Sikap Memusuhi Diri Dari Perspektif Parts-Therapy
Daftar Isi
“Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri” adalah kalimat yang kerap ditemukan di berbagai seminar motivasi atau pengembangan diri, terutama yang berhubungan dengan kinerja dan pencapaian.
Bentuk sederhana yang menjadi terjemahan dari kalimat ini yaitu betapa ada begitu banyak orang yang kesulitan mewujudkan kinerja dan pencapaian idealnya karena mereka terhambat oleh sikap dan perilakunya sendiri, dari sanalah muncul sebuah perspektif bahwa yang menghambat seseorang untuk bisa mewujudkan kinerja dan pencapaian idealnya (yang kemudian dipersepsikan sebagai “musuh”) adalah diri mereka sendiri.
Perspektif ini tidak sepenuhnya salah, namun demikian ada potensi bahaya tersembunyi di balik hal ini yang hendaknya kita pahami, agar menghindarkan kita dari mengalami potensi bahaya ini.
POTENSI BAHAYA YANG MENGINTAI
Sigmund Freud, tokoh besar dunia Psikologi, konon pernah mengatakan bahwa satu-satunya sosok yang hendaknya kita jadikan perbandingan adalah diri kita sendiri di masa lalu.
Kalimat Freud tadi mengajak kita untuk bersikap bijak pada diri sendiri, alih-alih membanding-bandingkan diri dengan orang lain, kita hendaknya berkaca pada diri sendiri, berusaha sebaik mungkin menjadikan diri kita lebih baik dari hari kemarin (masa lalu).
Secara tidak langsung, hal ini juga mengajak kita untuk bisa menembus batasan lama dalam diri yang menghambat kinerja dan pencapaian ideal ini, namun di sisi lain hal ini juga yang kerap kali tidak mudah untuk dilakukan begitu saja, yang menjadikan beberapa orang terus bergelut dengan problematika hambatan internal diri yang tidak kunjung terselesaikan ini – yang jika kita hubungkan dengan bahasan sebelumnya kemudian melahirkan anggapan bahwa musuh terbesar mereka adalah diri mereka sendiri.
Menyadari bahwa diri kita adalah pusat dari perubahan yang hendaknya kita fokuskan adalah hal positif, karena hal ini mengajak kita untuk memusatkan segala daya perubahan pada diri kita sendiri, bukan pada dunia luar, namun ada kalanya hal ini menyimpan potensi bahaya tersendiri, yaitu menjadikan seseorang memusuhi dirinya sendiri, yang berujung pada permasalahan lain yang lebih besar.
BAHAYA LANGSUNG DI BALIK SIKAP MEMUSUHI DIRI
Bayangkan seseorang yang merumuskan berbagai target kinerja dan produktivitas ideal untuk diwujudkannya, ia lalu menyadari bahwa kinerja dan produktivitas ideal itu tidak terwujud karena ada sikap dan kebiasaannya yang menghambat semua itu, ia lalu berjuang keras untuk mewujudkan perubahannya, namun dalam prosesnya ia ternyata berhadapan dengan kegagalan berulang untuk bisa “menaklukkan” sikap dan kebiasaan lamanya, sedemikian “mentok”-nya ia berhadapan dengan situasi itu sampai lama-lama ia merasa frustrasi, alhasil muncullah rasa benci pada dirinya sendiri, ia menganggap dirinya sendiri adalah musuh atau biang kerok di balik kegagalannya selama ini.
Meski memiliki konotasi yang serupa, rasa “benci pada diri sendiri” berbeda dengan sikap “memusuhi diri sendiri”.
Landasan pemikiran yang mendasari hal ini yaitu sebuah pemikiran bahwa “bermusuhan tidak selalu harus membenci”.
Keberadaan “musuh” menjadikan munculnya sikap berkompetisi, keberadaan musuh dalam hal ini juga yang dalam dunia bisnis disebut sebagai “kompetitor’.
Pertanyaanya adalah: apakah keberadaan musuh atau kompetitor ini menjadikan bisnis hal negatif karenanya? Tentu tidak, justru keberadaan kompetitor ini juga yang melahirkan inovasi dan terobosan dalam diri para pelaku bisnis, mereka jadi lebih mengerahkan daya dan upaya untuk bisa menjadikan bisnisnya lebih baik demi bisa selangkah lebih maju dari kompetitornya, masuknya rasa benci ke dalam “permusuhan” inilah yang menjadikan permusuhan ini menjadi berdampak negatif.
