Pentingnya Formulasi Kasus yang Tepat Dalam Hipnoterapi
Daftar Isi
Di awal-awal pembelajaran dan praktik dulu mendalami hipnoterapi, ada begitu banyak atensi yang saya curahkan untuk fokus pada pendalaman teknik terapi, baru seiring bertambahnya jam terbang dalam berpraktik saya menyadari bahwa keberhasilan proses terapi sangatlah berpusat pada formulasi kasus yang tepat.
Mengapa formulasi kasus yang tepat bagi saya menjadi kunci dari penanganan yang tepat? Hal ini karena tiga alasan:
- Formulasi kasus yang tepat menegaskan peran yang seorang hipnoterapis jalani, yang membedakannya dengan tenaga kesehatan lainnya, juga sebagai tolak ukur apakah sebuah permasalahan boleh, bisa dan layak ditangani dengan hipnoterapi atau tidak.
- Formulasi kasus yang tepat akan memberikan indikator keberhasilan terukur yang membuat tolak ukur keberhasilan penanganan menjadi lebih objektif.
- Formulasi kasus yang tepat menjadi acuan dari desain penanganan, agar teknik intervensi yang difasilitasi sesuai dengan kebutuhan dan peruntukkannya.
Tulisan ini dibuat untuk menjelaskan pentingnya formulasi kasus yang tepat, yang hendaknya dipahami dan dikuasai seorang hipnoterapis dalam memfasilitasi penanganan pada para kliennya. Tanpa adanya formulasi kasus yang tepat ini, maka kemungkinan negatif yang bisa terjadi adalah hal-hal yang berlawanan dengan ketiga alasan di atas, yaitu:
- Hipnoterapis bisa melangkahi batasan peran profesinya dan melakukan malpraktik.
- Tidak adanya indikator keberhasilan terukur yang membuat kualitas penanganan menjadi bias.
- Desain penanganan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan peruntukkan.
Seperti apa formulasi kasus ini memegang peranan penting dalam praktik hipnoterapi? Mari menyimaknya di artikel kali ini.
FORMULASI KASUS
Mari mengawalinya dengan memahami apa itu formulasi kasus.
Formulasi kasus adalah istilah yang saya gunakan untuk mendefinisikan: (1) spesifikasi masalah yang klien alami, (2) kondisi ideal yang klien harapkan dan (3) desain penanganan yang sesuai dengan kebutuhan klien untuk menyelesaikan spesifikasi masalahnya dan memfasilitasinya menuju kondisi ideal yang diharapkannya.
Frasa ‘spesifikasi masalah’ mengacu pada fenomena bahwa ketika klien datang dengan apa pun yang menjadi masalahnya, sering kali sesungguhnya yang terjadi adalah mereka datang dengan ‘keluhan’ atas masalahnya, dan bukan spesifikasi masalah yang sebenarnya.
Apa kiranya yang membedakan ‘keluhan’ dengan ‘spesifikasi masalah’? Sederhananya begini, misalnya saja seorang klien datang dan meminta bantuan hipnoterapis untuk mengatasi masalah ‘tidak percaya diri’ yang dideritanya, sekian lama berpraktik saya mendapati bahwa klien – pada umumnya – memiliki kecenderungan untuk datang dengan ‘generalisasi’ atas spesifikasi masalah sebenarnya dan hanya mengungkapkannya sebagai ‘keluhan’.
Contoh kalimat yang sering kali diungkapkan klien dalam kasus seperti ini adalah “Saya ingin menjalani hipnoterapi untuk mengatasi masalah ‘tidak percaya diri’ yang selama ini mengganggu saya.”
Meski seolah menyiratkan masalah yang diderita klien, hal yang sebenarnya diungkapkan di kalimat di atas belumlah mengacu pada spesifikasi masalah, melainkan apa yang menjadi ‘keluhan’ klien, yaitu kondisi yang ‘dimaknai’ sebagai masalah ‘tidak percaya diri’.
Apa lagi maksud dari ditandainya kata dimaknai di paragraf di atas? Hal tersebut menjadi poin penting berikutnya, yaitu bahwa sering kali klien sendiri tidak menyadari apa yang dialaminya, sehingga mereka lalu menggunakan kalimat mereka sendiri untuk ‘melabeli’ apa yang mereka rasakan sebagai masalahnya, label yang klien utarakan dari persepsinya inilah yang bisa mengaburkan spesifikasi masalah klien yang sebenarnya karena label tersebut menyamaratakan kompleksitas situasi yang klien hadapi ke dalam satu istilah belaka (Willson dan Branch, 2010).
