Selayang Pandang Resource Therapy
Daftar Isi
Sejak awal dituliskannya artikel ‘Mengenal Bagian-Bagian Kepribadian Diri (Personality Parts)‘ pada 23 Januari 2021 lalu, mulai lebih banyak diskusi berlangsung bersama para rekan sejawat sesama hipnoterapis dan psikoterapis lainnya, mengulas topik yang satu ini.
Hal ini karena dalam dunia psikoterapi sendiri dikenal beberapa teknik yang praktiknya mengacu kepada cara kerja dari Personality Parts ini, sebut saja Ego State Therapy, Internal Family System, Schema Therapy, Resource Therapy dan Developmental Needs Meeting Strategy, masing-masing dengan dasar pemikiran dan langkah praktiknya sendiri.
Meski masing-masing dasar pemahaman itu nantinya akan bermuara pada esensi yang sama, tetap saja langkah praktik dari masing-masing teknik itu memiliki beberapa perbedaan mendasar, hal inilah yang menjadikan proses diskusi bersama para rekan sejawat tadi memberikan kehangatan tersendiri.
Berkaca dari diskusi yang terjadi dengan para rekan sejawat, artikel kali ini akan mengulas satu modalitas dalam Parts-Based Psychotherapy atau Psikoterapi Berbasis Bagian Kepribadian’, yaitu Resource Therapy & Counselling (RTC).
Sudah kita bahas di artikel ‘Mengenal Bagian-Bagian Kepribadian Diri (Personality Parts)‘ bahwa setiap Personality Parts dalam diri kita memiliki fungsi dan tugas spesifik masing-masing sesuai dengan kebiasaan para Personality Parts itu ketika mereka dulunya terbentuk untuk merespon situasi yang kita alami.
Dengan fungsi spesifik masing-masing yang kelak membentuk satu kesatuan utuh diri kita pada akhirnya, para Personality Parts ini idealnya bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dan secara harmonis satu sama lain, ketika Personality Parts ini tidak bekerja sesuai fungsinya atau tidak harmonis satu sama lain, maka muncullah gangguan atau kondisi disfungsional dalam diri kita.
Untuk memudahkan memahaminya, bayangkan sebuah organisasi dimana di dalamnya berisikan divisi-divisi dengan tugas spesifik, ketika para divisi di dalamnya bekerja harmonis maka harmonis jugalah sistem operasional organisasi, itulah perlambang dari Personality Parts, ketika salah satu dari divisi ini kacau cara kerjanya maka sistem organisasi pun akan terpengaruh, itulah perlambang ketika cara kerja satu atau lebih Bagian Diri dalam diri kita terganggu fungsi/cara kerjanya, ia mempengaruhi keseluruhan fungsi ideal seseorang dalam menjalani kehidupan.
Secara psikologis, selalu terdapat Personality Parts spesifik yang aktif di balik setiap pemikiran, perasaan dan respon perilaku kita. Setiap kali kita berada di ‘mode’ tertentu dan melakukan aktivitas tertentu, maka saat itu juga Personality Parts tertentu sedang aktif dalam diri kita dalam mode atau state tersebut dan menjalankan tugasnya melakukan aktivitas yang kita lakukan.
Menjalankan tugas? Ya, setiap Personality Parts kita memiliki tugas spesifik untuk ditampilkannya sesuai dengan tuntutan situasi, mereka adalah sumber daya (resource) bagi kita, oleh karena itu dalam RTC mereka disebut Resource State.
PEMBENTUKAN RESOURCE STATE & PERAN RTC
Sedikit mengulas ulang apa yang sudah dibahas di artikel ‘Mengenal Bagian-Bagian Kepribadian Diri (Personality Parts)‘, namun kali ini menitikberatkan fokusnya menyoal Personality Parts sebagai Resource State, dalam masa tumbuh kembang kita sejak kecil, kita belajar untuk merespon stimulus di luar diri dengan mekanisme tertentu, dimana proses belajar ini kemudian membentuk pola atau kebiasaan otomatis.
Dalam kelanjutan proses tumbuh kembang ini ada banyak hal yang kita pelajari untuk bisa kita lakukan dan kuasai sampai terbentuk menjadi berbagai keahlian, kebiasaan atau respon otomatis ini, tak ubahnya kumpulan dari ‘mode merespon’. Bersamaan dengan terbentuknya mode merespon ini maka secara psikologis terbentuk juga keberadaan Resource State spesifik yang mewakili fungsi atau mode merespon ini.
Secara fisiologis, proses penguasaan keahlian dan pembentukan respon otomatis ini menciptakan jalinan syaraf yang terbentuk dari akson dan dendrit serta tembakan sinaps yang berlangsung dalam otak, yang terbentuk berulang sampai menjadi sebuah pola spesifik di dalam otak.
Ketika kita perlu melakukan suatu hal secara spesifik yang sudah kita kuasai atau biasa lakukan maka kita otomatis mengakses sumber daya (resource) yang sudah ada tersebut dan berada di ‘mode kepribadian’ Resource State tersebut sesuai tuntutan situasi itu selama diperlukan, sehingga Resource State itu pun aktif secara otomatis sebagai sebuah mode merespon atau mode kepribadian kita.
Ketika kita perlu melakukan suatu hal baru yang belum kita kuasai secara luwes maka kita mempelajari hal tersebut sebagai respon baru, dimana pembelajaran ini menciptakan jalinan syaraf baru dalam otak, sampai penguasaan atas hal baru ini pun menciptakan pola respon baru, disinilah pola baru dalam merespon atau melakukan hal baru ini lambat laun menjadi sebuah mode kepribadian baru atau Resource State baru di pikiran bawah sadar.
Demikian seterusnya sampai dalam diri kita terbentuk berbagai jenis Resource State dengan mode dan fungsi spesifiknya masing-masing.
Sebagai sumber daya, setiap Resource State idealnya aktif sesuai tugas spesifik dan fungsinya di situasi yang mensyaratkannya untuk tampil. Saat ini terjadi maka seseorang akan berada dalam mode yang tepat dan mampu menampilkan respon atau kinerja ideal sesuai dengan tuntutan situasi yang harus dipenuhinya.
Kita bisa mengumpamakan hal ini dengan: ‘diberikannya tugas yang tepat, pada orang yang tepat, dengan keahlian yang tepat’, terciptalah keselarasan yang menghasilkan kinerja ideal.
Dengan kata lain, bisa kita simpulkan bahwa kunci di balik segala respon perilaku yang ideal adalah ‘aktifnya Resource State yang tepat di tempat dan waktu yang tepat’.
Terdengar sederhana? Tentu, namun disini juga terletak perkara yang menjadikannya justru tidak sederhana, masalahnya yaitu: tidak semua Resource State aktif secara ideal untuk menjalankan tugasnya.
Contohnya saja, bayangkan seseorang yang harus tampil berbicara di depan umum, Resource State apa yang idealnya aktif agar orang ini bisa tampil berbicara di depan umum dengan ideal?
Betul, bisa Resource State ‘Tenang’, ‘Percaya Diri’ atau Resource State dengan konotasi positif sejenis lainnya, lantas apa yang akan terjadi ketika Resource State yang yang aktif ketika orang ini tampil berbicara di depan umum justru Resource State ‘Takut’, ‘Grogi’, ‘Minder’, ‘Cemas’, atau Resource State dengan konotasi negatif sejenis lainnya?
Tanpa harus menceritakannya pun Anda tentu sudah bisa menebak sendiri seperti apa hasilnya: kondisi disfungsional dimana seseorang tidak bisa menampilkan respon ideal di situasi yang mensyaratkannya.
Mari sadari betapa semua itu bisa terjadi hanya karena hal sederhana: ‘aktifnya Resource State yang tidak tepat, di situasi yang tidak tepat.’
Bagaimana bisa sebuah Resource State kesulitan menjalankan tugas sesuai fungsi idealnya dan malah menghasilkan mode disfungsional? Pada dasarnya terdapat tiga kondisi umum yang menyebabkannya:
- Resource State yang aktif bukan Resource State yang sehat, melainkan Resource State yang berada dalam mode terluka dan disfungsional.
- Resource State yang aktif bukan Resource State dengan fungsi yang tepat, seperti seorang yang keahliannya adalah bermain namun tiba-tiba ia disuruh berpikir analitis dan bekerja serius, yang jelas-jelas bukan keahliannya, ia tidak menyukai yang dilakukannya dan memang itu bukan keahliannya, ia pun berada dalam mode ‘salah tingkah’.
- Terdapat dua Resource State yang malah ingin aktif secara bersamaan, membuat kita dilema, seperti ada dua Bagian dalam diri yang saling berkonflik satu sama lain dan menyiksa diri kita.
Kunci kinerja ideal adalah aktifnya Resource State yang tepat di waktu dan tempat yang tepat; namun ketiga persoalan di ataslah yang membuat Resource State tidak bisa menjalankan fungsinya secara sehat, jadi harus bagaimana menyikapinya?
