Teknik Mapping Across Dalam NLP
Daftar Isi
Bagi Anda yang menekuni dunia hipnosis-hipnoterapi dan terus memperdalam keilmuan ini untuk semakin melengkapi khazanah pengetahuan serta keahlian Anda, agaknya hanya soal waktu sebelum pada akhirnya Anda juga akan diajak berkenalan dengan sebuah keilmuan yang disebut Neuro-Linguistic Programming (NLP).
Meski NLP bukanlah secara langsung merupakan bagian dari hipnoterapi, tetap saja NLP memiliki peririsan yang sangat dekat dengan proses hipnosis dan hipnoterapi.
Apa pasal dikatakan “NLP bukan bagian dari hipnoterapi”? Karena memang NLP memiliki paradigmanya sendiri dalam memandang cara berpikir dan berperilaku manusia, yang dalam beberapa hal tidak sepenuhnya sama dengan hipnoterapi.
Perbedaan ini tidak serta-merta menjadikan keduanya seolah dua keilmuan yang tidak berhubungan. Mereka yang sudah memahami esensi dari keduanya justru akan mendapati bahwa apa yang dibahas dalam NLP melengkapi apa yang dibahas dalam hipnoterapi, dan begitu juga sebaliknya.
Dalam praktiknya, terdapat beberapa teknik NLP yang kerap dipakai dalam proses hipnosis-hipnoterapi, seperti SWISH! Pattern, yang dipraktikkan untuk mendesain respon baru secara instan dengan mendayagunakan prinsip neuro-plasticity; Six Steps Reframing, yang praktiknya mengusung prinsip yang serupa dengan Parts Therapy; New Behavior Generator dan Deep Trance Identification, yang sering dipakai untuk melakukan proses modeling atau mengadaptasi perilaku dan keahlian tertentu secara lebih cepat di pikiran bawah sadar; Perceptual Position, yang praktiknya serupa dengan teknik Gestalt dalam hipnoterapi; dan banyak lagi teknik lainnya, yang tentunya sudah mengalami penyesuaian agar teknik itu bisa dipakai dalam proses hipnosis-hipnoterapi.
Mengapa dikatakan “mengalami penyesuaian”? Karena terdapat perbedaan kerangka kerja dalam NLP dan hipnoterapi, yang menjadikan kita perlu melakukan penyesuaian pada satu teknik di satu keilmuan, agar ia bisa dipraktikkan di keilmuan satunya.
Tulisan ini sebenarnya secara khusus dibuat untuk membahas teknik Mapping Accros dalam NLP dan praktiknya dalam sesi terapi atau konseling, khususnya untuk membantu seseorang mengubah keyakinan yang membatasi (limiting belief), menjadi lebih memberdayakan dan membantu seseorang untuk bisa mewujudkan harapan-pencapaiannya, tapi sebelum memasuki bahasan itu tentunya kita perlu mengulas terlebih dahulu apa saja prinsip dan teknik yang melandasai kerangka kerja NLP dan hipnoterapi, agar nantinya kita bisa memahami cara kerja dari Mapping Across ini secara komprehensif.
PERIRISAN NLP DAN HIPNOTERAPI: PIKIRAN BAWAH SADAR
Seperti dikatakan sebelumnya, NLP dan hipnoterapi memiliki peririsan yang cukup menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, namun dari mana peririsan ini bermula?
Pertanyaan ini mau tidak mau akan mengajak kita meninjau ulang sejarah NLP dimana dalam penyusunannya dulu Richard Bandler dan John Grinder mempelajari pola-pola komunikasi hipnotik yang dikembangkan Milton H. Erickson, seorang hipnoterapis legendaris dunia.
Berdasarkan pengamatan mereka atas cara kerja Erickson inilah akhirnya NLP mengadaptasi rangkaian prinsip dan teknik yang mendayagunakan kondisi hipnosis untuk mengefektifkan perubahan dalam diri seseorang, dimana nantinya dalam NLP pembelajaran ini mensayratkan kurikulum tersendiri.
