Pengaruh Dari Stres Bagi Kesehatan
Di tengah hingar-bingarnya kompleksitas kehidupan sekarang ini dengan sedemikian banyak tekanan yang diberikannya, stress menjadi satu hal yang tidak terhindarkan, dimana keberadaan stres ini kemudian menjadi salah satu hal yang secara signifikan mempengaruhi kualitas kesehatan seseorang.
Membicarakan kesehatan, Dinkmeyer (1979) menegaskan bahwa kesehatan bukanlah sebatas kondisi dimana seseorang terbebas dari rasa sakit, melainkan sebuah kondisi positif yang memungkinkan seseorang untuk lebih berenergi dan lebih antusias dalam menjalani kehidupan, dimana hal ini pada akhirnya sangatlah berhubungan erat dengan kualitas kesehatan mental seseorang.
Pertanyaannya adalah: apa yang dimaksud stres, bukankah kita sering mendengarnya? Bisa jadi kita sering menyuarakannya, namun sebenarnya tidak menyadari arti dari stres ini sendiri. Berikutnya, bagaimana keberadaan stres ini kelak bisa mempengaruhi kualitas kesehatan seseorang?
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana stres menjadi satu hal yang mempengaruhi kualitas kesehatan, baik secara langsung atau pun tidak langsung.
Selamat menikmati.
DEFINISI STRES
Sebagai satu frasa yang banyak disuarakan dalam banyak pembicaraan dewasa ini, merupakan sebuah keunikan tersendiri ketika kata ‘stres’ ini dilontarkan dalam sebuah pembicaraan namun kita sendiri justru tidak memahami makna di balik frasa ini.
“Stres ya stres saja, pokoknya stres lah.” Kalimat itu agaknya cukup mewakili pemaknaan dalam diri banyak orang tentang arti dari stres itu sendiri.
Hal ini sebenarnya tidak mengherankan, mengingat kita sudah terlanjur akrab dengan kata itu, dan bahkan tanpa sadar menyepakatinya secara kolektif sebagai suatu hal yang dimaknai secara negatif, meski sebenarnya mungkin kita sendiri tidak terlalu memahami definisi sebenarnya dari stres itu sendiri.
Membicarakan definisi, hal ini tentu mensyaratkan kita untuk paling tidak mengenali terlebih dahulu dari mana atau siapa yang menyatakan definisi tersebut.
American Psychological Association (tanpa tahun) mendefinisikan stres sebagai sebuah respon fisiologis atau respon psikologis terhadap stresor internal atau eksternal.
Stresor sendiri bisa dipahami sebagai stimulus lingkungan, sosial atau bahkan stimulus internal (cara berpikir kita sendiri) yang menutut kita untuk menyesuaikan ulang pola perilaku kita agar mampu memenuhi tuntutan stimulus tersebut (Holmes & Rahe, 1967, dalam Thoits, 1995).
Goldstein (1995, dalam Myslivecek, 2015) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dimana sebuah kebiasaan merespon, baik yang sudah terprogram secara genetik (diturunkan dari orang tua), atau pun yang merupakan hasil dari pengalaman tumbuh-kembang masa lalu, tidak sejalan dengan tuntutan situasi, dimana rentang antara kebiasaan lama dan tuntutan baru ini menghasilkan respon yang tidak wajar sebagai bentuk kompensasinya.
Respon tidak wajar sebagai bentuk kompensasi dari tidak sejalannya kebiasan lama dan tuntutan baru ini bisa terjadi secara fisik, mental atau pun emosional, yang bermuara pada munculnya ketegangan fisik, mental atau pun emosional (Myslivecek, 2015).
Maka sejauh ini bisa kita simpulkan bahwa stres adalah suatu bentuk respon fisik, mental atau pun emosional yang tidak wajar, yang terasosiasi dengan ketegangan, sebagai kompensasi karena sebuah tuntutan situasi tidak bisa diimbangi oleh kebiasaan yang selama ini dioperasikan sebagai mekanisme untuk merespon situasi.
