Terbentuknya World Model Dalam NLP
Daftar Isi
Di artikel sebelumnya, ‘State, Faktor Penentu Perilaku Dalam NLP‘, kita sudah mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa efektivitas diri adalah tentang bagaimana seseorang bisa berada di state yang tepat di waktu dan tempat yang tepat.
Sebagaimana state terbentuk dari fisiologi dan Internal Representation atau biasa disebut juga World Model (‘model dunia’, atau tepatnya: cara kita memandang dunia), maka hendaknya kita menyadari bahwa mengubah fisiologi termasuk hal yang bisa dilakukan dengan cepat dan spontan untuk bisa mendapatkan state yang diperlukan.
Namun sebagaimana sebuah NLP Presupposition berbunyi: “Setiap perubahan haruslah terjadi secara utuh dan integratif untuk mendapatkan hasil optimal”, dalam hal ini perubahan fisiologi yang dilakukan untuk mendapatkan state yang tepat haruslah juga didukung dengan adanya Worl Model yang sesuai, dalam hal inilah modifikasi Worl Model justru sering kali memerlukan waktu tersendiri, karena ia harus dirubah di strukturnya yang terdalam untuk mendapatkan hasil yang optimal dan bisa bertahan lama sebagai sebuah kebiasaan baru.
Mari kita bahas contohnya, sebut saja seseorang yang mengalami permasalahan gugup untuk bisa tampil berbicara di depan orang banyak. Ia lalu mengamati fisiologi seorang pembicara hebat dan memutuskan untuk meniru fisiologi pembicara itu di panggung, apakah ia bisa serta-merta mendapatkan kepercayaan diri untuk berbicara dengan baik?
Berdasarkan pengalaman saya dalam berhadapan dengan kasus seperti ini, dalam hal ini mengubah fisiologi memang menghasilkan state yang berbeda – tidak segugup seperti sebelumnya – namun tidak serta-merta menghasilkan state yang efektif seperti percaya diri atau prima.
Selain karena keahlian dan kebiasaan untuk itu belum terbangun, juga karena isi dariWorl Model belum berubah, dalam hal ini yaitu makna dan keyakinan tentang berbicara di depan umum, ditambah lagi adanya memori masa lalu tentang pengalaman tampil di depan umum, baru ketika Worl Model ini turut berubahlah maka state yang efektif bisa terakses dengan lebih baik.
Membicarakan Worl Model secara langsung mengajak kita menyelami dan mengenali kebiasaan berpikir otomatis atau biasa dikenal sebagai automatic thought atau ‘respon otomatis pemikiran’.
Sebut saja pada kasus seseorang yang kesulitan tampil berbicara di depan publik, jika kita gali lebih dalam akan muncul lapisan demi lapisan persepsi dan keyakinan yang berhubungan dengan konsep diri (cara memandang diri sendiri, yang berhubungan dengan kepercayaan diri) atau persepsi dan keyakinan tentang tampil berbicara di depan publik dimana bisa saja justru ragam isi persepsi dan keyakinan itulah yang menghambatnya untuk tampil prima, namun demikian lapisan persepsi dan keyakinan yang memenuhi Worl Model inilah yang justru muncul secara otomatis ketika ia tampil di depan publik, ketika ini terjadi maka mengubah fisiologi saja menjadi tidak cukup karena bobot hambatan dari Worl Model cukup intens.
World Model tersusun atas rangkaian Map atau ‘peta berpikir’ yang kemudian membentuk model dunia yang lebih utuh, Map terbentuk dari rangkaian pengalaman dan pemaknaan masa lalu yang kemudian menjadi tolak ukur kita dalam menilai dan merespon pengalaman lanjutan yang kita alami sesudahnya.
Sebagaimana kita bukan merespon dunia di luar diri kita, melainkan dunia di dalam diri kita (World Model), maka demikianlah peranan Map. Apa yang ada di dalamnya tidak mewakili dunia luar yang sebenarnya, melainkan persepsi kita tentang dunia di luar diri kita, dalam NLP hal ini disebutkan di sebuah Presupposition yang berbunyi ‘Peta bukanlah wilayah sebenarnya’.