Disinilah akhirnya sebuah teknik transformasi yang bernama Resource Therapy & Counselling (RTC) berperan, teknik terapi, konseling dan transformasi yang secara spesifik ditujukan untuk menangani permasalahan pada Resource State yang bermasalah, yang membuat seseorang tidak bisa berada dalam mode ideal untuk memenuhi tuntutan respon di luar dirinya dan kelak terjebak di zona disfungsional.
Tujuan dari RTC adalah untuk mengembalikan Resource State yang berada dalam mode disfungsional ke mode fungsionalnya atau ke mode normalnya, agar seseorang bisa berada di Resource State yang tepat di tempat yang tepat dan waktu yang tepat, yang bisa memenuhi tuntutan fungsional diri di situasi yang ia jalani.
CARA KERJA RTC
Dalam posisinya sebagai sebuah mode kepribadian, Resource State bisa dikatakan seolah memiliki kepribadiannya masing-masing.
Mengapa ada kata ‘seolah’ dalam kalimat di atas? Karena meski ada kepribadian yang melekat pada Resource State, sifatnya adalah tetap sebagai ‘mode’, sehingga banyaknya Resource State dalam diri kita bukan berarti menandakan banyaknya kepribadian dalam diri kita (yang sering kali diasosiasikan dengan ‘kepribadian ganda’), melainkan banyaknya mode kepribadian yang aktif bergantian untuk kita gunakan dalam merespon tuntutan situasi di luar diri kita.
Namun demikian, melekatnya kepribadian spesifik pada Resource State membuat mereka memiliki ‘pemikiran dan kebutuhan sendiri’, ketika kebutuhan itu tidak terpenuhi atau mereka mengalami peristiwa yang dianggap berbahaya ketika mereka aktif maka mereka juga bisa ‘terluka’, memendam trauma dan tidak bisa lagi aktif dalam mode yang sehat untuk menjalankan tugasnya, kondisi inilah yang disebut sebagai Resource State Pathology.
Dalam posisinya sebagai mode kepribadian yang memiliki ‘pemikiran sendiri’, dengan teknik yang tepat Resource State bisa diajak berkomunikasi, layaknya kita memang sedang berbicara dengan mereka, kita bisa mengetahui apa fungsi dan kesukaan dari setiap Resource State, termasuk mengidentifikasi jika ada luka dalam diri mereka yang membuat mereka tidak bisa aktif secara fungsional.
Yang dilakukan dalam RTC adalah kita mengakses dan berbicara langsung dengan Resource State yang mengalami kondisi disfungsional, yang membuat seseorang berada dalam state disfungsional di suatu situasi spesifik, lalu menerapkan teknik yang didesain untuk menyembuhkan Resource State yang berada dalam mode disfungsional tersebut agar ia bisa sembuh dan kembali ke kondisi fungsionalnya, sehingga orang tersebut bisa mendapatkan mode yang fungsional kembali untuk memenuhi tuntutan respon di luar dirinya.
Banyak metode terapi berbicara (talking therapy) yang melakukan penelusuran masa lalu dan mengidentifikasi berbagai jenis pengalaman traumatis dalam diri seseorang, serta mencari keterhubungan bagaimana pengalaman masa lalu itu menjadikan seseorang disfungsional di masa kini, namun metode itu tidak serta-merta mengakses dan menyembuhkan Resource State yang mengalami trauma tersebut, yang berperan di balik munculnya mode disfungsional di masa kini.
Hal ini yang sering kali membuat sebuah proses psikoterapi bisa cukup memakan waktu untuk menghasilkan penyembuhan karena sesi demi sesi yang dijalani belumlah menjangkau keberadaan Resource State yang disfungsional tersebut, baru setelah melewati sekian waktu tertentu dan keberadaan Resource State itu mulai terjangkaulah, perlahan perubahan mulai terasa.
Yang membedakan RTC dengan metode lain adalah karena RTC memfokuskan proses penyembuhan langsung pada Resource State yang berhubungan langsung dengan kondisi disfungsional yang dialami seseorang, sehingga ketika Resource State ini ‘tersembuhkan’ ia pun bisa langsung kembali ke mode fungsionalnya.
Dalam coaching untuk membantu seseorang memasuki kinerja puncaknya, RTC membantu untuk kita mengakses Resource State yang sesuai untuk menjalankan respon ideal yang kita ingin tingkatkan kualitasnya, lalu mengkondisikan agar Resource State itu semakin terlatih dalam menjalankan tugasnya.
Semakin terlatihnya Resource State dalam menjalankan tugasnya akan membuat sebuah mode fungsional semakin ahli, sampai ia bisa menjadi mode yang ahli di atas rata-rata dan menjadi mode merespon yang eksepsional.
ANALOGI RESOURCE STATE & RTC
Bayangkan sebuah bus yang sedang berkendara dimana bus itu memuat banyak penumpang di dalamnya, namun semua penumpang itu juga sebenarnya adalah para supir yang secara bergantian ikut mengendarai dan punya peran mengarahkan kualitas berjalannya bus tersebut.
Kunci pertama adalah: meski ada banyak penumpang yang juga berperan sebagai supir di dalamnya, tetap saja pada akhirnya hanya ada satu supir yang bisa menjadi supir utama yang mengendalikan jalannya bus. Namun demikian, para supir lain yang sedang menjadi penumpang pun sebenarnya selalu sadar akan jalannya bus, hanya saja mereka sedang berada dalam mode ‘mengamati’ dari tempatnya duduk sebagai penumpang.
Ada kalanya bus harus melewati rute tertentu dimana di medan tersebut diperlukan keahlian spesifik dari supir tertentu yang memang memiliki keahlian yang diperlukan untuk bisa melalui medan tersebut dengan efektif, maka terjadilah pergantian supir dimana supir lainnya duduk berganti posisi di bangku pengemudi dan langsung menjalankan tugasnya sesuai tuntutan dan kebutuhan rute yang dilalui.
Ilustrasi ini menggambarkan keberadaan Resource State dalam diri kita, dengan kapasitasnya sebagai ‘Bagian Diri’ yang terbentuk akibat proses pembiasaan untuk merespon stimulus di luar diri kita sampai menjadi sebuah respon otomatis, Resource State tak ubahnya para supir bus dalam ilustrasi di atas yang berada dalam satu bus, mereka memiliki keahliannya masing-masing dan aktif bergantian mengemudi untuk bisa menjalankan tugasnya sesuai tuntutan situasi di luar diri kita.
Tidak ada yang tahu berapa banyak jumlah Resource State dalam diri kita, karena seiring dilaluinya masa tumbuh-kembang para Resource State itu pun terus ‘berevolusi’ atau berkembang kemampuan dan jumlahnya dalam diri kita.
Ada Resource State yang terbentuk akibat proses pengulangan dalam merespon stimulus tertentu saja, dimana Resource State ini memiliki tugas spesifik hanya aktif dalam merespon stimulus itu saja, ada juga Resource State yang semakin mahir sehingga ia bisa mengembangkan keahlian yang semakin tinggi dari bidangnya semula, misalnya saja Resource State yang awalnya hanya memiliki tugas ‘bermain musik’, bisa saja lama-lama mengembangkan keahlian untuk juga ‘menari mengikuti alunan musik’.
Ketika satu Resource State sedang aktif dan menjalankan fungsinya, mode ini disebut Conscious State, sementara Resource State utama sedang aktif menjalankan tugasnya sebagai supir maka Resource State lain duduk di bangku penumpang, menunggu gilirannya aktif ketika diperlukan, para Resource State yang mengamati ini berada dalam satu mode yang disebut Surface State (mode permukaan).
Namun ada juga sekumpulan Resource State tertentu yang meski ada di bus yang sama, mereka tidak mengamati dari bangku penumpang yang berdekatan dengan supir, melainkan duduk di pojokan khusus yang tersembunyi, mereka ada namun tidak disadari keberadaan dirinya oleh Resource State lain, inilah ilustrasi dari Resource State yang tidak sedang aktif dan tidak turut berada di Surface State, mereka ada namun berdiam di pikiran bawah sadar, mode dimana mereka berdiam di pikiran bawah sadar ini dalam RTC disebut dengan nama Underlying State.
Resource State yang berada dalam mode Underlying State biasanya adalah yang jarang aktif dalam mode Conscious State yang biasa ditampilkan dan dikenali oleh orang-orang di sekitar, oleh karena itu ketika Resource State yang berada di moder Underlying State ini aktif ke mode Conscious State biasanya perilaku mereka agak berbeda dengan yang biasa ditampilkan, bisa saja orang di sekitar sampai merasa asing dan heran karenanya.
Resource State yang terbentuk di masa kanak-kanak biasanya tersimpan di Underlying State, ketika Resource State ini aktif hal ini biasanya nampak dalam diri orang tertentu yang tanpa sadar kembali mengulang perilaku seperti kanak-kanak, mereka bisa tidak sadar bahwa mereka adalah orang dewasa ketika Resource State kanak-kanak ini aktif.