STRES, HOMEOSTASIS DAN ALLOSTASIS
Manusia terhubung dengan sistem homeostasis dalam dirinya, yaitu sebuah proses yang menjaga dan menempatkan kita di sebuah kondisi yang dirasa aman, nyaman dan seimbang, sejalan dengan sistem fisik, mental dan emosional yang biasa dioperasikan (Stagner, 1961; Myslivecek, 2015).
Ketika sistem homeostasis dalam diri terganggu karena satu dan lain hal, muncullah reaksi allostasis sebagai bentuk mekanisme yang mencari jalan untuk mempertahankan diri agar stabilitas homeostasis terjaga (Myslivecek, 2015), reaksi allostasis akan memunculkan ketidaknyamanan karena diri kita mencari-cari cara untuk beradaptasi agar kestabilan kembali terjaga.
Sebagaimana stres sudah dijelaskan sebelumnya sebagai suatu bentuk respon ketegangan sebagai kompensasi atas tuntutan situasi yang tidak bisa diimbangi oleh kebiasaan yang selama ini dioperasikan, bisa kita dapati bahwa stres berhubungan dengan adanya sensasi ‘asing’ yang mengganggu cara kerja sistem homeostasis dalam diri seseorang, menuntutnya untuk keluar dari zona aman, nyaman dan seimbang yang sebelumnya dioperasikannya.
Dengan kata lain: reaksi stres menjadi sebuah reaksi allostasis alami manusia untuk mencari cara beradaptasi dengan tuntutan situasi yang dirasanya asing, jika hal ini terjadi berulang di kadar yang bisa ditolerir dan seiring waktu kita beradaptasi dengan situasi tersebut maka reaksi stres akan berkurang dan situasi asing itu tidak lagi menjadi sesuatu yang asing, karena diri kita sudah memiliki basis kebiasaan yang memadai untuk meresponnya, dengan kata lain situasi itu tidak lagi menjadi stresor (Charlton, 1992; Myslivecek, 2015), namun jika kadar tantangan dari situasi itu terlalu besar dan melebihi kadar yang bisa ditolerir maka terjadilah kerusakan (Myslivecek, 2015).
DAMPAK DARI STRES BAGI KESEHATAN
Meski mungkin terlanjur diasosiasikan negatif, kita ketahui bahwa tidak semua stres buruk adanya, dalam kenyataannya stres bisa berdampak positif atau negatif, tergantung dari hasil akhir yang ditimbulkannya.
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, stress adalah reaksi alami terhadap sebuah situasi yang dirasa asing; faktanya, dalam kehidupan yang kita jalani tidak mungkin kita tidak berhadapan dengan situasi asing ini.
Sebagai manusia yang bertumbuh dan memiliki naluri alami untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dari waktu ke waktu sangat wajar adanya jika kita harus berhadapan dengan berbagai hal baru/asing dalam hidup ini, entah itu berupa situasi yang mengharuskan kita belajar hal baru, atau pun tantangan kehidupan untuk kita sikapi.
Di setiap hal baru yang kita pelajari, di setiap tantangan kehidupan yang kita lewati, basis kemampuan kita untuk merespon tantangan akan meningkat, maka hal ini meningkatkan homeostasis kita, menjadikan kita lebih tahan banting dan lebih tangguh.
Ketika tuntutan situasi asing yang ada kita maknai secara positif maka reaksi stres yang muncul adalah stres yang positif, atau biasa disebut eustress, yaitu stres yang mendukung kita untuk termotivasi melampaui situasi yang ada, fenomena ini biasanya dialami oleh mereka yang memang menyukai bidang yang mereka jalani, sampai-sampai situasi asing yang muncul dimaknai sebagai sebuah tantangan menarik yang ingin mereka taklukkan.
Ketika tuntutan situasi asing yang ada dimaknai secara negatif, maka yang muncul adalah reaksi stres negatif, yang biasa disebut distress.
