Minggu lalu saya membersamai proses terapi seorang klien lama yang kisah penanganannya cukup unik.
Sedikit latar kisah, klien ini pernah menjalani sesi terapi bersama saya tahun lalu. Jeda setahun, beberapa waktu lalu ia menghubungi Customer Service saya dan menyatakan kebutuhan menjalani sesi kembali.
Di sesi yang berlangsung minggu lalu keluhan yang diutarakannya adalah seputar “kesulitan tidur”.
Sepuluh bulan sudah kurang lebih klien ini mengalami gejala susah tidur yang teramat mengganggu. Sering kali ia baru bisa tidur dini hari dan ada kalanya bahkan tidak bisa tidur sama sekali. Karena sudah sedemikian resahnya dan ia tidak mau terus-terusan minum obat tidur maka ia memutuskan kembali menjalani penanganan bersama saya.
Di sesi pengumpulan informasi awal, klien ini mengisahkan bahwa selama setahun ini pasca penanganan terdahulu ia sudah merasa baik-baik saja dan nyaman. Selama setahun ini pemulihan medis klien—dari yang semula bolak-balik rumah sakit setiap bulannya—tergolong pesat, bahkan Dokter yang menangani pun mengapresiasi kemajuan klien pasca regulasi emosinya membaik.
Sedikit latar kisah tambahan. Tahun lalu klien menjalani sesi terapi atas rekomendasi Psikiater yang menanganinya karena berbagai pemeriksaan medis yang ia jalani mengindikasikan bahwa gejala masalah fisik yang dialaminya sebenarnya dilatari persoalan psikosomatis, atau permasalahan fisik (soma) yang dilatari masalah pada pikiran (psiko).
Bukan kebetulan, Psikiater yang menangani klien ini termasuk yang terbuka terhadap hipnoterapi sebagai metode pengobatan komplementer untuk penanganan masalahnya. Maka demikianlah, proses itu juga yang mengantarnya ke pertemuan bersama saya tahun lalu.
Tahun lalu, saya membersamai klien ini di tiga sesi penanganan untuk tiga masalah berbeda. Di tiga sesi itu juga terjadi proses abreaksi yang terbilang “heboh” dan dahsyat. Suara pekikan dan tangisannya di kala sesi waktu itu sampai-sampai terdengar ke lantai bawah tempat dimana resepsionis saya sedang bertugas.
Prosea tidak mengkhianati hasil. Dahsyatnya proses resolusi trauma kala itu juga yang melepaskan banyak beban emosional destruktif yang selama itu dibawanya, yang kemudian mendukung proses pemulihan kesehatan fisiknya.
Kembali ke pengumpulan informasi awal. Awalnya, masalah sulit tidur yang dialaminya tidaklah terlalu dihiraukannya, karena belum terlalu parah. Hanya saja beberapa bulan terakhir ini ia merasaan “keganjilan”. Selain kesulitan tidurnya semakin parah, ia juga sering kali dihantui mimpi buruk adanya “sosok misterius yang mengintai” ketika ia tidur dimana hal itu membuat kualitas tidurnya pun jadi buruk adanya.
Berlatarbelakang budaya “supernatural” yang tergolong kuat, ditambah lagi di tempat kerja lamanya ia merasa sering “dikirimi” hal-hal mistis karena “politik pekerjaan” yang ia alami dalam bentuk kejadian-kejadian yang sulit dijelaskan dengan akal sehat, hal ini menjadikan klien ini berpikiran bahwa masalah yang dialaminya turut dilatari oleh faktor supernatural.
Agar “urusan supernatural” ini nantinya tidak nantinya mengganggu jalannya sesi, saya meluangkan waktu khusus untuk mengedukasi klien soal miskonsepsi atas hal-hal astral, bahwa sering kali masalah yang dianggap “magis” tidaklah semagis yang kita sangkakan, melainkan bisa saja karena faktor “sugesti”.
Saya juga menjelaskan pada klien bahwa sesuai dengan peran kompetensi yang saya jalani, saya tidaklah mengurusi keluhan-keluhan yang berhubungan dengan fenomena astral. Begitu juga di sesi kali ini pun saya hanya bisa fokus pada masalah psikis klien.
Hal ini saya lakukan bukan tanpa alasan. Bagaimana pun juga konsep atau keyakinan klien atas masalah yang dialaminya akan sangat memengaruhi jalannya penanganan.
Jika sejak awal klien sudah sedemikian meyakini bahwa masalah yang dialaminya berhubungan dengan fenomena supernatural maka tidak perlu heran jika hal-hal berkonotasi astral itulah yang akan bermunculan dalam sesi. Pikiran bawah sadar klien memunculkan apa-apa yang sejalan dengan apa yang diyakininya. Alhasil, jalannya sesi bisa jadi “tidak karuan” karena atensi penanganan jadi tersedot untuk mengurusi “hal-hal astral” yang padahal merupakan proyeksi pikiran bawah sadar klien sendiri.
Sampai sejauh ini klien bisa memahami dan setuju dengan cakupan penanganan yang bisa saya sediakan, dimana fokus penanganan sudah di-“kerucutkan” hanya pada aspek psikis.
