State, Faktor Penentu Perilaku Dalam NLP
Daftar Isi
Selama beberapa dekade sejak awal penemuannya, NLP telah menjadi bagian penting dalam proses coaching yang difasilitasi oleh banyak coach di berbagai penjuru dunia,apa kiranya yang melatari hal ini?
Untuk bisa menjelaskannya, mari mengawalinya dengan justru mengangkat satu pertanyaan yang lebih esensial terlebih dahulu, yaitu: hal apa yang membedakan efektivitas diri seseorang dengan orang lainnya terlepas dari apa pun bidang yang mereka tekuni? Jika kita mengulasnya berdasarkan yang bisa kita amati secara nyata sehari-hari, maka jawabannya sederhana dan jelas, yaitu ‘perilaku’, atau yang lebih sering dikenal sebagai ‘aksi’.
NLP mengadaptasi sebuah pemahaman mendasar bahwa setiap perilaku manusia memiliki struktur dasar yang membentuk sebuah proses, atau mekanisme, atau program (programming) sampai kemudian menjadi perilaku.
Lebih jauh lagi, struktur dasar dari perilaku ini ternyata bisa diurai menjadi pola-pola yang lebih mendetail, ketika pola ini dimodifikasi ternyata muncul juga respon perilaku yang berbeda/termodifikasi, disinilah NLP berperan sebagai sebuah keilmuan taktis yang membantu seseorang melakukan perubahan langsung pada struktur sebuah aksi, dari aksi lama yang tidak efektif yang tidak diinginkan menuju aksi baru yang diinginkan yang dirasa lebih efektif.
Struktur pertama yang membentuk sebuah perilaku adalah yang dalam NLP dikenal sebagai state.
LEBIH JAUH TENTANG STATE
Belum ada terjemahan spesifik tentang state dalam bahasa Indonesia, saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah ‘kondisi fisik-mental-emosional’ yang dialami seseorang dalam dirinya.
Sederhananya begini, bayangkan sejenak Anda sedang berharap-harap menantikan sebuah kabar membahagiakan. Apa daya, kabar yang dinantikan justru bertolakbelakang dengan harapan Anda, Anda pun kecewa dan sedih karenanya, rasa kecewa dan sedih inilah yang saya maksudkan sebagai state, ekspresi sedih ini membuat Anda berjalan lunglai, lesu, tidak bersemangat, tatapan mata kosong dan tidak bergairah untuk berbicara dengan orang lain.
Beberapa menit berlalu tiba-tiba Anda mendapat kabar mengejutkan, kejaiban terjadi dan Anda pun memperoleh kabar membahagiakan yang seusai harapan Anda, lantas Anda pun larut dengan rasa senang dan gembira, rasa senang dan gembira ini juga adalah state, dengan state baru ini Anda tiba-tiba bersemangat, tatapan mata menyala-nyala dan begitu bergairah untuk berbicara dan menyemangati orang lain.
Perhatikan bahwa dalam beberapa menit saja kita bisa berganti dari satu state ke state lain yang berbeda, apakah berarti state itu sebuah perasaan? Bisa ya, namun tidak sepenuhnya begitu, struktur dari sebuah state sebenarnya lebih kompleks karena melibatkan perasaan, pemikiran dan fisiologi, state adalah hasil akhir dari itu semua.
Artinya di balik rasa sedih, kecewa, senang dan gembira ada serangkaian pemikiran tertentu di dalamnya – yang berhubungan dengan harapan dan pemaknaan tertentu – dan postur tertentu yang menjadikan kita pada akhirnya memiliki state tertentu.
Mari kita hubungkan antara state dan aksi-perilaku dalam contoh ilustrasi di atas tadi:
State ‘Sedih’ dan ‘Kecewa’, menghasilkan aksi: berjalan lunglai, lesu, tidak bersemangat, tatapan mata kosong dan tidak bergairah untuk berbicara dengan orang lain.