Disinilah satu kesamaan pertama antara NLP dan hipnoterapi terbentuk, yaitu bahwa di balik segala permahan pemikiran dan perilaku yang seseorang alami, pastilah tersimpan sebab yang melatarinya, dimana penyebab masalah ini tersimpan di level yang tidak disadari (unconscious), yang menjadikan mereka yang mengalami permasalahan ini tidak kuasa mengubah pemikiran dan perilaku itu begitu saja, karena sebab atau struktur dari masalah itu terbentuk di level yang lebih dalam dan tidak disadari, dengan kata lain: pikiran bawah sadar.
Ya, baik NLP atau hipnoterapi sama-sama memiliki paradigma yang memandang pikiran bawah sadar sebagai tempat dimana program penyebab pemikiran dan perilaku seseorang tersimpan.
PARADIGMA ATAS PIKIRAN BAWAH SADAR DAN PERILAKU
Baik NLP atau hipnoterapi, sama-sama memandang pikiran bawah sadar sebagai sumber dan penyebab yang melatari pemikiran dan perilaku tertentu, sampai sejauh ini jelas kiranya.
Yang cukup membedakan keduanya adalah dalam hipnoterapi “isi” dari pikiran bawah sadar ini dipetakan sebagai “program”, jika pikiran kita ini diibarakan sebuah komputer maka komputer ini berisikan berbagai program yang kemudian menjadi sistem operasi komputer ini.
Dalam hipnoterapi, permasalahan terjadi karena adanya program masa lalu yang tersimpan di pikiran bawah sadar yang berkonflik dengan kepentingan sadar masa kini.
Contoh paling umum yang bisa kita pahami dalam hal ini ada pada seseorang yang ketika kecil terprogram bahwa perilaku tertentu (misalnya berjudi) baik adanya, program ini sendiri bisa ia dapati dari melihat orang lain atau lingkungan yang melakukan hal itu sehingga ia memandangnya sebagai hal yang wajar, atau bahkan ia juga melakukan perilaku itu sendiri dan merasakan kenyamanan dari perilaku itu sehingga memandangnya sebagai hal baik.
Ketika di kemudian hari orang ini menyadari bahwa perilaku itu adalah perilaku negatif dan ia coba menghentikannya, mulailah ia menemui kesulitan, karena program yang membentuk perilaku itu di pikiran bawah sadar tidak bisa dihentikan begitu saja, program itu tetap mengendalikan perilakunya, sementara ia sendiri (yang secara sadar menyadari hal itu salah) tidak bisa menghentikan perilaku itu.
Mengenai bagaimana nantinya program di pikiran bawah sadar ini termanifestasi menjadi perilaku, akan ada paradigma yang lebih spesifik nantinya dalam setiap “aliran” yang ada dalam hipnoterapi.
Ya, bahkan hipnoterapi sendiri memiliki beberapa aliran di dalamnya, dengan paradigmanya masing-masing, yang menjadikan setiap aliran ini memiliki kerangka kerja yang berbeda juga.
Sementara itu, dalam NLP cara kerja dari pikiran bawah sadar ini dipetakan menjadi sebuah mekanisme dan struktur.
Dikatakan sebagai “struktur”, karena NLP “membedah” proses yang menyertai kemunculan sebuah perilaku dan pemikiran, menjadi proses demi proses lain yang lebih kecil, dimana nantinya setelah keseluruhan struktur itu diurai dan kita menemukan struktur paling utama yang menjadi penyebab dari munculnya masalah, maka teknik NLP akan diterapkan untuk memodifikasi struktur itu, dengan dirubahnya struktur ini maka seharusnya berubah juga respon pemikiran dan perilaku seseorang yang disebabkannya.