Kompleksitas yang dimaksud di sini sehubungan dengan contoh kasus ‘tidak percaya diri’ di atas mencakup beberapa hal, seperti: apa spesifikasi emosi yang klien rasakan beserta respon pemikiran apa yang muncul dalam dirinya sehubungan dengan masalahnya? Di situasi spesifik apa (karena stimulus apa) emosi dan pemikiran yang kemudian menjadi masalahnya tersebut bisa muncul? Dan masih ada lagi rangkaian pengumpulan data lainnya yang seharusnya bisa lebih menjelaskan masalah spesifik yang dialami klien sebenarnya.
Untuk saat ini, mari perhatikan bahwa ada begitu banyak informasi yang seharusnya lebih bisa menjelaskan profil serta masalah spesifik yang klien rasakan, yang pada akhirnya justru malah bisa jadi tidak terutarakan karena label ‘tidak percaya diri’ yang dalam benak klien dianggap sudah mewakili masalah spesifiknya, jika hipnoterapis terbawa oleh label ini mentah-mentah begitu saja maka bisa dipastikan formulasi penanganan masalahnya pun tidak akan tepat-mengena.
Masih sehubungan label, bisa jadi juga klien malah sudah mencari informasi tentang masalah yang dialaminya melalui internet dan entah karena kebetulan atau bukan mereka lantas menemukan informasi yang membahas gejala gangguan yang mereka alami, dimana informasi itu menuliskan istilah tertentu sebagai label atas gangguan itu, berdasarkan rasa kecocokan itu klien pun lantas menggunakan istilah itu untuk ‘menamai’ masalahnya, yang kemudian ia keluhkan pada hipnoterapis.
Ya, percaya atau tidak percaya Anda akan menemukan orang-orang yang datang dan mengeluhkan dirinya mengidap gangguan mental (mental disorder), yang ketika ditanya bagaimana mereka bisa sampai pada pemikiran bahwa mereka mengidap gangguan mental tersebut, jawaban yang mereka keluarkan bisa sedemikian unik dan ajaibnya: “Saya baca-baca di internet, kondisi yang saya alami ini serupa dengan yang dibahas sehubungan dengan gangguan mental tersebut.”
Ketika ditanya, apakah mereka sudah memeriksakan kondisinya ke Psikolog atau Psikiater untuk memastikan diagnosis resminya, acap kali mereka sendiri belum melakukannya. Dengan kata lain, mereka memilih untuk ‘melabeli’ masalahnya yang bisa jadi sebetulnya tidak separah yang mereka pikirkan, namun karena mereka sudah terlanjur meyakini label tersebut maka keyakinan itu pun mempengaruhi mereka sampai ke pikiran bawah sadar dan sistem keyakinannya, sampai bahkan bisa menjadi kenyataan pada akhirnya, ironis bukan?
Terdapat dua hal penting dari identifikasi spesifikasi masalah ini dalam praktik hipnoterapi yang kita jalani, yaitu:
(1) MEMASTIKAN MASALAH KLIEN ‘BENAR-BENAR’ SEBUAH MASALAH
Hal ini mungkin terdengar lucu, tapi tidak tertutup kemungkinan Anda akan menjumpai klien yang mengeluhkan sesuatu yang dianggapnya sebagai masalah dalam skema berpikirnya, dimana masalah tersebut sebenarnya merupakan sebuah kewajaran.
Contohnya: “Saya takut pada hewan liar, seperti ular, singa dan harimau, takut sekali rasanya berada di dekat mereka.”
Sebagai orang normal yang sadar betul bahayanya berada dekat hewan-hewan liar tersebut, tidakkah Anda pun setuju bahwa yang menjadi keluhan klien sebetulnya adalah hal yang wajar yang tidak seharusnya menjadi masalah?
Kalau pun kita menyepakatinya sebagai masalah, maka yang lalu menjadi pertanyaan berikutnya adalah “Seberapa sering Anda harus berhadapan dengan hewan-hewan liar tersebut dalam keseharian Anda?” Jika jawabannya adalah “Tidak pernah,” maka bukankah kegunaan perbincangan ini malah jadi semakin absurd adanya?
Namun lain ceritanya jika klien mengatakan “Saya merasa takut berlebih pada segala-sesuatu yang berhubungan dengan binatang buas, baru mendengar saja sudah lemas rasanya, memikirkannya saja sudah tidak karuan, melihat mainannya saja – yang saya tahu tidak nyata adanya – sudah membuat saya bisa setengah pingsan.”