State ‘Senang’ dan ‘Gembira’, menghasilkan aksi: bersemangat, tatapan mata menyala-nyala dan menjadi begitu bergairah untuk berbicara dan menyemangati orang lain
Jika kita fokuskan bahasan pada perilaku, bisa kita dengan jelas dapati bahwa state yang berbeda memicu perilaku yang berbeda, maka kunci modifikasi perilaku agar menjadi lebih efektif terletak pada modifikasi state agar menjadi state yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk menunjang perilaku spesifik yang diharapkan.
KETEPATAN STATE BERGANTUNG PADA KEBUTUHAN
Kunci efektivitas diri ada pada state yang tepat di konteks yang tepat. Hal ini menjawab pertanyaan: apakah state terbaik adalah yang senantiasa bersemangat? Sama sekali tidak, jika kita ingin beristirahat di malam hari dan Anda malah berada di state bersemangat, yang terjadi jutru masalah sulit tidur.
Bukan soal seberapa produktif atau bersemangatnya state yang kita pancarkan, melainkan ketepatannya dengan konteks. Sebut saja seorang tenaga penjual, ia bersiap berjumpa dengan prospeknya untuk melakukan presentasi, idealnya ia berada dalam state percaya diri, fokus dan riang, namun apa daya, ia terjebak dalam sebuah pemikiran tidak produktif yang mengalihkannya dari state percaya diri, fokus dan riang, alhasil ia malah menampilkan state lesu, tidak fokus dan gugup. Bagaimana kemungkinan penjualannya? Anda bisa menebaknya sendiri, kecuali ia mendapatkan state yang tepat nantinya, proses penjualan tidak akan berjalan optimal adanya.
Atau seorang ayah yang di kantornya merupakan sosok direktur dengan state galak, bisa jadi dalam peran yang dijalankannya ia memang harus menggunakan state galak tersebut karena cara itu efektif untuk membantunya mengelola SDM-nya, namun lain ceritanya jika ia membawa state galak ini sampai ke rumah dan menampilkannya terus-menerus maka proses pengasuhan anak akan menjadi bermasalah bukan?
Maka apakah kemampuan mengenali dan memodifikasi state agar sesuai dengan konteks yang mensyaratkannya menjadi hal penting bagi seorang praktisi NLP? YA, betul sekali, disinilah kunci efektivitas diri berawal. Permasalahan kinerja atau produktivitas dalam diri seorang individu berawal dari ketidaksesuaian antara state dengan konteks (waktu dan tempat), yang ditampilkan dalam bentuk perilaku yang tidak efektif.
STATE DAN NLP COACHING
Yang sudah kita pahami adalah bahwa state dalam diri seseorang menentukan respon aksi, maka mengelola atau memodifikasi state sama dengan mengelola atau memodifikasi aksi, mengacu pada hal ini maka yang perlu kita pahami adalah prinsip dari bagaimana sebuah state terbentuk dan bagaimana dengan memahami prinsip ini kita bisa mendesain state yang kita perlukan sesuai kebutuhan.
Dalam bidang NLP Coaching, yang dilakukan seorang NLP Coach adalah memfasilitasi klien merumuskan tujuan pencapaian yang ingin dicapainya lalu memecahnya menjadi langkah-langkah kecil berisikan aksi strategis yang harus klien jaga untuk bisa melalui prosesnya dengan baik dan mencapai tujuan pencapaiannya. Setelah itu coach lalu mengajak klien mengidentifikasi ragam state yang diperlukan klien secara spesifik dalam kebiasaan sehari-hari agar bisa menunjukkan perilaku terbaiknya secara konsisten sampai kemudian mencapai tujuan, lalu menerapkan rangkaian prinsip intervensi NLP untuk bisa mencapai state tersebut.
Pada umumnya selalu terdapat celah atau selisih dari state yang diperlukan seseorang (dalam NLP dikenal sebagai desired state ) untuk menampilkan kinerja terbaiknya, dengan state yang dimilikinya sekarang (present state ).