Proses terapi pun dimulai. Setelah pertama-tama memandu klien memasuki kondisi dimana pikiran bawah sadar bisa terakses saya pun mengakses dan berkomunikasi dengan Personality-Parts yang selama ini “menahan untuk tidur”.
Bagi yang belum familiar, Personality-Parts (untuk selanjutnya akan ditulis sebagai “Part“) merupakan salah satu konsep dalam dunia hipnoterapi yang menggambarkan dinamika kesadaran manusia, dimana dalam konsep ini pikiran bawah sadar dipandang tersusun dari Bagian-Bagian (Parts) Kepribadian (Personality) yang memiliki peran dan fungsi spesifik masing-masing.
Dalam setiap waktunya, akan ada Part yang aktif menjalankan fungsinya dimana aktifnya Part itu terefleksikan dalam bentuk cara kita berpikir dan berperilaku.
Ada kalanya terjadi konflik internal, yaitu adanya Part yang berkonflik dan tidak sepaham dengan keinginan kita. Seperti dalam kasus klien ini, di balik keinginan klien yang ingin bisa beristirahat dan tidur normal, ada Part yang berkonflik dengan keinginan ini, yang malah menahan klien untuk tidur.
Dalam sesi terapi, dengan teknik khusus kita bisa berkomunikasi dengan Part yang berada di pikiran bawah sadar, seperti yang saya lakukan di awal proses terapi klien ini, dimana saya berkomunikasi dengan Part yang “menahan klien untuk tidur”.
Setelah muncul dan berkomunikasi, Part yang menahan tidur menangis. Ia menjelaskan bahwa ia “kasihan” pada klien karena banyak orang di lingkungan kerja yang ingin menjahati dia, termasuk ada “jin” yang sering memantau dia, yang menurut Part ini sering muncul di mimpi klien.
Part ini tidak mau klien tidur karena ia takut klien “terkena bahaya” kalau sampai klien tertidur, maka itulah ia menahan klien agar tidak tidur. Masalahnya, hal ini juga yang memengaruhi kualitas istirahat klien sebagaimana dikisahkan di atas tadi.
Saya mencermati ada kejanggalan pada jawaban Part yang “menahan klien untuk tidur”.
Hal ini karena Part ini mengatakan “banyak orang di lingkungan kerja yang ingin menjahatinya”, padahal dalam kenyataannya diri klien saat ini sudah tidak lagi bekerja. Klien sudah fokus menjadi ibu rumah tangga dan hidup tenang.
Ada “realita” yang tidak selaras di sini. Klien masa kini sudah hidup di realita dimana ia sudah hidup tenang, tapi Part yang “menahan untuk tidur” hidup di realita dimana banyak orang di lingkungan kerja yang ingin menjahatinya.
Saya lalu bertanya pada Part ini, klien yang ia tahu berusia berapa dan apa kesibukannya.
Part yang “menahan untuk tidur” menyebutkan usia klien ketika ia masih bekerja, bukan usia klien saat ini, dan ia juga menjawab bahwa kesibukan klien adalah bekerja di tempat bekerja lamanya.
Disinilah yang terjadi menjadi lebih jelas. Part yang “menahan untuk tidur” mengalami fenomena “fiksasi”, dimana realitanya terhenti dan terkunci di masa lalu. Part ini berdiam di pikiran bawah sadar, terisolasi dalam realita masa lalu di masa ketika klien masih bekerja. Part ini tidak tahu bahwa klien sudah tidak lagi berada di tempat kerja lamanya. Realitanya berbeda dengan realita klien saat ini.
Secara fisiologis, keberadaan Parts dalam diri kita melambangkan keberadaan jalinan syaraf di otak dalam bentuk akson, dendrit dan sinaps. Dalam hal ini, sinaps yang membentuk keberadaan Part “yang menahan tidur” tidak terkoneksi dengan sinaps utama klien yang hidup di masa kini.
Fenomena ini kurang lebih serupa dengan yang terjadi dalam gejala Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau “gangguan stres pasca trauma”.
Ketika seseorang mengalami kejadian traumatis maka dampak trauma dari kejadian itu melekat atau dialami oleh Part spesifik yang aktif ketika kejadian traumatis itu berlangsung. Jika dihubungkan dengan fenomena fiksasi tadi, Part yang mengalami trauma mengalami “disconnected” dengan realita. Part itu “terkunci” di ruang dan waktu ketika ia trauma.
Raga seseorang hidup di masa kini tapi Part yang mengalami traumanya terkunci di masa lalu, dikelilingi oleh latar peristiwa yang menyebabkan traumanya. Setiap kali Part ini aktif di kesadaran maka ia aktif dengan membawa reaksinya ketika survival menghadapi kejadian traumatis, maka reaksinya irasional dan reaktif.
Kembali ke kasus klien ini, Part “yang menahan tidur” tidak “update” dengan realita, ia masih terkunci di latar waktu masa lalu ketika klien masih bekerja dan dikelilingi ancaman lingkungan kerja lamanya, maka ia aktif bersiaga menjadikan klien survival dalam bentuk “tidak bisa tidur”. Selama Part ini tidak “update” dan terhubung kembali dengan masa kini maka ia akan terus beroperasi secara disfungsional menjalankan respon survival lamanya.