Map setiap orang bersifat unik dan pribadi adanya, tidak akan pernah ada dua orang yang memiliki Map yang persis sama adanya, maka itu yang perlu kita pahami adalah mekanisme atau cara kerja Map ini dan pengaruhnya bagi efektivitas diri seseorang.
TERBENTUKNYA PETA DAN RESPON
“Manusia merespon peta realitanya dan bukan realita itu sendiri.”
– NLP Presupposition
Jika Map memegang peranan penting di balik sebuah State, lalu bukankah pertanyaannya adalah dari mana Map ini terbentuk? Pemahaman Tabula Rasa memandang bahwa manusia terlahir polos tanpa adanya pemikiran apa pun dan mengadaptasi pemikiran tertentu dalam dirinya berdasarkan pengalaman yang dilaluinya, pemahaman yang sama kurang lebih melandasi proses terbentuknya Map dalam NLP.
Kita mengadaptasi pemikiran yang di kemudian hari menjadi sistem pemikiran kita berlandaskan apa yang kita alami, setiap peristiwa yang kita lalui membentuk ‘keping-keping’ informasi yang kemudian membentuk Map yang lebih utuh dalam diri kita, semua ini terjadi secara alami sejak kecil sampai saat ini, proses pembentukan Map ini tidak pernah berhenti dan terus berevolusi seiring dengan masuknya berbagai pengalaman baru.
Manusia merespon realita di luar dirinya berdasarkan isi Map-nya di saat itu, hal inilah yang membuat seseorang bisa merespon sebuah situasi yang sama dengan cara yang berbeda di waktu yang berbeda, karena isi Map-nya pun sudah berbeda.
Perlu kita sadari bahwa memodifikasi Map ini akan berdampak pada termodifikasinya juga state.
Seorang klien saya memiliki masalah untuk tampil dan berbicara di depan publik, padahal ia menguasai materi dengan baik dan memahami dasar-dasar public speaking yang baik, ia sendiri heran mengapa dirinya tidak bisa merasa nyaman berbicara di depan umum, intensitas state tidak nyaman berbicara yang dirasakannya mengganggunya ketika berbicara.
Proses demi proses coaching dilakukan, selidik punya selidik terungkaplah berbagai lapisan dalam Map-nya yang menyiratkan persepsi dan keyakinan yang berkonflik dalam dirinya mengenai public speaking. Tanpa disadarinya ia meletakkan makna bahwa tujuan utama public speaking adalah ‘untuk membuat audiens terkesan’, sementara ia sendiri merasa dirinya adalah pembicara yang biasa-biasa saja dan tidak tahu cara mengesankan audiens.
Dengan sedikit proses changeworks singkat, ia diajak meletakkan makna baru bahwa public speaking adalah tentang ‘memahami dan menyampaikan informasi pada pendengarnya dengan baik’, bukan semata soal mengesankan mereka.
Hanya dengan mengganti makna melalui cara sederhana seperti ini saja ia langsung bisa merasakan perubahan signifikan dalam caranya memandang public speaking, secara bertahap state nyaman untuk berbicara di depan umum semakin lebih mudah terbangun baginya dan ia lebih bisa menikmati tampil di depan umum.
Bagaimana mungkin perubahan state bisa terjadi sedemikian efektif hanya dengan mengubah makna tentang hal-hal mendasar? Ingatlah bahwa isi Map menentukan pemikiran otomatis yang muncul di sebuah konteks dan membentuk state .
Dalam proses sebelumnya, klien saya terjebak Map-nya sendiri bahwa ‘berbicara di depan umum adalah untuk mengesankan mereka’, sementara ia sendiri tidak menyukai hal itu dan bukan tipikal pembicara seperti itu, maka wajar jika terjadi konflik internal dalam dirinya yang berujung pada munculnya state tidak nyaman.
Ketika makna ‘berbicara di depan umum adalah untuk mengesankan audiens’ berganti menjadi makna baru bahwa ‘berbicara di depan umum adalah untuk menyampaikan informasi dengan baik’, ada rasa keselarasan dalam dirinya yang merasa nyaman dengan makna tersebut ditambah lagi ia sendiri memang pada dasarnya memiliki keahlian untuk itu, maka muncullah state nyaman sebagai ganti respon baru.