Bisa saja seseorang mengalami situasi yang menstimulus Resource State kanak-kanaknya aktif, namun yang aktif adalah Resource State yang ceria, maka mereka bisa jadi sedemikian ceria seperti anak-anak. Bisa juga situasi yang menstimulus mereka justru mengaktifkan Resource State yang ingin bermanja-manja, maka mereka bisa nampak seperti anak kecil yang manja, karena itulah mode yang biasa dilakukan Resource State itu ketika kecil dulu.
Namun tidak hanya itu, di Underlying State juga tersimpan Resource State yang terluka, mengalami trauma, atau dalam istilah RTC yaitu Resource State yang mengalami kondisi patologis (Resoure State Pathology) dan oleh karenanya bersifat disfungsional.
Resource State ini pernah mengalami pengalaman buruk di masa lalu, dan ia terluka karena pengalaman itu, ia lalu membawa lukanya dan kemudian ‘terisolir’ di Underlying State, ketika ia aktif di mode Conscius State maka ia aktif dengan mode terlukanya, menjadikan seseorang bisa menunjukkan respon disfungsional yang sedemikian ‘tidak biasa’ dan irasional, tidak seperti dirinya yang biasa ditunjukkannya secara wajar.
Dalam ilustrasi supir bus yang kita gunakan, Resource State ini diibaratkan sebagai supir di bus itu yang pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan di rute tertentu dan merasa terluka karena pengalaman itu, setelah melalui pengalaman itu ia pun duduk di pojok yang tersembunyi di bus tersebut, alhasil keberadaannya tidak disadari oleh supir atau Resource State lain, mode dimana keberadaan Resource State tidak disadari cara kerjanya ini yang disebut sebagai Underlying State.
Para Resource State di Surface State menjadi ‘pengamat’ di level kesadaran yang sama, sehingga mereka saling berbagi memori atas suatu pengalaman yang kita alami di luar diri kita, namun tidak halnya Resource State yang berdiam di Underlying State, mereka tidak berbagi memori di level kesadaran yang sama, sehingga Resource State lain sering kali tidak ‘mengenali’ keberadaannya.
Ketika bus melaju ke rute yang dirasa berbahaya oleh supir yang terluka – menurut pengalamannya – maka ia pun segera ‘menerjang’ ke kursi supir utama dan menggantikan si supir utama – siapa pun yang sedang mengemudi – atau dengan kata lain: siapa pun Resource State yang sedang aktif di mode Conscious State, ia segera melakukan segala daya serta upaya untuk bisa menghindari rute tersebut dan memberitahu bahwa rute itu berbahaya, namun ia tidak bisa memberitahunya secara wajar karena terlalu reaktif dengan luka emosinya sendiri, keseluruhan bus bergoncang tidak karuan karenanya, namun para supir-penumpang lain di bus itu tidak berdaya mengendalikan si supir yang terluka itu, ia muncul dengan begitu liarnya dan tidak bisa dikendalikan oleh supir lain, bahkan tidak bisa berkomunikasi secara wajar dan tidak ada yang mengenalinya.
Ini adalah kondisi ketika kita dihadapkan dengan situasi tertentu yang dipandang oleh Resource State yang mengalami kondisi patologi, memiliki asosiasi sejenis dengan peristiwa masa lalu yang dulu pernah melukainya, ia bisa langsung ‘melompat’ keluar dari mode Underlying State dan lalu aktif di Conscious State dengan sedemikian reaktif dan mengambil alih kemudi atau kendali kesadaran diri kita dengan cara yang irasional, sehingga kita seolah kehilangan fungsi normal diri untuk sesaat dan menjadi ‘pribadi yang berbeda’ ketika Resource State yang mengalami kondisi patologi ini aktif di Conscious State.
Kemunculan Resource State dengan kondisi patologi ini sebenarnya membawa pesan bagi kita bahwa peristiwa yang sedang dialami memiliki asosiasi sejenis dengan peristiwa masa lalu yang pernah kita alami, namun karena Resource State ini tadinya berada di Underlying State dan tidak aktif di level kesadaran yang sama dengan Resource State lain di Surface State, ketika aktif ia tidak bisa berbagi memori dengan Resource State lain atas apa yang ia pernah alami, maka yang muncul hanya ekspresi reaktif yang sulit dipahami sebab-alasannya.
Baru ketika stimulus pemicu tadi berlalu dan Resource State yang mengalami kondisi patologi ini kembali ke kedalaman Underlying State, kita berangsur kembali stabil, Resource State baru yang lalu muncul setelah kita mulai stabil pun merasa heran mengapa tadi untuk sesaat kita bisa seolah hilang kendali, ketika hal ini terjadi berulang-ulanglah biasanya seseorang mulai menyadari ‘ketidakwajaran’ dan mulai mengupayakan perubahan atau mulai mencari pertolongan.
Sayangnya, ketika mereka yang mengalami kondisi disfungsional ini lalu mencari pertolongan, yang terjadi adalah yang aktif dan datang mencari pertolongan pada terapis justru adalah Resource State lain yang menyadari kondisi ketidakwajaran ini, namun bukan Resource State sebenarnya yang mengalami kondisi patologi tadi, karena Resource State yang mengalami mode disfungsional itu sudah kembali ke Underlying State.
Artinya, ketika klien datang menjalani penanganan, Resource State yang datang dan membicarakan masalah dalam sesi terapi bukan Resource State sebenarnya yang bermasalah, melainkan Resource State yang melaporkan keberadaan dan kondisi Resource State yang dianggap bermasalah di Underlying State, jika kita malah melakukan teknik penanganan pada Resource State ‘Pelapor’ ini maka tidak akan ada perubahan, karena bukan ia yang mengalami mode patologi.
Ilustrasi ini diibaratkan manajemen pemilik bus yang mendapatkan kabar bahwa bus sempat ‘goncang’, dan lalu memanggil supir bus untuk diwawancara, namun yang dipanggilnya adalah supir bus yang hanya mengamati kejadiannya, bukan yang sebenarnya bermasalah, karena supir bus asli yang sebenarnya bermasalah itu sudah kembali ke tempat persembunyiannya (Underlying State), yang tidak diketahui oleh supir lain.
Supir bus lain yang dipanggil ini bisa menceritakan kejadian yang ia alami namun tidaklah mencerminkan kedalaman masalah sebenarnya, ia hanya bisa menceritakan ketidaknyamanan yang ia memang rasakan dan bagaimana gejala itu terasa ketika supir bus bermasalah itu muncul, tapi ia sendiri tidak kenal betul dengan supir bermasalah itu karena mereka berdiam di ruang atau level kesadaran yang berbeda, sejauh apa pun pihak manajemen pemilik bus mencoba menjernihkan masalah dengan supir bus ini, ia hanya bisa ‘mengiyakan’ bahwa harusnya bus tidak bergoncang, namun ia sendiri kebingungan memberitahu siapa supir bus bermasalah yang tadi muncul karena ia sendiri tidak kenal padanya, ia hanya bisa menceritakan ciri kemunculannya berdasarkan yang ia alami ketika supir yang luka itu muncul tapi ia tidak tahu mengapa bisa begitu.
Baru kemudian setelah supir bus yang sebenarnya bermasalah itu ditanganilah masalah tadi bisa terselesaikan dan mendapatkan resolusi, itulah ilustrasi dari penanganan menggunakan RTC.
RESOURCE PERSONALITY THEORY & RESOURCE STATE PATHOLOGY
Teori pembentukan Resource State dalam RT disebut sebagai Resource Personality Theory dimana teori ini didasari suatu pemikiran bahwa mode respon manusia dibentuk dan dilatih melalui serangkaian pengulangan, sampai mode itu ‘tersimpan’ atau terkondisikan, dimana ketika kita lalu memerlukannya maka kita mengakses mode itu lagi.
Ketika kita melakukan suatu aktivitas dan aktivitas itu dirasakan membawa manfaat, maka kita cenderung untuk mengulangi aktivitas itu agar kita tetap bisa mendapatkan manfaat itu lagi, pengulangan inilah yang kelak membentuk keberadaan mode merespon atau Resource State.
Contohnya, seorang anak kecil membantu orangtuanya dan ia pun mendapatkan pujian karena membantu mereka, anak kecil ini merasa senang dari pujian yang diberikan orangtuanya (rasa senang dirasa sebagai ‘manfaat’ atau emosi positif yang membawa kesenangan/pleasure baginya), ia pun lalu mengulanginya lagi di waktu berbeda dan ternyata terus mendapatkan manfaat yang sama.
Proses pengulangan ini secara fisik menciptakan jalinan syaraf yang terbentuk dari jalinan akson dan dendrit, serta tembakan sinaps yang berlangsung dalam otak, dimana hal ini secara psikologis lalu membentuk keberadaan sebuah mode Resource State yang merasa senang karena dipuji ketika membantu.
Resource State adalah sumber daya dalam diri yang juga memiliki fungsi untuk memenuhi kebutuhan emosi dasar kita dan mengendalikan situasi (coping mechanism), ketika di kemudian hari orang ini ingin atau butuh merasakan lagi perasaan senang karena dipuji maka coping mechanism lama ini pun kembali teraktivasi, Resource State ini pun kembali aktif menjalankan tugasnya: membantu.
