Resource Therapy Diagnosis
Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Resource Therapy & Counselling (RTC), tulisan kali ini akan melanjutkan bahasan ke aspek yang lebih mendalam sehubungan dengan penerapan teknik terapi dalam RTC.
Seberapa bagus pun sebuah obat sakit kepala, tidak akan membawa hasil maksimal jika ia digunakan untuk mengobati sakit perut, kalimat itu saya gunakan untuk menggambarkan ilustrasi bahwa sangat penting untuk memberikan penanganan yang sesuai dengan jenis penyakit yang dialami, atau penanganan yang sesuai peruntukkannya.
Lain penyakit maka lain juga tentunya penanganan yang diperlukan untuk bisa menghasilkan resolusi, yang mana kiranya yang mendahului mana, menentukan desain penanganan terlebih dahulu atau memastikan penyakit yang diderita terlebih dahulu?
Betul sekali, tentu saja memastikan kejelasan penyakit terlebih dulu, bagaimana bisa merumuskan obat atau tindakan penanganan jika jenis penyakitnya saja tidak diketahui dengan jelas?
Proses menentukan ‘jenis penyakit’ sebelum menentukan rencana penanganan ini dalam dunia kesehatan dikenal sebagai ‘diagnosis’, yang dalam pemahaman praktisnya bisa kurang lebih diartikan sebagai: proses untuk mengidentifikasi secara spesifik jenis gejala gangguan yang dialami seseorang dengan teknik pengumpulan informasi tertentu, untuk kemudian mengelompokkan kriteria gejala yang bisa diamati berdasarkan acuan penggolongan tertentu yang sudah disepakati.
Penjelasan tersebut kurang lebih senada dengan definisi diagnosis[1] yang dikemukakan American Psychological Association (APA):
- “The process of identifying and determining the nature of a disease or disorder by its signs and symptoms, through the use of assessment techniques (e.g., tests and examinations) and other available evidence,”
- “The classification of individuals on the basis of a disease, disorder, abnormality, or set of characteristics. Psychological diagnoses have been codified for professional use, notably in the DSM-IV-TR and DSM-5.”
- “The decision or statement itself that results from process or classification as in “She was given a diagnosis or schizoaffective disorder.” — diagnostic adj.”
Dalam bahasa Inggris, diagnosis memiliki kedekatan arti dengan diagnostic yang dikonotasikan sebagai ‘aktivitas mempraktikkan proses diagnosis’. Dalam bahasa Indonesia sendiri kata diagnostic yang jika diterjemahkan menjadi diagnostik[2], dapat diartikan sebagai ‘ilmu untuk menentukan jenis penyakit berdasarkan gejala yang ada’.
Proses diagnosis merupakan hasil dari evolusi panjang dunia kesehatan, betapa para pendahulu di bidang ini melakukan rangkaian pengamatan, percobaan dan pengujian ulang berkali-kali dulunya pada berbagai gejala gangguan yang kerap dialami masyarakat dan mengujicobakan ragam cara penanganan sampai semua itu bisa dikelompokkan menjadi sebuah acuan yang tinggal digunakan secara universal sekarang ini oleh para generasi penerusnya.
Ketika seorang praktisi menegakkan diagnosis menggunakan acuan diagnosis yang disepakati, hal ini menunjukkan bahwa pola dan gejala dari kondisi disfungsional yang klien alami mencerminkan gejala yang khas yang juga ditunjukkan oleh banyak orang lainnya, yang telah diteliti oleh berbagai proses penelitian, dimana berbagai gejala itu telah diujicobakan untuk ditangani dengan berbagai macam cara, sampai disimpulkanlah cara-cara spesifik yang kemudian dijadikan acuan penanganan resmi, sehingga nantinya kesimpulan penanganan itu bisa dijadikan acuan mendesain penanganan jika di masa depan terjadi kasus sejenis (Comer, 2014).