Sejak kita lahir ke dunia, proses pembentukan Map dalam diri sudah dimulai dari identifikasi lingkungan, yaitu melalui pola asuh dan situasi lingkungan tempat kita bertumbuh. Kita menyerap informasi dari luar diri kita dan menyimpannya sebagai Map atau data base untuk kelak diakses kembali ketika merespon situasi berikutnya, informasi ini diserap dan diproses menjadi Map melalui lima panca indera kita, yaitu:
- Visual: indera penglihatan, dimana kita melihat informasi di luar diri kita lalu menyimpannya sebagai memori bayangan atau gambaran.
- Auditory: indera pendengaran, dimana kita mendengar informasi di luar diri kita lalu menyimpannya sebagai memori suara, informasi Auditory ini juga kelak bisa terakses dalam bentuk memori akan suara dari stimulus informasi masa lalu yang didengar tersebut atau sebagai suara internal (self talk).
- Kinesthetic: indera sentuhan dan perasaan, dimana kita menyerap informasi berupa pengalaman fisik/ragawi dari luar diri kita lalu menyimpannya dalam bentuk memori akan sensasi fisik, informasi Kinesthetic ini juga kelak bisa terakses dalam bentuk memori akan sensasi fisik atau perasaan.
- Olfactory: indera penciuman, dimana kita menyerap informasi berupa bau atau wewangian dari luar diri kita lalu menyimpannya dalam bentuk memori akan bau.
- Gustatory: indera pengecap, dimana kita menyerap informasi berupa cita rasa yang kita kecap di mulut kita lalu menyimpannya dalam bentuk memori atas cita rasa.
Kelima panca indera yang menjadi jalur penyerapan informasi dari luar diri ini dalam NLP disebut sebagai Representational System, yang dalam prakteknya sering disingkat sebagai V.A.K.O.G (singkatan dari Visual, Auditory, Kinesthetic, Olfactory & Gustatory), namun dalam prakteknya Representational System Olfactory dan Gustatory tidak terlalu sering diakses secara sengaja, maka kelak singkatan ini lebih sering disingkat sebagai VAK (Visual, Auditory & Kinesthetic).
Informasi yang diterima oleh Representational System dari lingkungan tempat kita bertumbuh inilah yang kelak menjadi Map dan menjadi acuan untuk terbentuknya state dan perilaku.
INTERNAL PROCESSING FILTER
Ada begitu banyak asupan informasi yang diserap Representational System dari lingkungan sebelum kelak menjadi Map, jika semua informasi itu kita serap pikiran kita tidak akan kuat menahan semua asupan itu, maka pikiran kita menjalankan fungsi dasar untuk menyaring informasi tersebut, yang dikenal sebagai Internal Processing Filter, atau bisa diartikan sebagai ‘filter pemrosesan internal’, yang terdiri atas 3 hal:
DELETION
Merupakan cara kerja filter pemrosesan internal untuk menghapus (delete) sebagian informasi yang kita terima, sehingga informasi itu menjadi tidak sepenuhnya utuh sebagaimana realita yang terjadi.
Dalam proses awal pembentukan Map, proses penghapusan ini terjadi secara alami begitu saja, bergantung pada kesiagaan dan daya tangkap Representational System ketika informasi itu masuk. Seiring berjalannya waktu proses Deletion terjadi secara lebih selektif, bergantung pada preferensi atas apa yang sudah kita yakini penting.
Ya, kita akan fokus menyerap informasi yang kita anggap penting sesuai kriteria kepentingan pribadi kita, informasi lain yang dianggap kurang penting akan dihapus agar tidak membebani cara kerja pikiran kita dalam memprosesnya.
DISTORTION
Cara kerja filter pemrosesan internal untuk menciptakan makna sendiri atas informasi yang diterima dari luar dengan berdasarkan informasi yang sudah terlanjur ada di dalam Map, meski bisa jadi makna ini tidak sejalan dengan realita yang berlaku di luar.