Bergantung pada detail pengalaman lanjutan yang dialami, bisa saja cara kerja Resource State ini berubah. Bisa saja pada suatu waktu anak ini membantu dan merasa senang melihat ekspresi kebahagiaan orang yang dibantunya, alhasil cara kerja Resource State ini berubah, ia tidak lagi membantu untuk menerima pujian melainkan karena ia merasa senang bisa membuat sesama bahagia.
Di sisi lain, bisa saja pengalaman berbeda terjadi pada anak yang coba membantu orangtuanya namun malah dimarahi karena dianggap merepotkan, rasa sedih karena dimarahi itu lalu membentuk Resource State yang menyimpulkan bahwa ‘membantu itu sakit rasanya’, dimana hal ini kemudian ia putuskan untuk ‘hindari’ agar tidak perlu merasakan rasa sakit yang tidak disukainya.
Jika hal ini terjadi berulang bisa saja si anak ini malah menjadi anak yang egois dan menghindari membantu sesama, semata karena Resource State dalam dirinya belajar bahwa ‘membantu itu sakit’, seiring anak ini bertumbuh dewasa ia sudah lupa dengan kejadian itu karena Resource State kanak-kanak yang membawa rasa sedih itu sudah berpindah ke Underlying State, namun setiap kali ia dihadapkan dengan situasi yang memintanya untuk membantu sesama maka Resource State yang sadar akan ‘potensi bahaya’ dari rasa sakit itu aktif kembali ke Conscious State dan menjalankan coping mechanism untuk menghindarkannya dari rasa sakit, ia pun lalu menghindari dan bahkan membenci aktivitas membantu sesama.
Artinya, keberadaan Resource State dalam diri setiap orang bersifat unik dan pribadi, tidak ada orang yang memiliki struktur, cara kerja dan fungsi Resource State yang sama, bahkan yang kembar dan tumbuh di lingkungan yang sama sekali pun, hal ini semata karena mekanisme yang dilakukan setiap orang dalam mengalami rangkaian pengalaman, memproses informasi dan mengulang coping mechanism spesifik yang kemudian membentuk keberadaan Resource State pasti selalu berbeda adanya.
Terdapat tiga jenis kondisi umum dalam pembentukan Resource State ini yang telah dipetakan dalam RTC, yaitu:
Normal: Resource State yang terbentuk ‘sehat’ dan bisa menjalankan fungsinya dengan baik (Resource State dalam kondisi fungsional).
Resource State dikatakan ‘normal’ ketika kita tengah berada di situasi tertentu yang mensyaratkan kita untuk bisa merespon situasi tersebut dengan state atau mode tertentu dan pada kenyataannya kita mampu berada di state tersebut secara ideal, karena Resource State yang memegang mode itu berada dalam kondisi fungsional, ia berada dalam kondisi sehat dan punya keahlian yang sesuai untuk merespon, sejalan dengan kualitas tuntutan dan standar harapan yang dipersyaratkan oleh situasi tersebut.
Normal Resource State terbentuk karena dalam perjalanan tumbuh kembang seseorang Resource State dalam dirinya tidak mengalami luka atau trauma, mendapatkan pengulangan yang memadai, sampai ia cukup matang untuk bisa menjalankan tugasnya secara wajar.
Vaded: Resource State yang menyimpan luka sehingga ketika ia aktif di Conscious State ia pun muncul dengan mengekspresikan lukanya, membuat seseorang berada dalam mode disfungsional karenanya.
Setiap Resource State menyimpan memori spesifik yang dibawanya dari pengalaman bertumbuhnya dari masa lalu sampai masa kini, di sinilah ada kalanya Resource State yang sedang aktif dan menjalankan tugasnya di momen tertentu di masa lalu mengalami peristiwa yang dirasanya tidak menyenangkan, traumatis atau menyakitkannya secara emosional, sehingga Resource State itu berada dalam mode ‘terluka’ dan tidak bisa menjalankan fungsi ideal lagi.
Ketika di masa kini seseorang menjalani suatu pengalaman yang memiliki asosiasi sejenis dengan peristiwa tidak menyenangkan di masa lalu yang menyebabkan Resource State itu terluka maka Resource State yang terluka itu kembali teraktivasi dan aktif dalam mode terlukanya sebagaimana yang ia pernah alami di masa lalu, menyebabkan munculnya emosi negatif yang membuat kehilangan kendali diri, tidak bisa menampilkan kinerja ideal diri sesuai tuntutan situasi yang kita hadapi, dengan kata lain: disfungsional.
Kondisi Resource State yang terbentuk dengan membawa luka ini dalam RT disebut dengan nama Vaded State.
Retro: merupakan Resource State yang ketika aktif mengendalikan perilaku kita, namun perilaku itu tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan, ketika Retro State aktif ia memegang kendali atas apa yang kita lakukan dan selama ia aktif kita seolah larut dengan apa yang ia sedang lakukan, seolah sedang hilang kendali.
Contohnya bisa dialami seseorang yang menyadari bahwa ia mengalami kondisi berat badan berlebih dan tidak seharusnya makan kudapan, yang bisa membuat berat badannya bertambah.
Secara logis ia tahu hal itu tidak seharusnya ia lakukan, namun ia bisa sedemikian sulit mengendalikan diri ketika ada kudapan kecil di dekatnya, seolah ada daya tidak terlihat yang mengendalikannya dan tahu-tahu ia kembali larut memakan kudapan itu tanpa bisa mengendalikan dirinya, ini adalah tanda bahwa Resource State jenis Retro sedang aktif.
Kita tahu bahwa perilaku itu merugikan dan tidak sejalan dengan yang kita yakini, tapi tidak kuasa untuk mengendalikan diri, seperti ada kesadaran lain yang mengendalikan diri kita secara penuh, mode yang mengendalikan kesadaran namun tidak sejalan dengan harapan kita inilah yang disebut Retro State.
Retro State terbentuk karena dua hal: pertama, Retro State yang muncul karena kebiasaan yang terbawa sejak kecil, di contoh kasus sebelumnya misalnya, yaitu karena memang sejak kecil si orang itu memang biasa memakan kudapan ketika ada kudapan apa pun di dekatnya, kebiasaan ini lalu melekat pada Resource State tertentu yang menyangka memang itulah hal yang wajar, ia lalu menyimpan hal ini sebagai tugasnya dan membawa tugas ini ke Underlying State.
Ketika di masa depan orang ini sedang secara sadar menghindari kudapan, namun justu ada kudapan berada di dekatnya, maka Resource State yang dulu terbiasa makan kudapan ini pun aktif karena ia merasa bahwa memang itu tugasnya, ia tidak tahu dan tidak sadar perilakunya merugikan, ia hanya tahu bahwa memang itu yang menjadi tugasnya, maka itulah yang dilakukannya.
Retro State jenis kedua, yaitu Retro State yang terbentuk karena ia memiliki tugas untuk ‘menyelamatkan’ klien dari Vaded State.
Sebagaimana kita sudah bahas di ulasan sebelumnya, bisa jadi ada masa dimana Resource State dalam diri kita terluka pada pengalaman tertentu dan ia terbentuk sebagai Vaded State, ketika ada suatu waktu di masa depan dimana Vaded State ini dihadapkan dengan stimulus sejenis yang pernah melukai dirinya di masa lalu maka ia pun bersiap aktif ke Conscious State, disinilah terbentuk suatu mode perlindungan atau suatu mekanisme pertahanan (defense mechanism) psikologis untuk ‘menyelamatkan’ agar Vaded State ini tidak perlu aktif dalam mode terlukanya yang dirasa menyakitkan, mode perlindungan ini mengarahkan kita ke perilaku lain yang dianggap bisa menenangkan dan meredam Vaded State tadi. Mekanisme pertahanan inilah yang membentuk keberadaan Retro State jenis kedua ini, yang memiliki tugas ‘menyelamatkan’ kita dari rasa sakit.
Contohnya saja ketika seseorang sedang sendirian di rumah, lalu sulit mengendalikan diri menahan dorongan untuk makan kudapan sampai ia pun mengalami masalah berat badan berlebih karenanya.
Yang terjadi adalah situasi kesendirian ini mengaktifkan Vaded State yang pernah terluka karena mengalami hal yang bernuansa sama di masa lalu (merasa sendirian atau kesepian) dan merasa sedih karenanya, namun demikian sebelum Vaded State yang membawa kesedihan ini aktif di Conscious State muncul Retro State yang ingin menyelamatkan dan mengalihkan orang ini pada ‘makan kudapan’, ketika ia melakukannya – asyik sendiri memakan kudapan itu – maka Vaded State tidak jadi muncul dan ia pun jadi larut dengan aktivitas baru yang kemudian ditampilkan oleh Retro State tadi, terhindar dari emosi tidak menyenangkan dan larut dengan perilaku tertentu.
Retro State adalah Resource State yang memiliki kekuatan besar, ketika ia aktif ia bisa begitu mengendalikan perilaku kita. Namun demikian Retro State menampilkan perilaku yang kita rasa merugikan dan tidak kita harapkan untuk kita lakukan, maka itulah aktifnya Retro State membuat kita merasa berada di perilaku disfungsional yang tidak seharusnya.
