State, Pikiran Bawah Sadar, Energi & Gejala Masalah
Selesai dengan bahasan state yang menjadi kunci dari respon dan perilaku di artikel ‘State, Faktor Penentu Perilaku Dalam NLP‘ , waktunya kita mulai mengulas lebih dalam dua hal yang menjadi kunci penting dari aktifnya state dalam bahasan kita, yaitu: dari mana state ini terbentuk? Mengapa ada state yang kemudian fungsional dan ada juga yang disfungsional, yang menjadikan kita kelak merespon stimulus dengan kualitas yang berbeda?
Mari kita mulai menjawab pertanyaan penting di atas terlebih dahulu. Untuk itu, sebelumnya perlu kita sadari bahwa state adalah bentuk reaksi internal kita – tak ubahnya sebuah mode – atas stimulus di luar diri kita.
Namun sebelum mengurai bahasan akan pembentukan state dan cara kerjanya kelak dalam diri kita, perlu kita pahami bahwa premis yang kita gunakan di sini adalah premis khas yang digunakan untuk melandasi jalannya pembelajaran yang saya fasilitasi bersama para peserta pelatihan di program yang saya bawakan, sebagai bentuk sintesis dari berbagai teori terapi konvensional dan teknik perubahan modern.
Seperti sudah Anda pelajari di artikel ‘Tinjauan Singkat Berbagai Perspektif Psikoterapi‘ , setiap teknik terapi dan teknik perubahan memiliki premis atau dasar pemikirannya masing-masing, dengan memahami premis itulah maka kita mengembangkan strategi pelaksanaan atau teknik yang sejalan dengan premis tersebut. Begitu juga bahasan kita atas state dalam artikel ini, mengusung premis tersendiri sebagai bentuk analisa ulang atas berbagai teknik yang sudah ada selama ini dan dikemas menjadi sebuah kerangka berpikir yang nantinya akan melahirkan strategi dan teknik penanganan tersendiri.
STATE DAN ENERGI
Landasan pemikiran yang melandasi state dan respon dalam program pembelajaran yang saya bawakan adalah bahwa: “manusia adalah makhluk energi”.
Perlu kita sadari bahwa di balik segala struktur fisik yang nampak di dunia ini, jika struktur fisik itu dipecah sampai ke strukturnya yang terkecil maka kita akan sampai ke struktur terkecil yang dalam Fisika Newton dikenal sebagai atom.
Tapi bukan hanya itu, penelitian terkini dalam Fisika Kuantum memberikan fakta yang lebih menarik, yaitu bahwa di balik struktur atom – yang dulunya dianggap struktur terkecil ini – masih ada struktur penyusun lain yang lebih kecil, yang membentuk keberadaan atom ini, struktur yang lebih kecil inilah yang akhirnya secara sederhana dikenal sebagai energi.
Artinya, manusia adalah makhluk energi, di balik tubuh fisik kita yang nyata ini – yang bisa disentuh dan dikenali secara fisik – jika tubuh fisik ini diurai maka kita akan sampai ke struktur terkecil yang lebih kecil dari atom, yang kita kenal sebagai energi, yang ternyata menyusun keberadaan diri kita.
Tentu bukan hanya manusia, segala makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan pun memiliki struktur energinya masing, dimana energi ini memiliki sifat/karakter dasarnya masing-masing yang kelak menentukan sifat alami dari makhluk yang membawa struktur energi tersebut, sifat alami ini juga yang kelak identik dengan naluri atau insting dasar.
Hewan dan tumbuhan hidup dengan mengikuti naluri alaminya, mereka hidup dan menjalankan perannya sesuai peran keberadaannya karena energi yang membentuk naluri alaminya memang membimbing mereka untuk itu.
Namun berbeda dengan manusia, kita diberikan ‘kehendak bebas’ atau ‘akal’ untuk membuat lebih banyak pilihan, bersama kehendak bebas ini ada nafsu, logika dan juga nurani, karena ada kesemua hal inilah kita menjadi pribadi yang bisa membuat keputusan dan menggunakan kekuatan dari keputusan itu untuk melakukan banyak hal secara berbeda, dibandingkan hewan atau tumbuhan yang mungkin hanya mengikuti naluri alaminya dan melakukan yang memang sudah menjadi bagian dari naluri alaminya itu.