Diagnosis dalam dunia psikoterapi adalah perkara yang esensial, hal ini dikarenakan pengumpulan dan pengelompokkan informasi sampai memenuhi kriteria diagnosis berdasarkan acuan yang sudah disepakati bersama memegang peranan penting agar para praktisi yang bekerja di bidang yang sama bisa saling berkomunikasi dengan pemahaman yang sama, terutama jika mereka perlu mereferensikan klien ke praktisi lainnya yang turut memberikan penanganan, sehingga mereka bisa mendesain penanganan yang selaras untuk menyelesaikan permasalahan klien yang acuan diagnosisnya sudah diketahui bersama.
Namun demikian, ada satu hal yang juga perlu kita waspadai, dalam dunia psikoterapi proses diagnosis psikologi atas gejala permasalahan yang dialami seseorang tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, proses ini hanya boleh dilakukan secara resmi oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi yang diakui, serta ijin praktik resmi dari lembaga kenegaraan yang mengatur perijinan praktik mereka dalam menjalankan layanannya, di Indonesia sendiri yang berhak memfasilitasi proses ini hanyalah tenaga kesehatan mental resmi yang diakui resmi oleh negara[3] yaitu Psikolog dan Psikiater.
Di satu sisi, diagnosis memegang peranan penting karena dengan acuan inilah kita memahami permasalahan spesifik klien dan jadi bisa mendesain rencana penanganan yang sudah ditetapkan – berdasarkan hasil pengujian yang sudah dilakukan sebelumnya dan terbukti efektif – yang bisa memberikan penyelesaian pada masalah yang klien alami, namun di sisi lain tidak sembarang orang boleh memfasilitasi proses ini, kalau begitu apa keterhubungan dari pemahaman ini dengan RTC?
Pertama-tama, mari kembali ke makna mendasar dari diagnosis yang diartikan sebagai ‘proses yang dilakukan untuk mengidentifikasi secara spesifik jenis gejala gangguan yang dialami seseorang dengan teknik pengumpulan informasi tertentu untuk kemudian mengelompokkan hasilnya berdasarkan penggolongan yang sudah disepakati’, hal ini menunjukkan bahwa diagnosis adalah proses selepas pengumpulan informasi atas gejala permasalahan yang klien alami, yang akan membawa kita pada suatu kesimpulan perihal kondisi spesifik yang klien alami berdasarkan kategori tertentu, yang sudah disepakati.
Berikutnya, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 45, Pasal 17 dengan jelas menyatakan bahwa pelaksanaan dan penegakan diagnosa psikologi klinis adalah kewenangan Psikolog Klinis.
Bukankah bisa kita simpulkan dua hal dari pemahaman di atas? Pertama, yaitu diagnosis adalah proses yang layaknya bisa dilakukan dalam bidang apa pun, karena tujuannya adalah mengklasifikasikan atau mengelompokkan hasil pengumpulan informasi, agar kita memperoleh kesepakatan spesifik atas masalah yang klien alami.
Kedua, dalam bidang psikoterapi komplementer (bukan dilakukan oleh tenaga kesehatan formal) proses diagnosis ini bisa kita lakukan, selama bukan diperuntukkan dan bukan untuk dinyatakan sebagai proses penegakan diagnosa psikologi klinis yang sudah ada acuan bakunya.
Yang dimaksud dengan penegakan diagnosa psikologi klinis[4] yaitu menentukan diagnosis berdasarkan acuan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem (ICD) atau Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang berlaku.
Jadi, sekali lagi, bagaimana diagnosis ini berperan dalam RTC?
Sedikit mengulas ulang pentingnya peranan dari diagnosis, proses ini adalah fase yang akan menentukan sistematika desain penanganan, dari pengalaman meneliti dan mengelompokkan berbagai gejala masalah klien beserta desain penanganannya sampai menjadi diagnosislah para praktisi dan peneliti jadi bisa menarik kesimpulan yang jelas seperti apa desain penanganan yang efektif untuk setiap hasil diagnosis ini, karena desain penanganan itu sudah terbukti memberikan hasil efektif dalam proses ujicobanya terdahulu.