Baru setelah Vaded State kembali ke Underlying State dan Retro State sudah merasa cukup menjalankan tugasnyalah Retro State ini kembali juga ke Underlying State, Resource State baru yang muncul setelahnyalah yang merasa gemas karena tahu bahwa hal ini tidak sejalan dengan harapan dalam diri yang tidak ingin perilaku itu dilakukan.
Resource State ‘normal’ adalah Resource State yang sehat, aktifnya Resource State ini membuat seseorang berada dalam mode fungsional untuk memenuhi tuntutan situasi di luar dirinya dan memang perilaku yang ditampilkan oleh Resource State ini sejalan dengan yang kita harapkan.
Sementara itu Vaded State adalah Resource State yang terbentuk dengan membawa luka dari pengalaman masa lalu, kemunculan Vaded State bisa menyebabkan seseorang mengalami mode emosi disfungsional, maka itulah Vaded State digolongkan ke dalam Resource State yang mengalami kondisi patologis atau disebut juga: Resoure State Pathology.
Lain dengan Retro State, Resource State ini terbentuk dengan ‘maksud baik’ untuk menjalankan tugasnya, namun demikian cara Retro State dalam menjalankan tugas justru berlawanan dengan tuntutan situasi atau standar harapan yang kita tetapkan, ia termanifestasikan sebagai perilaku di luar kendali atau kebiasaan buruk yang kita ingin hentikan namun tidak bisa kita kendalikan (perilaku itu yang mengendalikan kita) sehingga kita berada dalam zona disfungsional karenanya, maka itu aktifnya Retro State pun termasuk ke dalam Resource State Pathology.
Sebuah perilaku baru dikatakan dilakukan oleh Retro State jika perilaku itu tidak kita inginkan atau tidak kita sukai. Jika kita merasa perilaku itu tidak menjadi masalah (meski perilaku itu dipandang sebagai masalah oleh orang-orang di sekitar kita), maka perilaku itu belum bisa dikatakan dilakukan oleh Retro State, melainkan justru Normal State, yang tidak disukai oleh lingkungan. Baru saat kita merasa resah karenanya dan berharap perilaku itu bisa kita hentikanlah maka Resource State pelaku perilaku itu ‘secara resmi’ menjadi Retro State.
Artinya, dalam pembentukannya tidak semua Resource State terbentuk secara sehat, mereka bisa saja terbentuk dengan mengalami kondisi patologi yang menempatkannya dalam mode disfungsional. Disinilah membicarakan kondisi disfungsional atau patologi ini akan mengajak kita juga untuk mengenali dua jenis kondisi patologi lain dari Resource State yang terjadi, namun bukan di proses pembentukannya, melainkan di waktu aktifnya Resource State ini, yang juga menyebabkan seseorang bisa berada di zona disfungsional, yaitu:
Dissonant: istilah ini mengacu kepada ‘waktu kemunculan’ Resource State yang aktif di Conscious State di waktu dan tempat yang tidak sesuai dengan fungsinya. Dalam kondisi Dissonant, Resource State yang aktif adalah Resource State yang normal, hanya saja ia keluar di tempat dan waktu yang tidak sesuai dengan fungsi kemunculannya.
Resource State yang aktif dalam mode Dissonant tidak membawa emosi negatif seperti Vaded State atau dorongan perilaku negatif tidak terkendali seperti Retro State, ia aktif dalam mode sehat, hanya saja ia keluar di situasi yang seharusnya dijalani oleh Resource State lain yang lebih sesuai dengan peruntukkannya.
Contoh fenomena ini adalah ketika kita seharusnya fokus melakukan pekerjaan, dimana yang seharusnya aktif adalah Resource State ‘Bekerja’, namun yang aktif ternyata malah Resource State ‘Hobi’, sehingga kita tidak bisa berkonsentrasi bekerja, melainkan malah melamun dan memikirkan tentang hobi kita, kemunculan Resource State dalam mode Dissonant tidak membawa emosi negatif, hanya saja ia menjadikan kita merasa salah tingkah karena kita merasa tidak bisa menampilkan kinerja fungsional yang seharusnya.
Conflicted: istilah ini mengacu kepada waktu kemunculan Resource State dimana dalam kondisi patologi ini yang terjadi adalah ada dua Resource State yang ingin aktif di Conscious State dalam satu waktu dan masing-masing ingin memperoleh apa yang diinginkannya sebagai tugasnya untuk dipenuhi saat itu juga, sementara hanya satu Resource State yang bisa aktif di mode Conscious State, sehingga mereka muncul ‘berdesakan’ dalam satu waktu dan berkonflik ingin tampil.
Contoh dari fenomena Conflicted State yaitu ketika kita terbangun di pagi hari, satu Resource State ingin kita bangun dan bersiap untuk menjalankan aktivitas, namun ada satu Resource State lain yang ingin kita terus tidur karena ingin kita beristirahat. Atau sebaliknya, saat ingin beristirahat dan Resource State ‘Istirahat’ muncul, Resource State ‘Berpikir’ justru malah ingin menjalankan kehendaknya, alhasil kita malah mengalami kesulitan beristirahat karena munculnya berbagai pemikiran yang dijalankan oleh Resource State ‘Berpikir’.
ALTERS DAN KEPRIBADIAN GANDA
Ada kalanya muncul pertanyaan: bagaimana dengan kepribadian ganda? Apakah ia termasuk ke dalam Resource State Pathology? Secara resmi, kepribadian ganda atau Dissociative Identity Disorder (DID) tidak digolongkan ke dalam Resource State Pathology dalam RT, namun tidak ada salahnya kita memahami fenomena ini dari sudut pandang RT.
Dari sudut pandang RT, kepribadian ganda melibatkan keberadaan Resource State yang ‘memisahkan diri’ dan membentuk struktur kepribadian sendiri dimana kondisi Resource State ini dikenal sebagai ‘Alters’.
Alters bisa terbentuk karena seseorang mengalami pengalaman traumatis yang sedemikian berat dan menyakitkannya (biasanya di masa kecil) untuk diterimanya secara berulang dimana Resource State tertentu yang aktif di momen itu berulang kali harus menanggung beban dari sakitnya pengalaman itu.
Ketika hari berlalu dan Resource State lain aktif, ada kalanya orang ini baik sengaja atau tidak sengaja mengingat pengalaman yang dilaluinya sebelumnya, jika orang ini mengingatnya secara aktif sampai rasa sakit itu muncul lagi, tandanya Resource State yang terluka itu akan aktif kembali di mode Conscious State, hal ini tentu tidak menyenangkan dan sebisa mungkin ingin dihindari.
Mekanisme pertahanan orang ini pun sadar bahwa ia tidak kuat mengingat beban dari sakitnya pengalaman itu, maka di Resource State barunya ia memilih untuk tidak mengingat dan mengisolir keaktifan Resource State ‘Sakit’ itu jauh-jauh.
Ketika pengalaman ini terjadi berulang dan berkepanjangan, terbentuklah jenis Resource State yang terluka berat dan Resource State yang tidak ingin mengingat luka itu, seiring waktu berjalan seseorang bisa sedemikian ahlinya melakukan hal ini, yang mengakibatkan Resource State yang terluka itu ‘terisolir’ dan ia tidak bisa berbagi memori dengan Resource State lain, apa yang ia alami hanya ia yang tahu sementara Resource State lain tak berkesempatan mengetahuinya, Resource State yang terluka berat namun ‘diasingkan’ inilah yang menjadi Alters.
Seiring waktu berlalu, koneksi sinaptik yang terbentuk antara Resource State lain dan Alters ini semakin memudar karena sedemikian dihindarinya Alters ini untuk diingat di masa depan, di titik inilah Alters ini bisa ‘terputus’ atau ‘memisahkan diri’ dari keterhubungannya dengan Resource State lain dan ia pun membentuk struktur kepribadian sendiri yang ketika aktif tidak dikenali Resource State lain.
Normalnya, ketika Resoure State aktif bergantian, Resource State baru masih bisa mengingat yang sudah kita alami dalam mode Resource State lain, meski yang sebelumnya aktif adalah Resource State dari Underlying State sekali pun. Ketika Alters aktif dalam fenomena DID, Resource State yang kemudian aktif selepas Alters kembali ke Underlying State sering kali tidak mengingat apa yang baru saja dia alami dalam mode Alters tadi karena koneksi sinaptik yang memudar.
SENSORY EXPERIENCE MEMORY & RESOURCE STATE PATHOLOGY
Pembentukan Resource State Pathology, utamanya dalam kondisi patologi Vaded State, terjadi karena adanya kejadian yang traumatis, mengancam atau menyakitkan yang kita alami dan kemudian tersimpan dalam sistem memori kita.
RT memiliki pespektif bahwa terdapat dua jenis memori, pertama yaitu memori intelektual (intellectual memory) dan yang kedua yaitu memori pengalaman sensorik (Sensory Experience Memory, atau disingkat SEM).
