Self Mastery Dalam Coaching
“Yaaaaaa…teruuuussss…yeeesss!”
Ramainya seruan membahana dari orang-orang yang memberi semangat tersebut mau tak mau mengalihkan perhatian saya dari layar monitor laptop.
Sambil menarik nafas saya pun mengendurkan posisi duduk yang sedari tadi tanpa dirasa menjadi cukup kaku karena lamanya menuangkan berbagai pemikiran tentang proyek pelatihan di sebuah perusahaan.
“Tidak ada salahnya merilekskan diri sejenak.” Demikian batin saya saya sambil mengarahkan pandangan ke layar besar di sudut kedai kopi yang menampilkan kompetisi balap mobil internasional. Nampak jelas di layar sebuah kamera close up menyorot aksi seorang pembalap di dalam mobilnya yang sedang berpacu, daya konsentrasi yang tinggi terlihat jelas dari gerakan-gerakannya yang menyiratkan kendali penuh atas apa yang sedang dilakukannya.
Pikiran saya pun menerawang ke masa ketika untuk pertama kalinya saya memfasilitasi sesi coaching seorang klien di kantor saya di Bandung.
Sebagai seorang dengan latar belakang hipnoterapis, saya telah terbiasa berhadapan dengan masalah-masalah emosional yang muncul dalam diri seseorang akibat sebuah trauma masa lalunya, namun demikian setelah tiga tahun berpraktek saya mendapati suatu hal yang cukup ironis, proses terapi memang membantu seseorang mengatasi masalah emosional masa lalu yang mengganggu kehidupan masa kininya, namun hal itu tidak serta-merta membuat mereka memiliki kekuatan dan keteguhan hati untuk meningkatkan kualitas hidupnya untuk mencapai tujuan masa depannya.
Sebagai seorang yang bergerak dalam helping-people business, saya menyadari bahwa harus ada hal lain yang saya libatkan untuk melengkapi proses terapi sehingga memberi efek maksimal pada klien, bukan sekedar mengatasi masalahnya namun mendekatkan dia pada kualitas hidup yang dia inginkan, setelah sekian lama hanya mendengar dan mempertimbangkan maka untuk pertama kalinya saya pun mulai mempelajari coaching demi bisa memberikan perubahan yang lebih maksimal pada para klien.
Dalam perjalanannya, bukan sebuah kebetulan bahwa saya kemudian mengambil spesialisasi dalam bidang life coaching. Ada banyak varian coaching seperti business coaching, executive coaching, corporate coaching atau yang lainnya, namun dengan latar belakang saya sebelumnya sebagai hipnoterapis yang banyak membantu para klien mengatasi masalah di aspek kehidupan pribadinya maka life coaching menjadi sebuah spesialisasi yang sangat berhubungan erat dalam hal ini.
Secara sederhana life coaching dapat dimaknai sebagai sebuah proses memfasilitasi seseorang untuk bisa mengidentifikasi tujuan yang ingin ia wujudkan dan memfasilitasi serangkaian proses berpikir kreatif agar ia bisa mengeksplorasi segala potensi dan strategi yang ia miliki untuk bisa mencapai tujuan tadi seefektif mungkin, di berbagai aspek kehidupannya.
Maka dalam hal ini apa fondasi dari sebuah life coaching? Sebagaimana varian coaching lainnya, tentu saja yang menjadi esensi dari prosesnya adalah klien mampu mengidentifikasi tujuan yang ingin mereka wujudkan melalui proses coaching dengan seorang life coach sebagai fasilitatornya. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak, ada dua hal yang sangat perlu dipertimbangkan dalam hal ini.
Pertama, yaitu kejelasan akan tujuan yang diinginkan ini, dalam proses coaching kita mengenalnya sebagai clarity. Intinya, secara spesifik apa yang klien inginkan sebagai tujuannya? Apa indikator tercapainya keinginan itu dan kapan mereka ingin mencapainya?
Kedua, yaitu hal yang tidak boleh terlupakan adalah memastikan bahwa tujuan itu selaras dengan nilai (value) kebahagaiaan atau kepuasan pribadi klien. Hal ini menjadi sangat penting karena kita ingin memastikan segala sesuatunya berjalan efektif dan membawa kepuasan bagi klien di akhir perjalannya, jangan sampai klien mencapainya namun ia justru tidak bahagia karenanya.
Well, hal ini tentu bisa saja terjadi dan kita bisa memperbaikinya kelak dengan proses coaching baru namun paling tidak kita bisa meminimalisirnya sejak awal. Di sisi lain, adanya muatan nilai kebahagiaan yang disadari klien sejak awal perjalanan akan memberinya sebuah daya dorong yang besar dan ini sangat membantu mereka agar memiliki sikap mental yang positif sebagai bekal utama perjalanannya.
Diibaratkan seorang pengendara mobil, menetapkan tujuan dan mengetahui nilai kepuasan adalah tahapan awal sebelum ia memulai perjalanannya, maka melanjutkan proses ini klien bersama coach mulai bisa merumuskan peta perjalannya, dimulai dari mengetahui dimana posisi dirinya saat ini dan jalur yang harus ia tempuh untuk bisa melalui perjalanan itu dengan baik.