Dalam RTC kita tidak melakukan diagnosis pada permasalahan yang klien alami, karena memang itu di luar kewenangan kita, kecuali Anda adalah praktisi yang memang berpraktik secara resmi sebagai seorang Psikolog atau Psikiater.
Diagnosis dalam RTC dilakukan dengan mengumpulkan informasi atas gejala permasalahan yang dialami klien lalu memetakan ciri patologi yang klien alami berdasarkan acuan Diagnosis of Resource Pathology, dimana hasil dari diagnosis ini akan menentukan desain penanganan yang akan kita fasilitasi sesuai kesimpulan dari proses diagnosis ini.
DIAGNOSIS OF RESOURCE STATE PATHOLOGY
Sebagaimana yang dilakukan dalam psikoterapi klasik formal, diagnosis menjadi langkah awal dalam penanganan berbasis RTC, bahkan proses ini menjadi bagian dari RT Actions sebagai langkah pertama, karena berdasarkan proses diagnosis inilah rencana penanganan spesifik baru bisa diformulasikan dengan mengikuti panduan spesifik RT Actions.
Namun demikian, dalam RTC proses diagnosis ini tidaklah ditujukan untuk mendiagnosis kondisi kejiwaan atau permasalahan klien dengan berdasarkan acuan diagnosa psikologi klinis, melainkan mendiagnosis kondisi patologi yang dialami Resource State yang kelak termanifestasikan menjadi gejala masalah spesifik (sampai ke yang tercantum dalam DSM) dan menyebabkan seseorang terjebak dalam zona disfungsionalnya.
Di artikel sebelumnya kita sudah mengulas teori pembentukan Resource State dan bagaimana karena peristiwa tertentu Resource State bisa mengalami kondisi patologi Vaded State dan Retro State, yang membuat seseorang memasuki zona disfungsional, kita juga sudah mengulas bahwa Resource State bisa berada dalam kondisi patologi karena waktu keaktifannya, yang menjadikan Resource State aktif dalam mode Dissonant atau Conflicted, disinilah waktunya untuk memperdalam pemahaman ini menuju proses diagnosis.
Setiap kondisi patologi Resource State memiliki karakteristik luka dan kompleksitasnya masing-masing, yang membuat setiap kondisi patologi ini juga mensyaratkan peruntukkan penanganan spesifik yang berbeda satu sama lain, maka itulah diagnosis yang tepat atas kondisi patologi Resource State adalah langkah penting pertama dalam RT Actions sebelum masuk ke tahapan penanganan, kesalahan dalam mendiagnosis kondisi patologi Resource State ini akan berdampak pada kesalahan penanganan.
Dalam analisis kondisi patologi Resource State, satu hal yang perlu kita pahami adalah bahwa setiap Resource State Pathology memiliki ciri spesifik yang termanifestasikan menjadi gejala (simtom) permasalahan, karena sedemikian spesifiknya manifestasi dari Resource State Pathology ini dalam bentuk gejala permasalahan, ketika spesifikasi masalah klien di masa kini sudah terdefinisikan dengan jelas maka saat itu juga kondisi patologi Resource State bisa didiagnosis.
Dari empat jenis mode patologi yang sudah kita ulas sebelumnya (Vaded, Retro, Dissonant dan Conflicted), terdapat spesifikasi yang lebih mendetail atas kondisi patologi ini, sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Vaded State: adalah mode patologi dimana Resource State terluka oleh kejadian yang menyakitkannya sehingga mereka dipenuhi rasa sakit atau emosi negatif sampai tidak bisa lagi menjalankan fungsi idealnya.
