Minggu kemarin saya membersamai seorang klien di sesi konseling dan terapi.
Klien ini, sebut saja Ani (bukan nama sebenarnya), datang dengan keluhan gejolak kemarahan berlebih pada mantan pacarnya, yang dirasa menyakitinya di hubungan yang mereka pernah jajaki, yang berakhir beberapa bulan lalu.
Sekian tahun lamanya Ani menjajaki hubungan yang toxic dengan mantan pacarnya itu, hubungan mereka berakhir dengan kepahitan bagi Ani yang merasa disakiti, dikhianati dan diperlakukan tidak pantas. Pada akhirnya Ani keluar dari hubungan lamanya dengan membawa akumulasi kesedihan, kemarahan, kekecewaan dan bahkan kebencian pada mantan pacarnya itu.
Pasca hubungannya kandas, Ani mencoba melanjutkan hidupnya, yang ternyata tidak semudah yang ia sangkakan. Bayang-bayang mantannya dan hubungan yang pernah mereka jalani sering kali muncul di berbagai kesempatan. Ketika kilasan pemikiran itu muncul maka Ani pun langsung merasakan gejolak emosi yang menyiksa, bukan hanya secara batin, namun juga sampai secara fisik, sampai ia sering merasa sesak sendiri karenanya.
Beberapa bulan terakhir ini Ani jalani dengan upaya mencari solusi untuk membebaskan dirinya dari gejolak emosi negatif yang ia rasa mengganggunya. Media sosial yang dulunya hanya digunakan untuk berselancar secara acak kali ini diwarnai dengan penelusuran berbagai topik yang berhubungan dengan memaafkan, penyembuhan luka batin, dan tema-tema sejenis lainnya.
Upaya Ani juga membawanya ke berbagai acara bertemakan spiritual, yang ia rasa bisa memberikan ketenangan pada hatinya yang bergejolak. Di acara-acara itu juga ia terkadang menjalani konsultasi berbasis spiritual dengan pemuka agamanya. Dari berbagai bahasan itulah Ani diajak menyadari pentingnya “memaafkan” (forgiveness) agar ia bisa terbebas dari beban batin dalam dirinya.
Bulan demi bulan Ani lalui, kondisinya ia rasa semakin membaik, Ani merasa berbagai pembelajaran dan interaksi yang sudah ia jalani kali ini sudah membuatnya bisa memaafkan yang terjadi, bayang-bayang masa lalu yang biasa mengganggunya pun kali ini tidak terlalu sering muncul kali ini.
Sampai suatu ketika …
Ani mendapatkan kabar bahwa mantan pacarnya akan melangsungkan pernikahan. Pasca mendengar kabar ini juga sesuatu dalam diri Ani terguncang. Berbagai kedamaian yang pernah ia bangun beberapa bulan terakhir ini rontok seketika. Akumulasi gejolak emosi lamanya muncul kembali, sedemikian intensnya sampai Ani sendiri sampai sempat mengalami penurunan kondisi fisik dan sakit beberapa hari karenanya.
Di antara para rekan yang mengetahui kondisi Ani, ada salah satu yang pernah menjadi klien saya—yang kemudian menginformasikan mengenai layanan bersama saya pada Ani— yang kelak membawanya menemui saya di sesi konseling dan terapi bersama saya, seperti dikisahkan di awal tulisan ini.
Sesi Ani diawali dengan Ani mengisahkan pengalamannya sepanjang menjalani hubungan, sampai kemudian hubungannya kandas, serta beberapa bulan terakhir yang Ani jalani untuk mencari solusi.
Ani heran sendiri, karena ia merasa sudah memaafkan, namun ia masihlah merasakan beban emosi yang intens ketika memikirkan ulang mantan pacarnya dan hubungan yang mereka jalani.
Saya lalu memastikan, dari mana Ani merasa sudah memaafkan.
“Karena saya tahu itu penting dan saya rutin melakukan itu,” jawab Ani.
“Rutin? Maksudnya bagaimana?” Kali ini saya berupaya memperjelas.
Ani menjelaskan rupanya ia setiap malam mempraktikkan meditasi dan afirmasi yang bertujuan memaafkan, yang ia ketahui dari informasi di internet dan media sosial. Setelah melakukan itu juga Ani merasa kondisinya membaik, setidaknya ia bisa tidur dengan tenang.
Saya lalu menjelaskan pada Ani bahwa yang ia lakukan tidaklah salah, namun ada pemahaman yang tidak sepenuhnya Ani praktikkan di aktivitas rutinnya itu, yaitu pemahaman tentang cara kerja pikiran sadar (PS) dan pikiran bawah sadar (PBS).
Saya lalu menjelaskan tentang cara kerja PBS dalam menyimpan dan memproses informasi, termasuk cara kerja PBS yang berhubungan dengan “memaafkan”. Dalam kasus Ani, yang ia lakukan adalah proses memaafkan yang melibatkan PS, namun tidaklah melibatkan PBS secara optimal.