Terdengar biasa saja? Sekilas ya, namun tidak hanya itu, satu esensi penting dalam life coaching adalah memfasilitasi sebuah proses berpikir reflektif dalam diri klien sehingga muncul kesadaran bahwa ialah sang pengendara dalam proses perjalanan ini, ialah pemain utamanya, ialah yang menentukan keberhasilan proses coaching ini, karena pada hakikatnya coach hanyalah fasilitator. Hal ini sering dikenal sebagai shifting paradigm atau mengubah paradigma, dari paradigma seorang ‘penonton’ menjadi seorang ‘pemain’, sebagaimana sudah diulas sebelumnya di artikel ‘Paradigma Penentu Kualitas Perubahan‘.
Bukan tanpa sebab hal ini menjadi sangat esensial, pada dasarnya penguasaan diri (self mastery) secara sadar adalah hal yang membedakan coaching dengan proses terapi. Dalam proses coaching klien melalui serangkaian proses berpikir reflektif yang difasilitasi coach-nya untuk bisa menemukan kesadaran tetinggi bahwa tetap saja pada akhirnya kehidupan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri, harus ada sebuah rasa kepemilikan (ownership) yang mumpuni atas hidupnya, oleh karena itu aspek pematangan emosi menjadi suatu kebutuhan tidak terpisahkan dari proses life coaching.
Kembali ke sesi coaching pertama saya bersama klien tadi, klien saya ini beberapa kali menjalani sesi terapi namun terlepas dari seberapa banyak masalah masa lalunya terselesaikan ia tetap saja merasakan kegalauan atas kehidupan pribadinya, termasuk dalam usaha yang dirintisnya. Ia pun sepakat untuk menjalani sebuah kontrak coaching bersama saya untuk melengkapi sesi terapi agar bisa mendapatkan kemajuan yang lebih optimal.
Melalui proses berpikir reflektif banyak hal mulai terungkap dalam dirinya, ternyata tujuan yang ditetapkannya banyak bertentangan dengan nilai kepuasan pribadinya. Apa yang dia tetapkan sebagai ambisinya dulu ternyata tidak bersumber dari nilai-nilai kebahagiaan pribadi, melainkan nafsu semata karena pengaruh lingkungan. Dari proses ini ditemukan banyak aspek emosi lainnya yang belum matang, salah satunya kesulitan menjadi pribadi yang berpuas diri karena ia selalu bergantung pada opini lingkungan atas banyak hal yang dilakukannya.
Sesi demi sesi berlanjut, sebagai coach saya terus memfasilitasi proses berpikir reflektif baru yang tanpa disadarinya banyak mematangkan emosinya, terutama di berbagai peran kehidupan yang ia jalani di pekerjaan dan dalam keluarganya. Ia pun perlahan-lahan mulai merasakan perubahan signifikan, terutama dalam menguasai diri dari pengaruh-pengaruh lingkungan yang dirasanya tidak bermanfaat.
Tidak selamanya ombak yang tenang akan tetap tenang sepanjang hayat, begitu kiranya perumpamaan dalam kasus ini. Beberapa kali juga kami harus menghabiskan waktu cukup lama di sebuah proses dan bahkan mengulang hal-hal fundamental karena ia dihadapkan pada tantangan-tantangan baru dalam hidupnya yang masih dianggap memberatkannya.
Meski nampak menyita waktu hal tersebut perlu dilalui dengan seksama, semata-mata karena penguasaan diri merupakan proses yang sejalan dengan prinsip pohon bambu, memerlukan waktu untuk menumbuhkan akar yang kuat, namun sekali akar itu terbentuk maka angin kencang pun tidak bisa menggoyahkannya.
Salah satu kebahagiaan terbesar seorang coach adalah ketika mendapati kliennya memperoleh kemandirian dan kematangan emosi yang membuatnya mampu mengeluarkan potensi terbaiknya dalam berbagai aspek kehidupannya.
Masih segar dalam ingatan ketika klien ini datang ke kantor dengan muka berseri-seri dan ia hanya mengungkapkan bahwa ia menyadari suatu hal yang sangat penting, bagaimana sesi coaching ini menyadarkannya akan hakikat penguasaan diri yang selama ini ia lupakan, sekarang ia sadar bahwa ialah penguasa sejati dirinya, ialah yang mengendalikan kehidupannya dan bertanggung jawab penuh atasnya.
Pengaruh lingkungan menjadi hal yang tidak signifikan baginya kelak karena kemampuannya berdamai dengan kematangan emosinya sendiri. Strategi dan potensi segar pun bermunculan dari dalam dirinya, membuat kualitas kehidupan pribadi dan bisnisnya membaik.
“Boleh saya bereskan gelasnya pak?”Suara pramusaji membuyarkan lamunan saya tentang kenangan sesi coaching pertama saya bersama klien tadi. Saya mengangguk perlahan sambil tersenyum, meregangkan tangan dan tubuh sesaat, menenangkan syaraf dan otot yang sempat kaku tadi, mengatur posisi duduk yang lebih rileks dan kembali ke aktifitas semula, menuangkan berbagai pemikiran tentang proyek pelatihan di sebuah perusahaan.
Sambil tersenyum, saya pun teringat sebuah slogan yang menjadi pedoman utama saya dalam memfasilitasi sesi life coaching, yaitu ‘Coaching, The Art of Self Mastery.’
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching? Memerlukan layanan coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.