilihan’, sadarilah bahwa sesungguhnya ‘selalu ada pilihan’, hanya saja kita tidak siap dengan konsekwensinya.
Contoh lainnya, saya sering terlibat dalam sebuah obrolan dengan beberapa rekan yang sibuk menyalahkan perusahaan tempat mereka bekerja karena dianggap tidak adil memperlakukan diri mereka. Ketika melalui proses penggalian keluarlah segudang alasan-alasan lain yang intinya menyoroti bahwa merekalah korban yang malang tidak berdaya dari situasi yang dialaminya.
Ketika ditanya mengapa tidak keluar saja dan mencari pekerjaan baru, maka mereka akan berkelit dengan segudang alasan yang menyatakan: ‘tidak ada pilihan’, ‘sulit mencari pekerjaan sekarang ini’ dan banyak lagi yang kemudian berujung menyalahkan pemerintah atas situasi negara yang tidak stabil, atasan yang tidak adil dan banyak lagi cerita dramatis lainnya, padahal semua itu sering kali bermula dari etos kerja yang buruk, kurangnya ketegasan diri, keahlian yang tidak kompeten dan ketidakberanian mengambil resiko.
Mengapa kesadaran sikap mental ini menjadi fondasi awal dan penentu keberhasilan perubahan? Ada sebuah alasan mutlak: percuma menjalani proses perubahan tanpa sikap mental yang tepat, karena pada akhirnya kita akan larut oleh drama yang kita ciptakan sendiri sebagai pembenaran untuk menutupi kelemahan dan ketidakefektifan diri kita yang menyebabkan perubahan itu tidak terjadi, diibaratkan pelaut yang kapalnya bolong karena membentur bebatuan karang tajam di tengah laut, bukannya introspeksi ketidakmampuannya mengenali posisi karang dan bukannya menutupi lubang bocor di kapal agar bisa kembali melaut mencapai tujuan, ia malah sibuk menyalahkan karang di tengah laut.
PIKUL TANGGUNGJAWAB PERUBAHAN
Sekaranglah waktunya kita mulai menuju bagian penutup dari artikel ini, yaitu bagaimana kita memfasilitasi perubahan pada klien dengan mengadaptasi sikap mental yang tepat.
Untuk itu, ada dua kata yang pertama-tama perlu kita renungkan sebagai kunci awal sebuah perubahan hidup yang berkualitas: tanggung jawab.
Dengan memutuskan bertanggung jawab atas hasil apa pun yang akan diterima, maka saat itu juga seseorang mulai menyadari bahwa hal-hal yang menyebabkan perubahan tidak terwujud adalah kurang efektifnya cara yang mereka lakukan dalam mempraktekkannya. Kalau pun ada kendala dari luar, semua itu pun terjadi karena ketidaksiapan dan ketidaktahuan mereka dalam mengantisipasinya.
Hambatan atau rintangan dari luar diri akan selalu ada dan hal itu tidak terhindarkan adanya. Kita tidak bisa menetapkan sebuah harapan bahwa segala-sesuatu di luar diri kita harus selalu baik-baik saja adanya. Di momen menghadapi hambatan atau rintangan inilah kita perlu menyadari bahwa yang bisa kita lakukan adalah memaksimalkan upaya yang bisa kita lakukan di dalam diri dan bukan semata bergantung pada keajaiban di luar diri yang sulit kita prediksi.
Di balik penjelasan yang seolah bisa nampak kompleks, sebenarnya solusinya sederhana sekali. Jika seseorang sudah memutuskan menjadi pemain atau pemimpin sejati atas perubahan hidupnya, maka saat ini juga lakukan proses pemaknaan ulang terhadap segala keluh-kesah atas situasi yang tidak sesuai harapan, sadari bahwa semua itu terjadi atas pilihan dan tindakan kita, baik itu disengaja atau pun tidak.
Perlu kita sadari proses pemaknaan ulang ini mungkin tidak sepenuhnya terasa nyaman bagi diri kita pada awalnya karena seolah memojokkan diri sendiri. Saya ingin mengajak Anda menyimak beberapa contoh bagaimana proses pemaknaan ulang pada beberapa kalimat atau kejadian terasa agak pahit di awal namun jika kita konsisten melakukannya, sikap ini justru membawa kita ke mode berpikir yang lebih memegang kendali pada akhirnya:
- Ungkapan paradigma korban kehidupan: Para konsumen tidak memahami maksud penawaran produk saya.
Ungkapan paradigma pemain kehidupan: Saya berkomunikasi dengan cara yang buruk, konsumen tidak memahami saya.
- Ungkapan paradigma korban kehidupan: Bisnis saya memburuk di tengah menurunnya situasi ekonomi negara.
Ungkapan paradigma pemain kehidupan: Saya belum memahami strategi bisnis yang tepat di situasi ekonomi negara seperti ini.