Jika diibaratkan “api dan asap”, maka tidak ada asap jika tidak ada api. Asap adalah gejala yang kita rasakan secara sadar, tepatnya di PS. Sementara api adalah gejolak emosi yang sebenarnya yang berakar di PBS. Ketika seseorang terganggu dengan gejala permasalahan tertentu maka ada kepulan asap yang sedang “mengeruhkan” hidupnya saat ini. Yang Ani lakukan dengan meditasi dan afirmasi adalah upaya “mengipasi asap” yang mengeruhkan ini, maka itulah ia bisa merasa lebih baik setelah melakukannya, karena asap yang mengepul itu sedang mereda kepulannya, namun upaya ini tidaklah “memadamkan api” yang melatari asap itu, karena api itu tersimpan di PBS, maka hanya soal waktu sebelum asap itu muncul kembali di kemudian waktu.
Secara sederhana, PBS memiliki proporsi kekuatan lebih besar dari PS, kurang lebih 9x lipat lebih kuat. Dalam kasus Ani, meski PS Ani sadar bahwa memaafkan adalah hal penting, belum tentu PBS Ani menyepakati hal yang sama. Tidak setujunya PBS untuk memaafkan adalah salah satu hal yang sering kali membuat banyak orang merasa mereka sudah memaafkan yang mereka rasa menyakiti, meski dalam kenyataannya belum. Hal ini karena prosesi memaafkan yang mereka anggap sudah terjadi ternyata baru sebatas terjadi di PS, namun belum terjadi di PBS.
Memaafkan secara tuntas hanya bisa terjadi jika api yang berakar di PBS sudah bisa kita padamkan. Selama api ini belum padam maka kita hanya akan bergulat dengan upaya sementara meredakan asap dengan berbagai bentuk pengalihan, sebelum kemudian asap itu muncul kembali di kesempatan lain.
Berbeda dengan PS yang cara kerjanya kita sadari dan lebih bisa kita kendalikan secara sadar, PBS beroperasi di level kesadaran yang berbeda, yang tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan secara sadar.
Ilustrasi dari PS dan PBS yang sering saya jelaskan adalah ilustrasi “kapten” (PS) dan “kapal” (PBS).
Sebuah kapal memang dioperasikan oleh kapten, tapi jika kapal ini punya program kendali otomatis sendiri, yang menjadikannya bergerak “di luar arahan kapten” maka instruksi dan arahan kapten tidak akan berperan banyak dalam mengarahkan kapal ini. Pada akhirnya program kendali otomatis kapallah yang menjadikan kapten “kepayahan” dan terseok-seok mengikuti gerak kapal yang bergerak di luar harapannya.
Untuk lebih membantu Ani memahami penjelasan, saya lalu mengajak Ani melakukan serangkaian proses untuk mengetahui apakah PBS Ani benar-benar sudah memaafkan atau belum.
Sebagai catatan, sehubungan dengan proses “pemeriksaan” ini, terdapat beberapa tahapan yang bisa dilakukan untuk mengetahui reaksi spontan dari PBS dimana reaksi ini bisa kita sadari secara sadar. Dalam konteks “memaafkan”, dari reaksi ini juga kita bisa mengetahui seperti apakah PBS sudah menjalankan yang kita harapkan atau belum, yaitu memaafkan.
Ketika pemeriksaan dilakukan Ani baru menyadari bahwa reaksi yang dimunculkan oleh PBS adalah reaksi yang dengan jelas menegaskan bahwa ia masihlah belum memaafkan mantan pacarnya. Mendapati fenomena ini barulah Ani dengan lebih jujur dan terbuka mengakui bahwa di dalam hatinya masih tersimpan banyak ketidakrelaan, kekecewaan dan kemarahan pada mantan pacarnya.
Saya lebih jauh menjelaskan bahwa yang Ani alami wajar dan manusiawi. Artinya, hal itu bukanlah sebuah aib untuk ditutup-tutupi. Mengalami semua ini barulah Ani terbuka untuk mengakui yang sebenarnya ia rasakan, ia yang selama ini mencoba menutup-nutupi perasaan yang sebenarnya, akhirnya bisa mengakui berbagai gejolak yang ia rasakan dan mengalami reaksi “katarsis”, atau reaksi pelepasan emosi yang terpendam
Melihat Ani mengalami reaksi katarsis, saya pun memanfaatkan proses ini lebih jauh dengan menghubungkan reaksi ini dengan proses somatic release, atau pelepasan emosi yang tersimpan di berbagai bagian tubuh. Hal ini karena penelitian modern mendapati bahwa reaksi emosi bukanlah sebatas tersimpan di otak atau secara psikologis semata, melainkan juga tersimpan di tubuh, maka proses pelepasan emosi ini hendaknya juga melibatkan proses pelepasan dimana tubuh ikut melepaskan emosi yang bersarang di dalamnya.
Setelah beberapa saat Ani mengalami proses katarsis dan somatic release saya kembali meneruskan proses konseling yang berlangsung, dimulai dengan memeriksa ulang reaksi PBS yang berhubungan dengan intensitas emosi. Ani terkejut mendapati kali ini reaksi emosinya turun drastis sekali, tidak seperti sebelumnya, padahal proses yang ia lalui hanya berlangsung beberapa menit saja.