Jadi apa kiranya yang membuat sebuah masalah bisa dianggap sebagai masalah yang layak untuk ditangani? Saya pribadi memilih untuk mendefinisikan bahwa masalah yang dialami klien baru akan saya dan tim tangani jika terdapat dua kriteria:
Kriteria pertama, masalah tersebut membuat klien tidak bisa menjalankan fungsi idealnya dalam memenuhi tuntutan peran kehidupan yang harus dijalaninya dengan persyaratan kualitas tertentu, dimana peran itu berhubungan dengan pihak tertentu di luar dirinya.
Contohnya saja seorang manajer yang dituntut untuk bisa tampil di depan publik dan berbicara dengan lancar karena ia adalah representasi perusahaan, tapi yang terjadi adalah justru manajer ini gugup dan takut tampil di depan umum.
Atau dalam kasus lain dimana seorang ibu seharusnya bisa mengendalikan emosi dengan stabil dalam mengasuh anak agar anaknya tumbuh sehat dan matang secara psikologis justru malah kesulitan untuk bisa mengendalikan emosinya dan larut dengan kemarahan yang tidak terkendali sampai sering kali melukai kondisi psikologis anaknya.
Dengan kata lain, kriteria ini mengacu pada adanya pihak lain di luar diri klien yang dirugikan karena ketidakmampuannya dalam menjalankan tututan peran kehidupannya pada pihak-pihak tersebut.
Kriteria kedua, masalah tersebut terbukti nyata membuat klien merugi secara moril dan/atau materil jika dibiarkan tidak tertangani.
Di sisi lain, bisa saja terjadi kasus dimana klien tidak memiliki permasalahan dalam memenuhi tuntutan peran kehidupannya, ia bisa memenuhi semua peran itu dengan baik dalam kinerja idealnya, namun ternyata di balik itu semua ia bergelut dengan permasalahan internal dalam dirinya yang menyiksanya, bisa dalam bentuk permasalahan kesehatan misalnya, atau juga dalam bentuk kebiasaan negatif yang hanya diketahui klien, yang jelas-jelas bersinggungan dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Kasus ini pernah dialami seorang klien saya yang dari luar nampak memiliki kehidupan baik-baik saja, sebagai pebisnis ia menunjukkan kinerja yang baik dan sebagai ayah pun ia menjadi seorang ayah yang bertanggungjawab, tidak ada yang tahu di balik semua kegemilangan itu ia sebenarnya memiliki kebiasaan negatif mengkonsumsi zat adiktif, ia tahu perkara ini selama ini bisa disembunyikannya dengan baik dan tak akan mengganggu peran dirinya sebagai ayah dan pebisnis, tapi ia tersiksa secara moril dan materil karena kebiasaan ini disadarinya berlawanan dengan nilai-nilai moral yang diyakininya.
(2) MENGETAHUI DETAIL DARI PERMASALAHAN SPESIFIK YANG DIALAMI KLIEN
Jika hipnoterapis gagal mengidentifikasi detail dari masalah yang dialami klien maka besar juga kemungkinan sang hipnoterapis akan gagal menyusun formulasi kasus untuk penanganannya.
Formulasi kasus dalam hal ini mengacu kepada hipotesa tentang mekanisme psikologis dan faktor lainnya yang menyebabkan klien mengalami gangguan dan permasalahannya (Persons dan Davidson dalam Dobson, 2010).
Saya sering kali menjelaskan formulasi kasus ini dalam bentuk frasa sederhana:
“Klien mengalami X (masalah emosi/pemikiran/perilaku spesifik) ketika Y (pemicu, tempat dan waktu).”
Kembali kepada kasus ‘tidak percaya diri’ yang tadi sempat menjadi topik bahasan, mari simak dialog di bawah ini:
Hipnoterapis: “Hal apa yang Anda ingin atasi melalui sesi hipnoterapi ini bersama saya?”
Klien: “Saya ingin mengatasi masalah ‘tidak percaya diri’ yang mengganggu saya.”
Hipnoterapis: “Begitu ya, boleh dijelaskan lebih lanjut, seperti apa ‘tidak percaya diri’ yang Anda maksudkan ini?”
Klien: “Yah…ada perasaan tidak nyaman ketika saya memasuki lingkungan baru, ada perasaan asing dan gugup.”