Contohnya saja seseorang yang pernah dimarahi dengan nada suara tertentu, ketika di kemudian hari ia bertemu orang yang berbicara dengan nada suara serupa dengan pengalamannya di masa lalu tersebut maka ia menafsirkan bahwa orang tersebut sedang marah padanya meski realita sebenarnya tidak. Ia menciptakan makna sendiri atau interpretasi atas peristiwa itu berdasarkan referensi masa lalu dalam Map-nya.
GENERALIZATION
Merupakan cara kerja filter pemrosesan internal untuk mengambil kesimpulan secara umum (general) dalam menilai suatu hal berdasarkan satu atau dua hal yang pernah terjadi di masa lalu.
Misalnya saja seorang wanita yang pernah dikecewakan oleh seorang pria pasangannya, ia pun sakit hati atas peristiwa itu, seiring berjalannya waktu ia kemudian dikecewakan lagi oleh pria pasangan berikutnya, ia kemudian menyimpulkan bahwa semua pria tidak bisa dipercaya – meski hanya berdasarkan dua pengalaman saja!
Begitulah, sejak awal kita menyerap informasi dulu, informasi itu tidak terserap utuh adanya, seiring berjalannya waktu pun informasi lanjutan yang kita serap bukanlah realita sebenarnya, melainkan hanya persepsi kita atas realita di luar diri.
Mari kita bahas contoh nyatanya, sebut saja seseorang yang pernah mengalami beberapa kejadian tidak menyenangkan ketika berbicara di depan umum. Ia pun menyimpan kenangan atau persepsi dalam Map-nya bahwa berbicara di depan umum adalah hal yang tidak menyenangkan. Bisa ditebak, respon state yang muncul dalam dirinya setiap kali harus tampil di depan umum adalah state yang tidak mendukung kinerjanya untuk tampil.
Teman-temannya mendukungnya dan meyakinkannya bahwa ia pasti bisa jika terus mencoba, namun ia tetap pada persepsi lamanya bahwa berbicara di depan umum adalah hal negatif. Hal ini terjadi karena dalam Map-nya ada memori atas beberapa kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialaminya ketika berbicara di depan umum, maka terjadilah tahapan Generalization di sini yang membuatnya menyimpulkan bahwa semua jenis tampil di depan umum adalah hal buruk.
Teman-temannya menyemangatinya untuk terus mencoba dan menunjukkan hal-hal positif dari tampil di depan umum, persepsi buruknya atas hal ini membuatnya tidak melihat hal-hal positif tersebut, Deletion sudah terjadi yang membuatnya menghapus hal-hal positif itu, lebih parah lagi ia malah menginterpretasikan dukungan teman-temannya sebagai upaya untuk semakin membuatnya terjatuh, disinilah Distortion terjadi yang membuatnya menciptakan makna negatif sendiri, ia pun larut dalam state negatif yang terus menghambatnya tampil di depan umum.
Kejadian ini hanyalah contoh dari bagaimana Internal Processing Filter terjadi dalam NLP, tidak ada urutan baku bagaimana filter pemrosesan internal ini terjadi, semua terjadi dengan cepat dan acak adanya dalam pikiran mengikuti data base yang sudah ada.
TERBENTUKNYA INTERNAL PROCESSING FILTER
Respon otomatis diri kita sekarang ini atas berbagai peristiwa dan stimulus di luar diri kita adalah hasil dari state yang merupakan bentukan dari sekian banyak memori dan makna yang sudah menjadi Map dan menjadi acuan pembuatan keputusan.
Namun demikian, apa acuan dari cara kerja Internal Processing Filter? Apa acuan dasar filter ini untuk menghapus, menginterpretasi dan menggeneralisasi informasi yang diterima?
Dalam bukunya yang berjudul Time Line Therapy and The Basis of Personality (1988), Tad James dan Wyatt Woodsmall menuliskan bahwa ketiga Internal Processing Filter (Deletion, Distortion & Generalization) terjadi berdasarkan Memory, Decision, Belief, Value dan Meta Program.
MEMORY & DECISION
Terlahir polos dengan tanpa pemahaman apa pun atas dunia di luar diri, kita kemudian belajar memaknai dan menyimpulkan dunia di luar diri kita berdasarkan ajaran lingkungan dan pengalaman pribadi atas peristiwa yang kita lalui.