Memori intelektual adalah memori yang ketika kita ingat secara sadar di Conscious State, kita bisa mengakses memori itu dengan sengaja sambil mengingat detail dari yang kita alami di peristiwa itu.
Sementara itu SEM adalah sistem memori yang tidak selalu kita ingat secara sadar, ia adalah kenangan emosional yang kita rasakan atas sebuah peristiwa dimana ketika ia teraktivasi di Conscious State karena stimulus tertentu di masa kini maka ia kemudian aktif dengan membawa muatan emosi yang menyertainya, sebagaimana emosi itu dulunya pernah kita rasakan di peristiwa yang pernah kita alami di masa lalu.
Dalam mode aktifnya, SEM tidak selalu terhubung dengan memori intelektual, ia bisa teraktivasi oleh situasi di luar diri kita begitu saja dan aktif di Conscious State dalam bentuk reaksi emosional spesifik yang bisa membuat kita memasuki kondisi disfungsional, namun kita tidak tahu mengapa emosi itu muncul.
Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis yang membuatnya merasa takut dan terancam, maka peristiwa itu meninggalkan dua jenis memori: memori intelektual yang berisikan detail peristiwa yang ia alami, dan SEM yang berisikan respon emosi – takut dan tidak berdaya – yang ia rasakan secara spontan ketika peristiwa itu sedang dialaminya.
Di momen ketika peristiwa traumatis itu baru saja berlalu, memori intelektual dan SEM masih terhubung sebagai satu kesatuan, ketika ia menceritakan detail kejadian traumatis – dari memori intelektual – yang dialaminya maka rasa takut yang dirasakannya ketika kejadian itu sedang terjadi (SEM) masih akan dirasakannya seiring ia bercerita.
Seiring waktu berlalu, SEM dan memori intelektual mulai terpisah cara kerjanya, ada kalanya memori intelektual mulai memudar seiring berjalannya waktu, maka kita pun semakin lupa dengan detail kejadian traumatis yang pernah kita alami dulu, namun tidak demikian halnya dengan SEM, ia tidak hilang namun tersimpan di Underlying State.
Ketika orang ini di masa depan mengalami kejadian yang memiliki aosiasi sejenis dengan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya dulu, memori intelektual sudah tidak mengingat bahwa ia pernah mengalami kejadian itu dulu, namun SEM yang terbentuk di peristiwa itu aktif secara spontan di Conscious State, membuatnya merasakan reaksi emosional yang tidak tertahankan dan tidak bisa dikendalikannya, sering kali mereka yang mengalaminya merasakan ketidakwajaran karena menurut logika mereka situasi di luar diri yang dialaminya tidaklah seharusnya menyebabkannya merasakan reaksi emosional seperti yang dialaminya, namun reaksi emosi itu tidak bisa dikendalikannya, terjadi begitu saja.
Dari sudut pandang teori Resource State Pathology, ketika seseorang mengalami kejadian yang mengancam atau menyakitkan, maka kejadian itu membentuk keberadaan Vaded State dalam dirinya. Jika kita sekarang hubungkan ini dengan SEM, bisa kita dapati bahwa terbentuknya SEM negatif sebenarnya mewakili proses terbentuknya Vaded State.
SEM tidak selalu bersifat negatif, dalam setiap pengalaman yang kita alami yang membentuk Resource State dalam sistem psikologis kita, pada dasarnya selalu ada SEM yang menyertai pembentukan mereka. Dengan kata lain, aktifnya SEM di Conscious State selalu mewakili aktifnya Resource State di Conscious State, bisa berupa Resource State yang membawa SEM positif dan menyenangkan, bisa juga Resource State yang membawa luka, atau Vaded State.
SEM bisa bersifat positif atau negatif, keberadaan SEM negatif yang membentuk Vaded State inilah yang menyebabkan seseorang bisa berada di kondisi disfungsional di situasi spesifik ketika Vaded State itu aktif, ia bisa merasakan reaksi emosional memenuhi dirinya namun tidak bisa memahami mengapa reaksi emosional itu muncul, karena Vaded State yang dulunya terbentuk karena peristiwa traumatis itu menyimpan detail peristiwa itu di Underlying State, hanya SEM dari peristiwa itu yang muncul memenuhi Conscious State karena Vaded State merasa ada kesamaan antara situasi yang sedang dialami di masa kini dengan peristiwa traumatis yang pernah dialaminya dulu dan ia ingin menghindarinya.
SEM tidak akan sepenuhnya membentuk Vaded State dalam diri seseorang jika setelah mengalami kejadian yang menyakitkannya ia bisa menceritakan apa yang dirasakannya tentang kejadian itu dan mendapat dukungan mental-emosional dari lingkungannya, jika ini terjadi maka Vaded State yang sempat terbentuk pun akan mendapatkan resolusi dan kembali ke fungsi normalnya.
Beberapa sifat alami dari SEM yaitu:
- Keaktifannya bersifat emosional dan bukan intelektual (logis), SEM tidak selalu terhubung dengan memori intelektual.
- SEM bisa bersifat positif (menyenangkan dan fungsional), bisa juga bersifat negatif (disfungsional).
- SEM negatif membentuk Vaded State, namun ia bisa memudar jika mendapatkan resolusi, sehingga Vaded State kembali normal.
- SEM digunakan dalam RT untuk memfasilitasi pemahaman dan perubahan pada Resource State Pathology agar bisa kembali ke kondisi normalnya. Untuk mengaktifkan SEM, Resource State yang terhubung dengan SEM itu harus aktif di Conscious State. Begitu juga sebaliknya, untuk mengaktifkan Resource State ke Conscious State maka SEM yang terhubung dengannya distimulus agar aktif (dasar dari pemahaman ini akan kita bahas lebih jauh di bab-bab berikutnya nanti).
SEM memegang peranan penting dalam teknik penanganan RT, karena beberapa alasan berikut ini:
- Dengan SEM kita mengakses kemunculan Resource State ke Conscious State dari Underlying State.
- SEM menjadi media untuk Resource Therapist melakukan teknik Bridging, untuk mengungkap awal mula peristiwa yang membentuk kemunculan Vaded State dan memprosesnya secara therapeutic untuk memberikan pemahaman dan cara pandang baru pada Vaded State agar SEM negatif yang membentuk Vaded State itu ternetralisir dan Vaded State bisa kembali ke mode normalnya.
Bersama dengan keberadaan satu Resource State di dalam struktur kesadaran kita selalu tersimpan SEM yang menyertainya, begitu juga di balik Resorce State pathology, selalu ada SEM yang muncul menyertainya.
Dalam kasus Vaded State, SEM yang dialami Vaded State di awal peristiwa masa lalu yang membentuk kemunculannyalah yang turut aktif menyertainya lagi ketika ia aktif di Conscious State di masa kini, ketika SEM ini bisa dinetralisir maka Vaded State kembali ke kondisi normalnya.
Retro State yang aktif untuk melindungi klien dari munculnya Vaded State pada dasarnya melindungi klien dari aktifnya SEM yang dibawa oleh Vaded State, dengan cara melakukan perilaku yang dirasa merugikan klien. Ketika Vaded State tidak lagi terganggu oleh SEM yang selama ini melekat padanya dan sudah kembali ke mode normalnya, maka Retro State pun bisa menghentikan tugasnya ini. Dengan kata lain, ia bisa menghentikan perilaku negatif yang selama ini dianggapnya melindungi tersebut.
Dalam kasus klien mengalami Conflicted State dimana terdapat dua Resource State yang berkonflik, kita mengakses SEM dari Resource State sehingga masing-masing Resource State yang sedang berkonflik saling merasakan SEM satu sama lainnya, proses ‘pertukaran’ SEM inilah yang membentuk pemahaman baru antar Resource State sehingga mereka saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Begitu juga dalam Dissonant State, mode patologi dimana Resource State terentu aktif di waktu dan tempat yang salah, yang tidak sesuai dengan fungsi dan perannya, ia akan dengan senang hati bertukar tempat dan waktu kemunculan dengan Resource State lain yang dirasa lebih tepat untuk menggantikannya selepas ia merasakan SEM dari Resource State yang bersedia menggantikannya tersebut.
SEJARAH SINGKAT LAHIRNYA RT
Asal-muasal pembentukan RT mengakar pada sejarah pembentukan teori psikoterapi berbasis Personality Parts yang dipelopori Paul Federn (1871 – 1950), seorang Psikoanalis yang menggagas pemikiran bahwa terdapat mode-mode kesadaran spesifik dalam kepribadian manusia, yang memegang peranan di balik impuls emosi dan perilaku.
Dalam Psikoanalisis klasik yang dipionirkan Sigmund Freud, mekanisme respon dan perilaku ini dipetakan menjadi tiga bagian utama: id, superego dan ego, dalam sudut pandang Federn mekanisme ini diwakili oleh sub-ego yang lebih spesifik lagi sebagai mode kesadaran dimana setiap mode kesadaran ini memiliki ego atau kehendak masing-masing, yang kelak disebutnya sebagai Ego State(s).