Kondisi luka atau rasa sakit yang dialami Vaded State ini kemudian terbagi lagi menjadi empat jenis luka spesifik:
Vaded with Fear: Resource State yang terluka karena peristiwa atau ancaman yang mengancam keselamatannya dan bersifat traumatis. Biasanya Vaded with Fear terbentuk dari kejadian yang membuat seseorang tidak berdaya ketika mengalaminya, bisa itu kecelakaan, kerusuhan, ancaman, situasi genting dan sejenisnya.
Vaded with Rejection: Resource State terluka karena merasa tidak berharga, tidak dicintai, tidak layak, biasa dialami ketika kecil. Vaded with Rejection terbentuk dari masa lalu dimana seorang anak merasa dirinya adalah keberadaan yang salah atau keberadaan yang tidak diinginkan, bisa karena merasa ditinggalkan, diabaikan, sering dikritik, dibanding-bandingkan, dimarahi atau ditolak dan dijauhi.
Vaded with Confusion: Resource State yang terluka karena ia punya unek-unek, ganjalan atau beban yang tidak bisa terekspresikan. Vaded with Confusion terbentuk dari situasi dimana Resource State mengalami peristiwa yang dirasanya ‘membebaninya’. Beban yang dibawa Resource State ini bisa berupa rasa marah, kecewa, bersalah dan lain sejenisnya, dimana semua beban itu bergejolak di dalam diri tanpa bisa diekspresikannya, bisa jadi karena tidak tahu caranya atau karena tidak bisa – karena takut, segan atau sungkan misalnya – atau karena tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk itu.
Vaded with Disappointment: Resource State yang merasa sedih, putus asa, kecewa, frustrasi dan merasa tidak berdaya. Sedemikian merasa kecewanya Vaded State ini, ia bisa memblokade Resource State lain untuk aktif, sehingga seseorang berada dalam mode depresi dan mengalami level energi psikis yang rendah. Vaded with Disappointment terbentuk dari kekecewaan mendalam yang dirasakan Resource State karena menghadapi kenyataan pahit yang sedemikian tidak bisa diterimanya, ia merasa bahwa apa yang dialaminya bukanlah yang sepantasnya dia terima, terlebih setelah apa yang selama ini diyakini dan diperjuangkannya, sampai ia pun memutuskan ‘mengunci’ dan menutup diri dari dunia luar sambil memblokade Resource State lain untuk aktif.
Terbentuknya Vaded State bisa terekspresikan dalam dua bentuk:
Pertama, Vaded State terekspresikan secara penuh ke Conscious State, memunculkan reaksi emosional yang membuat klien disfungsional, bisa dalam bentuk rasa takut, cemas, gugup, minder, depresi, PTSD
Kedua, Vaded State terekspresikan, namun sebelum ia aktif secara penuh di permukaan ia lalu ditekan atau dialihkan oleh perilaku yang mengalihkan atau menghindari reaksi emosional ini (avoidance behavior) sehingga ia tidak perlu aktif ke permukaan. Meskipun tidak selalu, lebih banyak avoidance behavior ini termanifestasikan dalam bentuk perilaku negatif, seperti kecanduan, kemarahan atau kebiasaan buruk lainnya, yang menandakan munculnya patologi Retro Avoiding State di situasi ini (akan dijelaskan di poin bahasan Retro berikutnya).
Retro State adalah Resource State yang mode patologinya muncul dalam bentuk perilaku di luar kendali dan berlawanan dengan apa yang kita nyatakan sebagai perilaku ideal yang kita harapkan.
Kondisi perilaku yang ditunjukkan Retro State ini kemudian terbagi lagi menjadi dua jenis perilaku spesifik:
Retro Original State: Retro State yang meneruskan perilaku masa kecil yang pernah jadi tugasnya. Karena memang itulah tugasnya, ketika ada stimulus yang mengaktifkannya di masa dewasa maka ia pun aktif dengan melakukan lagi tugasnya di masa kecil dulu, meski cara kerjanya itu di masa dewasa dirasa tidak sesuai lagi dengan standar perilaku ideal yang klien dewasa tetapkan.