Tapi bersama kehendak bebas ini juga kita menjadi makhluk dengan struktur energi yang lebih kompleks, bukan sekedar mengikuti aliran energi yang membentuk dirinya, manusia juga bisa memanipulasi atau mengarahkan cara kerja dari struktur energinya ini, menjadikan kita pribadi yang – meski dengan naluri alami yang sama – kelak memiliki cara berpikir yang berbeda dalam merespon dan memaknai peristiwa di luar diri kita.
Bisa kita pahami mengapa dalam ajaran agama manusia dikatakan sebagai makhluk paling sempurna, hal ini tidak lepas dari dibekalinya manusia kehendak bebas atau akal, yang menjadikan kita lebih memiliki keleluasaan untuk mengarahkan cara kerja dari medan energi diri kita.
Jika naluri alami dari hewan dan tumbuhan lebih cenderung tergeneralisasi ke dalam aktivitas bertahan hidup dan berkembang biak dan merespon kehidupan berdasarkan naluri dasar tadi, manusia – meski memiliki struktur energi yang membentuk keberadaan naluri yang sama – memiliki struktur energi tambahan yang menjadikan kita memiliki ego dan keinginan, untuk bisa menjalani kehidupan yang lebih baik, lebih kompleks dan terus meningkat kualitasnya dari waktu ke waktu – demi mencari kenyamanan dan menghindari ketidaknyamanan – yang membuat kita merespon kehidupan dengan cara yang berbeda.
Dalam menjalani kehidupan ini kita tentu akan beraktivitas, aktivitas ini hanya kita bagi menjadi dua jenis: (1) aktivitas yang menjadikan kita memperoleh energi, dan (2) aktivitas yang menjadikan kita mengeluarkan energi, dengan melakukan kedua hal itulah kita lalu mengelola sistem energi dalam diri kita untuk menjaga keberlangsungan hidup (naluri) dan meningkatkan kualitas kenyamanan hidup kita (ego).
Sedari kecil, di pengalaman tumbuh kembang yang kita jalani, kita sudah belajar untuk mengelola sistem energi dalam diri agar memadai dan efisien untuk melakukan berbagai aktivitas merespon kehidupan, di balik setiap aktivitas yang kelak kita lakukan kita belajar mengelola dan mengalokasikan medan energi yang kita rasa cukup untuk bisa merespon aktivitas itu dengan fungsional – atau bahkan eksepsional, dalam aktivitas mengelola dan mengalokasikan medan energi inilah terdapat satu hal yang esensial, yaitu: state.
Ya, bersama state yang teraktivasi oleh stimulus/tuntutan peran tertentu di luar diri, terdapat medan energi yang aktif dalam diri sebagai bentuk pengelolaan energi untuk bisa mengimbangi aktivitas tersebut sebaik dan seefisien mungkin.
Disinilah muncul tiga jenis muara dari pengelolaan energi ini:
- Jika medan energi yang kita miliki memadai maka terbentuklah state yang memadai, sehingga kita akan bisa merespon tuntutan peran dengan baik (fungsional).
- Jika medan energi yang kita miliki lebih dari cukup maka terbentuklah state yang lebih dari memadai, medan energi itu memudahkan kita merespon tuntutan peran dengan lebih baik dari seharusnya (eksepsional).
- Jika medan energi yang kita miliki tidak cukup/tidak memadai, maka state yang terbentuk pun tidak memadai, kita jadi tidak bisa merespon tuntutan peran dengan baik (disfungsional), tergantung keparahan dari defisit energi yang kita miliki maka lain juga tingkat disfungsionalnya (semakin defisit, maka semakin kurang kendali diri).
MASALAH PADA ENERGI DAN STATE DISFUNGSIONAL
Stok energi yang memadai menjadikan kita mampu memiliki state yang ideal dan kelak mampu merespon tuntutan peran dengan baik, lalu dari mana stok energi ini terbentuk dan apa yang menjadikan stok energi ini defisit? Pertanyaan itulah yang akan kita ulas di unit kali ini. Ulasan ini juga yang akan mulai menjadi dasar pemahaman kita untuk mengetahui landasan pemahaman di balik sebuah akar permasalahan .
Seperti sudah ditegaskan di bahasan sebelumnya, kadar energi (dan state) yang kita miliki berbanding lurus dengan kadar kendali diri yang kita miliki dalam merespon situasi, semakin besar kadar energi dan state yang kita punya dalam diri kita maka kita akan lebih memiliki kendali diri dalam merespon situasi di luar diri kita dengan respon ideal yang seharusnya, begitu juga sebaliknya, semakin kecil kadar energi yang kita punya dalam diri maka semakin sulit juga kita merespon situasi di luar diri kita dengan respon yang ideal,
Sejauh ini bisa dipahami? Sederhana bukan? Sekarang waktunya kita menggunakan sebuah perumpamaan untuk memahami mekanisme kendali diri ini.