Konsep yang dipelopori Paul Federn ini diteruskan pada Edoardo Weiss (1889 – 1970), Psikoanalis lainnya, yang kemudian meneruskan lagi konsep pemikiran ini pada John (1913 – 2012) dan Helen Watkins (1921 – 2002). John Watkins adalah seorang Psikolog yang sempat menjalani proses analisa Psikoanalisis bersama Weiss di awal karirnya, sampai kelak mendapatkan penjelasan atas pemikiran Federn tentang Ego State ini.
John Watkins adalah sosok yang berjasa melakukan re-interpretasi pada dasar Ego State yang sudah ada sebelumnya, sampai kemudian bisa diformulasikan menjadi teknik yang disebut Ego State Therapy.
Watkins adalah seorang Psikolog yang piawai dalam menggunakan hipnosis, ia memulai dasar penggunaan Ego State Therapy dalam metode terapi berbasis hipnosis yang digunakannya, sehingga Ego State Therapy dan hipnosis menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dimana keberadaan Ego State baru bisa diakses dan diajak berkomunikasi secara ideal dalam kondisi hipnosis.
Dalam perkembangannya, Gordon Emmerson (1950 – sekarang) berkesempatan mempelajari Ego State Therapy secara langsung dari John Watkins, namun dalam praktiknya ia mulai memformulasikan konsep Ego State Therapy versinya sendiri, yang kemudian hari lebih dikenal sebagai Ego State Therapy of Gordon Emmerson.
Teknik Ego State Therapy yang dikembangkan oleh Dr. Emmerson mulai menunjukkan perbedaan dari apa yang diformulasikan oleh John Watkins, salah satunya yaitu dalam penggunaan metode hipnosis.
Dalam Ego State Therapy versi Watkins, kondisi hipnosis formal (yang melibatkan teknik ‘induksi hipnosis’) menjadi bagian tidak terpisahkan, karena kondisi hipnosis formal dinyatakan sebagai kondisi dimana Ego State baru bisa diakses optimal, sementara itu Dr. Emmerson mulai mengembangkan cara untuk bisa mengakses dan berkomunikasi dengan Ego State tanpa harus melibatkan kondisi hipnosis formal, melainkan dengan teknik yang bisa membawa klien ke kondisi hipnosis tanpa induksi (biasa disebut kondisi hipnosis non-formal), dimana teknik ini berhasil dikembangkannya dengan baik dan bisa dipelajari oleh mereka yang belum pernah belajar hipnosis sekali pun.
Fungsi utama dari hipnosis adalah untuk mempertahankan kondisi Ego State agar tetap aktif di ‘permukaan’ untuk diajak berkomunikasi, karena tanpa kondisi hipnosis Ego State cenderung muncul dalam kondisi tidak stabil atau berganti-ganti di Conscious State, disinilah Dr. Emmerson lalu mengembangkan teknik yang bisa memertahankan kemunculan Ego State di Conscious State dengan stabil tanpa harus melibatkan proses induksi hipnosis.
Dr. Emmerson semakin banyak meletakkan dasar-dasar pemikiran lainnya dalam teori dan praktik Ego State Therapy yang terus-menerus dikembangkannya, hal ini menjadikan teknik yang dikembangkannya semakin menunjukkan perbedaan signifikan dengan teori klasik Ego State Therapy yang dikembangkan Watkins sebelumnya, sampai setelah sekian lamanya Dr. Emmerson pun memproklamirkan pendekatan terapinya sebagai modalitas baru yang bernama Resource Therapy.
Jadi apa saja perbedaan RT dengan Ego State Therapy versi klasik dari Watkins? Apakah sebatas di penamaan?
Tidak demikian adanya, pengembangan Dr. Emmerson atas RT pada akhirnya menjadikan teknik ini sedemikian berbeda dengan Ego State Therapy dan tidak cocok lagi disebut Ego State Therapy, yaitu:
HIPNOSIS
Ego State Therapy menggunakan proses hipnosis formal dengan teknik induksi hipnosis formal sebagai pengantar proses terapinya, sehingga teknik ini menjadi bagian dari sesi hipnoterapi.
RT tidak menggunakan teknik induksi hipnosis formal sebagai pengantar dari proses terapi, melainkan menciptakan tingkat fokus yang cukup melalui teknik Vivify Specific (akan dijelaskan lebih lanjut di Bab 3 nanti) yang menitikberatkan prosesnya pada eksplorasi SEM untuk menciptakan kondisi hipnosis, yang memungkinkan kita untuk tetap bisa mengakses personality parts dari Underlying State ke Conscious State dengan stabil, tanpa proses induksi formal.
INTROJECT
Ketika sebuah Resource State mengalami kondisi Vaded, Resource State ini terluka atau trauma karena peristiwa tertentu di masa lalu yang disebabkan perlakuan orang atau objek tertentu, dimana trauma ini membekas dalam memori Vaded State ini sebagai SEM.
Seperti sudah disebutkan sebelumnya, memori intelektual bisa dengan mudah memudar seiring berjalannya waktu, namun tidak demikian dengan SEM, ia melekat pada Resource State dan disimpan oleh Resource State dalam Underlying State, termasuk SEM yang kelak melekat pada Vaded State, tersimpan di Underlying State.
Di dalam memori atas kejadian itu akan selalu ada sosok atau objek yang terlibat dan dianggap ‘bertanggungjawab’ atas terlukanya Vaded State ini, memori atas sosok atau objek yang dianggap menyakiti ini kemudian turut ‘mewujud’ dalam Underlying State sebagai satu keberadaan yang disebut Introject.
Ketika SEM Vaded State aktif di Conscious State dan menyebabkan seseorang memasuki mode disfungsional, yang terjadi adalah Vaded State ini sedang ‘mengulang’ peristiwa yang dialaminya bersama Introject di dalam ruang dimana ia berada di Underlying State, hanya saja karena hal itu berlangsung di dalam Underlying State yang tak disadari, hal ini hanya terasa di Conscious State sebagai reaksi emosi, tanpa mengetahui apa yang terjadi di Underlying State dan mengapa Vaded State bisa sedemikian reaktifnya.
Dalam Ego State Therapy atau RTC terdapat teknik yang didesain untuk mengungkap peristiwa spesifik yang membuat Personality Parts ini terluka, ketika peristiwa spesifik ini terungkap dan diceritakan oleh Personality Parts yang terluka, akan ada kisah yang berhubungan dengan ‘ulah’ dari Introject yang menyebabkan Personality Parts ini terluka dan bagaimana Introject itu turut berada di Underlying State dan ‘mengganggu’ si Personality Parts, disinilah terdapat perbedaan atas cara pandang terhadap Introject dalam Ego State Therapy dan RTC.
Ego State Therapy memandang keberadaan Introject sebagai salah satu Ego State yang menyebabkan Ego State lain terluka, sementara RTC memandang Introject hanya sebagai fragmen-memori dan bukan bagian dari Personality Parts, perbedaan atas cara pandang ini kelak menghasilkan perbedaan besar dalam proses penanganan.
Dalam Ego State Therapy keberadaan Introject ‘ditaklukkan’ dengan dilawan dan dihancurkan, sementara RTC meyakini bahwa melawan dan menunjukkan ekspresi destruktif pada Introject berarti meyakini bahwa mereka benar-benar memiliki kekuatan atas diri kita, padahal mereka hanyalah fragmen-memori yang sebetulnya tidak memiliki kekuatan atas diri kita, keyakinan bahwa mereka memiliki kuasa atas diri kitalah yang menjadikan Resoure State ini merasa tidak berdaya dan terbentuk sebagai Vaded State.
Teknik RTC didesain bukan untuk melawan Introject, melainkan membangun kesadaran Vaded State bahwa Introject bukanlah sebuah keberadaan yang harusnya ditakuti, melainkan hanya sebuah fragmen-memori yang tidak memiliki kuasa apa pun atas dirinya. Ketika Vaded State menyadari hal ini maka ia pun mendapatkan kekuatannya dan keluar dari mode Vaded-nya, kembali ke kondisi normalnya.
Resource State tidak bisa dihilangkan karena mereka adalah bagian dari mode kesadaran alami kita, sementara Introject bisa ‘diusir’ atau dihilangkan dari Underlying State, terdapat teknik khusus ‘Removal’ dalam RTC untuk memberi Vaded State pilihan, apakah ia akan mengusir atau menghilangkan keberadaan Introject ini, ataukah membiarkannya ada bersamanya, pilihan yang diambil oleh Vaded State akan semakin menyadarkan dirinya bahwa ia punya kekuatan untuk memilih, sehingga energinya semakin menguat dan memudahkannya kembali ke mode normalnya.
KRITERIA DIAGNOSIS
RTC mengelompokkan jenis-jenis patologi yang dialami Personality Parts menjadi 8 jenis Resource State Pathology beserta 15 aksi penanganan spesifik untuk setiap kondisi patologi, hal ini membuat penanganan dalam RT sistematis dan prosedural, sementara Ego State Therapy tidak memuat secara resmi diagnosis kondisi patologi yang dialami personality part yang ditindaklanjuti dengan rencana penanganan spesifik tahap demi tahap, yang didesain sesuai kondisi patologi setiap personality parts.