Retro Avoiding State: Retro State yang aktif untuk ‘menyelamatkan’ kita dari kemunculan Vaded State yang bisa dirasa menyakitkan jika Vaded State ini sampai naik ke Conscious State.
Sampai sejauh ini, spesifikasi dari Vaded State yang sudah kita bahas tadi sudah dijabarkan menjadi empat jenis Vaded State, dan Retro State terbagi atas dua jenis, ditambah lagi dengan patologi yang terjadi dari mode Dissonant dan Conflicted, maka didapatlah delapan jenis kondisi patologi dari Resource State:
- Vaded with Fear: Resource State yang membawa rasa takut karena mengalami situasi yang dimaknai sebagai ancaman, karena adanya pengalaman traumatis masa lalu.
- Vaded with Rejection: Resource State yang merasa tidak dicintai, tidak berharga dan tidak layak menampilkan diri.
- Vaded with Confusion: Resource State yang tidak bisa berhenti terbebani pemikiran atau perasaan akan suatu hal, bisa berupa rasa bersalah, malu hati atau bahkan marah dan ganjalan yang tidak terekspresikan.
- Vaded with Disappointment: Resource State yang sedemikian merasa kecewa hingga ia menghalangi bagian diri lainnya untuk beraktivitas normal, Resource State ini juga yang acap kali menyebabkan depresi.
- Retro Original: Resource State penyebab perilaku tidak diinginkan, yang tidak terkendali, yang bersumber dari bentukan kebiasaan di masa kecil.
- Retro Avoiding: Resource State penyebab perilaku tidak diinginkan, yang tidak terkendali, yang ingin melindungi kita dari aktifnya Bagian diri Vaded with Fear atau Vaded with Rejection di situasi spesifik tertentu.
- Conflicted State: Resource State diri yang tidak menghargai satu sama lain dan berkonflik untuk aktif dalam satu waktu secara bersamaan.
- Dissonant State: Resource State yang sehat, tidak bermasalah seperti Vaded State, hanya saja keluar di waktu dan tempat yang salah, yang bukan menjadi keahliannya
Penjelasan kedelapan jenis kondisi patologi di atas dimaksudkan untuk memperjelas sifat dari kondisi patologis yang dialami oleh setiap Resource State sehingga mereka ‘terjebak’ dalam mode disfungsionalnya.
Dalam hubungannya dengan proses diagnosis, kedelapan kondisi patologi di atas memiliki ciri manifestasinya masing-masing sampai menjadi satu permasalahan spesifik yang klien alami. Artinya, ketika klien mengisahkan masalahnya dan kita memahami masalahnya secara spesifik, sebenarnya di titik ini kita sudah bisa mendiagnosis Resource State Pathology apa yang melatari munculnya masalah klien:
Penting bagi seorang Resource Therapist untuk memahami sifat dari setiap kondisi patologi dan bagaimana mereka kelak termanifestasikan menjadi gejala masalah.
Contoh, jika kita pahami kondisi Vaded with Fear, jenis Vaded State ini terbentuk dari peristiwa yang mengancam, yang membentuk rasa takut intens, maka seperti apa manifestasi dari jenis patologi ini? Ya, ia bisa menjadi fobia, kecemasan, serangan panik dan ketakutan intens. Lain lagi dengan Vaded with Rejection, ia terbentuk dari rasa ‘ditolak’ yang membentuk keyakinan bahwa diri ini tidak sebagus orang lain, maka kemunculannya akan termanifestasi dalam bentuk perasaan ‘menarik diri’, merasa tidak layak, minder dan sejenisnya.
Begitu juga setiap mode patologi lain, memiliki manifestasi spesifik yang jika kita sudah pahami sifat alami dari mode patologi itu maka ketika klien mengisahkan masalah dan perasaannya, saat itu kita sudah bisa mendiagnosis Resource State Pathology apa yang melatarinya.