Dalam pemahaman The Direct and Indirect Pathways between Psychology and Health (Ogden, 2019), terdapa dua muara bagaimana faktor psikologis, termasuk stress, mempengaruhi kualitas kesehatan seseorang, yaitu secara langsung (direct) dan secara tidak langsung (indirect).
Jika dalam pengaruh tidak langsung reaksi stres membuat seseorang melakukan perilaku yang merusak kesehatannya, dalam pengaruh langsung yang terjadi adalah reaksi stres langsung memunculkan reaksi fisiologis pada tubuh.
Mwendwa (2019) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis reaksi stres negatif atau distress, yaitu akut (stresor hanya hadir dalam waktu relatif singkat) dan kronis (stresor hadir dalam waktu yang relatif lebih lama).
Lebih jauh lagi Mwendwa juga menjelaskan bahwa dalam kondisi stres akut reaksi alami kita terhubung dengan sistem syaraf parasimpatetik yang kemudian melepaskan homon epinefrin dan norepinefrin, yang bertujuan menyiapkan tubuh untuk memasuki mode siaga, dimana setelah stresor berlalu sistem tubuh pun perlahan kembali ke sistem homeostasisnya.
Lain dengan kondisi stres kronis, kondisi ini terhubung dengan aktifnya sistem hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis, sistem yang melibatkan hipotalamus, kelenjar pituitari dan kelenjar adrenal.
Dalam kondisi stres di kadar yang lebih tinggi terjadi juga pelepasan hormon kortisol sebagai reaksi hormonal terhadap stres, dimana pelepasan kortisol ini bertujuan memberi energi ekstra bagi tubuh agar bisa menghadapi stres.
Ketika kondisi stres usai seharusnya pelepasan kortisol berhenti dan sistem tubuh kembali normal, namun dalam kondisi stres kronis yang berlangsung berkepanjangan tidak ada indikasi kapan stresor ini akan berlalu, sehingga tubuh terus memproduksi kortisol agar kita memiliki kadar energi yang cukup untuk menghadapi stres.
Namun demikian, pelepasan kortisol juga meningkatkan kadar gula darah, yang berpengaruh terhadap sistem metabolisme tubuh, inflamasi dan pembentukan memori tubuh, ketika kortisol ini terus aktif secara berlebih dan dalam jangka waktu yang berkepanjangan maka hal ini akan berdampak pada terganggunya kualitas kesehatan.
Gangguan kesehatan yang bisa terjadi akibat fenomena ini bisa berupa sakit jantung, hipertensi, dislipidemia, obesitas dan berbagai gejala komplikasi lainnya; sementara secara mental, gangguan yang ditimbulkan oleh kondisi dan komplikasi fisik ini bisa berdampak pada gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan.
Seperti apa jelasnya faktor-faktor yang menyebabkan stres ini? Agar tidak terlalu panjang dan membekali pemahaman bertahap bahasan ini akan kita ulas di artikel berikutnya.
Referensi:
American Psychological Association. (n.d.). APA Directory of Psychology. Retrieved from https://dictionary.apa.org/psychology
Charlton, B. (1992). Stress. Journal of Medical Ethics, 18(3), 156-159.
Dinkmeyer, D. (1979). Holistic approaches to health. Elementary School Guidance & Counseling, 14(2), 108-112.
Ogden, J. (2019). The psychology of health and illness: An open access course
Mwendwa, D. (2019). Stress and Health: Managing Stress in your Daily Life. US Black Engineer and Information Technology, 43(3), 36-36.
Myslivecek, J. (2015). The basis of the stress reaction. Current Science, 109(4), 716-726.
Stagner, R. (1961). Homeostasis, Need Reduction, and Motivation. Merrill-Palmer Quarterly of Behavior and Development, 7(1), 49-68.
Thoits, P. (1995). Stress, Coping, and Social Support Processes: Where Are We? What Next? Journal of Health and Social Behavior, 53-79. DOI: 10.2307/2626957
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching, konseling dan/atau psikoterapi? Memerlukan layanan coaching, konseling dan/atau psikoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching, konseling dan/atau psikoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.