Jelas saja, jika ia sudah menampilkan state terbaik yang diperlukannyanya sejak dulu tentu ia sudah melakukan aksi terbaik dan mencapai tujuannya sejak dulu, kejelasan akan selisih dari state yang diperlukan dan state yang dimiliki di masa kini inilah yang menjelaskan mengapa seseorang tak kunjung mencapai yang diinginkannya sekaligus menunjukkan celah yang harus dijembataninya.
Sebagaimana state menentukan respon aksi, selama seseorang masih terjebak di state lamanya, maka ia akan bergulat dengan aksi lama yang menempatkannya pada kondisi lamanya. Maka jelas, ia perlu mengubah state -nya agar ia bisa mendapatkan aksi baru yang bisa mengantarnya menuju hasil pencapaian barunya, namun disinilah sering kali terdapat kendala karena melakukan transformasi state bukanlah perkara mudah bagi kebanyakan orang, maka seorang NLP Coach membantu klien dengan menerapkan rangkaian teknik NLP Changeworks sesuai peruntukkannya, agar klien bisa berpindah dari state lama ke state barunya dan mempertahankannya secara konsisten.
Hal ini menjawab pertanyaan mengapa seorang NLP Coach bisa berurusan dengan klien dari beragam kalangan dan profesi meski ia tidak memiliki keahlian yang dimiliki kliennya, karena seorang NLP Coach tidak berurusan dengan keahlian teknis kliennya, melainkan dengan state -nya yang bermuara pada aksinya.
Sedemikian pentingnya pemahaman akan state ini maka wajib hukumnya bagi para praktisi NLP memahami kunci penting yang membentuk state termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya.
State terbentuk karena adanya penyusun yang lebih kecil di dalamnya, yang dikenal sebagai fisiologi dan Internal Representation, dengan memahami cara kerja dari kedua hal ini secara komprehensiflah berbagai teknik NLP bisa diterapkan untuk menghasilkan perubahan efektif.
FAKTOR PERTAMA PEMBENTUK STATE: FISIOLOGI
Sekali lagi, kunci efektivitas diri ada pada kemampuan untuk berada di state yang tepat di situasi yang tepat, disinilah kebanyakan orang mengalami kesulitan karena mereka lebih sering seolah menjadi korban dari situasi yang dianggapnya tidak menyenangkan baginya.
“Saya gugup kalau menghadapi orang baru.”
“Saya merasa takut ketika berhadapan dengan kucing.”
“Saya merasa marah ketika mendengar bentakannya.”
“Saya sulit bangun di pagi hari.”
“Saya ingin bersegera tapi selalu ada dorongan untuk menunda.”
Seberapa familiar Anda dengan ragam kalimat di atas? Masih ada ragam masalah lain dengan berbagai versi namun pada intinya tetap saja menyiratkan esensi yang sama.
Ya, masih ada berbagai hal sejenis lainnya yang diungkapkan beberapa orang betapa mereka terjebak dengan state tertentu di situasi dimana mereka seharusnya berada di state lain yang lebih efektif, namun mereka seolah tidak berdaya mengendalikan state dalam dirinya akibat tekanan situasi di luar dirinya.
Disinilah NLP hadir sebagai sebuah teknik yang memungkinkan kita mendesain state internal yang kita perlukan sesuai kebutuhan, terlepas dari apa pun situasi yang sedang dihadapi di luar diri, dengan kata lain mengajak kita menjadi pemimpin atas pikiran dan perasaan diri sendiri.
Faktor pertama yang melandasi pembentukan state yaitu fisiologi atau kondisi fisik. Rasanya sudah cukup banyak fenomena atau berita tentang penelitian yang bisa kita temukan sekarang ini tentang pengaruh serta keterhubungan dari fisik dan pikiran.