Bayangkan diri Anda belum makan lalu Anda harus melakukan aktivitas berat, apa yang menurut Anda akan terjadi? Ya, kewalahan pastinya, energi dalam diri Anda tidaklah memadai untuk melakukan aktivitas berat itu, cara Anda melakukan aktivitas berat itu akan terhambat oleh tidak memadainya energi dalam diri Anda, sehingga Anda pun tidak bisa melakukannya dengan baik.
Itu baru kalau ‘belum makan’, sekarang bagaimana kalau bahkan ‘kurang gizi’? Bayangkan seseorang yang sepanjang hidupnya kekurangan gizi, seperti apa kondisi fisiknya? Sudah pasti ada kelemahan-kelemahan yang menjadikan dirinya tidak memiliki energi yang memadai, jangankan untuk menjalani aktivitas berat, untuk menjalani aktivitas sehari-hari saja mungkin sudah akan sulit sekali jadinya.
Ilustrasi di atas tadi adalah gambaran sederhana dari bagaimana tidak terpenuhinya kebutuhan fisik mempengaruhi kita untuk menjalankan aktivitas fisik, karena energi fisik yang kita miliki tidaklah memadai untuk membantu kita menjalankan aktivitas itu.
Lalu apa hubungannya dengan kendali diri? Ingat bahwa kendali diri bersumber dari energi dan state, semakin besar stok energi yang kita miliki maka semakin mudah kita bisa mengendalikan diri dalam merespon situasi. Kendali diri dalam perumpamaan tadi adalah cara kita beraktivitas fisik, jika kebutuhan fisik kita terpenuhi dengan baik maka akan lebih mudah kita beraktivitas fisik karena stok energi fisik dalam diri kita pun memadai untuk kita melakukannya.
Jika tadi kita mengilustrasikan kendali diri ini sebagai cara kita menampilkan aktivitas fisik, begitu juga jika kita hubungkan dengan state, kendali diri ini dilambangkan dengan cara kita mengendalikan state kita, untuk bisa menampilkan respon yang ideal, yang sesuai dengan tuntutan situasi yang kita sedang lalui.
Tadi ada perumpamaan ketika kita belum makan maka kita sulit beraktivitas berat, dalam hubungannya dengan psikis, ini yang terjadi ketika kita belum siap atau sedang dalam mode berpikir yang tidak tepat – sedang bad mood karena baru mengalami peristiwa yang tidak mengenakkan misalnya. Ketika merespon sebuah tuntutan situasi kita jadi tidak siap dan tidak mampu menampilkan respon yang seharusnya, semata karena kita tidak siap, sama seperti ketika belum makan.
Dalam kondisi siap, bisa jadi kita seharusnya tidak terlalu banyak terkendala oleh situasi yang kita alami tadi, hanya saja ketidaksiapan itu yang menjadikan prosesnya bermasalah.
Lain dengan yang ‘kurang gizi’, yang satu ini siap atau tidak siap tetap saja kendala utamanya terletak pada tidak tersedianya stok gizi atau energi yang memadai karena sepanjang hidup memang gizi itu kurang, atau tidak didapat sebagaimana seharusnya, upaya perbaikan kondisi yang satu ini tentu akan jauh berbeda, ‘perbaikan gizi’ harus dilakukan dulu di awal sebelum nantinya menyiapkan diri untuk menjalani aktivitas-aktivitas berat yang memang disiapkan untuk itu.
Dalam hubungannya dengan psikis, apa maksud dari ‘kebutuhan gizi’ ini?
Sama saja, yaitu yang kita perlukan secara psikis, atau bahasa sederhana yang sering saya gunakan adalah ‘kebutuhan emosi’.
Kita semua memiliki dua jenis kebutuhan, yaitu: kebutuhan fisik dan kebutuhan emosi, ketika kebutuhan ini terpenuhi dengan baik maka memadai juga kemampuan kita untuk menjalankan aktivitas yang mensyaratkan energi fisik atau energi psikis dengan jumlah tertentu, ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka wajar jika kita menjadi tidak mampu menjalankan aktivitas yang memerlukan energi fisik atau psikis itu, karena memang energi itu tidak kita miliki.