ASAL PEMBENTUKAN PERSONALITY PARTS
RTC memandang Resource State sebagai personality parts yang dalam tumbuh-kembangnya mengembangkan keahlian dan fungsi spesifik sehingga semua personality parts dalam diri adalah sumber daya yang membawa kegunaan bagi kita (resource), sementara Ego State Therapy dari Watkins memandang Ego State sebagai personality parts yang terbentuk karena Ego State ini terpisah (split off) dari kepribadian inti akibat trauma (Watkins & Watkins dalam Emmerson, 2015).
Penjelasan ini bukan berarti bahwa RTC adalah lebih baik dari Ego State Therapy atau teknik terapi lainnya, melainkan menegaskan apa yang menjadi pembeda dari RTC dengan Ego State Therapy, karena sering kali beberapa orang masih tertukar-tukar antara keduanya. Bagi saya, sangat penting untuk memahami landasan dan sejarah evolusi di balik sebuah keilmuan yang kita pelajari, karena hal ini akan menjadi pijakan penting untuk menyerap berbagai pemahaman yang kita pelajari dan kita pun menghargai prosesnya, itulah mengapa sejarah perkembangan RT termasuk bahasan penting yang dimuat di artikel ini.
RTC DAN HIPNOSIS-HIPNOTERAPI
Sebagai seorang hipnoterapis, pertanyaan yang cukup sering saya terima adalah: apakah RTC termasuk ke dalam hipnosis dan hipnoterapi?
Jawaban saya adalah ‘ya’ dan ‘tidak’.
Dikatakan ‘ya’, karena dalam RTC kita tetap menciptakan kondisi hipnosis yang bisa memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan Resource State dari Underlying State, namun dikatakan ‘tidak’ karena hipnosis-hipnoterapi identik dengan proses perpindahan kesadaran yang difasilitasi oleh hipnoterapis secara formal, melalui satu proses yang disebut induksi hipnosis, sementara dalam RTC proses itu tidak diperlukan karena kondisi hipnosis diciptakan dengan proses lain.
RTC sendiri dikembangkan oleh Dr. Emmerson dengan tidak membahas hipnosis, karena tidak semua orang atau tidak semua tenaga kesehatan bisa menerima konsep hipnosis dengan mudah, ditambah lagi mempelajari proses hipnosis saja sudah memakan waktu tersendiri yang membuat pembelajaran bisa berlangsung lebih lama, sementara Dr. Emmerson ingin teknik ini bisa dipelajari dengan efektif oleh siapa pun yang ingin mempelajari dan mempraktikkannya.
Dalam perkembangannya, RTC banyak dipelajari oleh tenaga kesehatan formal seperti Psikolog, Psikiater dan Pekerja Sosial di berbagai negara dimana mereka menghadapi dilema yang sama, yaitu masih sulitnya masyarakat di negara itu menerima hipnosis sebagai fenomena ilmiah, untuk menjelaskannya saja sudah memakan waktu sendiri, disinilah RTC menjadi solusi karena mereka tetap bisa memfasilitasi proses terapi yang ditujukan untuk menghasilkan perubahan di pikiran bawah sadar langsung pada Resource State yang bermasalah, tanpa harus menggunakan atau menjelaskan proses hipnosis formal pada kliennya.
Sejatinya, hipnosis adalah sebuah fenomena perpindahan kesadaran, dimana apa yang terjadi dalam prosesnya adalah sebuah fenomena alami yang dialami setiap orang dari waktu ke waktu, yang kemudian dilakukan dalam keilmuan hipnosis adalah memetakan ragam cara bagaimana proses itu terjadi dan bagaimana kita mengupayakan agar proses alami itu bisa diupayakan terjadi melalui proses yang kita fasilitasi, yang disebut sebagai induksi hipnosis.
Hipnosis sendiri bukanlah satu bentuk terapi, melainkan sebuah level kesadaran dimana teknik terapi dilakukan di dalamnya. Artinya, mampu memandu seseorang untuk memasuki kondisi hipnosis melalui induksi tidak menjadikan seseorang otomatis melakukan teknik terapi dalam kondisi hipnosis, atau biasa disebut hipnoterapi, karena hipnoterapi melibatkan proses psikoterapi yang dilakukan setelah seseorang memasuki kondisi hipnosis.
Bunkankah RTC adalah teknik terapi yang dilakukan dalam kondisi hipnosis juga? Justru karena itulah saya mengatakan jawabannya adalah ‘ya’ dan ‘tidak’, seperti sudah dijelaskan lebih lanjut di uraian sebelumnya.
Apakah saya masih melakukan sesi hipnoterapi formal? Jawaban saya adalah ‘ya’, namun itu pun sudah berkembang jauh sekali eksekusi tekniknya, karena adanya dasar pemahaman RTC di dalamnya.
Dalam praktik profesional, saya memisahkan ragam kasus yang khusus ditangani dengan hipnoterapi formal dan ragam kasus yang khusus ditangani dengan RTC.
Terus terang, saya lebih sering menggunakan RT dalam proses coaching, karena bagi saya RT memberikan pijakan bagi saya untuk melakukan dua hal sekaligus: memfasilitasi perpindahan zona dari kondisi disfungsional ke fungsional dan dari fungsional ke eksepsional, karena ia bisa dilakukan dalam mode percakapan biasa, sehingga di sela pembicaraan coaching yang sedang berlangsung pun ketika saya menangkap ada kebutuhan atau peruntukkan untuk pelaksanaan teknik RT di dalamnya, saya bisa langsung memfasilitasinya dengan metode percakapan tanpa harus secara formal memfasilitasi proses hipnosis formal terlebih dahulu.
Jika Anda adalah seorang praktisi hipnosis-hipnoterapi, mempelajari RT akan memberikan cara pandang baru atas cara kerja pikiran bawah sadar, kalau pun Anda adalah orang awam yang belum sempat mengenal teknik hipnosis-hipnoterapi sama sekali pun maka hal itu tidak menjadi masalah.
CAUTION & PRECAUTION OF RTC
Mari sadari dulu satu hal yang harus selalu menjadi kunci wajib dalam mempelajari dan mempraktikkan teknik konseling atau psikoterapi apa pun, yaitu: keselamatan dan keamanan klien.
Begitu juga dalam mempelajari RTC, terdapat hal-hal yang harus kita perhatikan dan jaga baik-baik dalam pembelajaran dan praktiknya:
RTC MERUPAKAN TEKNIK TERAPI BERBASIS PSIKODINAMIKA
Yang berarti dalam praktiknya akan ada ‘eksplorasi masa lalu’ yang ditujukan untuk mengetahui asal-muasal peristiwa yang membentuk SEM dan menciptakan Vaded State dalam diri seseorang.
Munculnya gejolak emosi yang menyertai suatu memori atau muncul karena kita mengalami stimulus yang mengaktifkan SEM tersebut, dalam dunia konseling dan psikoterapi disebut sebagai ‘abreaksi’ (abreaction).
Eksplorasi masa lalu bukan hal yang mudah, dalam praktiknya akan ada ragam peristiwa traumatis yang membentuk Vaded State. Ketika klien mengakses kembali peristiwa traumatis yang dirasanya menyakitkan maka akan terjadi reaksi yang ‘tidak wajar’ (abnormal reaction atau ab – reaction/abreaction), yaitu meluapnya gejolak emosi yang menyertai klien di kejadian itu.
Dari segi pertimbangan keamanan, kita harus memastikan klien tidak memiliki masalah fisik tertentu yang bisa terstimulus dan bahkan bisa memburuk kondisinya jika mereka mengalami proses abreaksi ini (seperti sakit jantung, asma dll).
Jika klien memiliki kondisi fisik yang berpotensi memburuk ketika mereka mengalami abreaksi maka hindari penanganan dengan RT yang bisa menstimulus kondisi tersebut.
RTC MENJADI TEKNIK TERAPI KOMPLEMENTER
Meski RTC telah terbukti berkontribusi efektif untuk membantu penanganan berbagai masalah emosional dan psikologis, yang juga tercantum di Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM), tetap saja seorang Resource Therapist tidak boleh mengklaim bahwa ia berkapasitas menangani masalah-masalah tersebut secara formal hanya dengan bermodalkan pendekatan RTC, terlebih jika praktisi tersebut tidak berlatarbelakang tenaga kesehatan psikologis formal.
RTC memiliki metode diagnosis sendiri, yang bukan ditujukan sebagai proses mendiagnosis kondisi kejiwaan seseorang, melainkan untuk mendiagnosis kondisi patologi yang dialami Resource State dan bagaimana kondisi patologi mereka termanifestasikan menjadi masalah emosional-psikologis.
RTC bisa membantu penanganan berbagai masalah emosional dan psikologis, namun hendaknya ia menjadi penanganan yang bersifat melengkapi (komplementer) untuk membantu penanganan formal yang juga difasilitasi tenaga kesehatan psikologis formal.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang Resource Therapy? Memerlukan layanan Resource Therapy untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari Resource Therapy secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.