Tidak perlu terlalu jauh menghubungkannya, cukup ingat-ingat saja kembali momen ketika Anda sedemikian bersemangat dan antusias dalam melakukan sesuatu yang sangat Anda sukai. Jika Anda coba menghadirkan kembali emosi itu dengan jelas pada diri Anda atau mungkin meluangkan waktu untuk mengamati orang di sekitar Anda ketika bersemangat dan gembira, sangat mungkin Anda akan mendapati dengan jelas bahwa mereka menunjukkan kondisi fisik tertentu yang cukup khas: binar matanya, irama nafasnya, cara tubuh mereka bergerak dan ekspresi wajahnya.
Begitu juga ketika seseorang merasa malas, letih, lesu atau lunglai, selalu ada ciri khas fisiologi yang nampak darinya: binar matanya, irama nafasnya, cara tubuh mereka bergerak dan ekspresi wajahnya.
‘Men sana in corpore sano’, demikian pepatah latin berbunyi, yang jika diartikan kurang lebih berbunyi: ‘di dalam tubuh yang sehat tersimpan jiwa yang kuat’. Ditambah dengan penelitian terkini yang menunjukkan cara kerja hormon, otak dan keterhubungannya dengan fisiologi tubuh, kita bisa dengan lebih mudah menemukan keterhubungan bagaimana kondisi fisik seseorang mempengaruhi mental emosionalnya dan begitu juga sebaliknya.
Orang-orang yang mengalami sakit kritis cenderung mengalami kejatuhan mental-emosional ketika mengetahui kondisinya, hal ini sering kali memperparah kondisi fisik mereka. Begitu juga dengan penyakit tertentu yang muncul secara fisik namun sebenarnya bermula dari pikiran, yang biasa disebut sebagai psikosomatis.
Mereka yang sedang sakit secara fisik akan mengalami penurunan stamina mental-emosional yang membuat mood terganggu sehingga mereka menjadi lebih tidak stabil, maka fisik dan mental adalah satu jalinan yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan.
Dalam dunia pengobatan, ketika seseorang terkena masalah penyakit fisik, kita tidak asing mendengar kata “Jangan banyak beban pikiran, supaya penyakitnya cepat sembuh.” Bukankah hal ini juga menandakan bahwa antara tubuh dan pikiran tidak bisa dipisahkan?
Salah satu cara yang saya gunakan ketika mengalami kondisi tidak enak badan biasanya menempatkan diri dalam kondisi rileks dan fokus untuk beristirahat sambil memastikan asupan makanan dan nutrisi yang masuk pun berkualitas, ketika merasa tubuh sudah mendapatkan jatah istirahat yang cukup dan siap untuk sembuh kembali maka saya biasanya memulainya dengan gerakan-gerakan ringan pada tubuh seperti olahraga atau aktivitas menyenangkan lain, hal ini saya lakukan untuk membangun sugesti positif pada tubuh yang kemudian memberikan efek segar pada kondisi mental emosional. Ketika kedua ini terhubung, nyata sekali bahwa pemulihan terjadi dengan lebih efektif pada diri saya.
Maka untuk bisa mengakses state tertentu yang kita perlukan, kita bisa memulainya dengan mengakses fisiologi tubuh yang kita tahu melambangkan state tersebut, secara perlahan state akan mengikuti.
Dalam praktik Modeling dalam NLP atau mengadaptasi keahlian dan pola keunggulan seseorang, fisiologi adalah salah satu aspek yang kita akses, biasanya dimulai dari mengamati dengan cermat postur fisiologi dari sosok yang kita ingin adaptasi state -nya, lalu membiasakan fisiologi itu pada diri kita, secara perlahan state sejenis akan terbentuk pada diri kita, yang kelak bisa kita sesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan diri kita.
Contohnya saja ketika Anda berada di sebuah state yang tidak menyenangkan, misalnya saja sedang dalam kondisi tidak bersemangat, Anda lalu dihadapkan dengan situasi dimana Anda harus menunjukkan kondisi bersemangat secara mendadak – dihampiri orang lain dimana Anda harus menunjukkan rasa antusiasme misalnya – maka hal pertama yang bisa Anda lakukan adalah mengubah fisiologi secara signifikan, bangunlah fisiologi bersemangat terlebih dahulu, ‘paksa’ tubuh dan ekspresi wajah untuk mengakses gerakan yang melambangkan semangat, meski awalnya hanya ‘berpura-pura’ Anda akan mendapati bahwa perlahan-lahan state bersemangat itu akan mulai terbangun.