STATE, STRUKTUR UTAMA PEMBENTUK PEMIKIRAN DAN PERILAKU DALAM NLP
Dalam NLP, struktur utama yang membentuk pemikiran dan perilaku disebut sebagai state.
Tidak ada terjemahan spesifik untuk state ini dalam Bahasa Indonesia, saya lebih suka menyebutnya sebuah kondisi fisik-mental-emosional (tulisan tentang state ini pernah saya bahas di salah satu artikel saya yang berjudul “State, Faktor Penentu Perilaku Dlaam NLP”, silakan menemukan uraian lebih mendetailnya di artikel itu).
State dikatakan sebagagai struktur utama karena ia merupakan “corong” yang secara langsung melahirkan pemikiran dan perilaku.
Tapi state tidak muncul begitu saja tanpa sebab, ia tersusun atas struktur lain yang lebih kecil lagi, yaitu fisiologi dan internal representation.
Internal representation inilah yang kemudian berisikan struktur-struktur lain yang lebih kecil lagi, yang pada akhirnya membentuk keberadaan sebuah state.
Salah satu penyusun internal representation adalah yang kita sebut sebagai submodality, dimana teknik mengakses dan memodifikasi submodality inilah yang menjadi kunci dari berbagai teknik yang ada dalam NLP.
Tulisan tentang submodality ini pernah saya tulis juga di artikel yang berjudul “Mengenal Konsep Submodality Dalam NLP”, silakan menemukan juga uraian lebih mendetailnya di artikel itu.
SUBMODALITY & MAPPING ACCROSS
Berbagai teknik yang ada dalam NLP utamanya ditujukan untuk melakukan perubahan pada struktur submodality, semata agar struktur state yang dibentuknya berubah dan perubahan pada state ini ikut mempengaruhi perubahan pada pemikiran dan perilaku seseorang.
Terdapat banyak teknik untuk mengubah submodality ini, lain jenis kebutuhan perubahan submodality yang dipersyaratkan maka lain juga teknik yang diperuntukkan untuk melakukannya.
Salah satu teknik yang digunakan untuk memodifikasi submodality ini adalah mapping across.
Mapping across, secara mendasar adalah proses mengubah struktur submodality, dimana satu submodality yang berada di struktur tertentu dirubah mengikuti struktur submodality lain agar strukturnya mengikuti struktur dari submodality yang diinginkan dan menghasilkan respon yang serupa dengan submodality yang diinginkan.
Misalnya saja, seseorang yang tidak suka makan makanan tertentu dan ingin bisa menyukai makanan itu, karena ingin hidup sehat misalnya.
Karena dalam NLP segala pemikiran dan perilaku dipandang memiliki submodality, maka untuk membantu orang ini pertama-tama kita mengidentifikasi keberadaan dari submodality yang tidak menyukai makanan itu, setelah struktur dari submodality itu teridentifikasi kita lalu memunculkan submodality lain yang sangat suka makan makanan tertentu.
Sekarang sudah ada dua struktur submodality: (1) yang tidak suka, dan (2) yang sangat suka.
Disinilah submodality yang tidak suka makanan itu dirubah strukturnya, mengikuti struktur submodality yang sangat suka makanan tertentu, perubahan ini diharapkan mengubah hasil dari state yang dihasilkan submodality itu dan mengubah respon pemikiran serta perilaku yang diwakilinya.
PENGGUNAAN MAPPING ACROSS
Apakah mapping across efektif? Pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan “ya” atau “tidak” begitu saja, karena ada banyak variabel yang akan menentukan efektivitas sebuah teknik, salah satunya yaitu kecakapan dari praktisi yang mempraktikkannya.
Saya bukan dalam posisi menegaskan mapping across efektif atau tidak, melainkan menuangkan pandangan dan pengalaman saya akan hal-hal yang mempengaruhi efektivitasnya, karena pengamatan ini berdasar dari pengalaman pembelajaran dan praktik maka jelas hal ini tidak mewakili pandangan yang valid akan efektivitas mapping across, tapi paling tidak, semoga hal ini bisa menambah sudut pandang tersendiri bagi Anda.