Lagi-lagi saya menjelaskan lebih jauh cara kerja PBS dalam melepaskan reaksi emosi negatif dan hubungannya dengan proses memaafkan. Terdapat tujuh cara pandang yang salah sehubungan dengan memaafkan dimana cara pandang ini perlu dibenahi terlebih dahulu sebelum prosesi memaafkan dilakukan dalam konteks terapi. Salah satu cara pandang yang salah ini adalah yang Ani alami dimana ia menganggap dirinya sudah memaafkan hanya karena dirinya sudah tidak lagi mengingat-ingat—tepatnya mencoba melupakan—yang terjadi
Kali ini saya juga menjelaskan seperti apa jalannya proses memaafkan secara tuntas dalam perspektif protokol terapi yang saya gunakan, termasuk empat tahapan penting memaafkan yang harus ada, serta satu tahapan akhir menghilangkan hambatan dari PBS yang kerap kali menghalangi jalannya memaafkan.
Setelah memahami kesemua penjelasan saya barulah proses terapi secara resmi dilakukan. Ani sendiri bisa mengikuti semua arahan saya dengan baik. Di setiap tahapan yang dilalui saya terus mengajak Ani menyadari reaksi PBS sehubungan dengan proses memaafkan. Ani menyadari sekali kali ini di setiap tahap yang ia lalui dirinya semakin ringan, beban yang di awal menggelayutinya kali ini berkurang jauh sekal dan ia mulai bisa tersenyum lepas ketika memikirkan ulang berbagai hal yang dulunya memicu reaksi emosi negatifnya.
Menjelang tahapan akhir penanganan, saya kembali memastikan apakah PBS Ani sudah sepenuhnya melepaskan beban emosi yang semula bersarang di dalam dan sudah bisa sepenuhnya memaafkan. Di tahap memastikan inilah saya mendapati bahwa masih ada satu Bagian di PBS Ani yang sebenarnya belum sepenuhnya mengijinkan proses memaafkan terjadi. Itulah kenapa tahapan memastikan ini penting untuk dilakukan. Tanpa adanya tahapan memastikan ini bisa jadi masalah Ani dinyatakan selesai meski padahal belum sepenuhnya demikian, dan di kemudian hari muncul kembali.
Menggunakan teknik khusus untuk menetralisir hambatan dari PBS, saya pun membantu Ani menetralkan tuntas penolakan yang sebelumnya muncul dari salah satu bagian dari PBS-nya, sampai di akhir proses pemeriksaan didapati tidak ada lagi reaksi penolakan apa pun.
Proses penanganan akan disudahi. Sehubungan dengan konteks memaafkan, di protokol yang saya kembangkan terdapat tiga tahap pengujian hasil penanganan yang melibatkan lima komponen internal untuk memastikan betulkah prosesi memaafkan sudah terjadi secara tuntas. Jika di salah satu tahapan pengujian ini masih muncul reaksi—dari salah satu atau lebih komponen internal—yang menyiratkan bahwa proses memaafkan masih belum terjadi tuntas maka proses pendalaman perlu dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi ini lebih jauh dan menetralisirnya sampai tuntas.
Puji syukur, Ani bisa melewati ketiga tahap pengujian ini dengan baik. Di semua tahap pengujian ini kelima komponen internal Ani menunjukkan reaksi yang positif dan kondusif. Ketika ditanya apa yang berbeda kali ini, Ani menjelaskan bahwa ia merasa lega dan nyaman. Jika sebelumnya Ani menganggap dirinya sudah memaafkan karena bayang-bayang lama yang dirasa menyakitkan itu tidal lagi muncul, kali ini Ani menyadari bahwa esensi dari kesembuhannya bukan ketika bayang-bayang lama yang dirasa menyakitkan itu tidal lagi muncul, yang terjadi adalah bayang-bayang itu tetap muncul namun kali ini tidak ada lagi reaksi negatif atau rasa sakit apa pun.
Beberapa hari berlalu, tadi pagi Ani mengabari bahwa sepanjang berhari-hari pasca terapi ia tidak lagi dibebani reaksi yang sebelumnya ia rasakan. Kali ini ia bisa beraktivitas dengan nyaman dan santai. Ketika ia secara sadar mencoba memikirkan hubungannya dengan mantan pacarnya pun tidak ada lagi reaksi negatif yang dulu pernah membebaninya. Sehubungan dengan berita pernikahan mantan pacarnya, Ani sendiri tidak lagi bereaksi negatif, baginya itu kabar biasa yang ia apresiasi sebagai bagian dari kisah kehidupan.
Saya turut senang mendengar kabar dari Ani dan meminta ijin untuk membagikan kisahnya—dengan menyamarkan profil dan informasi pribadi lainnya—dalam bentuk tulisan sebagai pembelajaran bagi sesama. Ani dengan senang hati memperbolehkan, yang kemudian melahirkan tulisan ini.
Semoga ada pesan pembelajaran atau hikmah yang bisa menjadi manfaat yang bisa Anda peroleh melalui tulisan ini.