Hipnoterapis: “Oh begitu, jadi ada perasaan tidak nyaman, asing dan gugup ketika memasuki lingkungan baru, boleh diceritakan lebih jauh jenis lingkungan baru seperti apa yang membuat Anda asing dan gugup seperti keterangan Anda tadi?”
Klien: “Hmm…”
Mari perhatikan keterangan klien di awal dialog yang masih terpaku pada label ‘tidak percaya diri’, dengan keterangannya ketika dialog sudah berlangsung cukup dalam, apa yang awalnya dinyatakan sebagai ‘tidak percaya diri’ ternyata bisa terdefinisikan ulang menjadi ‘perasaan tidak nyaman memasuki lingkungan baru, merasa asing dan gugup’.
Bisa menyadari perbedaannya? Jelas sekali bukan? Keterangan pertama ketika klien fokus pada istilah ‘tidak percaya diri’ masih menjadi sesuatu yang belum menyiratkan detail yang jelas.
Perhatikan kembali formulasi:
“Klien mengalami X (masalah emosi/pemikiran/perilaku spesifik) ketika Y (pemicu, tempat dan waktu)”
Jelas bahwa ‘tidak percaya diri’ tidak bisa kita masukkan ke dalam formulasi di atas karena tidak ada keterangan ‘X’ yang jelas dan belum ada data ‘Y’ spesifik yang muncul di dalamnya, namun jika kita masukkan keterangan lanjutan klien tentang masalahnya secara lebih spesifik, bisa kita dapati formulasi:
“Klien mengalami perasaan tidak nyaman, merasa asing dan gugup (X) ketika memasuki lingkungan baru (Y).”
Mengapa formulasi masalah dalam bentuk definisi ‘X’ dan ‘Y’ ini penting? Penjelasan lebih lanjut berikut ini akan semakin menjelaskannya.
FORMULASI KASUS YANG TEPAT MENEGASKAN PERAN PROFESI
Perhatikan kembali narasi “Klien mengalami X (masalah emosi/pemikiran/perilaku spesifik) ketika Y (pemicu, tempat dan waktu)”.
Dari kalimat itu saja kita sudah bisa melihat bahwa keberadaan ‘X’ sebagai ’emosi, pemikiran dan perilaku spesifik’ adalah kunci dari jenis permasalahan yang klien alami, yang bisa ditangani dengan hipnoterapi.
Hal ini mengajak kita menyadari dan memahami esensi dari peran profesi seorang hipnoterapis, artinya: hal apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan sebagai hipnoterapis.
Hipnoterapi adalah modalitas terapi yang diklasifikasikan sebagai teknik pengobatan komplementer, di Indonesia sendiri mengacu kepada PERMENKES RI Nomor 1109/Menkes/Per/2007, hipnoterapi adalah termasuk ke dalam salah satu teknik intervensi tubuh dan pikiran, dan dalam praktiknya seorang hipnoterapis diklasifikasikan sebagai Penyehat Tradisional (HATTRA).
Di satu sisi, hipnoterapi berdiri sebagai modalitas terapi tersendiri, namun di sisi lain hipnoterapi adalah keilmuan yang sangat bersinggungan erat dengan dunia pikiran yang menjadi ranah keilmuan psikologi, dimana tenaga kesehatan formal yang menjalankan praktiknya di bidang ini adalah Psikolog dan Psikiater. Disinilah hipnoterapis harus tahu diri dan tahu batasan dalam menjalankan peran profesinya agar tidak melangkahi batasan kewenangannya.
Secara prinsip, hipnoterapi menjadi salah satu teknik penanganan atau intervensi untuk membantu (‘to compliment’, itulah mengapa ia disebut sebagai ‘teknik pengobatan komplementer’) penanganan gejala masalah emosi, perilaku dan psikosomatis, namun terdapat cakupan yang harus dipahami dalam memfasilitasi penanganan atas permasalahan yang klien alami, yaitu seorang hipnoterapis tidak berhak menegakkan diagnosa psikologi klinis atas gangguan yang dialami klien, kecuali ia adalah seorang hipnoterapis yang memiliki latar belakang khusus sebagai seorang Psikolog atau Psikiater.
Dalam hubungannya dengan emosi dan perilaku, hipnoterapis berurusan dengan simtom atau gejala masalah, bukan dengan diagnosa psikologi klinis, maka itu seorang hipnoterapis harus mengetahui batasan masalah yang boleh dibantu diatasinya.