Menarik bukan? Anda tidak harus langsung memercayainya, cukup lakukan saja untuk merasakannya, coba saja bangun sebuah fisiologi yang melambangkan state tertentu, bangun fisiologi itu secara mendetail di tubuh dan ekspresi wajah Anda, lalu rasakan State apa yang terbangun sebagai hasil bentukan dari fisiologi itu.
Itulah mengapa salah satu NLP Presupposition menyatakan: ‘Tubuh dan pikiran adalah suatu kesatuan dan membentuk sebuah sistem’. Berikutnya kita akan semakin mengulas faktor pelengkap yang membentuk State secara optimal, yaitu Internal Representation.
FAKTOR KEDUA PEMBENTUK STATE: INTERNAL REPRESENTATION
Sebuah kalimat bijak berbunyi “Kita tidaklah melihat dunia sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana kita ingin atau terbiasa melihatnya.” Jika dihubungkan dengan NLP, kalimat itu sangat relevan adanya.
Pemahaman mendasar atas fenomena ini yaitu bahwa manusia tidak merespon realita di luar dirinya, melainkan realita di dalam dirinya atau apa yang diyakini sebagai realita baginya, itulah mengapa dua orang yang mengalami peristiwa yang sama persis bisa merespon dengan cara yang berbeda karena data base – yang dianggap sebagai realita – yang tersimpan dalam diri mereka sebagai acuan dasar merespon realita dunia luar berbeda adanya.
Dengan kata lain, kita tidak merespon dunia eksternal di luar diri kita, melainkan merespon dunia internal dalam diri kita yang tercipta melalui serangkaian pengalaman dan pemaknaan masa lalu yang kelak menjadi acuan kita dalam melihat/menilai dunia di luar diri kita, dunia internal inilah yang dalam NLP disebut sebagai World Model.
Pengalaman setiap orang unik adanya, setiap dari kita melalui berbagai pengalaman sepanjang hidup, kemudian memberikan pemaknaan pada pengalaman itu dan mengumpulkan lebih banyak pengalaman lagi di sepanjang proses tumbuh kembang sampai saat ini, akumulasi pengalaman inlah yang menjadi World Model.
World Model atau jika diterjemahkan sebagai ‘model dunia’ adalah representasi dari dunia luar di dalam diri kita (internal), World Model juga dikenal sebagai Internal Representation, dunia dalam diri atau representasi internal inilah yang merupakan faktor penyusun pertama yang menjadikan munculnya sebuah state dalam diri seseorang.
Kualitas Internal Representation dalam diri kita sangat menentukan jenis state yang muncul dan oleh karenanya menentukan respon aksi yang tercipta dari state itu, ketika pemaknaan yang ada dalam Internal Representation berubah atas dunia eksternal maka state yang muncul pun berubah dan oleh karenanya respon aksi turut berubah.
Sebuah kisah klasik tentang keterhubungan dari perubahan Internal Representation dengan perubahan state dan perilaku ditunjukkan oleh sebuah kisah klasik.
Alkisah, suatu hari sepasang suami istri yang sudah tua memasuki kereta dan duduk di sebuah ruangan gerbong bersama keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak remaja. Suami-istri itu beradu pandang dengan orang tua si remaja dan saling melempar senyum, sementara sang remaja duduk dengan penuh antusias di tepi jendela, memandang keluar.
Seiring kereta berlalu, sang remaja dengan antusias berseru pada orang tuanya “Ayah…ibu, lihat…bukankah itu angsa?” Orang tuanya hanya mengangguk dan tersenyum bahagia.