Membicarakan kebutuhan fisik, jelas berhubungan dengan gizi secara fisik, yang kita peroleh dari makanan, sinar matahari dan hal lainnya yang bersifat fisik. Lain dengan kebutuhan emosi, semua ini berupa pengalaman yang bersifat emosional.
Sebagai manusia kita memiliki kebutuhan emosi dasar yang jika terpenuhi menjadikan kita lebih mampu memegang kendali atas respon pemikiran, perasaan dan perilaku kita. Meski selalu kita butuhkan sepanjang waktu, kebutuhan emosi ini utamanya kita perlukan sewaktu kecil, jika seseorang mendapatkan kebutuhan emosi yang memadai di waktu kecil sampai usia remaja (sekitar 14 tahun), maka stok energi yang terbentuk dari usia remaja itu akan mampu mengisi dirinya sendiri dengan lebih mandiri nantinya.
Seperti ilustrasi accumulator dalam mobil, di awal ia perlu diisi sampai penuh, tapi setelah penuh dan dimasukkan dalam mobil, lalu mobil dinyalakan maka ia akan menghidupi mobil sambil juga mengisi energi dirinya sendiri.
Persis seperti ilustrasi tumbuh-kembang anak dari kecil sampai dewasa, jika kebutuhan gizinya di waktu kecil tidak terpenuhi maka hal ini jelas akan mempengaruhi caranya bertumbuh dewasa dan kemampuannya menjalankan segala aktivitasnya. Begitu juga jika kebutuhan nutrisi emosi dasar ini tidak terpenuhi dengan baik maka sakit juga energi psikis dalam diri seseorang, yang akan mempengaruhinya untuk kurang memiliki kendali diri yang baik dalam mengelola state dan responnya.
SUMBATAN ENERGI, TRAUMA PADA STATE DAN GEJALA
Kita mengenal Hukum Kekekalan Energi berbunyi, “Energi tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan, ia hanya berubah bentuk dari satu bentuk ke bentuk lainnya.”
Dalam kehidupan ini energi harus terus bergerak dan mengalir, ketika energi tidak bergerak maka ia akan macet (stuck), macetnya aliran energi inilah yang menyebabkan ‘gangguan’ pada sistem energi yang ada.
Hal yang sama berlaku pada sistem energi diri kita, sistem pengobatan tradisional Cina kuno mengenal konsep meridian, saluran yang mengalirkan energi dalam diri kita sehingga energi dapat bergerak dan mengalir dalam tubuh.
Setiap titik meridian terhubung dengan sistem organ, misalnya meridian perut, meridian paru, meridian ginjal dan lainnya, keseluruhan titik meridian ini bergabung dan membentuk sistem, antara satu titik dengan titik lainnya sambung-menyambung sehingga aliran energi ini mengalir dalam sebuah sistem yang lebih utuh dan terintegrasi secara fisik dan psikis.
Blueprint sistem energi manusia tercipta dengan fungsi alami untuk menjaga dan membangun kesehatannya sendiri, kita mengenal fungsi ini sebagai fungsi homeostasis, dan allostasis, ketika kita sakit maka tubuh memiliki naluri alami untuk menjalankan fungsinya dan membebaskan diri kita dari penyakit tersebut, yaitu dengan mengatur ulang dan menyeimbangkan regulasi energi dalam meridian kita, namun disinilah seringkali fungsi regulasi energi ini macet karena adanya sumbatan di dalam meridian.
Sebagai manusia yang menjalani kehidupan sosial dengan dunia sekitar, energi tubuh ini terus berinteraksi dengan energi di sekitar kita, dalam proses interaksi ini selalu ada berbagai kemungkinan yang membuat kita mengalami kejadian-kejadian yang membuat keseimbangan energi tubuh ini terganggu, baik itu yang bermula dari gaya hidup yang tidak sehat, cuaca yang buruk, virus atau penyakit dari luar, kecelakaan atau hal lainnya, secara fisik gangguan-gangguan ini menyebabkan terjadinya sumbatan dalam meridian.
Namun demikian, perlu kita ketahui bahwa meridian juga adalah jalur energi yang menghubungkan sistem kesehatan fisik dan psikis, Sama halnya dengan kejadian dimana gangguan pada tubuh fisik menyebabkan sumbatan energi di meridian, maka gangguan pada psikis juga akan menyebabkan sumbatan pada meridian, yang menyebabkan energi tidak bisa mengalir lancar.