Jika masalah yang dialami klien termasuk ke dalam gangguan kejiwaan atau gangguan psikologis – berlandaskan diagnosa psikologi klinis – yang harus ditangani dengan penanganan psikologis formal maka hipnoterapis tidak boleh serta-merta memfasilitasi penanganan sebelum klien mengkonsultasikan terlebih dahulu mengenai ‘boleh-tidaknya ia menjalani hipnoterapi’ bersama Psikolog dan Psikiater yang menanganinya, jika pun diperbolehkan maka hipnoterapis harus mengidentifikasi sejauh mana ia diperbolehkan membantu penanganan masalah klien sesuai arahan dari tenaga kesehatan psikologis formal yang menangani permasalahan klien secara resmi.
Dalam hubungannya dengan masalah psikosomatis, atau masalah sakit fisik yang bermula dari psikis, hipnoterapis harus memastikan bahwa masalah yang dialami klien adalah benar masalah psikosomatis, bukan masalah fisik, dimana hal ini dibuktikan dengan adanya rujukan dari dokter yang sudah memeriksa kondisi klien secara resmi.
Karena hipnoterapis berurusan dengan gejala masalah, terutama yang berhubungan dengan emosi dan perilaku, maka kriteria gejala masalah ini haruslah bisa dipetakan, salah satunya yaitu dengan menggunakan indikator ‘X’ dan ‘Y’ dalam formulasi kasus sebelumnya.
Mengapa ‘X’ dan ‘Y sebagai pemetaan formulasi kasus? Karena ‘Y’ melambangkan stimulus spesifik yang menyebabkan munculnya ‘X’, artinya masalah klien terjadi karena adanya stimulus yang ‘mengaktifkannya’ dan bukan merupakan masalah kejiwaan yang terjadi berkepanjangan sepanjang waktu.
Dengan kata lain, ketika sebuah permasalahan bisa diformulasikan ke dalam formulasi ‘X’ dan ‘Y’ sebagaimana sudah diulas di atas, maka permasalahan tersebut bisa dikategorikan sebagai gejala masalah spesifik yang bisa dibantu ditangani dengan hipnoterapi.
FORMULASI KASUS YANG TEPAT MENJADIKAN INDIKATOR KEBERHASILAN TERUKUR
Masih melanjutkan bahasan akan formulasi ‘X’ dan ‘Y’ dalam pemaparan di atas, salah satu hal yang sangat membantu hipnoterapis untuk menilai keberhasilan dari penanganannya adalah indikator keberhasilan, yaitu sebuah tolak ukur yang disepakati bersama sebagai acuan untuk menyepakati apakah penanganan yang dilakukan memberikan keberhasilan atau kemajuan pada klien.
Tanpa adanya indikator keberhasilan, sulit untuk menyepakati apakah penanganan membuahkan hasil dan akan lebih sulit lagi menyepakati apakah penanganan sudah bisa disudahi atau tidak.
Seorang hipnoterapis tidak bisa bergantung pada frasa ‘sudah lebih baik’ atau ‘sudah baikan’ yang diucapkan kliennya setelah menjalani penanganan, karena hal ini tidak memberikan gambaran kondisi yang terukur. Apa yang dimaksudkan ‘sudah lebih baik’ ini bisa dimaknai secara berbeda oleh klien dan hipnoterapis, yang menjadikan indikator kualitasnya pun bias.
Jadi bagaimana formulasi kasus bisa menjadi indikator keberhasilan?
Sederhana sekali, perlu kita ingat bahwa: (1) masalah klien adalah ‘X’, dan (2) ‘Y’ adalah stimulus spesifik yang mengaktifkan ‘X’.
Gejala masalah yang mengganggu klien – yang membuatnya mencari pertolongan hipnoterapis – adalah ‘X’ dimana ‘X’ ini sebelum penanganan teraktivasi oleh ‘Y’, maka cara terbaik untuk memastikan kualitas penanganan, seberapa jauh ia memberikan kemajuan pada klien, adalah dengan cara mengujinya langsung di situasi ‘Y’.
Satu cara termudah yang sering saya praktikkan dalam hal ini yaitu dengan mengidentifikasi kapan saja klien biasa mengalami ‘Y’ dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga setelah penanganan pun saya tahu kapan ia akan mengalami ‘Y’ itu lagi, setelah melewati waktu tersebut saya bisa menghubungi klien dan memeriksa kondisinya, yaitu dengan langsung memeriksakan seperti apa kondisi ‘X’ kali ini:
- Jika klien sudah benar-benar tidak mengalami ‘X’ maka permasalahan sudah teratasi dan penanganan bisa disudahi.