Tak lama berselang, sang remaja kembali berseru gembira, “Ah, itu sapi, warnanya bermacam-macam sekali!” Kembali orang tuanya hanya tersenyum penuh makna. Di kesempatan kedua ini, sepasang suami-istri senior itu mulai merasa tidak nyaman atas perilaku sang remaja yang di mata mereka nampak terlalu kekanak-kanakkan untuk anak seusianya.
Kereta semakin berlalu dan sang remaja terus-menerus menyerukan benda-benda yang dilihatnya di luar sana sementara orang tuanya hanya duduk dengan santai sambil tersenyum. Tak kuasa menahan diri sang suami senior akhirnya berbisik pada orang tua sang remaja, “Bisakah anak Anda menahan diri? Tidakkah Anda merasa perlu memberitahunya? Bukankah hal ini terlalu berlebihan untuk anak seusianya?”
Orang tua sang remaja terhenyak dari posisi mereka, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu mereka lalu membetulkan posisi duduknya sambil menjawab, “Ah, maaf…nampaknya anak kami tidak bisa menahan dirinya. Ia buta sejak lahir dan baru pagi ini selesai dengan operasi matanya, agaknya ia terlalu antusias dengan semua yang baru saja bisa dilihatnya hari ini.”
Jika Anda berada di posisi sepasang orang tua senior itu, apa yang muncul di pikiran Anda sekarang? Bayangkan Anda berada di posisi orang tua senior itu, adakah yang berbeda dalam respon Anda sebelum dan sesudah orang tua si remaja memberikan jawaban atas kondisi si anak?
INTERNAL REPRESENTATION, STATE & PERILAKU DALAM NLP COACHING
Kita merespon seseorang atau situasi di luar diri kita berdasarkan kondisi Internal Representation yang kita miliki yang kemudian menjadi respon state dan aksi, meski orang atau situasi di luar diri kita tetap sama adanya, ketika Internal Representation berubah maka respon state dan aksi kita terhadap orang atau situasi itu pun turut berubah.
Contohnya saja, Anda bertemu dengan seseorang untuk pertama kalinya. Orang tersebut berlaku sedemikian ramahnya dan muncul sebuah state senang dalam diri Anda atas orang tersebut, yang menjadikan Anda pun merespon dengan perilaku yang menyenangkan.
Waktu berlalu dan Anda berpisah dengan orang tersebut. Anda kemudian berjumpa dengan teman baik Anda yang kemudian menceritakan segala keburukannya, yang ternyata sangat jauh bertolak belakang dan bersinggungan dengan nilai-nilai yang Anda yakini, Anda pun merasa kecewa dan gemas padanya.
Apakah menurut Anda perjumpaan Anda berikutnya dengan orang tersebut akan tetap sama? Besar kemungkinan tidak, orang tersebut mungkin tetap menunjukkan penampilan dan perilaku yang sama di luar diri Anda seperti sebelumnya, namun representasi internal dalam diri Anda atas orang tersebut sudah berubah adanya.
Anda mungkin bisa tetap menjaga nilai-nilai kesopanan ketika bertemu dengannya dan tetap berusaha menunjukkan perilaku yang menyenangkannya, namun Anda tidak bisa membohongi state yang muncul otomatis dalam diri ketika bertemu di kesempatan berikutnya dengan Internal Representation yang berbeda.
Dalam hubungannya dengan NLP Coaching, seorang NLP Coach akan mengidentifikasi outcome yang klien harapkan dari proses coaching yang dijalaninya, lalu mengidentifikasi state apa yang diperlukan klien (desired state) agar menghasilkan perilaku yang mendukungnya untuk bisa mewujudkan outcome yang diharapkannya.
Setelah NLP Coach mengidentifikasi desired state, maka ia akan mengidentifikasi state yang klien miliki saat ini (present state), lalu memperdalam lebih jauh seperti apa struktur apa yang membentuk keberadaan state itu, lalu membantu ‘memodifikasinya’ sampai state itu berubah menjadi state yang diharapkan dan menghasilkan perilaku yang diharapkan.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang NLP Coaching? Memerlukan layanan NLP Coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari NLP Coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.