Contoh lainnya, sebut saja seorang klien datang dan mengisahkan bahwa ia memendam rasa bersalah pada mendiang orang tuanya yang sudah meninggal karena belum bisa menunaikan amanat mereka, amati emosi apa yang dominan di kasus ini: perasaan ‘terbebani’, ciri yang baru kita dengar saja sudah menggambarkan karakteristik yang sangat khas dari sifat patologi Vaded with Confusion.
Resource Therapist yang sudah memahami betul karakteristik dari setiap kondisi patologi Resource State dan manifestasinya akan langsung bisa melakukan diagnosis atas mode patologi Resource State yang melatari munculnya gejala masalah dalam diri klien begitu klien memberikan detail informasi sehubungan dengan gejala masalah spesifik yang dialaminya, dilanjutkan dengan memfasilitasi proses penanganan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap kondisi patologi untuk mengembalikan mereka ke kondisi normalnya dan memasuki zona fungsionalnya lagi.
Perlu diingat bahwa ketika klien datang dan mengutarakan keluhan atas gejala permasalahannya, yang aktif adalah Resource State ‘Pelapor’ yang mengeluhkan keberadaan Resource State yang mengalami kondisi patologi (yang justru sedang berdiam di Underlying State).
Resource State ‘Pelapor’ ini tidak mengenal dan mengetahui detail keberadaan dari Resource State yang mengalami patologi, karena mereka tidak berbagi memori di ruang yang sama (Resource State ‘Pelapor’ berdiam di Surface State sementara Resource State yang mengalami patologi ada di Underlying State), maka ia hanya bisa menceritakan kesan dan perasaannya berdasarkan yang diingatnya di kejadian sewaktu Resource State yang berada dalam kondisi patologi itu aktif sambil mengutarakan keluhannya atas betapa disfungsionalnya Resource State yang mengalami kondisi patologi di Underlying State tersebut.
Keluhan dari Resource State ‘Pelapor’ ini menjadi salah satu landasan dari proses diagnosis atas kondisi patologi yang dialami Resource State yang melatari permasalahan, seperti bisa dilihat di tabel berikut ini:
Apa yang akan terjadi jika penanganan dilakukan pada Resource State ‘Pelapor’ ini? Inilah cikal-bakal dari penanganan yang berlarut-larut, karena penanganan yang dilakukan bukan dilakukan pada Resource State yang seharusnya, yang memegang peranan di balik manifestasi permasalahan klien.
Karena itulah diagnosis yang tepat sejak awal menjadi kunci penting, dalam proses diagnosis inilah keberadaan Resource State yang mengalami patologi baru bisa terungkap dengan baik, wajib hukumnya bagi seorang Resource Therapist untuk bisa memahami esensi di balik informasi atas manifestasi gejala masalah yang diceritakan Resource State ‘Pelapor’.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.
CATATAN KAKI:
[1] American Psychology Association, “diagnosis (Dx)”, diakses dari https://dictionary.apa.org/diagnosis, pada tanggal 12 September 2019 pukul 22.08
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, “diagnostik”, diakses dari https://kbbi.web.id/diagnostik.html pada tanggal 12 September 2019 pukul 22.12
[3] Permenkes RI, Nomor: 45 Tahun 2017, Pasal 17 Ayat (1)
[4] Permenkes RI, Nomor: 45 Tahun 2017, Pasal 17 Ayat (4) Huruf b
REFERENSI:
Comer, Ronald J. 2014. Fundamentals of Abnormal Psychology, Seventh Edition. USA: Worth Publishers.
Emmerson, Gordon. 2014. Resource Therapy. Australia: Old Golden Point Press
__________. 2014. Resource Therapy Primer. Australia: Old Golden Point Press
__________. 2015. Learn Resource Therapy. Australia: Old Golden Point Press