- Ungkapan paradigma korban kehidupan: Saya dikhianati rekan bisnis saya sendiri sampai menderita kerugian.
Ungkapan paradigma pemain kehidupan: Saya tidak waspada sehingga dikhianati, merugi adalah konsekwensinya.
- Ungkapan paradigma korban kehidupan: Program ini tidak efektif, saya tidak merasakan perubahan apa pun.
Ungkapan paradigma pemain kehidupan: Saya belum berpartisipasi optimal sehingga tidak merasakan perubahan
Proses perpindahan paradigma ini dalam NLP Coaching dikenal sebagai shifting paradigm atau berpindah paradigma.
Menariknya, bisa saja ada pertanyaan yang muncul, apakah ini berarti kita menyalahkan diri sendiri? Sama sekali tidak, meski nampak seperti serupa, menyalahkan diri sendiri dan bertanggung jawab atas kehidupan sendiri memiliki makna dasar yang berbeda.
Ketika kita menggunakan frasa menyalahkan diri sendiri, maka kita cenderung fokus pada penyesalan dan ketidakberdayaan, sebaliknya bertanggungjawab atas kehidupan sendiri mengacu kepada sikap mental bersedia mengambil tindakan dan berperan aktif untuk mewujudkan transformasi hidup kita tanpa harus bergantung pada ketidakberdayaan atas perlakuan orang lain atau situasi di luar diri kita.
PERUBAHAN DALAM KENDALI
Mengapa mengusung paradigma pemain kehidupan membawa kita ke zona memegang kendali atas kehidupan? Mari membahasnya.
Sebagai contoh, mari amati kalimat kedua di atas, yaitu ‘bisnis saya memburuk di tengah menurunnya situasi ekonomi negara’. Ketika dikatakan dengan mengacu pada maraknya berita-berita yang disuarakan di berbagai media, memang hal ini seolah menjadi fakta, namun perlu kita ingat bahwa yang terpenting adalah titik fokus kita dalam menyikapi apa yang seolah menjadi fakta tersebut.
Menurunnya situasi ekonomi negara adalah hal di luar diri kita yang tidak bisa kita kendalikan, memfokuskan diri pada hal ini tidak akan membawa kita kemana pun, karena seolah apa pun yang kita lakukan tetap saja percuma karena penentu akhir keberhasilannya adalah situasi ekonomi negara (hal di luar diri kita).
Fokus pada apa yang bisa kita kendalikan adalah kunci dasar dari proses perubahan, ketika dihadapkan pada kesulitan dan kita beranggapan bahwa masalahnya terletak di luar diri kita maka menyerah adalah respon pertama yang muncul, namun jika kita fokus pada diri kita sebagai penentu keberhasilannya maka kita akan mempertajam fokus pada perbaikan, yaitu mempertajam fleksibilitas untuk bisa melakukan dengan cara yang berbeda.
Lain halnya ketika kita memfokuskan atensi pada diri kita sendiri, pada ketidakmampuan kita dalam memahami strategi bisnis yang tepat. Mari kita berandai-andai, apa yang mungkin terjadi ketika kita kemudian memahami strategi yang tepat? Akankah ada perubahan? Tentu saja, karena yang menjadi penentu sekarang adalah kurangnya strategi (hal di dalam diri kita), bukan lagi situasi di luar diri kita, ketika hal ini kita atasi maka harapan atau kemungkinan perubahannya pun meningkat.
Anda akan menemukan ada banyak orang yang mempelajari keilmuan teknologi pikiran modern seperti NLP, hipnosis dan banyak lagi lainnya, namun merasa tidak ada perubahan dalam hidupnya, lalu menyalahkan apa yang dipelajarinya atau bahkan menyalahkan instruktur yang mengajarkannya, ketika ditanya sudah berapa sering mereka mempraktekkan yang diajarkan dan apa yang dirasanya belum efektif sehingga bisa diperbaiki, jawabannya ternyata berbelit-belit dan hanya berisi kalimat negatif yang menyalahkan orang lain, situasi dan dunia di luar dirinya. Dengan kata lain, mereka ingin mempelajari ilmunya, tapi enggan memikul tanggung jawab yang menyertai ilmunya.
Itulah gambaran akan sebuah proses perubahan, diibaratkan sebuah jalan panjang dengan pintu yang terkunci di ujungnya yang ketika dibuka akan membawa klien menuju perubahan, kita bisa menunjukkan jalannya, menunjukkan pintunya dan memberikan kuncinya, namun pada akhirnya tetap klienlah yang harus melaluinya sendiri, memasukkan kunci ke dalam lubangnya dan membuka pintunya, klienlah pemain kehidupan mereka sendiri!
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching? Memerlukan layanan coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.