Ada hal-hal yang bersifat informatif, yang datang dari luar diri kita, yang disampaikan oleh lingkungan, sampai tahap kita paham dan kemudian menjalankannya, kita mengenalnya sebagai didikan.
Namun ada juga hal-hal yang bersifat pribadi, yaitu pengalaman – terutama yang bersifat emosional – yang membuat kita belajar dari pengalaman itu dan kemudian menggunakan memori atas pengalaman itu untuk merespon pengalaman serupa nantinya.
Baik itu bersifat informatif atau pun pengalaman pribadi, ada kesamaan di antara keduanya, yaitu dengan tanpa disadari ada sebuah momen dimana kita membuat keputusan dalam diri kita untuk memaknai memori itu dan menggunakannya sebagai acuan dasar untuk merespon peristiwa lain di kemudian hari.
Contohnya saja seorang anak yang digigit anjing (mengalami langsung) atau mendengar cerita temannya yang digigit anjing (informatif) lalu kemudian merasa takut atas hal tersebut, saat itulah terjadi keputusan dalam benak si anak untuk meletakkan makna bahwa anjing adalah makhluk yang berbahaya, sejak saat itu terciptalah rasa takut pada anjing dalam diri si anak.
Ada keputusan-keputusan yang bermanfaat dalam diri kita yang menjadi sumber daya (resource), namun ada juga keputusan yang menjadi hambatan karena kita memutuskan untuk memberikan makna negatif atas suatu hal yang ternyata di kemudian hari kita perlukan, yang satu ini lebih umum dikenal sebagai limiting decision, yang kemudian berkembang menjadi limiting belief.
BELIEF & VALUE
Kumpulan memori dan keputusan yang kita miliki kemudian mengkristal menjadi sistem keyakinan (Belief) dan nilai-nilai (Value), berdasarkan Belief dan Value inilah kita memaknai dunia di luar diri kita, menilai benar dan salah atau baik dan buruk.
Sekali lagi, keyakinan dan nilai-nilai ini bersifat subjektif adanya, bukan berarti keyakinan ini pasti benar adanya, karena yang kita bicarakan adalah World Model seseorang atau persepsinya atas realita di luar dirinya.
Sehubungan dengan adanya fungsi untuk menilai dan memaknai, maka disinilah Internal Processing Filter mulai bekerja dengan memilah-milah mana informasi yang perlu dihapus, diinterpretasi atau digeneralisasi sesuai dengan Belief dan Value yang ada di dalam Map.
META PROGRAM
Ada beberapa definisi dan cara mengartikan Meta Program yang digunakan para praktisi, namun penjelasan paling sederhana yang saya sering gunakan untuk menggambarkannya adalah sebuah proses mental yang menggambarkan respon otomatis kita dalam berpikir, berperilaku dan mempersepsikan sesuatu.
Kata ‘Meta’ sendiri bisa diartikan sebagai ‘sesuatu yang mempengaruhi hal lain yang ada di bawah naungannya’. Meta Program tak ubahnya sebuah kebiasaan mental yang terbentuk dalam diri seseorang karena mereka terbiasa melakukan sebuah perilaku dalam sebuah konteks secara berulang-ulang sampai kebiasaan itu mengkristal dan menjadi sebuah program yang mengendalikan program lain yang ada di bawah naungannya (dalam hal ini yaitu mengendalikan cara kerja Internal Processing Filter).
Penjelasan lebih lanjut tentang Belief, Value dan Meta Program akan dibahas di bagian tersendiri pada waktunya di artikel tersendiri kelak agar Anda lebih bisa memahami penerapannya secara praktis bagaimana hubungan dari semua level ini pada efektivitas diri kita.
Ingin mengetahui lebih jauh tentang NLP Coaching? Memerlukan layanan NLP Coaching untuk membantu Anda dan/atau kerabat Anda yang membutuhkannya? Atau ingin mempelajari NLP Coaching secara serius sampai bisa berpraktik secara profesional dan sistematis? Silakan menghubungi ke kontak yang tertera.