- Jika klien masih mengalami ‘X’ namun berkurang, maka penanganan berikutnya bisa direncanakan untuk mengatasi sisa’ X’ yang masih tersimpan.
- Jika ‘X’ tidak berkurang sama sekali, maka penanganan dinyatakan tidak berhasil, penanganan berikutnya harus disiapkan untuk lebih bisa menangani ‘X’ dengan cara yang lebih intensif.
Spesikasi permasalahan dan indikator keberhasilan di ‘Y’ spesifik juga bertujuan menjadikan klien sadar seberapa jauh cakupan penanganan yang dijalaninya, dan tidak menggeneralisirnya sebagai ‘penanganan borongan’.
Apa maksudnya? Begini, ada kalanya klien mengalami permasalahan emosi yang sama (X) di situasi (Y) yang berbeda, misalnya saja di satu situasi klien merasa cemas (X) ketika berada di keramaian (Y), namun klien ini juga kerap merasa cemas (X) ketika memikirkan masa depan (Y), dalam hal ini meski ‘X’ yang didefinisikan sama namun ‘Y’ yang memicu kemunculannya berbeda, maka sebelum penanganan dimulai hipnoterapis dan klien perlu menyepakati dulu penanganan kali ini ingin ditujukan untuk menangani ‘X’ di ‘Y’ yang mana.
Jika ternyata klien menjalani penanganan secara spesifik di satu fase untuk penanganan ‘X’ di ‘Y’ spesifik, dimana ia mengujikannya di ‘Y’ spesifik tersebut lalu mendapati keberhasilan dan ia kemudian mengalami ‘Y’ yang berbeda namun ternyata ‘X’ tidak lagi dialaminya maka hal itu bisa dikategorikan ‘bonus’, dalam satu penanganan ternyata ‘X’ yang sama yang aktif di ‘Y’ yang berbeda yang teratasi.
Namun jika ternyata klien menjalani penanganan secara spesifik di satu fase untuk penanganan ‘X’ di ‘Y’ spesifik, dimana ia mengujikannya di ‘Y’ spesifik tersebut lalu mendapati keberhasilan dan ia kemudian mengalami ‘Y’ yang berbeda namun ternyata ‘X’ dialaminya kembali maka klien tidak bisa mengatakan bahwa penanganannya gagal, hal ini karena di ‘Y’ yang disepakati ‘X’ sudah tidak lagi dialaminya, jika di ‘Y’ yang lain ‘X’ masih dialami maka bisa diasumsikan bahwa ‘X’ ini merepresentasikan gejala masalah (dan akar masalah) yang berbeda.
Sederhana namun efektif bukan? Itulah mengapa formulasi sederhana ‘X’ dan ‘Y’ ini menjadi kunci penting dari penetapan indikator keberhasilan yang terukur dalam sesi hipnoterapi.
FORMULASI KASUS MENJADI ACUAN DARI DESAIN PENANGANAN
Terdapat beberapa aliran dalam praktik hipnoterapi, masing-masing aliran memiliki cara pandangnya tersendiri atas keberadaan atau kemunculan sebuah gejala masalah atau ‘X’, mereka yang mempraktikkan Psychodynamic Hypnotherapy akan memandang ‘X’ berbeda dengan mereka yang mempraktikkan Cognitive-Behavioural Hypnotherapy dan Ego State Therapy.
Namun demikian, terlepas dari apa pun cara pandang yang digunakan, yang terpenting adalah definisi ‘X’ yang jelas akan menjadikan hipnoterapis bisa menganalisa faktor-faktor yang diperkirakan menyebabkan kemunculan ‘X’ ini, beranjak dari analsia inilah desain penanganan yang sesuai dengan kebutuhan dan peruntukkan ‘X’ ini bisa dirancang.
Catatan: informasi yang lebih lengkap tentang pemahaman formulasi kasus dan proses asesmen dalam hipnoterapi bisa Anda temukan dalam buku ‘Hypnotherapeutic Assessment, Diagnosis & Treatment Plan‘ yang saya tulis pada tahun 2019.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi? Memerlukan layanan hipnoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.
REFERENSI:
Branch, Rena., Wilson, Rob. 2010. Cognitive Behavior Therapy for Dummies. USA: Wiley
Dobson, Keith S. 2010. Handbook of Cognitive Behavior Therapies. USA: The Guilford Press