Untuk membantu Part ini “update“, saya pun melakukan proses menghubungkan ulang (reconnection) Parts dengan realita klien masa kini.
Dengan sugesti yang dirancang khusus, saya memfasilitasi proses reconnection dan guided imagery yang memungkinkan klien untuk mengorganisir ulang (reorganizing) memorinya yang bertujuan memberikan dampak “update” pada Part yang tadi terputus dengan realita masa kini itu.
Awalnya Part yang “menahan untuk tidur” heran dengan realita klien saat ini yang berbeda dengan realita yang diketahuinya. Baru setelah ia “update” Ia bisa memahami yang terjadi dan merasa lega. Saya lalu memfasilitasi beberapa proses resolusi lanjutan agar Part ini lepas dari beban emosi lama dan reaksi survival lamanya.
Sebelum mengakhiri proses saya melakukan pemeriksaan untuk memastikan kalau-kalau ada masalah lain yang masih perlu dituntaskan. Di titik inilah Part yang semula “menahan untuk tidur” menjelaskan perihal keberadaan “jin” yang selama ini sering mengintai dan muncul dalam mimpi.
Berdasarkan informasi dari Part tadi saya lalu memastikan lebih jauh keberadaan sosok yang dianggap “jin” yang menurut Part tadi kerap mengintai klien, dimana saya lalu mengakses dan berkomunikasi dengan sosok “jin” ini.
Komunikasi berjalan lancar. Saya lalu berdialog dengan sosok yang dianggap “jin” ini dan mendapatkan informasi bahwa ia adalah “makhluk kiriman”.
Proses berlanjut, kali ini fokus penanganan saya arahkan pada sosok “jin” ini dan memfasilitasinya penanganan untuk “pulang dan melanjutkan perjalanan ke tempat dimana ia seharusnya berada”.
Setelah memastikan segala-sesuatunya selesai dan tidak ada lagi ganjalan atau sisa permasalahan apa pun barulah sesi diakhiri.
Di akhir sesi saya meluangkan waktu menjelaskan pada klien perihal apa yang ia lalui dan mengklarifikasi berbagai hal yang diperlukan agar yang dialaminya tidak menjadi kegelisahan tersendiri bagi klien.
Nampak klien keheranan karena di awal sesi saya menyatakan bahwa saya tidak menangani hal-hal yang berhubungan dengan fenomena supernatural, tapi di sesi tadi jelas adanya fenomena itu saya tangani.
Saya menjelaskan pada klien bahwa peran profesi dan kewenangan praktik saya adalah sebagai hipnoterapis. Jika klien datang dengan keluhan “bernuansa supernatural” maka hal itu memang bukan termasuk ke dalam cakupan permasalahan yang saya terima untuk tangani, saya akan menyarankan klien mencari metode pengobatan lain yang lebih sesuai dengan ekspektasinya.
Namun lain ceritanya jika fenomena supernatural itu terjadi di dalam sesi, ketika penanganan sedang berlangsung.
Dalam hal ini, masalah yang klien utarakan dan sepakati untuk tangani adalah masalah yang memang bersifat psikis dan perilaku, tidak ada kesan supernatural sama sekali dalam keluhan yang ditangani, namun dalam prosesnya ternyata terungkap fenomena yang bernuansakan supernatural. Ketika itu terjadi maka sebagai hipnoterapis saya tetap memfasilitasi penanganan sesuai dengan keahlian yang saya kuasai, tanpa melibatkan pendekatan lain yang melibatkan teknik supernatural apa pun.
Jika ditanya apakah fenomena itu sering terjadi, jawaban saya adalah fenomena itu tidak asing saya temui. Berbagai fenomena yang berkonotasi supernatural memang ada kalanya mewarnai jalannya sesi, mulai dari kemunculan sosok yang dianggap sebagai “jin”, “makhluk astral”, atau “arwah leluhur”, sampai ke kemunculan memori dari berbagai fase reinkarnasi kehidupan lampau atau memori lintas generasi.
Apakah yang diceritakan klien itu benar adanya? Apakah kisah-kisah tentang makhluk astral atau reinkarnasi kehidupan lampau itu benar adanya?
Jujur, saya tidak tahu.
Bukan kapasitas saya untuk mengetahui kebenaran akan hal itu, atau untuk menyelidiki dan memastikan kebenaran akan hal itu.
Dalam konteks terapi, pikiran bawah sadar klien memunculkan informasi itu dan pikiran bawah sadar menyoroti fenomena itu sebagai penyebab di balik masalah yang klien alami. Maka yang saya lakukan adalah memfasilitasi penanganan yang bisa menciptakan dampak rekonstruktif, yang bisa menjadikan pikiran bawah sadar terbebas dari apa yang dianggapnya sebagai penyebab masalahnya. Selama apa yang dianggap “penyebab” oleh pikiran bawah sadar terselesaikan, maka akan reda juga permasalahan yang klien alami.