Sama halnya dengan diri kita, masuknya rasa benci – karena frustrasi akibat perubahan yang tidak kunjung terjadi – menjadikan sikap memusuhi diri ini kemudian memunculkan bahaya langsung, dari mulai bahaya dalam bentuk gejolak batin, rasa tertekan, perilaku menyakiti diri (self harming) sampai ke potensi penyakit psikosomatis.
Kebencian – yang bermula dari kemarahan – adalah emosi yang bersifat membebani diri kita, bahkan ketika kebencian ini kita tujukan pada sosok di luar diri kita saja ia sudah bersifat sedemikian membebani, apalagi jika kebencian ini kita tujukan pada diri kita sendiri, semakin berlipatlah beban emosi yang berdampak negatif pada diri kita.
SIKAP MEMUSUHI DIRI DARI PERSPEKTIF PARTS-THERAPY
Dalam perspektif parts-therapy, ketika seseorang memusuhi dan membenci dirinya, ia sebenarnya bukan membenci dirinya sendiri, ia sedang membenci dan memusuhi bagian kepribadian (personality parts) dalam dirinya sendiri yang melatari sebuah sikap atau kebiasaan yang dibencinya.
Sebagai catatan, tulisan ini fokus menyoroti perspektif parts-therapy yang melatari munculnya sikap memusuhi diri, jika Anda termasuk pembaca yang awam dengan parts-therapy, ada baiknya Anda memahami terlebih dahulu prinsip dan teknik parts-therapy di artikel “Mengenal Bagian-Bagian Kepribadian Diri (Personality Parts)”.
Terdapat ragam jenis parts-therapy, yang akan kita gunakan sebagai landasan dari tulisan kali ini yaitu Resource Therapy, jika Anda termasuk yang awam dengan keilmuan ini ada baiknya memahaminya terlebih dahulu dengan membacanya di artikel “Selayang Pandang Resource Therapy”.
Dalam perspektif parts-therapy, di balik berbagai pemikiran, perasaan, perilaku dan kondisi fisik yang kita alami, selalu terdapat keberadaan personality parts spesifik yang melatari munculnya pemikiran, perasaan, perilaku dan kondisi fisik tersebut.
Di balik sikap dan kebiasaan negatif yang seseorang lakukan, ada personality parts yang aktif melatari sikap dan kebiasaan negatif itu, begitu juga di balik kesadaran untuk memiliki kondisi ideal, ada personality parts yang aktif melatari kesadaran itu.
Artinya, di balik sikap memusuhi diri karena perubahan yang tidak kunjung terjadi, yang berlangsung adalah adanya personality parts yang menyadari sebuah kondisi ideal yang hendaknya kita capai, yang berkonflik dengan personality parts lain yang terus melakukan sikap dan kebiasaan negatif yang menghambat tercapainya kondisi ideal tadi.
Ketika terjadi kondisi “stuck” berkepanjangan akibat perubahan yang tidak kunjung terwujud, yang bisa terjadi adalah situasi dimana personality parts yang menginginkan hal yang dianggapnya baik ini kemudian jadi membenci personality parts yang melatari sikap dan kebiasaan negatif tadi, karena personality parts yang melatari sikap dan kebiasaan negatif ini menjadi “biang kerok” yang melatari terjadinya kondisi tidak ideal yang tidak seharusnya.
Lebih mendasar lagi, personality parts yang menginginkan kondisi ideal ini “tidak berdaya” karena personality parts yang melatari sikap dan kebiasaan negatif ini memiliki daya dan tingkat energi yang lebih besar menyertai kemunculannya, ketidakmampuannya untuk mewujudkan kondisi ideal inilah yang kerap kali memunculkan rasa gemas atau kebencian pada personality parts yang dianggapnya menjadi biang kerok itu.
Artinya, ketika seseorang memusuhi dan membenci dirinya sendiri, rasa benci itu bersumber dari personality parts spesifik yang sedang menujukan kebencian itu pada personality parts lain yang dianggapnya tidak sejalan dengannya.