Gangguan pada sistem energi yang dominan mempengaruhi fisik akan menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik, begitu juga gangguan pada sistem energi yang dominan mempengaruhi psikis akan menyebabkan gangguan pada kesehatan psikis, namun bisa juga yang terjadi adalah gangguan pada kesehatan fisik mempengaruhi psikis atau begitu juga sebaliknya, gangguan pada kesehatan psikis mempengaruhi fisik, yang dalam dunia Medis disebut psikosomatis dan dalam dunia Psikologi disebut somatisasi.
Kembali pada pemahaman dasar tentang state, di balik aktifnya sebuah state dalam merespon situasi ada sistem energi tertentu yang sedang aktif di meridian, jika sistem energi yang aktif di meridian memadai maka state yang terbentuk pun memadai, tapi jika sistem energi yang aktif tidak memadai – baik karena faktor/sebab apa pun – maka state yang terbentuk pun lemah dan tidak memadai digunakan untuk merespon situasi
Sistem energi yang aktif dalam diri untuk merespon situasi diwakili oleh state spesifik, yang berarti sistem energi yang aktif pun adalah sistem energi spesifik. Lain kebutuhan untuk direspon di luar diri kita, maka lain juga kriteria state yang diperlukan dan lain juga sistem energi yang diaktifkan dari state itu.
Karena state dan sistem energi yang aktif merespon tak ubahnya sebuah ‘mode’, bisa kita bayangkan bahwa dalam diri kita terdapat banyak sekali mode energi dengan fungsi spesifiknya masing-masing untuk merespon situasi spesifik juga nantinya.
Setiap state dan sistem energi terbentuk dengan membawa rekam jejak peristiwanya masing-masing yang pernah mengaktifkannya, bisa saja yang terjadi adalah:
- Sebuah sistem energi spesifik selalu aktif, dengan state spesifik yang aktif, di situasi spesifik yang kadarnya masih bisa direspon dengan baik, maka state yang terbentuk di situasi ini terjaga ideal untuk bisa merespon situasi itu dengan baik, hal ini bisa kita dapati dalam berbagai aktivitas harian yang bisa kita lakukan dengan baik (fungsional).
- Sebuah sistem energi spesifik selalu aktif, dengan state spesifik yang aktif, di situasi spesifik yang kadarnya cukup menantang tapi dengan perjuangan akhirnya bisa direspon dengan baik, maka state yang terbentuk di situasi ini lebih terlatih untuk bisa merespon situasi itu dengan lebih baik, bahkan lebih baik dibandingkan orang lain pada umumnya (eksepsional).
- Sebuah sistem energi spesifik aktif, dengan state spesifik yang aktif, di situasi spesifik yang kadarnya terlalu berat dan tidak terduga, yang menyebabkan state yang aktif di situasi itu kewalahan dan bahkan merekam kejadian itu sebagai kejadian traumatis, lalu terjadilah sumbatan pada meridian spesifik yang aktif di situasi tersebut, ketika di masa depan dihadapkan dengan kejadian sejenis (atau pun dirasa sejenis) maka state yang trauma dan kewalahan itulah yang teraktivasi, dengan meridian yang tersumbat, dan sistem energi yang macet, akhirnya muncullan gejala ketidakmampuan dalam merespon situasi (disfungsional).
Dari segi kondisi/kesehatan fisik, karena dalam setiap waktu yang kita lalui selalu ada state yang aktif, yang menjadi acuan dari mode berpikir dan berperilaku kita dalam menjalani situasi spesifik tersebut, maka selalu ada meridian yang aktif di setiap situasi yang kita jalani, maka:
- Jika ada satu state tertentu yang terbentuk dengan banyak muatan trauma atau luka batin yang menyumbat meridian dan – tanpa disadari – state itu sering teraktivasi (karena stres misalnya), maka state itu akan cukup sering muncul beserta dengan sumbatan pada meridian yang disebabkannya, semakin sering state itu muncul dan terus-menerus menyebabkan sumbatan maka kondisi fisik akan menurun karenanya, maka kondisi sakit-sakitan pun mulai lebih sering terjadi.
- Jika ada banyak state yang terbentuk dengan banyak muatan trauma atau luka batin yang menyumbat meridian dan – tanpa disadari – banyak dari state itu ternyata sering teraktivasi (karena stres misalnya), maka akumulasi dari kemunculan state itu beserta dengan sumbatan pada meridian yang disebabkannya, juga akan menyebabkan kondisi fisik menurun karenanya.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang coaching, konseling dan/atau psikoterapi? Memerlukan layanan coaching, konseling dan/atau psikoterapi untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari coaching, konseling dan/atau psikoterapi secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.