Pengamatan ini saya tuangkan ke dalam dua aspek: keamanan dan efektivitas.
Pertama, yaitu keamanan.
Mapping across termasuk teknik yang tidak cocok digunakan untuk mengubah pemikiran dan perilaku yang berhubungan dengan emosi intens, apalagi masalah yang dialami berhubungan dengan respon emosional yang intens, seperti fobia, trauma, kecemasan, kesedihan mendalam, dan sejenisnya.
Pemahaman yang satu ini bukan muncul dalam NLP begitu saja, melainkan dalam Parts Therapy.
Dalam Parts Therapy kita meyakini bahwa keberadaan emosi intens melambangkan adanya keberadaan personality parts yang memerlukan resolusi.
Ketika sebuah submodality dalam NLP dimunculkan, sebenarnya submodality itu juga mewakili keberadaan dari personality parts.
“Setiap emosi perlu ekspresi,” ketika submodality (dan personality parts) itu “dirubah” begitu saja strukturnya tanpa mengekspresikan emosi yang menyertainya maka hal ini tidaklah elok dan etis bagi personality parts yang memerlukan resolusi itu, ada muatan energi yang tidak terekspresikan karenanya, muatan energi yang tidak terekspresikan inilah yang dikhawatirkan “terkonversi” menjadi gejala masalah lain di kemudian hari, tidak ubahnya “api dalam sekam”.
Yang kedua, dari segi efektivitas, saya mendapati mapping across lebih efektif digunakan untuk situasi:
- Masalah klien bukan masalah yang dilatari emosi intens, lebih kepada masalah yang dilatari pemikiran, seperti keyakinan yang membatasi, yang terbentuk dari imprint atau limiting decision.
- Klien memiliki motivasi yang kuat untuk mengubah pemikiran dan perilakunya.
Saya pribadi lebih sering menggunakan mapping across untuk mengubah limiting belief, menjadi resourceful belief, atau menetralisir keyakinan yang membatasi dan membantu klien meng-install keyakinan yang memberdayakan.
Sebelum cara ini dilakukan, terdapat ragam proses assessment yang harus dilakukan untuk menegaskan bahwa masalah klien bukanlah masalah yang berhubungan dengan emosi terpendam, ada satu saja indikasi bahwa masalah klien kemungkinan dilatari oleh emosi intens maka teknik ini tidak layak dilakukan.
Setelah kondisi klien dipastikan aman, barulah mapping across dilakukan pada limiting belief yang akan dilemahkan, yaitu dengan memunculkan submodality dari limiting belief yang menghambat, lalu memunculkan submodality dari keyakinan lama dalam diri klien yang tidak lagi klien yakini (keyakinan masa kanak-kanak yang sudah “usang” dan tidak lagi mempengaruhi klien), disinilah submodality dari limiting belief ini dirubah strukturnya mengikuti submodality dari keyakinan yang sudah “usang” itu, agar limiting belief itu ikut “usang” dan tidak lagi mempengaruhi klien.
Berikutnya klien diajak memunculkan submodality dari keyakinan baru yang ingin diadaptasinya, yang lebih memberdayakan, untuk mencapai harapan dan tujuannya, dan diajak memunculkan submodality dari sebuah keyakinan yang sangat-sangat klien yakini bahwa hal itu mutlak dan absolut benar adanya, submodality dari keyakinan baru itu lalu dirubah menyesuaikan struktur dari submodality dari keyakinan absolut itu, lalu “dikunci”, sehingga mulai saat itu dan seterusnya keyakinan baru yang memberdayakan itulah yang akan bekerja dalam diri klien.
Keseluruhan proses ini sendiri lebih umum dikenal sebagai “Belief Change Process” dalam NLP.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang NLP Coaching? Memerlukan layanan NLP Coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari NLP Coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.