PARTS-THERAPY UNTUK MENCIPTAKAN KEDAMAIAN DALAM DIRI
Konflik internal antar personality parts bisa memunculkan berbagai jenis gejala permasalahan dengan berbagai kompleksitas, rasa benci yang ditujukan oleh satu personality parts ke personality parts lain ini sudah tentu memunculkan sirkulasi energi psikis yang berdampak negatif dalam diri, dari kondisi ini jugalah berpotensi muncul berbagai gejala permasalahan yang membebani kondisi fisik dan psikis seseorang.
Dalam Resource Therapy & Counselling (RTC), fenomena ketika ada satu personality parts yang membenci personality parts lain diklasifikasikan ke dalam diagnosis Conflicted State (untuk bahasan lebih jauh atas diagnosis personality parts ini bisa ditemukan di artikel “Resource Therapy Diagnosis”).
Yang Terapis lakukan untuk menyikapi Conflicted State pada dasarnya adalah menciptakan kesepahaman antar personality parts, agar mereka lebih bisa menghargai satu sama lainnya, dari rasa saling menghargai ini diharapkan tercipta resolusi yang bersifat ekologis dan sejalan dengan apa yang menjadi harapan seseorang dalam hidupnya.
Bentuk praktika dari fenomena ini adalah seorang Terapis memfasilitasi klien yang mengalami situasi memusuhi diri ini untuk mengakses personality parts dalam dirinya yang menginginkan kondisi ideal dan memfasilitasi proses komunikasi agar personality parts ini bisa berkomunikasi langsung dan menujukan aspirasinya pada personality parts lain yang melatari sikap dan kebiasaan negatif tadi, yang dimusuhinya.
Proses komunikasi antar personality parts yang berkonflik ini diharapkan membangun kesadaran dalam diri klien, atau tepatnya kesadaran bagi personality parts yang memusuhi personality parts lainnya ini, agar ia lebih memahami yang terjadi dan lebih bisa menghargai keberadaan dan maksud positif dari personality parts yang semula dimusuhinya itu, agar tercipta kedamaian dalam diri.
Namun demikian, ada kalanya fenomena Conflicted State ini tidak bisa mendapatkan pemecahan begitu saja, ada kalanya yang terjadi adalah adanya personality parts yang tidak bisa diajak berkomunikasi dengan baik (terutama personality parts yang melatari munculnya sikap dan kebiasaan buruk) karena personality parts ini memiliki kondisi patologis lain yang membuatnya tidak mau diajak berkomunikasi dengan baik karena personality parts ini ternyata berada di kondisi Vaded State atau Retro State, sikap dan kebiasaan negatif yang ditampilkannya ternyata merupakan sebuah mekanisme pertahanan (defense mechanism) untuk menghindarkan diri seseorang dari apa yang dianggap sebagai potensi bahaya oleh personality parts itu.
Di satu sisi personality parts yang menginginkan perubahan merasa gemas karena ia ingin kita mengalami perbaikan situasi, di sisi lain personality parts yang melatari munculnya sikap dan kebiasaan negatif bersikeras bahwa sikap dan kebiasaan itu harus dilakukan demi kebaikan diri kita.
Dua personality parts yang saling memperjuangkan apa yang dianggapnya baik, tapi keduanya justru bermusuhan satu sama lain, ironis bukan?
Jika yang terjadi adalah situasi ini maka personality parts yang berada di kondisi Vaded State atau Retro State ini haruslah mengalami dulu resolusi agar bisa kembali ke kondisi normalnya, baru setelahnya proses membangun kesepahaman dilakukan, sering kali ketika personality parts yang semula mengalami kondisi Vaded atau Retro ini sudah mendapatkan resolusinya maka kesepamahan terjadi dengan lebih efektif dan perubahan pun tercipta dengan lebih baik, kesepahaman dan perubahan positif – sebagai hasil akhirnya – inilah yang menciptakan perdamaian antara personality parts yang semula mengalami situasi permusuhan, yang menjadikan seseorang terbebaskan dari perilaku memusuhi diri.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang hipnoterapi/Resource Therapy & Counselling? Memerlukan layanan hipnoterapi/Resource Therapy & Counselling untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari hipnoterapi/Resource Therapy & Counselling secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.